Spill The Tea

Tanpa pemberitahuan apa-apa, Trian datang ke rumah Eila membawa satu kantung buah apel yang terisi penuh di sore hari. Kedatangan Trian disambut seadanya, lagi pula kakaknya cukup mandiri untuk tidak dilayani. Jadi, Eila tidak menjamu banyak-banyak, terlebih di rumah sedang tidak ada makanan. Tidak ada croissant yang bisa ia sajikan, sebab Eila sedang libur membuat croffle dan baru dimulai lagi besok.
Awalnya tidak ada yang aneh dari kedatangan Trian, hanya ingin memastikan kondisi adiknya setelah cukup lama tidak bersua, terlebih setelah mendengar kabar soal Eila dari Natta yang suka melebih-lebihkan fakta. Trian tidak membicarakan Jibran, hanya bertanya seputar kabar dan apa saja aktivitas Eila dan Natta selama kakaknya tidak banyak mengawasi. Sampai akhirnya ketenangan di ruang keluarga berubah tegang saat Trian mulai membahas lagi soal alasan Eila putus dengan Jibran.
Trian berkata begini, “Kenapa kamu bohong bilang nggak cinta dan selama ini cuma akting aja ke Jibran demi bisa putus, Eila?”
Begitu pertanyaan dilontarkan dengan rasa ingin tahu yang begitu tinggi, Eila tidak mampu menyembunyikan personanya lagi di depan sang kakak. Durjanya berubah muram. Pun menggelap sebab ada kemarahan terselip di sana. Tidak lupa ada luapan kata barbar yang terhimpun di tenggorokan dan berusaha naik, tapi digagalkan oleh himpunan lain yang sudah lebih dulu tiba di ujung lidah untuk membeberkan fakta sesungguhnya pada sang kakak.
Eila tahu akan ada masa di mana dia jujur soal penyebab hari itu. Maka inilah harinya tanpa perlu takut Jibran tahu yang sebenarnya. Tahu pun tidak akan memengaruhi apa-apa, sebab menurut kabar beredar, Jibran katanya terlibat cinta lokasi dengan lawan mainnya. Jadi bisa saja lawan mainnya yang bernama Kalani itu akan diperjuangkan Jibran demi membatalkan perjodohan, bukan Eila lagi.
Meski hari itu Jibran meminta Eila untuk jadi pemeran utama dalam hidupnya, Eila merasa tidak punya banyak daya untuk ikut berjuang, karena baginya dia sudah tidak memiliki hak apa-apa dalam hidup sang aktor.
“Sebelum putus itu, aku ketemu mamanya Jibran di sini.”
Trian mengerjap beberapa kali dan berseru, “Apa? Kok bisa?”
“Bu Mia tahu aku sama Jibran pacaran, terus minta ketemu dan milih di sini.” Eila menjeda, sedangkan Trian harus menahan diri untuk tidak memaksa adiknya cepat-cepat cerita. Sekitar satu menit jeda, barulah Eila melanjutkan seraya menatap Trian sendu, “Intinya Bu Mia ngasih tahu aku kalau alasan beliau bersikeras buat jodohin Jibran karena anaknya terancam. Katanya bakal ada gosip nggak baik soal Jibran, terus lebih parahnya nama aku bakal dibawa-bawa sebagai editor di CelebStat yang nyebar berita itu. Kalau beneran jadi, nama Jibran bakal kecoreng banget dan publik nggak mungkin percaya lagi sama dia.
“Aku juga takut Jibran bakal benci sama aku karena mikir aku terlibat, tapi jelas lebih takut dia nggak bisa laluin masa-masa buruk itu. Jibran boleh bilang dia mau berhenti berkarier dan nggak akan musingin hal-hal buruk, tapi belum tentu dia beneran sanggup. Makanya ... aku milih buat udahin semuanya dengan cara itu. Lebih baik Jibran patah hati karena aku, daripada ngalamin hal buruk yang bisa ngerusak citranya.”
Eila usap wajahnya kasar dan tidak beraturan. Tepatnya demi menepis air mata yang nyaris tak bisa ditahan. “Aku tahu itu salah, tapi semuanya udah telanjur, kok.”
Ingin mengamuk, tapi Trian bisa mengerti kenapa Eila bisa berbuat hal sebodoh itu dan menipu dirinya sendiri serta Jibran. Berusaha menahan segala luapan kata agar tidak memaki adiknya, Trian memilih ikut membeberkan fakta yang telah disembunyikan dari Eila agar adiknya tidak makin mengacaukan dirinya. Ini sudah waktunya, jadi Trian tidak ingin menundanya lagi agar ada satu perkara yang bisa selesai.
