Teguran Nyata

tw // body shaming

Syuting podcast hari ini berjalan lancar seperti biasa. Narasumber tiba tepat waktu di studio dan tidak ada tim yang terlambat datang untuk mempersiapkan syuting. Editor video sudah siap untuk bekerja setelah makan siang nanti, lalu video akan diunggah ke kanal YouTube pada pukul tujuh malam. Itu adalah jam rutin yang tidak pernah terlewat. Bila video yang diunggah jadi terhambat akibat narasumber batal datang atau seperti kejadian Martha beberapa waktu lalu, bisa juga karena kesalahan teknis yang tidak bisa dihindari, maka pengumuman wajib diberikan agar para subscriber tahu adanya perubahan jadwal dan tidak menunggu tanpa kepastian.

Syuting secara konsisten akan selesai pukul dua belas siang setelah kurang lebih dua jam berjalan—durasi maksimal setiap podcast berlangsung. Kalaupun terlambat, biasanya karena ada kendala dari persiapan atau lagi-lagi narasumber yang sedikit terlambat.

Rampungnya syuting podcast sangat dinanti oleh seluruh tim untuk istirahat makan siang, kadang sedikit mengevaluasi sesi awal setiap makan siang bersama. Tak terkecuali Martin yang langsung keluar dari studio untuk menunggu sang istri datang mengantarkan makan siang.

Sengaja Martin diam di luar demi menyambut wanita kesayangannya, sedangkan anggota tim yang lain sudah memulai makan siang karena telah memesan makanan sejak pagi dan dikirim menjelang syuting rampung.

Martin biasanya bergabung, kecuali bila Martha mengirim makan siang baik atas request-nya atau wanita itu yang menawarkan sendiri.

Saat tengah asyik menanti, tiba-tiba Dalia muncul dan bergabung dengan Martin seakan pria itu hanya sibuk menikmati pemandangan siang—yang sesungguhnya tidak terlalu asyik. Martin spontan menjaga jarak, terlebih ketika menyadari Dalia yang tersenyum penuh arti meminta untuk direspons dengan hati.

“Kak Martin, tadi syutingnya keren, deh. Opini pas nanggepin narasumbernya juga mantep banget. Kalau lagi syuting Kak Martin ganteng, tapi pas lagi di luar syuting gini lebih ganteng.”

Martin hanya tersenyum, tidak nyaman dengan pujian berlebihan yang Dalia layangkan padanya selama bekerja. Awal-awal Dalia begitu masih bisa Martin tanggapi santai, tetapi akhirnya pria itu sadar bahwa ulahnya di awal salah karena membuat adik sang kawan malah makin menggodanya. Sekarang setelah Martin lelah menanggapi, Dalia tidak bisa berhenti.

“Kak Ganteng, minggu lalu aku ditegur Kak Martha karena manggil kamu ganteng terus. Padahal ‘kan biasa aja, ya. Emang fakta, kok.”

Ini perempuan maksudnya lagi ngadu soal istri gue gitu, ya? Duh, Dek. Kan gue malah seneng lo ditegur.

Martin membatin sembari menatap lurus ke jalanan terik saat mentari tengah berdiri tegak di atas, membuat siapa pun ogah untuk keluar, tetapi diharuskan pergi untuk makan.

“Kak Martin nggak keganggu ‘kan aku begini? Aku bilang ganteng karena kagum aja kok, Kak. Enggak maksud rebut. Beneran, deh. Sebelum kerja di sini ‘kan aku penggemar Kakak di sosmed.”

Martin manggut-manggut, lalu tidak lama menggeleng karena tidak mau merespons Dalia secara positif lagi. Perempuan berusia 23 tahun itu harus diberi ketegasan untuk sekian kalinya oleh Martin. Lelah, tetapi harus mau dilakukan berkali-kali.

“Dalia, tolong jangan manggil aku ganteng terus, ya. Aku ucapin makasih buat pujiannya, tapi ini keseringan dan kita ada di lingkungan kerja yang profesional. Jadi, baiknya jangan ngomong gitu lagi ke aku.”

