Support System

Pagi ini Jibran bangun di kamar lain yang luasnya lebih mungil, kasurnya pun hanya muat untuk satu orang, dengan berbagai macam poster film—termasuk poster filmnya. Jibran juga tidak bangun hanya mengenakan boxer, tapi mengenakan kaus hitam dan celana training yang beruntung ukurannya pas di badan.
Ya, Jibran jadi menginap di kediaman Eila dan Natta, di mana si bungsu Madaharsa menginap di rumah temannya dan baru pulang hari ini. Bila berpikir Eila langsung mengizinkan Jibran untuk menginap, maka itu salah. Pasalnya Eila sempat mengusir Jibran dengan air mata yang masih berlimpah. Namun, setelah dibujuk dengan alasan Jibran akan menjaga Eila dan membawa-bawa nama Trian sebagai jaminan, akhirnya sang puan luluh juga.
Meski kamar Natta tak seluas kamarnya, Jibran tetap tidur lelap tanpa terbangun tiba-tiba. Bedanya Jibran bangun pagi sekali dari biasanya lantaran ada bunyi yang mengganggu dari luar. Kala diperiksa, waktu baru menunjukkan pukul lima, mentari saja belum menunjukkan figurnya untuk menyinari pagi ini. Saat Jibran keluar dari kamar dengan mata setengah terpejam, ia menemukan Eila yang tengah sibuk di dapur dengan adonan croffle.
“Good morning.”
Suara halus Eila menyapa Jibran yang belum menunjukkan batang hidung di hadapan sang dara, tapi dia sudah tahu bahwa pria yang semalam mendekapnya erat telah bangun.
“Ambil aja minum sendiri, ya. Aku lagi agak sibuk. Kalau mau air dingin langsung dari kulkas. Susu juga ada.”
Jibran hanya mengangguk dan berjalan menuju kulkas, membukanya, lalu mengambil sebotol air es untuk menyegarkan tenggorokannya. Setelah itu Jibran pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya, tentunya tidak menyatu dengan kamar Natta seperti di rumahnya.
Begitu merasa segar, Jibran kembali ke dapur dan berdiri di samping Eila yang sibuk menggulung adonan croissant, lalu memindahkannya ke wadah yang sudah dipenuhi gulungan croissant.
“Boleh minta tolong? Ini masih ada 50, jadi aku butuh bantuan. Biasanya ada Natta, tapi sekarang nggak ada. Makanya aku mau manfaatin kamu supaya aku nggak kerja sendiri.”
Permintaan sekaligus perintah itu tidak bisa Jibran bantah. Terlebih ketika Eila memasangkan Jibran apron berwarna pink dengan border logo Sweet Crown di bagian sakunya. Eila juga memasangkan kedua tangan Jibran dengan sarung tangan plastik agar adonan tetap bersih. Apron pink itu sangat kontras dengan kaus Jibran, sampai-sampai Eila tertawa karena baginya sang pria terlihat menggemaskan. Kalau begini, Jibran lebih memilih apron merah mencolok yang Eila kenakan daripada warna pink.
Jibran menaikkan sebelah alisnya ketika Eila malah menatapnya berbinar. Eila seakan tengah memberikan pujian yang tidak terlalu Jibran pahami.
“Kenapa?”
“Waktu itu aku lihat pemandangan pagi yang indah banget di rumah kamu.” Eila mengelus surai Jibran dan merapikannya agar tidak berantakan. “Sekarang pemandangan indahnya pindah ke rumah aku.”
Jibran melebarkan senyum, ikut memberikan pujian di baliknya karena ia pun senang bisa melihat pemandangan terbaik di pagi hari setelah meluruskan perihal perasaan dengan Eila.
“Kamu bangun sepagi ini buat bikin adonan croissant?”
Jibran sengaja mengalihkan topik dibandingkan menyuarakan pujian di pikirannya. Bukan apa-apa, Jibran tidak mau fokus Eila jadi terbagi dan pekerjaannya jadi terbengkalai.
Eila yang paham kembali pada adonannya yang masih tersisa banyak. “Aku bangun jam 3 buat bikin adonan croffle dan sekarang hampir selesai kalau kamu mau bantuin.”
Jibran tertawa seraya berdiri di samping Eila. Tanpa banyak bicara, Eila mengajarkan Jibran cara menggulung croissant yang langsung diikuti oleh sang aktor agar lekas mampu. Sekitar tiga kali percobaan, Jibran berhasil menggulung adonan lebih rapi dengan ukuran yang seimbang.