“Kamu tahu Kalani yang jadi lawan main Jibran di film barunya?” Eila mengangguk tanpa menatap Trian sebab tenaganya hilang setelah membuat pengakuan. “Dia yang mau dijodohin sama Jibran dengan cara curang.”
Eila tak mampu diam saja hingga matanya melotot pada Trian. “Apa? Curang gimana?”
“Lebih plot twist lagi, sutradara film Perfect Wife yang namanya Samuti Rakha itu papanya Kalani, La.”
“HAH?!” Eila yakin tampang terkejutnya begitu buruk rupa, tapi dia tidak peduli karena fakta itu tidak bisa membuatnya santai. “Kok … gitu?”
“Jadi, jauh sebelum kamu sama Jibran putus, Bu Mia ajak aku kerja sama buat mastiin kalian putus. Di situ aku kasih tahu Jibran dan akhirnya ikut. Alasannya supaya aku sama Jibran tahu apa sih yang ada di balik perjodohan ini. Soalnya pas tahu Jibran diikutin dan ternyata itu orang suruhan mamanya, terus kecurigaan Jibran ada kecurangan selama proses audisi, itu bikin kami pengen ngulik banyak hal.
“Setelah gabung, aku nggak nemu banyak hal karena Bu Mia nggak terbuka semuanya. Bu Mia nyebut nama Aiden yang kerja sama bareng beliau juga, tapi selebihnya aku nggak tahu siapa yang dijodohin sama Jibran sampai keluarganya. Baru pas dinner buat ketemu untuk pertama kalinya, di situ kebongkar kalau ternyata Kalani yang dijodohin, Pak Rakha papanya, Aiden kakaknya, dan Mister Timon CEO Punch adalah omnya. Gimana nggak gila coba?”
Trian sedikit histeris di akhir cerita yang membuat keadaan sedikit dramatis. Berlebihan, tapi semua itu memang pantas untuk didramatisir. Eila saja sampai menggebu-gebu dalam duduknya dengan mulut terkunci rapat dan menajamkan rungu demi menunggu kelanjutan cerita Trian.
“Di situ juga kebongkar kalau ternyata film Perfect Wife mau buat Kalani, tapi aktornya bukan Jibran, karena itu dia bagus banget dan pas jadi Anata karena udah disiapin dari lama. Berubah jadi Jibran saat Bu Mia nggak mau lanjutin perjodohan anaknya, ditambah lagi Jibran mau keluar dari Punch. Ini semacam strategi supaya Jibran nggak lepas dari pengawasan Pak Rakha. Buat mempermudah juga nyebar kabar ke publik soal Jibran dan Kalani seakan-akan saling suka, padahal dijodohin gitu.
“Makanya Jibran nggak boleh kena skandal, soalnya udah ada Kalani yang harus sama dia, supaya Pak Rakha sama orang-orangnya nggak perlu ribet ngatasin kalau ada skandal. Orang tuanya Jibran juga nggak bisa nolak karena nggak mau anak mereka kenapa-napa. Tahu sendiri Jibran anak tunggal, jadi dijaga sebaik mungkin dari hal buruk.”
Tangan Eila gatal ingin mencabik atau melempar apa pun di sekitarnya untuk meluapkan emosi yang menyerang. Rencana licik orang-orang di balik film dan perjodohan antara Jibran serta Kalani tidak bisa dibiarkan begitu saja, apalagi sampai membuat ancaman buruk yang mengurung banyak pihak. Eila kira ceritanya selesai sampai di situ, tapi rupanya tidak.
“Sama satu lagi!” Trian memukul pelan pundak Eila saking gemasnya kala mengingat hal lain yang perlu dibeberkan. “Ini dari Mister Timon,” tambahnya makin dramatis, “selama ini audisi murni dinilai dari Jibran sama Pak Rakha. Kalani kepilih juga atas kemampuannya—walaupun harus diakui ada kecurangan dari awal. Parahnya, kalau sampai aktris lain yang jadi Anata, orangnya Pak Rakha udah hubungan pihak agensi masing-masing aktris yang ikut audisi sampai tahap ketiga untuk nggak biarin aktris mereka join sama filmnya. Jadi, gimanapun caranya harus Kalani yang kepilih. Terus tahu siapa yang hubungin pihak agensi?”
“Siapa?” tanya Eila yang makin antusias untuk membongkar segala kecurangan di dalam film Perfect Wife.
“Aiden, kakaknya Kalani. Di PH Pak Rakha, dia kerja jadi tim casting yang hubungin tiap agensi untuk nawarin audisi saat ada film baru. Sekarang dia malah hubungin buat ngelakuin kecurangan. Kesel banget nggak, tuh?”