Dalia sempat murung, hanya bertahan beberapa detik sampai akhirnya kembali menabur senyum. “Berarti kalau di luar lingkungan kerja boleh ya, Kak?”

“Enggak boleh juga.”

Martin dan Dalia terlonjak kaget mendengar suara familier yang cukup lantang menegur mereka—lebih tepatnya hanya ditujukan pada Dalia, tetapi Martin merasa ikut jadi korban. Entah sejak kapan sumber suara itu tiba, tetapi hadirnya Martha sembari menggendong Markus menjadi angin segar untuk Martin yang sudah cukup lama menanti. Tidak lupa ada lunch bag yang dijinjing oleh Martha, dibawa agar suaminya tidak makan siang sembarangan.

Martha menatap lurus ke arah Dalia yang sedikit terancam dengan kehadirannya, diingatkan kembali ketika ditegur oleh istri atasannya soal memanggil Martin tampan. Ingatan itu tidak menyenangkan, jadi wajar bila Dalia berdecak kesal melihat Martha yang kini ada di hadapannya.

“Kamu nggak boleh manggil Martin ganteng atau apa pun itu di luar jam kerja. Martin sama nggak nyamannya. Paham?” ketus Martha yang gemas ketika menyaksikan Dalia berulah secara langsung, jauh lebih menyebalkan ketika ditegur via virtual.

“Baru diomongin gitu aja lebay, deh. Kak Martin diam aja, kok,” kilah Dalia yang merasa tindakannya benar.

“Martin diam tapi bukan berarti biasa aja, ya. Dia udah sering negur kamu, apa susahnya coba dengerin tegurannya?”

Martin meraih sang istri yang tampak tegang ketika melawan Dalia, tak lupa melindungi Markus dengan mengambil alih dari Martha agar tidak bingung melihat sang mama yang sedang menunjukkan taringnya.

“Tim lain juga ada perempuan, tapi cuma kamu yang ganjen sama Martin. Jangan mentang-mentang punya kakak di sini, kamu bisa seenaknya pas kerja. Tolong bedain antara jadi penggemar sama tukang godain suami orang. Kamu harus tahu batas, Dalia. Jangan gangguin kenyamanan orang dengan dalih cuma muji. Paham?”

Martha menegur tanpa ampun, telunjuknya sampai menunjuk wajah Dalia untuk mempertegas setiap ucapannya. Martin tidak ingin ikut campur, sebab perempuan yang sedang melawan perempuan lain jauh lebih menyeramkan dari apa pun. Martin kira Dalia akan kapok atau merasa bersalah, nyatanya perempuan itu menanggapi dengan santai tanpa merasa berdosa dengan ulah dia sebelumnya.

“Si Kentung lagi ceramah,” balas Dalia, menyerang tepat ke titik terlemah Martha.

Buktinya sekujur tubuh Martha bergetar, menunjukkan reaksi takut yang amat besar ketika perlawanannya dipatahkan oleh hinaan fisik terendah.

“Hei!” hardik Martha, tetapi suaranya bergetar tak memiliki daya.

“Kamu jangan berlebihan, dong.” Martin otomatis pasang badan untuk melindungi istrinya. Kali ini tidak membiarkan Martha melawan sendirian.

“Dia juga lebay, Kak. Aku nggak maksud godain malah dituduh gitu. Mending urus dulu tuh badan kalau takut Kak Martin di—”

“Udah!” cegat Martin meninggikan intonasi suaranya, menyentak Dalia sebelum dia menyelesaikan ucapannya. “Kamu lebih parah, Dalia. Baiknya dengerin kata istri saya.”

Martin lantas membawa Martha dan Markus masuk sebelum terjadi perang yang tidak diinginkan. Ketika masuk rupanya beberapa anggota tim sempat menguping dari dalam, termasuk Julian yang tidak berniat membantu adiknya di tengah kesulitan. Julian malah geleng-geleng miris ketika keluarga kecil yang sempat melewatinya telah berlalu jauh.

Sembari mendekati Dalia yang masih di luar, Julian berkata, “Adek gue sok keren amat ngelawan Martin sama Martha.”