Sisi Martin
Ruangan panitia berisi beberapa single sofa, dispenser, meja dengan kudapan, dan kamar mandi dalam itu tengah dihuni oleh Martin, Julian, dan dua kawan lain yang sedang menghindari kerumunan. Sebenarnya Martin yang awalnya istirahat di ruang panitia sembari menunggu pesan atau telepon Martha, karena bila ada di ruang utama pasti suara ponselnya akan kalah oleh nyaringnya musik.
Tak lama Julian menyusul, katanya ingin mencari udara segar, padahal dia sendiri yang mengundang ratusan orang dan DJ ternama untuk menghibur seluruh tamu, tetapi dia juga yang malah pusing. Julian datang bersama kawan lain yang juga jadi panitia. Alasan mereka bersedia ikut Julian itu sama; mencari udara segar.
Bercakap-cakap ringan, tiba-tiba nama Martha diungkit karena tidak kunjung hadir. Awalnya masih mampu Martin jawab, sampai dia memilih bungkam ketika dua temannya mulai mengungkit fisik Martha.
“Berarti istrinya yang nggak berhasil, suami tinggal nyari yang lain lagi.”
Ucapan Andreas, pemilik suara melengking yang juga berprofesi sebagai YouTuber dengan konten review mainan, mengundang tawa Gerald—seorang influencer dan kawan lama Martin di kampus—serta Julian seakan itu adalah lawakan terbaik yang pernah mereka dengar.
Di luar kebiasaan, Martin tiba-tiba ikut tertawa dengan pandangan kosong mengarah ke lantai, tidak mampu memandang ketiga temannya yang masih menertawakan Andreas—yang artinya juga menertawakan Martha. Julian yang sangat tahu kebiasaan Martin bila ada cacian terhadap sang istri justru heran, sebab tidak biasanya pria itu akan menanggapi gurauan temannya jika sudah menyangkut fisik Martha.
“Lo ketawa,” ucap Julian, masih terkekeh pelan. “Lo setuju, Tin?”
Martin tertawa untuk kedua kalinya, kali ini bukan karena lucu, tetapi sebagai teguran untuk Andreas dan Gerald bahwa mereka sudah mencari gara-gara pada orang yang salah. Martin berhenti tertawa, mengangkat pandang pada dua temannya yang sudah mengolok-olok Martha seakan itu bukan masalah besar.
Julian yang khatam otomatis bungkam, dapat ditebak jika Martin tidak mungkin menertawakan istri kesayangannya yang dihina sedemikian rupa. Jika tawanya sama dengan yang lain, artinya secara tidak langsung Martin pun ikut menghina sang istri yang begitu dilindungi. Andreas dan Gerald masih tertawa, disuguhkan tatapan nyalang Martin yang membuat bulu roma dua laki-laki lajang itu berdiri.
Tidak biasanya Martin menyeramkan—bahkan pria itu tidak pernah sekalipun melayangkan pandang yang menakuti siapa pun kala menerimanya. Julian memilih mundur selangkah, tidak mau berurusan ketika Martin menunjukkan taringnya.
“Ngapain harus malu sama keadaan istri gue?” Martin mulai merespons ledekan dua temannya. “Harusnya kalian yang malu udah rendahin Martha di depan gue.”
“Tin—”
“Emang kenapa sama fisik Martha yang berubah?” Martin menyambar kalimat Andreas yang berusaha memadamkan kobaran api di mata temannya. “Dia berubah juga nggak bikin lo berdua rugi. Enak banget lagi bilang suami nggak suka lihat fisik istrinya setelah melahirkan. Teori dari mana itu? Kalaupun ada yang nggak suka, gue nggak ngerasa demikian. Bagi gue dia tetep sempurna. Gue juga nggak akan cari perempuan lain, Martha udah jadi yang terbaik. Kalau lo gitu,” Martin menunjuk tepat di wajah Andreas, “emang lo aja yang jiwanya tukang selingkuh!”
“Tin, udah,” tegur Gerald ketika Martin meninggikan intonasi bicaranya.
“Lo juga!” Martin layangkan makian serupa pada Gerald, sama berlebihannya dan tidak bisa dimaafkan. “Enggak ada yang berhak hina fisik istri gue. Dia berubah karena udah bertaruh nyawa. Lo jangan ngerasa paling sempurna hanya karena nggak akan ada posisi Martha!”
Julian segera menahan pundak Martin ketika pria itu hampir tidak cukup melampiaskan emosinya melalui kata saja. Bila tidak ditahan, mungkin Martin akan menghajar Andreas dan Gerald sebagai hukuman karena telah menghina Martha. Andreas dan Gerald jelas syok dengan tingkah Martin yang di luar dugaan, napasnya yang memburu makin membuat pria beranak satu itu kian mengerikan.
Martin yang tenang dan selalu menyebar senyum, kali ini menunjukkan sosoknya yang lain demi membela sang istri akibat tidak tahan bila Martha terus menerima gunjingan atas perubahan fisik.
“Lo berdua pergi, deh. Kalau nggak bisa ngomong hal baik, mending lo berdua diem, jangan sebut nama Martha lagi baik itu di depan gue atau yang lain!”
Julian memberi kode agar Andreas dan Gerald mengikuti perintah Martin, diikuti dengan patuh karena mereka pun tidak mau kena imbasnya makin lama. Setelah dua laki-laki itu keluar, Julian menarik tangannya yang menahan Martin, lalu tak lama Martin lebih relaks setelah sumber amarahnya hilang dari pandangan.
“Lo di sini dulu aja. Gue keluar biar lo tenang,” ucap Julian seraya menepuk bahu Martin beberapa kali. “Lo juga salah,” sahut Martin tanpa menatap Julian yang berniat keluar. “Lo salahnya yang paling besar.”
Julian tahu itu, jadi dia tidak membantah tuduhan Martin dan mengangguk pertanda setuju. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Julian keluar dari ruangan panitia, membiarkan Martin sendirian yang masih berdiri di posisi semula. Martin embuskan napas berat, mengusap wajahnya kasar setelah melampiaskan amarahnya pada Andreas dan Gerald.
Sesungguhnya dia belum puas, tetapi Martin tidak mau membuat keributan besar di pesta Julian, apalagi jika dia harus menerima tuntutan akibat kekerasan jika itu terjadi sungguhan.
“Martha,” pria itu berkata lirih, “semoga kamu nggak akan pernah denger omongan kayak gitu lagi.”