Eila mengernyit, merasa ada satu hal yang janggal dari cerita Trian. “Itu Aiden hubungin pihak agensi pake nama asli atau gimana? Terus akuin Kalani sebagai adiknya nggak? Kalau iya, kok bisa agensi mau tutup mulut?”
“Karena ada uang kompensasi, Eila. Uangnya tetep dikasih juga setelah Kalani kepilih. Makanya agensi mau-mau aja tutup mulut. Tahulah orang sekarang kalau udah berhadapan sama uang gimana. Udah ngiler duluan.”
Butuh kesabaran seluas lautan untuk menerima bongkaran aib yang amat besar dan Eila tidak memilikinya. Sebab padamnya wajah sang puan dan dadanya yang naik turun bukan pertanda bagus. Eila bukan korban utama, tapi dia adalah orang terdekat korban utama yang kehidupannya terancam.
Jelas Eila tidak rela, tapi tidak memiliki banyak kuasa untuk berbuat apa-apa. Alhasil sebisa mungkin Eila redam segala emosi negatif yang merambat naik hingga ke ubun-ubun, karena meledak pun terasa percuma jika tidak ada aksi nyata berupa serangan. Paham adiknya tidak baik-baik saja, Trian rangkul untuk menenangkannya.
“Sebelum tahu ini ulah Samuti Rakha, aku sama Jibran udah mau cerita ke kamu, terus bikin skenario seakan-akan kalian putus. Tapi udah keduluan sama kamu yang minta putus.”
Sesal mulai dirasa yang langsung diketahui oleh Trian saat adiknya menunduk akibat bersalah.
“Menurut aku tindakan kamu nggak sepenuhnya salah. Kalau putusnya pura-pura, orang-orang belum tentu yakin dan bisa aja gosip buruk soal Jibran tetep nyebar. Efek negatifnya kalian jadi galau beneran. Apalagi Jibran yang harus pura-pura depan banyak orang tiap syuting. Kalaupun orangnya bukan Kalani sama Pak Rakha, Jibran bakal tetep lawan orang yang udah jodohin dia sama anaknya. Bukan karena sayang kamu aja, tapi Jibran nggak mau hidupnya diatur-atur kayak anak kecil.”
Soal yang satu itu, Eila percaya Jibran tidak mungkin diam saja karena sejak awal perjodohannya dilakukan secara sepihak. Namun, situasi ini makin rumit saat melibatkan orang-orang yang berkuasa di industri hiburan. Jika Jibran mau beraksi, maka lawannya tidak akan menyerah.
Jika dia terpaksa menerima dijodohkan pun belum tentu benar, sebab hidup Jibran tidak mungkin bahagia. Untuk sekarang semuanya jadi serba salah dan satu tindakan gegabah dapat merugikan banyak pihak. Eila, Jibran, dan orang tua Jibran yang tidak akan luput dari cemoohan.
“Aku nggak mau bikin kalian optimis banget, tapi kalau emang jodoh, nggak ada salahnya berusaha. Kalian udah misah lumayan lama, boleh banget ketemu dulu dan nentuin ke depannya gimana. Kalau kamu tetep nggak mau ikut usaha, Jibran pasti nggak maksa. Tapi ruginya, kalian harus sama-sama kehilangan.”
“Mending gini aja sih, Kak. Tanpa ketemu dan udah pasti nggak ada perjuangan buat sama-sama.”
Trian menggeleng tidak setuju dengan gagasan itu. “Kamu udah tahu faktanya gimana, jadi mendingan ketemu dulu dan mutusin ke depannya harus apa. Aku yakin kamu sebenernya nggak mau diam aja setelah tahu aslinya kayak apa. Jadi, daripada kalian sama-sama ngebatin terus, mendingan ketemu sekali aja biar ada kejelasan.”
Trian benar. Dari lisan, keduanya boleh sudah putus. Sedangkan untuk urusan hati, Jibran dan Eila masih terikat erat meski jarak memisahkan. Eila tarik sebanyak mungkin oksigen untuk bernapas dengan serakah akibat sesak yang menyiksa. Tidak terlalu membantu, tapi setidaknya lebih baik daripada menerima nyeri yang menyiksa pada tubuh. Eila angkat wajahnya dan memandang Trian dengan sisa tenaga yang dia miliki. Eila boleh hanya diam, tapi rasanya lelah diserang bertubi-tubi oleh kenyataan pahit yang dihadapi Jibran.
“Gimana keadaan Jibran sekarang, Kak?”
“Jibran lagi sakit di rumahnya. Kamu nggak mau jenguk?”