The Gift
Saat tahu Tara tidak akan langsung pulang setelah selesai bekerja karena harus menjaga Charity saat Liona sedang sakit, Zanitha memilih tidur saat waktu sudah memasuki pukul empat sore. Zanitha tahu tidur sore itu tidak baik, tapi dia butuh pengalihan dari rasa sepi yang terlalu sering didapat dan tidur adalah salah satu solusinya. Zanitha tutup semua tirai di kamar, mematikan lampu hingga kamar gelap gulita seperti sudah malam. Dia nyalakan AC dan menyetel suhu mencapai batas maksimal, lalu berbaring di kasur sambil membungkus sekujur tubuh menggunakan selimut.
Tak butuh lama bagi Zanitha untuk dijemput oleh bunga tidur, berharap dia bangun esoknya dan memulai hari baru yang pasti berakhir sama; pagi mengurus Tara yang pergi bekerja, lalu ditinggalkan sampai malam. Zanitha sangat damai dalam tidurnya, tidak bising oleh isi kepala yang memutar banyak hal, serta dipenuhi gejolak membara di hati akibat cemburu yang berlebih.
Namun, kedamaian sedikit terganggu ketika mendengar cekikikan pelan dari sisi kirinya, lalu merasakan elusan dari jemari ukuran kecil di dahi Zanitha. Akibatnya mata Zanitha terbuka perlahan. Hal pertama yang dia lihat adalah langit-langit kamar lebih terang dari terakhir dia ingat. Zanitha yakin sudah menutup semua akses masuk cahaya, tapi kenapa sudah terang saja? Apa sudah pagi? Sampai akhirnya Zanitha menemukan sumber cekikikan yang membuatnya terbangun.
Rupanya itu ulah Charity yang ikut berbaring di samping Zanitha, tersenyum lebar melihat perempuan yang terpaksa diganggu terbangun.
“Mama udah bangun,” ucap Charity senang sambil mengelus dahi Zanitha yang mengernyit heran.
Mama, katanya. Zanitha tidak salah dengar, ‘kan? Kalau tidak salah, apa mungkin dia masih mimpi? Sebab di dunia nyata, Charity tidak mungkin memanggilnya begitu. Ya, pasti Zanitha masih bermimpi dan di dalamnya dia menjadi Liona, sebab itu Charity memanggilnya mama.
“Bangun, Mama. Ayo, makan,” titah Charity seraya menarik lengan Zanitha yang tidak berdaya.
Akibat lengan Zanitha lebih besar, Charity jadi sedikit susah payah ketika menarik karena tenaganya pun sangat minim.
“Mama, jangan rebahan terus. Kita makan aja, ya. Makanannya enak banget.”
Betah sekali mendengar sebutan Mama disematkan untuknya, tetapi lama-lama Zanitha sedih karena dia dianggap orang lain oleh Charity. Tanpa bisa ditahan, tiba-tiba Zanitha berurai air mata yang membasahi pipi. Tirta itu mengejutkan Charity yang dengan sigap menghapus setiap tetesnya agar tidak makin membanjiri pipi.
“Mama, kenapa nangis?”
Ditanya begitu malah membuat pertahanan diri Zanitha runtuh. “Aku bukan Mama Liona.”
Charity yang masih kecil antara sedih dan bingung mendengar ucapan itu.
“Aku bukan Liona.”
“Mama emang bukan Mama Liona, tapi Mama Zanitha.”
Sedetik kemudian Zanitha ditarik ke realitas yang dia kira mimpi semata. Zanitha sontak bangkit dari posisi berbaring, meraih ponsel di nakas yang menunjukkan waktu sudah memasuki pukul tujuh malam. Astaga! Jadi, tadi itu—tunggu. Zanitha masih tetap harus berpikir jernih. Bisa saja tadi tetap halusinasinya, jadi Zanitha harus memastikan bahwa dia tidak sendiri di kamar.
Zanitha menoleh ke samping kiri setelah meletakkan kembali ponselnya di atas nakas, menemukan Charity yang duduk sambil menelengkan kepala karena bingung melihat tingkah perempuan di sampingnya.
“Mama, nggak apa-apa? Mama sakit?”
Zanitha menahan napasnya, masih harus mencerna panggilan baru yang dia terima karena merasa aneh dan takut salah dengar.
“Chaca … beneran manggil Mama ke Tante?”
Charity mengangguk pelan. “Dari tadi Chaca udah manggil Mama. Mama nggak denger?”
Mulut Zanitha menganga kecil, kepalanya mendadak pusing antara efek tidur sore atau panggilan yang masih sangat sulit dicerna oleh hati. Sepanjang berjalannya pernikahan, tidak ada paksaan bagi Charity harus memanggil mama pada Zanitha. Baik Tara dan Liona sendiri tidak menyuruh, Zanitha juga tidak mau merayu jika Charity belum mau. Sebab itu Zanitha belum mampu mencerna secara utuh, bahkan kedatangan Charity saja masih membuatnya takjub.
