Setitik Cahaya
“Enggak apa-apa Markus dititipin Julian dulu?” tanya Martha ketika dia dan Martin baru keluar dari rumah, mengambil satu langkah menjauhi kediaman dan menitipkan putra tunggal mereka pada orang yang minim pengalaman dalam mengurus bayi.
“Dia yang mau sendiri, kok,” jawab Martin santai seraya menggandeng tangan Martha, tidak akan melepasnya barang sesenti pun. “Sekarang kita jalan-jalan sore dulu.”
Ragu, tetapi Martha tetap memercayakan Julian karena yakin pria itu cukup piawai menjaga Markus. Tadi Martin sudah memberi tahu apa saja yang perlu dilakukan Julian selama mengurus putra mereka, camilan, serta kapan diberi susu jika sejoli itu belum kembali ke rumah dalam satu jam. Pasangan itu boleh hanya jalan-jalan di sekitar komplek yang cukup ramai karena ini weekend dan banyak yang melakukan olahraga ringan, tetapi pasti butuh waktu cukup lama bagi mereka untuk menghabiskan waktu berdua tanpa satu pun pengganggu.
Ada sekitar lima meter jauh dari rumah, Martin mempercepat langkah mereka hingga akhirnya berlari sedikit cepat sembari terus bergandeng tangan tanpa mau dipisahkan. Alih-alih lari seperti orang yang berolahraga, Martin dan Martha tampak seperti pasangan yang sedang melakukan kawin lari untuk menghindari keberatan orang-orang sekitar dan mau menghambat hubungan mereka.
Lama tidak berolahraga dan beban tubuhnya bertambah, Martha lebih cepat lelah dibanding saat masa gadisnya, tetapi tidak meminta Martin untuk memberi jeda istirahat sebelum tiba ke tempat tujuan—yang sebenarnya tidak tahu ke mana. Martha biarkan Martin membawanya sejauh mungkin, sebab dia yakin lari ini bukan untuk menyiksanya, melainkan untuk membantu wanita itu bergerak tanpa mengkhawatirkan Markus yang ada di tangan orang lain sejenak.
“Kamu masih kuat, ‘kan?” Martin bertanya dengan napas terengah, dijawab oleh anggukan kecil karena Martha tidak sanggup bersuara akibat laju lari mereka kian cepat.
Martin tersenyum samar, mengeratkan genggaman tangannya pada Martha agar semangatnya berlari tidak luntur. Martha tidak menghitung berapa lama dan berapa jauh mereka berlari sampai akhirnya tiba di lapangan basket komplek di blok lain.
Lapangan basket itu sepi tidak berpenghuni, hanya ada ring di dua sisinya, dibatasi oleh dinding kawat yang tinggi, serta terdapat bangku yang saling berseberangan berkapasitas tiga puluh orang tempat penonton bila ada pertandingan antar blok komplek—yang tentu jarang Martha tonton karena meski telah lama tinggal di kediaman Martin, dia tidak pernah menyisir seluruh komplek selain ke minimarket yang masih di blok sama.
Martin dan Martha berdiri bersama di tengah lapangan, sama-sama terengah dan berkeringat deras setelah berlari cukup jauh dengan tempo yang amat cepat. Martin bisa mengendalikan napasnya tanpa menemukan kesulitan. Lain dengan Martha yang sampai menunduk dan memegang kedua lututnya akibat lemas kehilangan daya, butuh waktu lama untuk menormalkan embusan napasnya lagi.
Martin mengeluarkan sebungkus kecil tisu dan sebotol air minum yang dia bawa dari rumah, diam-diam mempersiapkan dua hal itu untuk diberikan pada Martha yang lelah bukan main setelah olahraga dadakan. Martha berdiri tegak dan menerima botol itu, membuka tutupnya lalu menghabiskan setengah air di dalam botol dalam sekali teguk.
Martin seka peluh yang membasahi dahi dan pelipis Martha hingga bersih, kemudian suguhkan kecupan ringan di kedua pipi sebagai bentuk penghargaan karena istrinya sudah mau dibawa lari tanpa rencana lebih dulu. Martha pun tidak marah atau layangkan protes setelah napasnya lebih teratur, malah tersenyum cerah seraya membantu Martin menyeka peluhnya yang bercucuran tidak kalah banyak.
Senyum Martha begitu lebar, baru kali ini merasa bebas dari segala beban. Seakan dari lari hingga berpeluh deras itu malah membuat Martha jadi lebih segar dan menemukan semangat yang sempat hilang.
“Gimana?” Martin layangkan tanya setelah keduanya lebih relaks.
“Aku ngerasa lebih seger. Makasih.”
