Thankyou

Hampir 1,5k kata. Enjoy ^^


“Mungkin kamu nggak akan percaya ini, tapi alasan aku minta bantuan ke kamu bukan semata-mata karena adiknya Trian. Aku minta bantuan karena kita pernah satu sekolah, aku pernah lihat kamu main drama, dan kamu orang yang aku suka itu, Eila.”

Saat diminta tolong untuk menjadi partner sang aktor ternama bernama Jibran Dava Adelard, Eila sudah mempersiapkan diri untuk terpesona kala melihat visual Jibran yang sering diagung-agungkan oleh banyak orang bersamaan dengan aktingnya. Eila juga sudah siap untuk menahan diri agar tidak histeris melihat seindah apa Jibran secara langsung dalam jarak yang dekat.

Eila bukan penggemar Jibran dan mengaku tidak pernah menonton filmnya, tapi bukan berarti sosok Jibran diabaikan olehnya. Bagaimanapun juga, Eila adalah perempuan normal yang bisa langsung melotot atau menghentikan segala aktivitasnya demi melihat laki-laki setampan Jibran. Jadi, tidak heran Eila butuh pertahanan diri yang tinggi agar tidak menunjukkan rasa kagumnya terhadap Jibran.

Namun, menyukai Jibran bukan sesuatu yang Eila siapkan sebelumnya, apalagi ketika pria itu mengaku memiliki rasa yang sama—bahkan sudah jauh lebih dulu memiliki rasa itu sebelum Eila—jelas sangat mengejutkan sampai-sampai Eila nyaris kehilangan napas.

Fakta bahwa mereka satu sekolah bisa Eila terima, tapi pernah melihatnya bermain drama dan ternyata Eila adalah perempuan yang Jibran suka? Rasanya seperti mimpi yang tak akan menjadi nyata, jadi Eila mengira bahwa ini masih bagian mimpinya.

Suasana berubah kaku dan dingin, bagaikan es yang sulit mencair. Eila menatap lurus ke arah Jibran, tapi pandangannya kosong seakan isi pikirannya ikut terhapus tanpa sisa. Lain dengan Jibran yang justru menatap Eila harap-harap cemas, sampai dadanya bergemuruh tak tenang kala menantikan respons yang akan diberikan oleh Eila.

Waktu seakan berjalan lebih lambat, ditambah lagi jeda yang ada di antara mereka tidak bisa dibilang sebentar. Bunyi jarum jam yang bergerak di ruang tengah terdengar hingga ke ruang makan, menjadi pertanda bahwa kesunyian di antara Jibran dan Eila sudah memprihatinkan dan butuh segera dipecahkan.

Beruntung, Eila sadar di waktu yang tepat. Karena jika Eila tidak kunjung bereaksi, Jibran sudah berencana tertawa dan meralat semuanya bahwa itu hanya gurauan belaka. Jibran tahu alasan itu terdengar konyol, tapi daripada dia menanggung malu, lebih baik begitu. Kini Eila menegakkan posisinya dan matanya memindai ke sana kemari seolah mencari jawaban yang pas.

Tak lama, barulah ia bertanya, “Soal yang pernah lihat aku main drama itu … beneran?”

Jibran lega karena akhirnya Eila merespons, sekaligus terkejut karena hal pertama yang Eila tanyakan adalah soal drama. Bukan perihal mereka yang satu sekolah, apalagi soal Eila yang Jibran suka.

“Iya,” jawab Jibran seraya mengangguk. “Bahkan aku salah satu siswa yang bikin properti buat drama kamu.”

“Apa?!”

Eila memekik hingga matanya membulat sempurna. Sampai-sampai Jibran tersentak ketika mendengarnya. Eila lantas berdiri, lalu berjalan menjauhi Jibran untuk memutar otaknya yang bekerja lebih lambat dari biasanya. Jibran tak tinggal diam. Kakinya mengikuti Eila yang berjalan di sekitar rumah dengan langkah pelan, tapi tentu dengan jarak yang cukup jauh untuk memberikan Eila ruang sendiri.

