Sesama Perempuan

Tidak semua perempuan haus akan pujian, tetapi tidak berhak pula untuk dihina.

Martha

“Apa Mami juga bakal ke sini?”

Suara lirih itu mengudarakan seulas tanya ketika Martin baru saja selesai mandi, sedang menggunakan pelembap wajah sembari berdiri di hadapan cermin yang menempel di lemari. Martin berikan atensi pada Martha yang duduk bermuram durja di tepi kasur. Masih dengan tubuh yang hanya dililit handuk, Martin mendekat dan berlutut di hadapan Martha yang sangat terpukul—antara bersalah sudah menolak Marni dan masih ketakutan dengan hadirnya sang bunda yang menggerogoti batin.

Tadi selepas pertemuan yang penuh duka, Marni menyarankan Martin untuk membawa Martha ke kamarnya sebab beliau sadar kehadirannya tidak menyenangkan untuk putrinya.

Saat makan malam pun, Martha keluar sebagai formalitas belaka untuk mengawasi Markus makan, lalu tidak lama kembali ke kamar tanpa makan sesuap nasi dan lauk yang tersaji di meja makan. Nafsu makannya sirna, tak sanggup berdekatan terlalu lama dengan wanita yang telah melahirkannya.

Dada Martha bergemuruh tidak menentu, sebab itu dia menghindar untuk sementara waktu akibat tidak siap menghadapi sang ibu. Omong-omong, sekarang Markus sedang bersama Marni, sengaja diasuh oleh sang nenek agar malam Martha bisa lebih relaks.

“Mungkin, tapi Mami nggak akan dateng bareng sama Bunda.”

Tidak lega sedikit pun, justru kelesah membayangkan akan seperti apa kedatangan Wulan yang lebih menakutkan dibanding Marni. Martin angkat tangannya, menangkup pipi Martha dan membelainya lembut. Berusaha mengikis kekhawatiran yang mendominasi tubuh.

“Tenang, Sayang. Aku yakin Mami nggak akan ngomong aneh-aneh lagi soal kamu. Soalnya ada aku, jadi kalaupun Mami masih nyebelin, pasti nggak berani macem-macem.”

Martha tatap suaminya yang berusaha menghibur, lalu tersenyum samar akibat patah semangat yang tidak kunjung menyatu. “Berarti kalau nggak ada kamu bakal macem-macem, ya. Bunda juga gitu.”

Martin mengatupkan bibirnya rapat, sadar dia salah bicara padahal berniat untuk memberi semangat. Disadarkan pula sebesar apa pun usahanya menyemangati Martha sebelum akhirnya berada di titik paling rendah, Martin tetap tidak berhasil menyelamatkan sang istri dan malah makin menguburnya hingga terlambat untuk digali keberadaannya.

Martin selalu berucap manis, menyemangati dengan berbagai kata yang baik—kontradiktif dengan yang orang lain bagi, tetapi itu saja tidak cukup untuk membuat Martha yakin bahwa dirinya yang terbaik, sebab Martin tahu hadirnya lah yang paling berarti.

“Mereka nggak akan ngomong yang bikin kamu sedih lagi, Martha. Aku jamin. Bukan karena ada aku aja, tapi mereka sadar udah nyakitin kamu. Bunda ke sini juga bukan buat aneh-aneh, tapi mau jagain kamu juga biar lebih enakan. Kalau ada Bunda, siapa tahu kamu bisa lebih seneng karena ada temen ngobrol sesama perempuan.”

Sesama perempuan, ya ….

Sesama perempuan yang paling menyakitkan, sesama perempuan yang paling menjatuhkan, sesama perempuan yang saling meruntuhkan, sesama perempuan yang jauh dari kata mengerti keadaan. Women support women adalah kata yang tidak berlaku lagi di kamus Martha, sebab buktinya dua wanita yang sepatutnya paling mengerti malah merasa superior tanpa membagikan dukungan setimpal. Maka dari itu sesama perempuan tidak selalu sepaham, malah seringnya jadi yang paling juara dalam merendahkan martabat.

Martha makin lesu, merasa dibatasi gerak-geriknya karena Marni ada di rumah. Wanita yang pernah jadi segalanya, kini jadi takut untuk dianggap ada oleh Martha.

“Aku udah nggak marah sama mereka,” gumam Martha, “cuma … aku nggak ngerasa aman di deket Bunda sama Mami. Makanya tadi takut banget karena udah kepikiran jelek-jelek pas lihat Bunda dateng. Aku tahu tadi itu reaksi yang salah, tapi berusaha buat lihat Bunda aja rasanya nggak sanggup banget, Martin. Apalagi kalau nanti Mami juga datang, pasti lebih susah buat dipaksain.”

“Berarti jangan maksain, Sayang.” Martin genggam erat kedua tangan Martha yang kembali bergetar, seakan seluruh saraf di sana tidak bekerja semestinya. “Kamu boleh jujur nggak bisa ketemu mereka dulu, pasti mereka ngerti, kok. Buktinya tadi Bunda juga yang nyuruh kamu ke kamar dan nggak maksa buat ngobrol, soalnya Bunda tahu kamu butuh waktu. Mami juga kalau ke sini bakal ngerti banget. Tapi di sini pun bukan berarti ngurung diri, siapin nyali juga supaya bisa sedikit nyapa Bunda sama Mami biar nggak bergantung sama cara menghindar.”

Bergantung sama cara menghindar. Empat kata itu membuka mata Martha, sadar bahwa selama ini cara dia menyelesaikan masalah adalah dengan menghindari sumber lukanya. Menjauhkan diri dari yang banyak merugikan. Untuk orang-orang di media sosial, itu adalah tindakan yang benar karena menerima banyak ujaran kebencian tidaklah berhak untuk dibiarkan.

Sedangkan menghindari sumber luka nyata tidak jadi penyelesaian yang tepat, sebab buktinya Martha jadi ingin menghindar terus-menerus tanpa tahu pasti kapan siap menghadapi.

Martha sudah pernah bicara di depan banyak orang yang tertawa di atas deritanya, meski memberikan efek samping yang buruk, setidaknya dia telah mampu bangkit untuk mengembalikan martabat yang dijunjung tinggi. Martha menyunggingkan senyum, kali ini lebih tulus.

“Makasih, Martin. Nanti aku coba ngobrol sama Bunda.”

Ketulusan itu menghapus segala kesangsian yang Martin terima jikalau dia salah bicara untuk sekian kalinya. Dari situ pun Martin paham bahwa Martha butuh didengarkan agar mau mendengarkan, bukan menerima omongan pahit yang jadi komplikasi.

“Lihat kamu senyum gini ‘kan jadi makin cantik,” puji Martin, tidak dibuat-buat, sepenuhnya tulus dia sampaikan ketika lengkung sempurna di bibir Martha terbentuk indah meski ada beban yang masih tampak.

“Sekarang kamu pake baju dulu, deh. Dari tadi aku gagal fokus,” titah Martha seraya menarik Martin untuk berdiri. Martin terkekeh geli.

“Tanggung. Sekalian aja nggak usah, deh. Mandi dua kali bukan masalah buat aku.”

Martha mendelik saat paham maksud Martin, lantas mendorong kecil perut suaminya agar menjauh dan kembali ke lemari tempat pakaiannya berada. Martin kembali tertawa, kali ini lebih lantang. Selain karena tindakan Martha yang menggemaskan, dia pun ingin menghibur sang puan berusaha kembali menemukan relaksasi.

Martha, kali ini aku nggak akan ke mana-mana. Jadi, jangan ngerasa sendirian, ya.