Tara dan Buainya

Ini belum melewati batas jam malam yang ditetapkan indekost, baik bagi penghuni maupun tamu yang datang untuk berkunjung. Namun, bagi Zanitha Arshavina yang tiba-tiba dihubungi bersama pengakuan mengejutkan dari pria berstatus duda, kunjungan pria itu tetap membuat debar jantungnya meletup karena harus bertemu di momen yang jauh dari bayangannya.

Zanitha yakin, percakapan mereka malam ini sangat serius sebab ditambah bumbu asmara yang kali ini Tara Vikrama layangkan secara frontal—lebih frontal dari yang biasa dia ketik melalui chat. Zanitha sampai harus diam di ruang tamu indekost demi mempersiapkan mentalnya untuk bertemu Tara yang telah menunggu di luar, tepatnya di mobil yang terparkir tidak jauh dari lokasi indekost.

Tara sengaja tidak memarkirkan mobilnya di depan gedung indekost karena nanti dia diharuskan masuk, sedang percakapannya bersama Zanitha sangat pribadi untuk dibicarakan di tempat lalu-lalang manusia. Maka dari itu, Tara memilih diam di dalam mobil yang berjarak beberapa meter dari indekost.

Bila boleh jujur, Zanitha tidak siap menemui Tara. Alasannya sederhana; takut Zanitha kehilangan kata-kata dan berakhir bungkam sepanjang berdua dengan Tara. Namun, dia tidak mungkin diam saja seperti orang tidak tahu adab padahal Zanitha sendiri setuju untuk diajak bertemu. Maka dengan nyali setengah-setengah dan tungkai yang tenaganya hanya secuil, Zanitha keluar dari indekost untuk menemui Tara yang sudah menunggu.

Tara sendiri sabar menunggu Zanitha di mobil sembari menatap foto gadis itu di ponselnya saat mereka jalan-jalan waktu itu. Terhitung hanya tiga kali pergi bersama—itu juga hanya makan bersama Charity serta dua kali menonton—dan foto Zanitha bisa dihitung jari, tapi sudah mampu menerbitkan senyum di bibir dan tidak jemu Tara memandangnya. Pekatnya langit malam saja berhasil dikalahkan oleh cerahnya senyum Tara.

Saat pintu mobil dibuka, Tara buru-buru mengunci ponselnya agar tidak tertangkap basah tengah menatap foto Zanitha yang diambil secara sukarela. Lantas kini dua insan itu sudah duduk berdampingan dengan lisan yang saling membisu, sedangkan otak mereka memilah himpunan kata apa yang perlu dilontarkan.

“Enggak masalah ‘kan saya ajak kamu ketemu malam-malam gini?”

Pertanyaan pembuka yang tepat sekali untuk diajukan. Mencairkan sedikit suasana tegang yang otomatis timbul begitu Zanitha masuk dan menyingkirkan rasa sepi Tara.

“Enggak masalah, Mas. Jam malamnya belum mulai, kok.”

Tara manggut-manggut lega karena kedatangannya tidak terlalu berat untuk diterima mengingat ini sudah pukul 20.15 dan waktu sibuk Zanitha telah usai. Untuk sesaat kembali hening sebab mereka masih menyeleksi kata lain sebagai lanjutan dari percakapan ke depan.

Sudah sepatutnya Tara bicara lebih banyak karena dia yang lebih dulu mengungkapkan rasa dan mengajak Zanitha berjumpa. Sayang, Tara pula yang kehilangan daya setelah berada di dekat pujaannya.

“Saya—”

“Kamu masih sayang sama mendiang istri?”

Tara tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Zanitha bicara lebih cepat darinya. Tara sampai menoleh dan mengerjap demi menangkap maksud pertanyaan Zanitha yang menatap lurus ke jalanan ramai.

Sadar sedang diperhatikan dengan tanda tanya di kepala, Zanitha kembali bertanya lebih pelan, “Kamu masih sayang sama mendiang istri?”

Bila boleh meminta, Zanitha ingin sekali kepalanya ditimpa benda keras karena lancang melontarkan pertanyaan itu. Sebagai orang yang pernah memadu kasih hingga menghasilkan anak semanis putrinya, jelas Tara menyayangi mendiang istrinya sepenuh hati. Pertanyaan impulsif itu disesali Zanitha dalam waktu beberapa detik, tetapi tidak bisa ditarik karena Tara sudah mendengarnya dengan jelas. Zanitha ingin lenyap saja!

“Setiap ditanya sayang, jelas iya,” jawab Tara yang tidak keberatan sama sekali saat pertanyaan itu diajukan. “Tapi itu masa lalu yang nggak bisa dibandingin sama masa sekarang. Mendiang istri saya cukup jadi kenangan sampai Charity lahir, selebihnya saya mau sama kamu.”

Jemari Zanitha bergetar mendengar rangkaian kalimat manis itu mengudara dan menelusup rungu hingga menggelitik perut. Sayang, itu saja tidak cukup untuk membuat Zanitha memberi jawaban sesuai keinginan hatinya dan Tara, karena jauh di dalam sanubari masih ada keraguan untuk memulai hubungan baru bersama sosok yang lebih dewasa.

“Saya nanya gitu bukannya raguin kamu, malah saya yang ragu, Mas. Soalnya saya nggak mau mulai hubungan sama orang yang masa lalunya belum selesai. Nanti saya yang rugi. Makanya mastiin dulu biar sama-sama enak.”