Charity mendekat, naik ke pangkuan Zanitha yang wajahnya sedikit bengkak akibat baru bangun dan menangis. Charity menempelkan punggung tangan ke dahi Zanitha, dilakukan selama beberapa detik sampai akhirnya ditarik menjauh.
“Mama nggak panas. Berarti nggak sakit, ya.”
Zanitha tersenyum, antara gemas dengan tingkah Charity dan terlampau senang mendengar panggilan itu. “Tante—maksudnya Mama, nggak sakit. Cuma … agak pusing karena habis bangun tidur.”
Charity ber-O ria, percaya saja dengan semua yang dikatakan Zanitha. “Mama kenapa tidur duluan? Ini ‘kan belum waktunya tidur.”
“Soalnya sendiri di rumah, kesepian nggak ada yang nemenin, makanya mending tidur.”
Charity tersenyum lebar hingga gigi susunya terlihat jelas. “Sekarang Chaca di sini temenin Mama, ya. Chaca nginep,” gadis itu menggerakan jemarinya sambil komat-kamit tidak jelas, “tujuh hari. Iya, Chaca nginep tujuh hari di sini.”
Zanitha sedikit skeptis. “Beneran? Terus Mama Liona gimana? Bukannya lagi sakit?”
“Mama Liona udah sehat, kok. Makanya ngasih Chaca izin buat nginep di sini.”
Syukurlah bila Liona benar sudah sehat. Zanitha lega karena tidak perlu membatin membayangkan bagaimana Tara menjaga Li—oh, tidak! Zanitha tidak boleh berpikir buruk lagi soal Liona yang sudah mengizinkan Charity menginap dalam waktu lama. Zanitha harus berterima kasih karena memiliki kesempatan bersama Charity dan yang paling penting Tara bisa di rumah setiap malam.
“Chaca manggil Mama ke Tante disuruh sama siapa?”
“Chaca nggak disuruh siapa-siapa. Chaca mau sendiri.”
“Oh, ya?”
“Iya, Ma,” balas Charity sambil mengangguk agar lebih dipercaya.
“Sebenernya Chaca udah sering mau manggil gitu, tapi suka malu.”
“Sekarang masih malu?”
“Enggak, dong. Malah seneng Chaca jadi punya dua mama.”
Zanitha tertawa dengan suaranya yang masih parau. “Beneran seneng … punya dua mama?”
“Seneng banget. Chaca jadi punya banyak temen main.”
Charity memang yang terbaik. Buktinya berhasil membuat Zanitha gembira kembali. Zanitha peluk Charity erat, sebagai ucapan terima kasih atas panggilan baru yang membuatnya merasa lengkap. Dipanggil Tante sangat menyenangkan, tapi dipanggil Mama lebih membahagiakan. Zanitha merasa dianggap jadi keluarga, bergabung ke dalam bagian hidup Charity dan terlibat dalam setiap tumbuh kembangnya.
“Cha, mamanya udah—oh, sorry. Kirain belum bangun.”
Zanitha mengurai pelukannya ketika suara Tara mendekat dan kini sudah di ambang pintu kamar, tidak ingin mengganggu kemesraan ibu dan anak yang membuat perasaannya menghangat.
“Mama udah bangun, Ayah.”
Zanitha paksakan senyum, tiba-tiba merasa asing melihat Tara ada di rumah sebelum tengah malam saat hari kerja, tapi dia tetap senang karena tidak perlu merasa kesepian.
“Aku cuci muka dulu. Nanti nyusul.”
Tara mengangguk. “Oke. Chaca ikut Ayah duluan, ya.”
Charity turun dari pangkuan dan tempat tidur, menghampiri Tara yang menanti di ambang pintu, lalu keluar dari kamar meninggalkan Zanitha sendiri untuk membersihkan wajahnya yang kacau akibat air mata. Zanitha sudah mandi sore sebelum tidur, jadi hanya tinggal menyegarkan wajah agar lebih sedap dipandang oleh Tara dan Charity.
Setelah lebih segar dan penampilannya pun rapi, Zanitha keluar dari kamar mandi dan terkejut ketika melihat Tara duduk di tepi kasur seakan tengah menantinya hadir. Tara otomatis berdiri ketika Zanitha mendekat, berusaha santai padahal sama-sama grogi.
“Kenapa nggak nunggu di luar?” tanya Zanitha sambil mengelus pipinya, berharap tidak ada jejak sabun yang tersisa meski tadi sudah dipastikan dia bersih.
“Aku mau ngomong berdua dulu.”
“Kan kita bisa makan dulu, Mas.”
Tara menggeleng sembari merogoh sesuatu dari saku celananya, lalu menunjukkan sebuah barang yang dia temukan di lemari. Zanitha menggigit bibir bawahnya, segan ketika ditunjukkan sebuah gift box kecil berwarna ungu dengan pita berwarna senada sebagai hiasannya. Baiklah, Zanitha tidak mau menunda bila itu yang ingin Tara bicarakan.
“Aku nemu ini pas mau ganti baju dan kamu masih tidur. Aku udah buka duluan dan baca note-nya juga.”