Bisa Martin lihat wajah Martha lebih cerah, seakan telah menemukan kembali setitik cahaya untuk menerangi hidupnya yang sempat suram.
“Aku sempet kaget pas kamu bawa lari, tapi malah nikmatin. Kayak kabur sebentar dari masalah buat nyari hal lain sebagai pengalihan.”
Martin amat lega mendengar Martha yang tidak keberatan dibawa lari cukup jauh, padahal sudah siap bila istrinya mengeluh dan menolak untuk dibawa lagi karena menghindari lelahnya berlari. Martin tangkup kedua pipi Martha, merapikan anak rambut sang istri yang berantakan akibat berlari dan tertiup angin sore, menyejukkan tubuh yang masih kepanasan karena mereka sama-sama mengenakan jaket cukup tebal.
Martin cium dahi Martha, turun ke sepasang kelopak mata yang terpejam, kedua pipi, lalu berakhir di bibir tanpa ragu untuk dilumat habis karena yakin tidak ada saksi yang mengintip. Martha lingkarkan lengannya di pinggang Martin, menyambut ciuman itu sebagai bentuk relaksasi setelah menghabiskan cukup banyak energi.
Semilir angin menambah kemesraan sejoli, meniupkan rambut tebal mereka yang berayun mengikuti lajunya tawang. Bibir Martin turun ke leher Martha, hanya sebentar sebelum akhirnya menyatukan dahi mereka tanpa ingin mengakhiri kenikmatan asmara yang hanya berlabuh pada satu orang.
Pasangan itu saling melempar senyum, memberi semangat satu sama lain atas masalah yang sedang dilalui bersama. Membagikan kekuatan yang dibutuhkan untuk terhindari dari kata menyerah.
“Kita pindah rumah, ya, Martha,” ucap Martin sekonyong-konyong, mengejutkan Martha yang masih berada di ambang kenikmatan ciuman mereka. “Enggak jauh-jauh, yang penting kita tinggal di lingkungan baru tanpa ikut campur orang lain. Enggak sekarang, kok. Kita baru pindah setelah perkaranya selesai. Di sana kita mulai lagi bertiga aja, kita sewa babysitter juga supaya kamu lebih santai. Biar kamu gampang lupa sama masalah di sini.”
Pindah, ya ….
Sebesar apa pun masalah yang menimpa selama beberapa bulan terakhir, Martha tidak pernah membayangkan untuk mencari tempat tinggal baru yang lebih nyaman demi menghindari orang-orang toxic. Namun, berkat tawaran yang tidak bisa dibantah itu, pindah ke tempat baru bagaikan godaan besar yang tidak mampu Martha tolak.
Kendati demikian, Martha tetap mempertimbangkan banyak hal karena pindah ke tempat baru—mau itu jauh atau dekat—tetap butuh persiapan panjang demi memulai semuanya dari nol.
“Aku belum bisa balik lagi kayak dulu, jadi mungkin nggak langsung kerja,” kata Martha, paling memikirkan soal dana karena itu adalah bagian krusial dalam pernikahan.
“Kamu nggak usah mikirin itu, biar aku aja yang kerja.”
“Emang mau kerja apa? Masih tetep jadi influencer?”
“Itu bisa dipikirin nanti,” jawab Martin enteng. “Yang penting kamu mau dulu buat pindah, ya. Walaupun masalahnya udah selesai dan kamu damai sama orang tua, tapi kamu harus bebas dari itu semua tanpa kepikiran lagi yang dulu-dulu.”
Tentu, sebesar apa pun keinginan, Martha harus membuat pertimbangan dan mempersiapkan segalanya dari sekarang meski masih rancangan di kepala. Pindah rumah, apalagi pindah ke kota baru, adalah langkah besar yang tidak bisa main-main dan tindakan impulsif semata. Jangan sampai setelah pindah, sejoli itu malah tidak menemukan kenyamanan sedikit pun seperti yang selalu dicari.
Sebab itu Martha belum bisa menjawab ‘ya’ meski hatinya ingin, tidak mau gegabah sebelum persiapan matang dilakukan agar keputusan mereka tidak disesali akibat merasa salah langkah. Sebagai gantinya, Martha peluk Martin erat, tanda bahwa dia menerima tawaran tersebut dan akan mengikuti ke mana pun suaminya pergi selama itu jadi yang terbaik.
Paham, Martin balas pelukan Martha, sama eratnya. Yakin keputusan Martin untuk membawa keluarganya pindah sangat tepat, karena itu dia tidak mau menarik kata-katanya.
“Aku bakal ikut sejauh apa pun kamu pergi, Martin.”
“Kalaupun kamu nggak mau, aku juga bakal terima di mana aja asalkan kamu seneng dan kita sama-sama, Martha.”