Tara tersenyum yang sayangnya tidak terlalu jelas dilihat sebab disembunyikan pekatnya langit malam. Meski begitu, Zanitha masih bisa merasakan jelas betapa manisnya Tara menaruh tatap, seakan gadis itu adalah eksplanasi indah yang mampu dinikmati dalam kegelapan.

“Saya paham.” Tara menegakkan posisi duduknya dan melanjutkan, “Satu hal yang perlu kamu tahu, saya nggak akan deketin perempuan lain kalau belum move on dari yang lama. Jauh sebelum ketemu kamu, saya udah ikhlas sama kepergian mendiang istri dan nyiapin hati kalau Tuhan ngasih saya kesempatan buat ketemu orang baru. Udah nggak kehitung berapa perempuan yang saya kenal, tapi semuanya sebatas rekan profesional. Enggak ada yang bikin saya ngerasa pengen lebih deket. Baru kamu yang bikin saya pengen ngisi hati lagi dan sekarang saya di sini, mau ngajak kamu jadi pasangan saya.”

Dua pertanyaan yang terlintas di benak Zanitha; apa banyak duda pandai bertutur kata semanis Tara? Atau Tara ini spesial yang mampu memikat wanita dengan himpunan kata indah hingga membuat kaum hawa melayang?

Sungguh, Zanitha mengalami hal itu. Malah jauh sebelum Tara mengajak bertemu dan membicarakan soal perasaan secara serius, pria itu sudah membius Zanitha hingga nyaris tidak berdaya membaca rangkaian kata yang sering dituangkan melalui pesan singkat.

Sekarang ketika bertemu langsung, Tara membuat pertahanan Zanitha runtuh sampai kehilangan deretan kalimat sebagai reaksi untuk berbagai percakapan mendatang. Berurusan dengan laki-laki sungguhlah tidak baik, terlebih bila macamnya seperti Tara yang pandai membuai.

“Saya masih terlalu muda, Mas. Kamu yakin mau sama saya? Maksudnya … saya tahu kamu nggak akan ngajak nikah—setidaknya sekarang. Cuma tetep aja status dan perbedaan umur kita lumayan jauh. Bukannya saya takut nggak direstuin orang tua masing-masing, cuma khawatir baru jalanin beberapa hari aja udah nggak cocok buat jadi pasangan. Saya nggak mau bikin Mas kecewa karena nggak sesuai ekspektasi.”

Jawaban Zanitha cukup masuk akal dan membuat Tara mempertimbangkan pilihannya lagi sebelum memberikan respons. Tara pejamkan mata demi berpikir tenang, membiarkan kesunyian menjadi pembatas antara dua insan yang masih di ambang ketidakpastian; ingin bersama atau mengucap pisah tanpa memulai. Hanya butuh satu menit, Tara kembali membuka mata dan menabur pandang pada sang lawan yang menanti jawaban.

“Kamu suka sama saya?”

Zanitha ingin menulikan rungu saat pertanyaan itu mengudara dan makin menggelitik perut. Jawaban sudah di ujung lidah, tetapi Zanitha belum sanggup melisankannya secara utuh. Ada jeda lagi yang cukup menyiksa, sampai akhirnya gadis itu mau menatap Tara yang sabar menghadapinya.

“Saya suka kamu.”

Jawaban itu melebarkan senyum yang tidak kunjung luntur dari birai Tara. “Saya nggak permasalahin umur, kok. Lagi pula umur kamu udah masuk usia dewasa, udah cocok sama saya. Soal status juga nggak perlu dipusingin. Selama ini kita cocok aja ngobrol. Kalau kamu takut kita beda selera, itu hal biasa dan saya bisa menyesuaikan diri sama kamu. Selama kita saling suka, nyaman, dan sama-sama mau, perbedaan itu bukan masalah.”

Binar lampu jalanan yang menyelinap ke dalam mobil boleh hanya secuil, tetapi Zanitha menangkap jelas ketulusan Tara mulai dari kalimat hingga ekspresi yang dia tunjukkan. Waktu berjalan lebih lambat dari biasanya, seakan sengaja memberikan Zanitha waktu untuk mengudarakan jawaban yang sudah di ujung lidah. Kala waktu kembali berjalan normal, Zanitha malah melontarkan hal lain karena masih mengalami pertarungan batin tanpa tahu kapan berakhir.

“Orang tua kita belum tentu ngasih restu.”

“Orang tua saya setuju pas tahu kita lagi deket. Apalagi mereka tahu kamu temennya Darren, jadi nggak perlu lama-lama saling kenal sama orang baru.”

Tara menyalakan lampu kabin, sengaja agar cahaya di sekitar mereka lebih terang. Momen ini tidak boleh disia-siakan tanpa cahaya yang cukup, sebab Tara ingin melihat lebih jelas bagaimana ekspresi Zanitha kala mendengar jawabannya.

“Terus diam-diam saya udah minta izin ke orang tua kamu dan mereka ngasih restu dengan syarat, saya sama kamu baru boleh pacaran, belum buat nikah.”

Sesuai ekspektasi, saat Tara membongkar rahasia yang selama ini dia jaga sampai waktunya tiba—yaitu hari ini—Zanitha terkejut hingga matanya membulat sempurna.

“Apa?!”