Taring Runcing
tw // body shaming

Belanja bulanan adalah kegiatan rutin yang tidak boleh lewat dari jadwal, bahkan diusahakan tidak boleh lebih cepat dari jadwal. Jika lebih cepat, artinya pengeluaran terlalu boros dan itu tidak baik. Setiap jadwalnya belanja, Martin pasti akan pulang cepat dan menjemput Martha serta Markus yang wajib diboyong.
Dibandingkan Martha, Martin orang yang lebih teratur soal urusan belanja. Pria itu akan lebih dulu tahu barang apa yang sudah hampir habis dan langsung mencatatnya di notes agar tidak lupa dibeli, memastikan persediaan masih ada hingga waktu berbelanja tiba, serta menggunakan persediaan sebaik mungkin agar tidak ada pemborosan.
Tidak sampai di situ, Martin jadi orang tersibuk mendorong troli dan mengambil keperluan sesuai notes di ponselnya yang digenggam oleh Martha. Tugas Martha selain menggenggam ponsel juga membacakan apa saja yang belum dibeli, serta tidak lupa mendorong stroller tempat Markus berada.
“Pampersnya Markus kamu aja yang pilih, ya. Aku bingung,” titah Martin, menunjukkan cengiran bingung melihat jajaran pampers dengan berbagai merk, ukuran, bahkan usia yang tidak terlalu familier di matanya.
Martha hanya tinggal menunjuk pampers apa yang biasa dipakai Markus sesuai ukurannya, lalu langsung mengambil dan memasukkan ke troli beberapa pack pampers untuk persediaan selama satu bulan.
“Tumben di list nggak ada susu kamu,” ucap Martha bingung ketika menyadari ada yang kurang dari daftar belanjaan hari ini. “Biasanya nggak absen dicatat.”
Sembari melanjutkan perjalanan menuju station lain, Martin berkata, “Susu aku masih ada, kok.”
“Masa, sih? Tadi pagi aku lihat susu kamu udah habis, makanya nggak minum.”
Masih sambil berjalan menelusuri supermarket yang luas, Martin menjawab seraya menunjuk ke satu arah menggunakan matanya, “Tuh, susu aku masih ada sampai sekarang.”
Martha sontak menutupi dadanya saat paham apa maksud Markus bicara begitu padanya. Martha layangkan pukulan pelan di lengan Martin yang hanya ditanggapi tawa seakan itu gelitikan kecil tak menyakitkan.
Saat sedang bermesraan di muka umum, ada empat orang gadis berseragam SMA tiba-tiba menghalangi langkah keluarga kecil itu. Keempat gadis itu tersenyum semringah menatap Martin yang langsung dipahami betul siapa mereka hingga bisa bereaksi demikian.
Martha spontan mundur dua langkah dan menutup stroller, sengaja agar wajah Markus tidak terlihat oleh mereka berempat. Martha mundur bukan karena rasa percaya dirinya yang tiba-tiba hilang, melainkan sebuah reaksi spontan di mana Martha akan melakukan hal itu ketika Martin bertemu penggemarnya.
Martha tidak mau dikenal sebagai gadis posesif dan mengawasi dengan intens interaksi Martin bersama para penggemar, jadi memilih menjaga jarak agar tidak membuat risi.
“Kak Martin, aku boleh minta foto nggak?”
“Aku juga mau foto dong, Kak Martin.”
“Aku juga mau foto ya, Kak.”
“Please …, aku juga. Kakak ganteng banget, nggak nyangka.”
Keempat gadis itu langsung berebut meminta foto setelah Martin mengakui sosoknya. Satu gadis berkacamata berfoto lebih dulu, disusul oleh gadis berambut pendek, kemudian gadis berambut panjang, dan ditutup oleh gadis berhidung mancung yang paling heboh di antara temannya.
“Seneng banget ketemu Kak Martin di sini. Aku sering nonton podcast Kakak, lho,” ucap gadis berhidung mancung itu dengan atusiasme yang tinggi.
Teman-temannya yang lain tidak mau kalah, ikut memuji acara Martin, bahkan menyebut setiap bintang tamu yang ada dengan benar untuk membuat takjub pria itu karena acaranya sukses juga di kalangan remaja.
