Singa yang Bangun

Wajah pucat pasi dan pikiran yang kosong menjadi kondisi Jibran saat menelusuri rumah sakit menuju Eila berada. Saat dihubungi oleh Trian tadi, Jibran baru selesai mandi dan mengganti pakaian setelah gym, lalu meluncur ke rumah sakit dengan pikiran buruk yang berkeliaran tiada henti saat tahu Eila dalam bahaya. Namun kini, saat dia sudah berada di rumah sakit, kekosongan itu justru terjadi hingga langkahnya sedikit tertatih karena makin berat kala mendekati lokasi.

Dadanya bergemuruh saat Jibran akhirnya tiba di tempat, melihat Trian dan Natta mondar-mandir tidak tenang menunggu Eila yang masih di ruang operasi setelah menjadi korban penusukan. Rasanya Jibran tidak mampu berjalan lagi, sebab realitasnya terlalu sulit untuk dia pijaki saat yang ada di hati tengah berjuang melawan hidup dan mati. Ingin menangis, tapi gagal kala matanya menemukan sosok lain yang tidak dia duga ikut datang. Duduk di deretan kursi yang hanya diisi olehnya seraya menunduk dengan ekspresi sendu, yang Jibran yakin itu hanya dibuat-buat.

Sedihnya berubah murka saat yakin tersangka utama yang membuat Eila harus tergolek tidak sadarkan diri ada di sana. Berpura-pura menjadi yang tersedih, padahal dalam hati berselebrasi. Jibran kembali melangkah, kian cepat saat jarak makin dekat. Trian dan Natta ingin menyapa melihat kedatangannya, tapi tertahan saat sadar bukan mereka tujuannya.

“Ji—”

Sapaan Kalani tertahan di udara saat Jibran menariknya berdiri, lalu menyudutkannya ke dinding dengan tenaganya yang kuat hingga wanita itu merasa nyeri di bagian belakang kepala hingga punggung. Jibran menatap nyalang dengan netranya yang memerah, napasnya tidak beraturan dan amarahnya meningkat hingga ke ubun-ubun. Trian dan Natta kontan menahan Jibran di sisi kiri serta kanannya saat pria itu mencengkeram leher Kalani. Berniat mencekik dan jelas itu berbahaya.

“Jibran, jangan,” cegah Trian agar tidak ada keributan di rumah sakit. Jibran yang sudah didatangi amarah tidak mau menggubrisnya.

Tenaganya jauh lebih kuat hingga Trian dan Natta kesulitan, terlebih Kalani yang tidak punya daya untuk melawan selain menerima sakitnya. “Kamu yang udah bikin Eila sakit! Kamu!” tuduh Jibran, api amarahnya kian membara hingga wajahnya merah padam.

Yang dituduh berkaca-kaca, merasa tidak terima dan seakan dikorbankan. “Justru aku yang nolong dia, Jibran …. Jangan gini.”

“Kamu pasti nyuruh orang buat nyelakain Eila! Kamu licik! Enggak mungkin kamu nolong dia tanpa alasan!”

“Jibran, Kalani yang bawa Eila ke rumah sakit.” Intonasi suara Trian ikut meninggi sembari berusaha menarik Jibran agar tidak berbuat hal-hal ekstrem.

Jibran tertawa sinis tanpa melepaskan pandangannya pada tersangka utama. “Kamu percaya dia? Gara-gara dia adik kamu jadi celaka, Trian!”

“Tapi Eila nggak mungkin bisa ditangani cepat kalau bukan karena dia!”

Sebaik apa pun cara Kalani menutupi kebusukannya, Jibran tetap bisa mengendusnya. Jibran sudah digelapkan oleh emosi yang meledak tanpa bisa diredam. Dia tidak menaruh simpati sedikit pun pada Kalani yang sudah menangis akibat takut, sebab tahu wanita itu hanya menipu.

Saat akan mencekik Kalani, Jibran didorong paksa hingga menjauh oleh seseorang yang tenaganya tidak kalah besar. Aiden datang untuk melindungi adiknya bersama Samuti Rakha yang kini memeluk Kalani erat dan langsung terisak. Tidak mau mengalah, Jibran menghadapi Aiden dengan nyali yang tidak kalah besar, enggan mengalah demi keadilan untuk Eila.

“Kamu apain adik aku?” geram Aiden melihat adiknya yang hampir jadi korban tangan kasar Jibran.

“Dia harus dikasih pelajaran. Dia yang bikin Eila luka!”

“Jangan nuduh, Jibran!” seru Rakha yang berusaha menenangkan Kalani. “Anak saya yang bawa dia ke sini.”

Jibran menggeleng. Aksi heroic Kalani tetap tidak membantu. “Kalani yang jadi tersangka dan pasti kalian berdua ikut terlibat!”

“Jangan asal nuduh!” Aiden menarik kerah kemeja yang Jibran kenakan. Ingin melukai wajah mulus itu dengan tinjunya, tapi ditahan saat Kalani menyerukan nama kakaknya dan melarang melukai Jibran.

“Jangan gitu, Kak,” isak Kalani. “Jangan macem-macem sama calon suami aku.”

Jibran memaksakan tawa mendengar lantunan kata yang dipenuhi rasa percaya diri. “Kamu masih mikirin soal pernikahan? Gila aja! Aku nggak mau nikah sama pembu—”

Aiden meninju Jibran tepat di perutnya hingga terhuyung mundur beberapa langkah. Bisa saja Jibran membalas, tapi segera ditahan oleh Trian yang memberi kode agar dia bisa menahan segala amarahnya. Jibran yang tertatih terpaksa menurut, akal sehatnya kembali untuk membuat rencana lain dan membongkar semuanya demi membayar nyawa Eila yang sedang bertarung.

Kalani ingin mendekat, tapi ditahan Rakha. Sedangkan Jibran memaksakan diri berdiri tegak dengan dibantu Trian, lalu menatap satu per satu musuhnya. Saat itulah gendang perang ditabuh, membuka gerbang singa yang dipaksa bangun setelah cukup lama tidur.

Jibran Dava Adelard bersumpah tidak akan melepaskan orang-orang licik di hadapannya. Mereka akan dibuat bertekuk lutut padanya dan Eila yang sudah menjadi korban.