Eila gigit kukunya, mencoba mencerna beberapa fakta yang ia dapatkan tanpa pernah diduga. Pernah satu sekolah dengan aktor saja tidak pernah Eila sangka-sangka. Apalagi kalau ditambah fakta bahwa Jibran tidak hanya menonton dramanya, tapi juga terlibat dalam persiapan yang cukup menguras tenaga. Astaga! Takdir macam apa ini?

Eila berbalik menghadap Jibran dengan napas terengah seakan ia sudah lari marathon, padahal hanya pikirannya yang berlari ke sana kemari akibat fakta yang masih belum bisa ia terima dengan nalar—terlebih fakta terakhir. Jibran kembali harap-harap cemas, sampai ia menyembunyikan kedua tangan di balik punggungnya dan menantikan Eila untuk bicara lagi setelah lebih tenang.

“Kok bisa? Maksudnya … kenapa orang kayak kamu bikin properti buat drama?”

Jibran mengangkat kedua bahunya. “Apa maksudnya orang kayak aku?”

“Kamu aktor, kamu kerjanya di depan kamera, tapi saat itu kamu malah bikin properti buat aku yang aktingnya aja berantakan. Itu … aneh banget.”

Jibran tersenyum, nyaris tertawa sebenarnya jika saja dia tidak bisa mengendalikan diri. “Eila, aku bukan siapa-siapa pas masih sekolah. Aku nggak punya nama besar, fisik yang sempurna, apalagi dapat banyak pujian kayak sekarang. Dulu aku cuma siswa biasa yang wajib belajar di sekolah, terus nyari aktivitas lain buat isi waktu dan itu adalah bikin properti drama, di mana ada kamu di situ sebagai pemeran utama.”

Alasan itu bisa Eila terima, tapi fakta bahwa Jibran menonton dramanya tetap belum bisa dicerna dengan baik. Rasanya masih mengganjal karena masa lalu memalukan itu diungkit. Saat itu Jibran boleh bukan siapa-siapa, tapi kala Jibran mengatakannya sekarang saat dia sudah punya nama besar, keganjilan justru dirasakan Eila seakan tidak seharusnya sang aktor begitu. Eila menggeleng pelan, mencoba menepis segala hal aneh dalam pikirannya dan fokus pada kenyataan di depan.

“Jujur, sebelum kita ketemu, aku nyari tahu soal kamu di Google dan cukup kaget waktu dapat fakta bahwa ternyata kita pernah satu sekolah. Aku juga nggak tahu kamu saat sekolah, tapi aku mikir kamu laki-laki popular yang kebetulan aku nggak tahu aja. Soalnya … di sekolah aku bukan siswa yang tahu banyak orang. Aku lebih suka di kelas dan pertemanan aku sempit banget. Aku kenal sama semua orang di kelas, sedangkan yang nggak satu kelas, aku nggak akan kenal. Aku nggak berani bilang kita pernah satu sekolah waktu pertama ketemu karena mikirnya nggak akan penting juga buat kamu. Lagian … belum tentu juga kamu kenal aku, jadi milih nggak bilang supaya kesannya aku nggak sok akrab. Makanya waktu kamu ngaku sendiri bahwa kita satu sekolah, kamu lihat drama aku dan jadi tim properti, itu … aku nggak nyangka banget.”

Jibran bisa memahami penjelasan Eila walau harus susah payah menahan tawanya. Apa katanya tadi? Jibran laki-laki popular? Boro-boro. Ditaksir perempuan saja tidak pernah, apalagi popular. Namun, anggapan itu bisa Jibran terima karena Eila baru mengenalnya sekarang setelah terkenal.

