Sengit

“Ini kafe temen aku. Gimana? Bagus nggak?”
Kalani Ningrum Rakha memamerkan tempat bertemunya dengan Ardania Eila Mahadarsa yang baginya biasa saja, tidak jauh berbeda dengan kafe biasa yang pernah disambangi. Namun, demi nyambung dengan basa-basi di awal perjumpaan, Eila mengamati interior berwarna lilac yang menusuk mata dengan lukisan bunga untuk mempercantik—tapi baginya aneh dan terkesan memaksakan.
Sama seperti interior yang tidak begitu ramah, Eila pun menjawab dengan terpaksa, “Bagus.”
Jawaban singkat itu menerbitkan senyum sinis Kalani, tapi Eila tidak terkejut sebab dia tahu pertemuannya dengan aktris yang sedang naik daun ini tidak mungkin untuk membicarakan hal baik—pasti berhubungan dengan Jibran karena Kalani sangat ingin bersamanya.
Sejak awal diajak bertemu, Eila sudah membuat skenario di kepalanya mulai dari yang buruk hingga terburuk. Kenapa tidak ada yang baik? Sebab pertama kali Kalani mengirim pesan padanya saja sudah tidak ada keramahan di sana, maka tidak mungkin Kalani ingin sok berbaik hati untuk meminta maaf. Eila tahu orang-orang seperti Kalani dan keluarganya memiliki gengsi yang tinggi. Jadi sebesar apa pun kesalahan yang dibuat, mereka tidak akan mengakui itu salah jika dilakukan untuk memenuhi keserakahan.
“Yang bikin kafe ini bagus karena ada private space supaya nggak gabung sama pengunjung lain. Apalagi di sini kita mau ngobrol secara pribadi, jadi jangan sampai ada orang luar yang denger obrolan kita.”
Eila mengangguk saja tanpa ingin merespons terlalu banyak, sengaja agar membuat Kalani bosan karena gagal memancing Eila yang begitu tenang sejak awal tiba di lokasi pertemuan. Sayangnya strategi itu tidak terlalu berhasil, sebab Kalani yang bukan amatir jelas tahu Eila sengaja mempermainkan pancingannya yang belum seberapa. Ini masih awal dan Kalani masih punya banyak umpan untuk memancing Eila.
“Minum dulu, Eila,” titah Kalani sembari menunjuk secangkir cokelat panas dengan dagunya.
Cokelat panas yang sudah ada sejak Eila datang itu dia tatap dengan sangsi, mempertanyakan keamanan saat ingat bahwa yang memberikannya adalah orang selicik Kalani. Eila perlu waspada dengan minuman yang sebenarnya begitu menggoda, tapi berbahaya jika berhasil terbuai.
“Enggak perlu khawatir gitu,” sahut Kalani yang paham dengan isi pikiran Eila. “Itu cuma cokelat biasa. Aku nggak masukin racun atau hal-hal jelek, kok.”
Eila menatap Kalani dengan sebelah alis terangkat. “Oh, ya?” tanyanya skeptis. “Gimana aku bisa percaya?” tambahnya dengan cara bicara yang lebih informal.
“Kita masih harus ngobrol, jadi nggak mungkin aku kasih kamu racun. Nanti kesempatan ngomongnya jadi hilang.”
Kalani benar. Selicik-liciknya Kalani, tidak mungkin sang aktris sengaja meracuni Eila di saat dia sendiri ingin bicara. Baiklah, Eila membuat sangsi yang berlebihan, jadi ada baiknya memercayai Kalani agar pertemuan ini segera berakhir. Eila menyeruput cokelat panas itu beberapa kali, sampai akhirnya dia meletakkan gelasnya dan menatap lawannya serius.
“Jadi, mau ngomong apa?”
“Jauhin Jibran.” Kalani to the point menyampaikan maksudnya. Tidak beberapa lama, dia menjelaskan lebih detail, “Kalian nggak ada harapan buat bareng, Eila. Sebaik apa pun hubungan kalian, Jibran udah dijodohin sama aku dan kami bakal nikah. Publik juga tahunya kami pacaran, bahkan beberapa kali kelihatan bareng.”
Eila tertawa kecil mendengar kalimat terakhir Kalani. “Kelihatan bareng sebagai supir yang selalu jemput majikannya selesai syuting? Itu yang namanya pacaran?”
Kalani yang seharusnya menyerang, malah berbalik diserang oleh lawan. Situasi ini jelas tidak tepat, sebab harusnya Kalani yang menguasai segalanya. Belum sempat Kalani membalas, Eila lebih dulu mengambil giliran setelah kembali menikmati cokelat panasnya.