“Aku kira kamu bikin croffle pake adonan yang beli dari orang lain, frozen gitu. Terus baru kamu olah jadi croffle,” ucap Jibran sembari terus menggulung adonan, sedangkan Eila memasukkan wadah tertutup berisikan adonan croissant ke kulkas. “Tapi nggak heran rasanya lebih enak. Ditambah lagi yang bikinnya juga orang spesial.”
Di tengah kesunyian fajar, Eila tertawa mendengar kalimat terakhir Jibran bak gombalan receh dari orang sekaku dia.
“Aku diajarin bikin adonan croissant sama mendiang Mama. Beliau punya toko roti kecil-kecilan yang sekarang jadi tempat jualan aku. Karena croffle lagi viral, jadi, kenapa nggak aku buka usaha yang sama? Tentunya nggak gampang karena aku belum punya banyak modal. Mau coba endorse artis atau influencer, modalnya lebih nggak punya lagi. Aku bisa aja minta bantuan Kak Trian buat hubungin seleb siapa gitu, karena dia punya banyak koneksi. Tapi aku nggak enak karena dia udah biayain Natta kuliah, jadi semua modalnya harus dari aku.”
Setelah menggulung sepuluh croissant, Jibran berhenti demi menyimak cerita Eila. Teringat Trian pernah cerita tentang orang tuanya yang telah tiada dan harus bekerja sama dengan adik pertamanya untuk menghidupi sang bungsu.
Selain itu, Trian tidak banyak cerita soal keluarganya karena dia membatasi hal pribadi dengan pekerjaan. Namun kini, keadaan berubah kala Jibran bisa dekat dengan dua adik Trian, khususnya Eila yang sejak dulu sudah ia taksir.
“Untung kamu ketemu aku, Eila. Aku nggak akan ragu buat promosiin usaha kamu.”
Eila tersenyum lebar seraya berkacak pinggang dan menatap Jibran. “Makanya aku berterima kasih banget karena berkat kamu, usaha aku beneran bisa berkembang. Selama kita nggak ketemu, aku bisa dapat order sampai 300 croffle dalam sehari dan nggak berhenti.”
Jibran takjub dan ikut gembira mendengar kabar baik itu. “Kirain kamu sengaja ngehindar setelah aku confess.”
“Sejujurnya aku manfaatin kerja buat ngehindarin kamu,” ungkap Eila jujur. “Plus, aku juga nggak bisa bagi waktu buat latihan karena ada banyak order. Soalnya aku bikin adonan, masaknya, sampai packing cuma sendiri. Kadang dibantu Natta pas lagi luang dan jangan khawatir, dia rajin banget walau nantinya ngutang.”
Jibran melepaskan sarung tangan dan meletakkannya di samping adonan yang masih belum ia gulung. Jibran raih daksa Eila, melingkarkan lengan kirinya di sekitar pinggang sang puan yang membiarkan raganya terkurung oleh gagahnya rengkuh.
“Kamu udah lakuin yang terbaik, Eila. Aku bakal bantu promosi setiap hari supaya usaha kamu makin besar. Terus kamu punya pegawai supaya nggak ngerjain sendiri.”
Eila melingkarkan kedua lengannya di leher Jibran. Hanya dengan kejadian satu malam yang diselimuti emosi, mereka bisa seerat ini. “Kamu juga udah lakuin yang luar biasa, Jibran. Aku bakal bantu kamu latihan sampai bisa peranin Jeremy dengan baik. Aku yakin akting kamu nggak akan ngecewain karena kamu sehebat itu.”
Jibran sudah sering mendapatkan pujian, tapi terdengar jauh lebih spesial karena Eila yang mengatakannya. Sama halnya seperti pujian dari penggemar, hanya saja beberapa tingkat di atasnya.
“Aku nggak nyangka kita bisa berdua aja di rumah ini.”
“Aku juga nggak nyangka bisa pelukan sama aktor yang belum mandi dan mau aja disuruh gulung adonan croissant.”
Eila mendorong Jibran hingga dekapan mereka terlepas, tapi sang aktor tak berniat untuk meraihnya kembali. Jibran justru tertawa tanpa beban, karena kini dia tidak perlu menutupi segala rasa yang ia miliki, tapi tentunya masih dengan batasan tersendiri karena masih perlu bersembunyi.
Well, tidak masalah. Selama Jibran dan Eila masih bersama-sama, memadu rasa yang tengah mekar, mereka akan melawan rintangan yang mencoba memisahkan. Bagian yang paling penting dari segalanya, Jibran dan Eila akan menjadi support system satu sama lain demi menguatkan diri.