Seperti Semula

“Mi,” panggil Martin hati-hati sekali saat Wulan sedang menikmati waktu sendiri bersama tontonan terbaik di televisi, tepatnya tidak lama selepas Markus dibawa ke kamar oleh Martha untuk ditidurkan di tempatnya.

Wulan sontak mendongak, menemukan Martin yang didampingi Martha, menimbulkan tanda tanya di dahi beliau karena berpikir menantu dan putranya akan tidur mengingat ini telah memasuki pukul sembilan.

“Kenapa, Nak?” tanya Wulan seraya berdiri, tetapi dicegah oleh Martin agar tetap duduk manis seperti sedia kala.

Sebelum Wulan bertanya lagi, Martin dan Martha berlutut di hadapan Wulan, menyentuh kedua lutut sang ibu dengan tangan masing-masing, lalu sungkem pada beliau yang heran ketika diberi hormat oleh mereka.

“Mi,” Martin berkata lirih, “maafin aku, ya, Mi. Beberapa bulan ini selalu negatif ke Mami, ngomong nggak baik ke Mami, nyakitin hati Mami berkali-kali. Maaf, ya, Mi.”

“Aku juga minta maaf, Mi,” sambung Martha yang tidak mampu lagi membendung segenap air mata hingga mengalir deras membasahi pipi. “Aku udah lawan dan ngomong nggak enak ke Mami. Maafin aku, Mi.”

Kata maaf dari Martin dan Martha menghancurkan benteng pemisah yang mereka bentuk demi melindungi diri dari Wulan. Saat benteng itu hancur, sumber ketakutan mereka ikut menghancurkan ego dan gengsi tinggi yang lebih banyak menyakiti hati sejoli di bawahnya. Wulan belai rambut Martin dan Martha yang terisak, sama seperti beliau karena merasa tak layak untuk menerima maaf mengingat kesalahannya jauh lebih banyak.

Wulan menunduk, mencium puncak kepala Martin dan Martha bergantian tanpa peduli air mata beliau sedikit membasahi rambut sejoli itu.

“Mami yang harus minta maaf sama kalian, Nak. Salahnya Mami lebih banyak, bahkan kalian nggak ada salah apa-apa sampai harus minta maaf. Wajar kalian begitu ke Mami yang keterlaluan. Jadi, maafin Mami, ya. Mami nggak akan begitu lagi sama kalian. Mami bakal lebih hargain kalian, khususnya Martha sebagai sesama perempuan. Udah, ya. Jangan nangis gini ….”

Diminta untuk tidak menangis malah menambah tirta yang tumpah ruah secara bebas tiada henti, khususnya dari Martha yang selalu memimpikan untuk damai saat masa-masa menyakitkan itu masih ada. Sekarang setelah kedamaian yang dicari menemukan titik temu, tangis menjadi wakil dari bebasnya hati yang pernah tersakiti. Sedikit demi sedikit menyembuhkan luka yang pernah tertanam, memekarkan kembali kasih sayang antara ketiga pihak yang sempat saling bertikai.

Wulan raih Martin dan Martha agar duduk mengimpit beliau, memeluk mereka lagi yang menerima banyaknya duka. Wulan biarkan bajunya basah, asalkan ketika kering bisa mengubahnya jadi sukacita. Martin mengurai pelukannya, mencium kedua pipi dan tangan Wulan yang telah berjasa sepanjang hidupnya.

“Maafin aku, Mi,” isak Martin seraya kembali memeluk Wulan erat, kali ini tidak mau lepas untuk sesaat demi menebus kesalahan yang dia lakukan.

“Baik-baik ya kalian di tempat baru nanti. Sering-sering hubungin Mami, oke? Jangan bosen juga kalau Mami tiba-tiba sering ke sana.”

Martin dan Martha kompak menggeleng, tentu tidak akan merasa bosan karena kedatangan Wulan dan keluarga lain akan dinantikan demi menjalin tali kekeluargaan agar lebih erat.

“Biar aku sama Martha juga yang datang ke rumah, Mi. Biar Mami nggak capek,” ucap Martin yang sudah lebih relaks.

Martha hanya bagian mengangguk, masih belum mampu mengembalikan suaranya akibat ditawan air mata. Tidak apa-apa, asalkan setelahnya ikatan yang hilang itu kembali merekat. Tentu ada banyak masa Wulan berbuat salah hingga Martin lelah sampai bersumpah tidak akan memaafkan apalagi meminta maaf, membuat Martha mengelus dada saat ucapan-ucapan mertuanya tidak henti membunuh.

Kini Wulan buktikan beliau tidak akan mengulang kesalahan lama, rela melakukan apa saja demi keluarganya jika membutuhkan bala bantuan. Mungkin ada yang akan keberatan menerima Wulan kembali, tetapi itu tidak akan mengubah status antara satu sama lain. Damai adalah satu-satunya cara hidup tentram dan dijauhkan dari dendam.

Dengan begitu Martin dan Martha bisa memulai hidup baru tanpa beban, sebab semuanya telah kembali seperti semula.