Sumber Bahagia


“Eila keadaannya gimana?”
“Belum ada dua jam kamu pergi dan udah nanyain Eila?” Terdengar decakan lidah di seberang sana. “Kondisinya masih sama, Jibran. Kalau ada perkembangan baru, pasti aku kabarin,” lanjut Trian yang kini lebih tenang.
Masih sama—bukan kondisi yang buruk, tapi tidak menyenangkan kala didengar. Jibran belum lama tiba di rumah, sekitar sepuluh menit dan belum sempat mengganti pakaian atau mandi setelah pergantian shift menjaga Eila dengan Trian. Kuyu dan kusut, begitu keadaan Jibran sekarang. Dia belum bercukur dan membiarkan jambang tipis timbul, memilih pakaian pun asal saja yang penting cepat dan nyaman.
Matanya selalu merah akibat lelah dan sering menangis bila sudah di dekat Eila. Meskipun sudah di rumah, keadaan Jibran tidak mereda dan makin terlihat menyedihkan sebab dia merasa sendirian, serta jauh dari orang yang selalu berusaha dia jaga.
“Tolong kabarin terus, ya.”
“Iya, nanti aku kabarin satu jam sekali biar kamu tenang.”
Ada gurauan demi menghibur hati yang gundah gulana, tapi gagal sebab Jibran sudah tidak berdaya. Jibran langsung memutuskan sambungan telepon secara sepihak dan berniat pergi ke kamar untuk istirahat—meski pikirannya pasti sibuk mengkhawatirkan kondisi Eila. Sayang, niat itu harus batal saat Mia—yang sejak kemarin menginap di rumahnya bersama Jagad tapi sekarang telah pergi bekerja—menyuruhnya untuk makan.
Dengan lesu Jibran menurut dan mendekati ruang makan yang telah dinanti oleh Mia. Jibran menarik kursi, lalu duduk sembari menatap bubur ayam lengkap yang dibuat Mia dengan tidak nafsu. Bukan saja karena dia tidak menyukai bentuk bubur, nafsu makannya memang berkurang sejak kejadian lalu.
“Makan dulu, ya. Kamu jadi kurus gini,” titah Mia seraya memberikan sendok yang dengan enggan diraih oleh Jibran.
Alih-alih langsung makan, Jibran malah melamun dengan netra yang menatap kosong ke arah bubur.
“Mama tahu kamu nggak suka bubur, ditambah keadaannya lagi kayak gini. Tapi kamu harus makan yang gampang dicerna dulu, ya? Trian bilang kamu jadi susah makan. Mama nggak mau kamu sakit. Apalagi kamu harus ngurus bukti soal Kalani sama orang-orangnya.”
Semangat Jibran sedikit muncul saat diingatkan soal bukti yang telah dia pegang. Ya, pertemuan dengan lima agensi yang menerima suap dari Samuti Rakha. Kelimanya telah mengaku, bahkan secara terang-terangan merasa keberatan dengan suapan itu, tapi tidak bisa berbuat apa-apa karena khawatir Rakha malah bertindak ekstrem yang lebih mencoreng nama tiap agensi.
Dengan pengakuan mereka, Jibran sudah memegang bukti kuat untuk meruntuhkan Samuti Rakha yang melakukan kecurangan. Tinggal satu lagi, yaitu bukti bahwa Kalani pelaku atas penusukan Eila, maka Jibran sudah bisa membongkar segalanya.
Lagi-lagi semangat yang sempat ada itu kembali memudar, sebab ingatan soal Eila yang belum sadar merenggut kedamaian hatinya. Dengan terpaksa, Jibran memakan bubur sebanyak dua sendok, itu pun hanya sedikit asal ada asupan yang masuk. Setelah dua sendok itu nafsu makannya hilang seutuhnya, begitu lelah memikirkan kondisi Eila yang belum kunjung sadar.
Sendoknya bahkan jatuh sebab pegangannya yang lemah, membuat Mia beringsut menghampiri Jibran dengan duduk di sampingnya. Kemarin Mia dan Jagad menjenguk Eila, menyaksikan langsung bagaimana putranya tidak peduli dengan sekitar dan hanya fokus pada yang tidak berdaya. Kini Mia menyaksikan lagi betapa runtuhnya dunia Jibran saat wanita yang dia sayang menjadi korban atas kejahatan manusia serakah. Mia mendekap Jibran yang tiba-tiba terisak, bak anak kecil terluka akibat terjatuh dan butuh bantuan sang mama untuk menenangkan.
“Kamu mirip ayah banget,” tutur Mia seraya mengelus punggung putranya yang bergetar. “Kalau udah sayang sama perempuan, terus orangnya kenapa-napa, pasti bakal nangis,” jelasnya, “Ayah juga nangis waktu Mama lahirin kamu. Makanya Mama nggak dibolehin punya anak lagi biar nggak usah lahiran, katanya takut Mama sakit.”
Jibran menyembunyikan wajahnya di balik pundak Mia, meredam air matanya agar tidak terus tumpah dan menggantinya dengan energi baru untuk melawan orang-orang yang sudah menjatuhkannya. Mia mengusap puncak kepala Jibran yang rambutnya kian memanjang dan tebal.
“Maafin Mama yang sempet nggak restuin kamu sama Eila, ya. Mama yakin Eila sehat lagi, Nak. Jadi, kamu harus kuat buat lawan mereka. Yakin deh, pas semuanya udah selesai, Eila balik lagi ke kamu.”
Jibran yakin skenarionya pasti begitu, tapi demi apa pun, dia ingin Eila-nya kembali secepat mungkin tanpa menunggu semuanya selesai dahulu. Minimal Eila sadar, maka kekhawatiran Jibran akan berkurang. Kini yang paling dominan hanyalah duka, mengurung segala suka hingga Jibran harus memakai topeng untuk memaksakan diri jika nantinya perlu terlihat bahagia.
Namun, untuk sekarang, jangan paksakan Jibran merasakan kebahagiaan fana itu, sebab sumber bahagianya masih harus berjuang.