Tidak heran juga jika Eila malah asing dengan sosoknya di sekolah yang hanya siswa biasa saat itu. Setelah beberapa saat dilanda kepanikan, kerutan di dahi Eila mengikis dan ia sudah bisa mengendalikan segala pikiran aneh di kepalanya. Eila pun lebih mampu mengendalikan diri, meski harus diakui debar jantungnya masih belum bisa diajak berkompromi.

“Jadi …, apa harus kita kenalan lagi supaya lebih akrab?” Eila mencoba memecahkan kecanggungan di antara keduanya, meski ia sendiri merasa aneh dengan topik yang dibuat. “Kita pernah satu sekolah, berarti bisa lebih akrab kayak teman alumni.”

Jibran tersenyum lebar sembari berjalan mendekat, lalu mengulurkan jabatan tangan pada Eila sebagai tanda bahwa ia menerima perkenalan kedua dengan identitas berbeda.

“Aku Jibran Dava Adelard. Aku satu sekolah sama kamu dan pernah lihat kamu main drama. Saat itu akting kamu bagus dan cantik, sampai bikin aku gagal fokus pas bikin properti setiap kamu latihan.”

Tanpa perlu jeda banyak, Eila membalas jabatan Jibran, tapi dengan perasaan lain yang tidak biasa. Pasalnya tangan Eila dingin, berlainan dengan telapak tangan Jibran yang hangat, seakan sudah mampu mengendalikan fisik, hati, dan pikirannya agar tidak berbuat ulah.

“Aku Ardania Eila Madaharsa, yang masih nggak nyangka bisa satu sekolah sama kamu.”

Meski di kepalanya berlarian banyak kata, tapi hanya itu yang sanggup Eila katakan setelah mampur mencerna segala fakta dari Jibran. Perkenalan ini berbeda, karena tidak hanya menunjukkan identitas lain sebagai dua orang yang sebenarnya bisa saling mengenal dan dekat sejak lama, tapi perasaan mereka pun tersalurkan meski masih banyak yang ditahan. Khususnya dari Eila sendiri yang membekam rasa di dada dan nyaris terlisankan saat telah di ujung lidah.

“Kamu … beneran suka sama aku?”

Masih dengan tangan yang saling berjabatan, Jibran cukup terkejut karena Eila mau membahas hal tersebut. Sebagai balasan, Jibran hanya mampu mengangguk yang segera direspons oleh Eila.

“Sejak kapan?”

“Sejak aku jadi tim properti dan lihat kamu latihan. Di situ aku kagum banget sama akting kamu. Sampai akhirnya rasa kagum itu nggak bisa aku tahan setelah lihat kamu di panggung. Saat itu aku sadar udah bukan kagum lagi, karena berubah jadi rasa suka sebagai laki-laki ke perempuan yang berharap bisa memiliki, tapi aku cuma bisa berpuas diri dengan lihat kamu jadi jauh, dan jadi salah satu doa waktu perpisahan supaya kamu ketemu orang yang sepadan sama kamu.”

Eila kembali syok hingga raganya membeku seakan ditembakkan oleh es yang tak mampu mencair sebesar apa pun usaha yang dikerahkan. Pengakuan Jibran soal masa lalu bukan sesuatu yang Eila siapkan, apalagi yang bersangkutan dengan perasaan karena baginya itu sesuatu yang tidak mungkin terjadi.

Lantas kini, setelah pengakuan terlisankan tanpa merasa ada yang membatasi perasaan dalam dada, Eila malah merasakan ketakutan besar untuk ikut mengakui perasaan yang ia sadar telah dimiliki untuk Jibran. Bukti bahwa Jibran pasti menerimanya ada di depan mata, tapi Eila terlalu takut untuk mengakui hal serupa karena dirinya merasa bukan apa-apa. Bibir yang terkatup itu terbuka sedikit, telah siap merapalkan rangkaian kalimat spontan yang kondradiktif dengan kenyataan.

Tanpa senyum, Eila berkata, “Makasih buat perasaannya, Jibran. Aku hargai itu.”