“Makasih, ya, udah nyempetin nonton. Kalau kalian mau nyaranin tema sama narasumber boleh DM ke akun podcast-nya langsung, ya. Nanti bisa dipertimbangin,” balas Martin persuasif, memanfaatkan situasi dengan baik.
Saat sedang berbincang kecil dengan Martin, gadis berkacamata yang netranya begitu jeli menemukan Martha di belakang Martin, langsung mengenali sosoknya meskipun terkejut dengan penampilan Martha yang sangat berbeda dari ingatannya.
“Itu … Kak Martha?”
Suara gadis berkacamata itu mengundang minat tiga temannya yang lain untuk melirik Martha di belakang, menciptakan situasi yang tidak nyaman dan patut segera disudahi adanya. Sebab jika tidak, rangkaian kata buruk akan berkicau tiada henti.
“Adek-adek, aku duluan—”
“Ihh, gendut banget, ya, sekarang.”
“Iya, perasaan pas di foto barunya nggak gendut.”
“Efek kamera kali, ya.”
“Efek baju itu, ketutup biar nggak kelihatan gendut banget.”
“Aduh, maaf banget, ya, Kak Martin. Aku kaget banget sekarang istri Kakak kelihatan beda dari pas nikahan. Waktu itu ‘kan cantiknya sampai bikin aku iri, sekarang agak … kurang, ya. Apa Kak Martin nggak malu?” “Kenapa harus malu?”
Martin membeliak ketika mendengar suara Martha di belakangnya bicara cukup lantang membalas empat anak remaja yang sudah mencemooh fisiknya. Martha mengambil satu langkah mendekat sembari mendorong stroller Markus.
Wanita yang sejak tadi menjaga image agar tidak terlihat buruk itu mulai mengeluarkan taringnya, tidak terima dicaci di muka publik sampai beberapa pengunjung supermarket menatap Martha dengan tatapan geli ketika empat gadis di hadapannya menggunjing. Martin yang sudah pasang badan untuk beraksi, memilih mundur untuk memberi spotlight agar sang istri menunjukkan taring yang selama ini ditahan.
“Dek, kalian mending belajar yang bener, termasuk belajar ngasih komentar yang baik ke orang. Kalian perempuan, suatu saat bakal ada di posisi saya. Kalau nanti udah ada di posisi itu, kalian bakal nyesel udah ngomong kayak tadi.”
Martha menatap satu per satu remaja yang mulai bergetar mendengar perlawanannya. Tipe anak labil yang hanya menindas orang lemah, tetapi tidak berani berkutik ketika merasa disudutkan.
“Kalian nggak perlu khawatir Martin bakal malu sama keadaan aku kayak gini. Kalau malu, Martin nggak akan bawa aku ke muka publik. Justru harusnya kalian yang malu belum jadi apa-apa tapi udah berani ngatain istri orang, apalagi nggak lihat situasi sebenarnya. Jadi, mending jangan sok tahu dan isi kepala kalian sama hal bermanfaat. Jangan urusin penampilan orang yang nggak ada untungnya buat kalian.”
Martha menyerang tanpa ampun, tidak peduli dengan image-nya yang mungkin rusak di mata banyak saksi hari ini. Serangan dari orang-orang di media sosial bisa dihadapi, ucapan buruk orang-orang di studio Martin bisa Martha halau, sindiran halus ibu dan mertuanya bisa Martha terima, tetapi penghinaan di depan publik tidak akan pernah dia beri ampun meski lawannya hanya anak labil.
Biarkan orang berkata apa, yang penting Martha bisa melindungi harga dirinya. Sudah puas menyerang keempat gadis yang masih tercengang di tempat, Martha berbalik untuk pergi ke area lain agar bisa jauh dari mereka.
Martin lantas menyusul seraya mengucapkan permisi, tersenyum bangga karena Martha bisa berani bersuara setelah selama ini bungkam. Namun, senyum itu hanya sesaat karena sayup-sayup Martin dengar keempat gadis di belakangnya melanjutkan gunjingan.
“Si gendut sok banget. Kayak paling sempurna.”
“Iya. Kasihan Kak Martin punya istri kayak gitu.”
“Fake banget. Di sosmed kayak malaikat, aslinya iblis.”
“Amit-amit, deh. Gue doain Martha diselingkuhin sama Martin.”