Separuh Jiwa yang Berlabuh

“Halo, Kak. Tumben banget telepon aku.”

Kekehan di seberang sana mengundang senyum Jibran kala mendengarnya. Natta yang dihubungi secara pribadi—apalagi lewat telepon—tiba-tiba merasa jadi orang paling penting bagi sang aktor.

“Kamu salah satu orang yang tahu perjalanan aku gimana selama persiapan film ini, makanya mau bilang makasih udah nemenin sampai sekarang.”

“Jangan sungkan gitu, Kak. Kalau bukan karena Kak Eila sama Kak Trian, aku nggak akan bisa deket sama idola aku. Malah kayaknya nggak akan on the way jadi ipar,” balas Natta bersamaan dengan tawa pelan yang menghibur Jibran saat dia masih gundah gulana.

Saat nama Eila disinggung, fokusnya berubah pada wanita itu, yang sampai saat ini diketahui keadaannya belum ada perubahan. Saking sibuknya dengan promosi, interview, diundang ke acara ini dan itu, sampai ke luar kota untuk road show, intensitas Jibran mengetahui kabar Eila jadi menipis.

Bukannya enggan atau telanjur lelah, tapi Jibran tidak mau rindunya makin sulit ditahan dan keinginan untuk bertemu jadi makin menggebu. Sebentar lagi hari penghakiman datang, jadi Jibran harus sabar sampai waktunya tiba.

“Natta, kamu lagi di rumah sakit, ‘kan?”

_“Iya, Kak. Ini pas banget di sebelah Kak Eila. Mau ngomong?”

_ Bicara, ya …. Tentu Jibran ingin, tapi apalah daya jika tidak ada respons dari yang dicintai. Namun, tidak apa-apa. Jibran tetap harus bicara walaupun tidak didengar atau direspons. Jibran harus mengucapkan sepatah dua patah kata demi memberi kabar terkait dirinya sekarang.

“Boleh,” ucap Jibran sembari mengumpulkan nyalinya. “Tolong deketin handphone kamu ke Eila, ya. Biar dia denger. Siapa tahu dia bisa bangun.”

Natta menyanggupi permintaan itu dan mendekatkan ponselnya di telinga Eila. Selesai melakukan perintah, Natta mempersilakan Jibran untuk bicara apa saja demi melampiaskan rindunya yang tidak kunjung terbayar. Hening untuk sesaat, sebab Jibran berharap ada suara Eila yang menyapanya dengan ceria seperti biasa.

Sayang, harapan itu harus pupus, sebab yang diinginkan sibuk bermimpi tanpa tahu kapan bangun. Jibran yang awalnya berdiri di depan meja makan, mulai menyingkir dari sana dan masuk ke kamarnya. Di tempat pribadinya itulah Jibran utarakan beberapa hal yang membuatnya mengganjal. Tahu tidak akan sepenuhnya tenang, tapi tetap dilakukan demi bicara pada yang di sana. Setelah duduk bersandar di tempat tidurnya, Jibran mulai bicara.

“Eila, gimana kabar kamu sekarang? Masih betah tidurnya?” tanya Jibran dengan dada yang ngilu akibat kurangnya nyali untuk bertutur. “Kalau masih betah, silakan di sana sampai puas, yang penting jangan lupa bangun lagi, ya. Di sini banyak yang kangen sama kamu, khususnya aku yang ngerasa sepi dan kurang semangat. Biasanya tiap di depan kamera atau orang-orang, aku bisa senyum tulus walaupun banyak yang nyebelin. Soalnya aku tahu bakal pulang ke kamu yang lagi nungguin.

“Tapi sekarang senyum aku lebih sering dipaksa, sampai rasanya nyesek banget karena inget nggak bisa pulang ke kamu dan kita harus jauh. Aku bisa aja maksain ketemu, tapi aku harus jaga diri supaya orang-orang terdekat nggak jadi korban lagi. Aku juga harus sabar sampai waktunya, baru kita bisa ketemu lagi setelah semuanya selesai. Kamu bisa ngerti, ‘kan?”

Tidak ada sahutan di sana, baik dari Natta yang memberikan privasi, apalagi Eila yang masih bermimpi. Nihilnya sahutan tidak membuat Jibran berhenti bersuara sampai semuanya dituntaskan.

“Eila, katanya ada penyelidikan soal kasus kamu. Semoga keungkap siapa orang yang udah nusuk kamu, terus kamu bisa ikut andil dalam penyelidikan setelah sehat. Di sini, aku juga lagi nunggu hari yang tepat buat ngebongkar semuanya. Aku harap rencana kita bisa berjalan dengan lancar, setelah itu kita ketemu, terus aku peluk dan cium kamu.”

Jibran tersenyum kecut bersamaan dengan tirta yang mengucur. Di kala dadanya berusaha menahan sesak, Jibran meralat, “Kamu harus bangun dulu baru bisa aku peluk sama cium. Jadi, tolong bangun, ya. Kita harus rayain semuanya bareng-bareng.”

Sejak dulu, Jibran sudah menaruh hati pada Eila yang mengisi masa-masa remajanya menjadi indah. Bedanya saat mereka harus dipaksa jauh, Jibran ikhlas karena tidak mengenal baik siapa cintanya. Lantas kini, ketika Semesta menyatukan mereka, ada saja lika-liku yang harus Jibran dan Eila hadapi demi terus bersama.

Lebih parahnya saat mereka harus dipisahkan, yang tidak pernah bisa Jibran sanggupi meski hanya sesaat. Sebab Jibran tahu separuh jiwanya telah dilabuhkan untuk Eila seorang. Wanita yang membawa warna dalam hidup datarnya, mengajarkan bahwa mencintai itu rupanya tidak semudah melisankan kata, tapi harus mau bertaruh demi bisa memperjuankan kebersamaan.

Dengan lirih Jibran berkata sebagai final, “Eila, aku sayang kamu. Jangan pergi, ya. Bertahan sebentar lagi, terus kita sama-sama.”

Sambungan telepon ditutup tanpa ada kata pamit karena Jibran tidak mampu menguasai tangis yang menyiksa batin. Tanpa Jibran ketahui, di seberang sana yang mendengarkan pun menggigit bibirnya hingga berdarah demi menahan rintihan kala menerima tiap kalimat dari sang pria. Begitu sambungan ditutup begitu saja, tangisnya makin pecah, disusul oleh uluran tangan yang memeluknya.

Dengan ponsel yang susah payah digenggam, satu kalimat dari bibirnya berkumandang bersama air mata, “Aku juga … sayang kamu, Jibran ….”