Stay
“Kamu nggak ke studio buat syuting?”
Pertanyaan itu mengudara bebas dari belah bibir Martha, memecah kesunyian yang sempat menciptakan spasi di antara sejoli itu. Sejak kemarin Martha tidak bicara pada Martin, hanya mau bersuara saat mengasuh Markus yang tidak tahu apa-apa tentang perkara yang menimpa orang tuanya.
Martin tidak masalah ketika Martha mengabaikan presensinya, sebab meski tawanya malam itu bukanlah perkara serius, pasti sang istri tidak bisa melupakan begitu saja. Lantas ketika akhirnya keheningan itu sudah lelah tercipta, dinding es yang memisahkan mereka untuk sementara waktu bisa meleleh juga.
Martin yang sedang menyiapkan sarapan seadanya dan mengawasi Markus di high chair tersenyum cerah. Selain untuk menyambut Martha yang sudah rapi dan wangi, dia pun senang karena tidak perlu makan hati lagi selama didiamkan tanpa pasti.
“Sarapan dulu, ya. Baru aku jelasin.”
Martha tidak menolak, memilih mendekati meja makan dan duduk di samping Markus yang sudah tidak sabar ingin sarapan. Martha pandangi sepiring nasi dan telur ceplok yang bentuknya sedikit aneh, seperti dibuat oleh orang yang baru belajar memasak dan takut kena cipratan minyak.
Mengabaikan penampilannya, Martha tetap hargai usaha Martin yang sudah mau memasak sarapan—bukan sekadar sereal dan susu seperti kemarin.
“Maaf telurnya berantakan,” ucap Martin malu sendiri melihat penampilan masakannya. “Aku cuma bisa masak telur, itu juga susah payah.”
Martha tersenyum samar sembari meraih mangkuk dan sendok Markus untuk memberinya sarapan. Sebelum aksinya dilakukan, Martin segera menahan tangan Martha dan mengambil alih mangkuk itu dari tangan sang istri.
“Biar aku yang suapin Markus. Kamu makan duluan aja, ya.”
Tanpa perlu diperintah dua kali, Martha biarkan Martin melakukan apa saja yang diinginkan. Martha tidak memiliki tenaga untuk membantah apalagi berdebat panjang yang bisa menimbulkan pertikaian lain di masa mendatang. Memastikan Markus sarapan dengan baik, barulah Martha makan dengan nafsunya yang setengah-setengah. Bukan karena telurnya, melainkan selera makannya jadi terganggu akibat ocehan orang-orang terkait fisiknya yang tertanam sempurna di tubuh.
Tidak hanya terjadi hari ini, tetapi di hari-hari sebelumnya pun pola makan Martha sudah kacau. Dia selalu memaksakan makan dengan banyak di depan Martin agar terlihat sehat, padahal nyatanya sebutir nasi saja menakutkan kala dilihat.
Gemas mendapati Martha makan lambat seperti siput, Martin yang duduk di samping Markus meraih sendok sang istri dan menyuapinya tanpa aba-aba. Martha bingung, tetapi tidak menolak suapan pertama dari Martin yang cukup banyak hingga mulutnya penuh oleh nasi dan telur.
“Aku bukannya mau bikin kamu tambah berisi, tapi kamu harus makan banyak biar sehat,” jelas Martin yang menyuapi Martha dan Markus bergantian, sedangkan pria itu menunda sarapannya sampai dua orang yang paling dia sayang bisa makan sebaik mungkin. “Terus aku udah nggak kerja lagi di studio.”
Kali ini Martha memberi reaksi yang tidak biasa, membeliak akibat terkejut ketika Martin meninggalkan pekerjaannya yang begitu dibanggakan—termasuk oleh Martha.
Sadar istrinya bingung, Martin memaparkan selagi tangannya terus menyuapi anak dan istri bergantian, “Aku keluar karena lingkungan di sana udah toxic sejak mereka suka ngatain kamu. Keputusannya udah bulat gara-gara kejadian di pesta Julian. Aku juga milih istirahat dulu dari endorse atau kerjaan lain supaya bisa jagain kamu sama Markus. Biar kamu nggak ngerasa sendiri lagi. Soalnya gara-gara kamu nangis kemarin lusa, aku jadi sadar omongan manis udah nggak mempan dan kamu lebih butuh akunya daripada omongannya. Makanya sekarang aku bakal selalu di rumah, biar kita bertiga bareng terus. Lagian nggak kerja beberapa bulan nggak bikin penghasilan aku habis.”
Penjelasan itu membuat Martha terenyuh karena Martin rela mengorbankan kariernya yang menjanjikan di media sosial demi memprioritaskan keluarga—khususnya menjaga kesehatan mental Martha yang kini goyah akibat terpengaruh komentar orang.
Martin tidak mau lagi buta hanya karena Martha mengatakan baik-baik saja, dia ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri jika sang istri benar dalam kondisi prima. Mau itu belum ataupun sudah, Martin tidak akan meninggalkannya dengan mudah dan tetap bersama Martha hingga gangguan sedikit saja tidak mampu menggoyahkannya.
“Kamu sayang banget sama kerjaan kamu.”
“Tapi lebih sayang sama keluarga aku,” ucap Martin tanpa ragu. “Kalau keluarga aku nggak baik-baik aja, aku nggak mau diam dan milih kerjaan. Aku harus mastiin semuanya udah baik-baik aja sampai nanti aku kerja lagi—kalau bisa.”
Martha raih tangan Martin sebelum menyuapinya lagi. “Kamu pasti nemu kerjaan yang lebih baik dan lingkungannya nggak toxic. Nanti setelah enakan, aku bakal kerja juga supaya nggak bebanin kamu sendiri.”
Martha masih mampu menyemangati Martin, padahal di balik manik legam itu ada pertolongan yang lebih dibutuhkan dibanding Martin sendiri. Itu belum menjadi pencapaian terbaik, sebab Martin inginkan Martha bisa menghargai dirinya dulu sebelum orang lain. Martin letakkan sendok, lalu mengecup punggung tangan Martha yang wangi aloe vera dari body lotion.
Inginnya bisa melihat Martha selalu sebaik ini, tetapi Martin tahu perasaan istrinya masih akan mudah berubah-ubah tergantung siapa, kapan, dan apa yang dibicarakan. Sekarang Martha boleh terlihat baik-baik saja, siang nanti? Siapa dan apa yang akan dibicarakan nanti? Belum tentu stabil. Bisa saja dukanya kembali tanpa tanda pasti.
Jadi, sampai kesehatan Martha pulih sepenuhnya, Martin tidak akan melepaskan sang puan dari pengawasannya. “Kamu nggak sendiri, Martha. Aku selalu ada buat kamu.”