Tara membuka gift box itu, terlihatlah sebuah testpack yang menunjukkan dua garis dan mengartikan positif. Tak lupa note yang bertuliskan, ‘Selamat, kamu mau jadi Ayah lagi,’ yang tersimpan rapi di bawahnya. Tara raih testpack itu, lalu meletakkan gift box di permukaan kasur.
“Kenapa nggak ngasih ini ke aku?”
Zanitha mengedikkan bahunya. “Mau aku kasih pas kamu janji dinner.”
“Tapi kamu bisa ngasih besoknya, Zanitha.”
Zanitha paksakan senyum, tapi begitu pahit kala dilihat. Zanitha elus perutnya yang masih rata, menantikan kehidupan baru yang dititipkan oleh-Nya.
“Karena kamu ingkar janji, aku jadi ragu mau ngasih. Makanya aku nyari waktu yang pas supaya reaksi kamunya juga enak,” aku Zanitha jujur. “Soalnya … aku ragu anak kita bisa jadi prioritas, kalau aku aja keberadaannya masih belum jadi apa-apa. Terus aku juga jadi ragu kamu bakal seneng karena terlalu sayang sama Chaca. Siapa tahu kamu … nggak siap punya anak lagi, ‘kan?”
Tara menggeleng sekali saat bibirnya bergetar menghadapi kenyataan pahit yang harus Zanitha terima akibat ulahnya. Makin terjerumus ke jurang penyesalan karena sadar dia belum bisa membagi prioritas secara adil untuk perempuan yang sekarang menjadi pendamping.
Tara raih Zanitha, membawanya ke dalam dekapan erat. Dibelainya rambut lurus panjang sang istri, merasakan kehadiran yang secara sadar Tara lupakan akibat tidak bisa berbagi. Zanitha sembunyikan wajah di balik pundak Tara, mencari perlindungan yang nyaris hilang.
“Aku seneng, Zanitha. Aku seneng …,” lirih Tara penuh suka dan haru. “Aku mau punya anak dari kamu. Aku selalu siap.”
Zanitha bertanya di balik pundak Tara, “Oh, ya?”
Tara mengangguk cepat, makin mengeratkan pelukannya karena antusias yang tinggi akan mendapatkan anak kedua dan kali ini dari Zanitha. “Maafin aku ya, Sayang. Aku nggak pernah ada buat kamu. Harusnya aku bagi waktu, aku tepatin janji, aku nggak banyak perginya dari kamu, ya. Aku beneran … nggak ada maksud nyakitin kamu. Tapi aku jahat banget nggak pernah mau sama kamu. Aku minta maaf ya, Zanitha. Kamu mau maafin aku, ‘kan?”
Zanitha tidak sanggup bicara, jadi dia membalas pelukan Tara sebagai tanda permintaan maaf diterima. Bukan semata-mata dia lemah hanya karena kata sayang di sana, tapi selama ini yang dia suarakan berupa hak adalah kehadiran Tara dan sekarang—semoga ke depannya—berhasil didapatkan.
Belum lagi ketika Tara dengan sosok kalemnya menunjukkan kebahagiaan besar atas kehamilan Zanitha. Puas memeluk, Tara berlutut tepat di depan perut Zanitha dan mengelusnya hati-hati, seakan gerak yang terlalu agresif akan melukai nyawa di dalam sana.
“Ini kamu masih kecil, ya? Kapan gedenya? Ayah mau ngerasain kamu nendang-nendang dari sekarang, Nak.”
Kata ‘Ayah’ dan ‘Nak’ biasanya hanya Zanitha dengar ketika Tara bicara pada Charity. Sekarang Zanitha bisa mendengar Tara bicara begitu untuk anaknya yang masih menanti waktu hadir. Ketakutan anaknya tidak akan diterima karena sang suami memiliki prioritas lain langsung runtuh, sebab buktinya setelah tahu Zanitha hamil, Tara yang kembali berdiri tampak berseri-seri berkat kebahagiaan baru dari sang istri.
Tentu Zanitha masih marah dan kecewa soal ulah Tara beberapa waktu ini, tapi dia ingin melupakannya sejenak, berganti sukacita dan membuat selebrasi sendiri karena akan memberikan keturunan untuk Tara.
“Susul Chaca, yuk,” ajak Zanitha, tiba-tiba malu saat Tara tidak berhenti mengelus perutnya.
“Sekalian kasih tahu Chaca. Dia pasti seneng.”
“Beneran … bakal seneng?”
Tara belai rambut panjang Zanitha dan mengangguk sangat yakin. “Ayahnya aja seneng, pasti kakaknya juga seneng.”
Kakak, ya. Zanitha merasa hampir lengkap membangun keluarganya sendiri bersama jabang bayi yang akan berbagi kehidupan selama masih di perutnya. Jika Tara saja bisa sebahagia ini, seharusnya benar, Charity pasti menerima dengan sukacita juga.
Maka ketika Tara membawa Zanitha keluar dari kamar untuk makan malam serta memberi tahu kabar bahagia pada Charity, perempuan itu yakin respons baik akan diberi oleh sang putri.