“Kalau hubungan yang dibuat secara benar, pasti nggak butuh validasi dari siapa-siapa. Tapi karena hubungan kalian itu dari hasil kecurangan dan kamu rebut Jibran dari aku, makanya kamu butuh validasi dari mana-mana supaya percaya diri Jibran cuma punya kamu. Kelihatan hebat dan mindernya terlalu tipis, tapi nggak susah buat dibedain.”
Kalani mengetatkan rahang dan mengepalkan dua tinjunya di atas meja mendengar penuturan Eila yang menyentil harga dirinya. Benar, Kalani butuh validasi atas hubungannya yang diumumkan secara paksa. Sayang, wanita itu tidak mau mengakuinya, jadi amarahnya mudah terpancing saat Eila menyinggung sesuatu yang disangkalnya. Tidak mau kalah, Kalani akhirnya menyerang.
“Sebelum kamu kenal Jibran, aku udah tahu dia duluan. Perjodohan itu udah ada sejak lama sebelum filmnya ada, tapi kamu malah datang dan ganggu semuanya. Kalau kamu nggak ada, Jibran pasti udah lebih dulu suka sama aku.”
“Gimana, ya?” Eila memainkan telunjuknya mengikuti lingkaran cangkir di atas meja. “Jibran itu udah suka sama aku sejak sekolah, Kalani. Malah dia minta bantuan ke aku karena perasaannya nggak pernah hilang. Jadi, jangan terlalu percaya diri kalau Jibran udah pasti suka sama kamu, karena kayaknya itu nggak mungkin.”
Di luar dugaan, Eila jadi membanggakan dirinya yang disukai Jibran sejak lama. Padahal di awal mengetahui fakta itu rasanya amat sulit untuk menerima, tapi sekarang malah Eila manfaatkan untuk menyerang Kalani. Ah, rasanya tidak sabar bertemu dengan Jibran dan menceritakan kejadian hari ini. Dia pasti terbahak jika Eila menceritakan Kalani yang saat ini berkaca-kaca akibat ingin menangis—antara marah, malu, dan harga dirinya hancur.
“Kamu nggak layak buat Jibran, Eila.”
Hanya itu yang mampu Kalani sampaikan saat himpunan kata di lidah justru tertahan dan gagal mengudara. Kalani yang bermaksud memberi umpan, justru malah dikalahkan oleh Eila yang terlalu besar untuk umpan kecilnya. Eila menghabiskan cokelat panasnya, menyeka bibirnya dengan tisu, dan tersenyum penuh kepuasan melihat Kalani yang kalah telak darinya tanpa mampu memperbaiki situasi.
Eila berdiri sembari menyampirkan sling bag-nya, lalu pamit, “Makasih cokelatnya. Aku suka. Semoga kita nggak ketemu lagi.”
Eila bernapas lega setelah keluar dari kafe—khususnya private room—yang membuatnya sesak. Hiruk pikuk Ibu Kota yang biasanya membuat kewalahan, justru jadi pemandangan yang paling ramah daripada hanya melihat Kalani seorang. Selagi tangannya memegang ponsel untuk menghubungi sang adik, Eila berjalan menuju zebra cross yang kebetulan ada di depan kafe. Tepat saat dia tiba di depan zebra cross dan menunggu lampu lalu lintas berganti merah agar dia bisa menyebrang, telepon akhirnya tersambung.
“Halo, Natta. Tolong jemput aku, ya.”
“Jemput di mana? Ini kok rame banget? Kamu habis dari mana?”
“Aku habis ketemu temen. Ini lagi mau nyeberang. Kamu jemputnya di PIM aja, mau ke sana dulu.”
“Oke, oke. Jam berapa?”
Baru saja Eila akan menjawab, suaranya tiba-tiba hilang saat ada sesuatu yang menancap di bagian perutnya, meninggalkan sakit yang menjalar di sekujur tubuh dalam durasi cepat. Napasnya hingga tertahan, pandangannya mulai mengabur saat Eila berusaha melihat siapa yang berulah untuk melukainya. Eila hanya ingat orang itu memakai pakaian serba hitam dan menghilang dengan cepat, seiring dengan daksanya yang tidak mampu lagi berdiri hingga akhirnya jatuh terbaring.
Dengan kesadaran yang nyaris direnggut, Eila mendengar orang-orang di sekitar mulai histeris dan mendekatinya untuk memberikan pertolongan saat darah tidak berhenti mengalir dari perutnya. Dari semua orang asing yang terlibat, ada satu sosok familier yang baru saja dia tinggalkan ikut bergabung bersama massa dan berakting seakan dia pahlawan.
Sebelum kegelapan menjemputnya, Eila yakin, Kalani Ningrum Rakha adalah tersangka utama atas deritanya.