Takhta Tertinggi

“Markus, cium Mama, Nak.”

Markus yang pemahamannya sudah lebih tinggi ketika diminta beberapa hal segera mengabulkan keinginan Martha. Batita yang tengah duduk di sofa itu mencium pipi Martha, sampai wanita tersebut menunduk demi bisa merasakan bibir putranya menyentuh pipi dalam waktu singkat.

Martha tersenyum kegirangan kala kedua pipinya jadi sasaran Markus, lantas membawa sang putra ke pangkuan karena gemas dengan tingkahnya yang makin pintar. Giliran Martha suguhkan kecupan di puncak kepala sang putra yang rambutnya telah dipangkas rapi setelah ulang tahun, begitu wangi khas shampo bayi yang membuat wanita itu betah untuk mencium aromanya.

Kemesraan ibu dan anak itu menghangatkan Martin ketika mendekat sembari membawa potongan buah apel dan biskuit Markus menuju ruang keluarga, memeriahkan waktu yang sudah menjelang sore dan memasuki masa-masa santai bersama orang terkasih. Martin duduk di samping Martha, meraih sepotong apel menggunakan garpu, lalu menyuapi istrinya yang fokus menonton BoBoiBoy di televisi.

“Enggak perlu disuapin kali,” tolak Martha dan berusaha mengambil alih garpu di tangan Martin.

Tak biarkan istrinya mengambil garpu tersebut, Martin tetap menyuapi Martha sampai akhirnya wanita itu menyerah dan membiarkan dirinya diperlakukan bak ratu yang serba dilayani dalam hal apa pun.

Di hari dan waktu biasa, Martin pasti masih sibuk di studio melaksanakan rekaman endorse bersama Julian yang akan diunggah ke media sosial masing-masing, lalu latihan untuk syuting podcast pada esok harinya agar tidak ada salah-salah kata ketika bertemu narasumber. Pada masanya Martin merasa kesibukannya adalah hal perlu karena dia mencari nafkah untuk keluarganya—yang bisa saja bertambah.

Namun, sekarang Martin sadar kesibukannya itu terlalu padat hingga waktu bersama Martha dan Markus sangat tipis, apalagi weekend pun bisa digunakan untuk syuting. Sebab itu Martin jadi lebih menghargai momen yang ada selama dia rehat dari segala kesibukan, memanjakan Martha yang selalu membutuhkan perlindungan, serta mengikuti setiap tumbuh kembang putranya tanpa melewatkan satu detik pun.

“Sekarang kamu udah enakan?” tanya Martin, mengingat tadi sepanjang persidangan Martha tidak nyaman berada di depan banyak orang.

Paham maksud suaminya, Martha menjawab lugas, “Justru setelah ngomong gitu di depan Dalia, aku ngerasa lebih lega. Aku juga kasihan, tapi … dia harus jera biar nggak ada korban lain.”

Martin turut lega mendengar jawaban Martha, percaya karena setibanya di rumah, sang istri tidak gentar apalagi sampai bergetar setelah sidang dan dikerumuni banyak orang.

“Makasih banget, ya. Berkat kamu, aku udah nggak apa-apa. Kamu jagain aku banget pas di ruang sidang.”

Bukan sok rendah hati, tetapi Martin tidak setuju dengan anggapan tersebut karena baginya kondisi Martha sekarang adalah berkat sang istri sendiri. Martha yang berusaha positif, Martha yang berkali-kali memberanikan diri, Martha yang menemukan cara untuk tersenyum lagi, hingga Martha yang berniat kembali seperti dulu lagi adalah berkat dia pribadi. Martin hanya bertugas mengawasi, sesekali mengulurkan tangan untuk memotivasi.

“Jagain dan mastiin kamu sehat udah jadi kewajiban aku. Tapi perubahan sekarang berkat kamu sendiri, Martha. Kamu nggak berusaha nyangkal waktu nggak baik-baik aja, tapi nggak pernah diam dan selalu mau bangkit. Susah, tapi buktinya tadi aja kamu bisa.”

Martin dan kata-kata manisnya, selalu membuai Martha untuk berdiri di tempat yang tinggi seakan layak berada di sana. Namun, setinggi-tingginya tempat, takhta di hati Martin adalah podium paling tinggi yang harus Martha tempati dalam waktu lama. Sebab di sanalah dia merasa jadi segalanya tanpa perlu dipandang sebelah mata, diapresiasi atas hal kecil yang mungkin sepele bagi banyak orang.

“Martin,” panggil Martha dan membuat sang suami yang sedang memberikan biskuit kedua untuk Markus menaruh atensi pada istrinya.

“Kenapa?”

Martha suguhkan satu kecupan di pipi Martin baru berkata, “Makasih udah sayang sama aku dalam keadaan kayak gini. Enggak pernah nilai kekurangan aku sebagai aib yang harus ditutupin. Makasih udah setia sampai aku ngerasa lebih baik. Makasih, ya. Makasih banyak.”

Tak terhitung berapa kali ucapan terima kasih tersemai yang sesungguhnya tak perlu. Sebab yang dilakukan Martin adalah kewajiban setelah berjanji hidup semati bersama Martha, tanggung jawab sejak pria itu sadar bahwa dia telah jatuh ke lubang cinta terdalam yang hanya berisikan nama Martha di sana.

Bagaimanapun Martha, apa pun anggapan orang terhadapnya, tidak akan mengubah cinta Martin yang murni untuk sang pujaan. Martin belai pipi Martha yang masih berisi. Menikmati sensasinya sebelum hilang berkat diet yang akan segera Martha mulai.

“Kamu selalu yang terbaik buat aku, Martha. Aku juga bukan apa-apa kalau nggak ada kamu.”