Topeng Kaca

Media sosial adalah sarana yang mengasyikan dan mudah dijangkau oleh banyak pengguna dari kalangan usia. Muda-mudi, hingga yang umurnya tidak lagi muda bisa sangat familier dengan aplikasi berbagai fitur berbeda di dalamnya. Setiap orang pun memiliki media sosial andalan dengan beragam kelebihan untuk berinteraksi, berkreasi, sampai mendapatkan pundi-pundi.
Bila menerima respons yang bagus, keuntungan itu akan didapatkan dengan luar biasa, membuat banyak orang tergiur dengan hasil yang ada. Akan tetapi di balik ingar bingar sebuah media sosial tempat interaksi dengan orang asing, tentu ada bagian negatif yang terkadang mengiringi dan harus disikapi sebaik mungkin jika tidak mau terjebak dalam situasi merugikan.
Orang-orang di media sosial bisa sangat menyenangkan, bisa menjadi kawan di saat susah. Kontradiktif dengan keadaan tersebut, orang-orangnya pun bisa menjadi sangat mengerikan, merugikan, bahkan menjadi musuh yang tertawa di bawah penderitaan pengguna lain tanpa belas kasih.
Martha adalah individu yang menggunakan media sosial hingga cukup sukses dicap sebagai Selebgram. Wajahnya yang manis, bertubuh mungil dan ideal pada masanya, selalu ramah pada setiap pengikut yang berinteraksi dengannya, bisa mengumpulkan pundi-pundi rupiah berkat satu foto saja ketika ada produk yang endorse padanya.
Sekali lagi, namanya tidak sebesar Selebgram lain, apalagi jika disandingkan dengan selebritas ternama yang ikut membuka endorse untuk berbagai macam produk, tetapi pengaruhnya cukup besar dan yang didapatkan pun bisa membuat Martha hidup layak tanpa membebani orang tua.
Saat masih gadis, media sosial adalah tempat yang ramah untuk Martha bicara dan menjadi diri sendiri. Dipuja sedemikian rupa oleh kaum adam dan hawa, sampai notifikasinya selalu penuh oleh komentar yang mengembangkan senyum Martha kala membacanya. Setelah melahirkan anak pertama, media sosial sudah mulai Martha tinggalkan karena dia harus fokus mengurus Markus yang butuh banyak perhatian.
Meski ditinggalkan, nama Martha tetap disebut-sebut di media sosial. Sayangnya bukan karena hal baik, melainkan komentar terkait bentuk tubuhnya yang tak lagi cantik. Beberapa waktu belakangan ini Martha berusaha bangkit dari keterpurukan komentar media sosial, khususnya Instagram yang pernah menjadi tempat menyenangkan untuknya bicara. Saat dia mulai membaik, Martha mencoba kembali ke media sosial Twitter tempat orang bercuit banyak hal.
Martha sebelumnya hanya pengguna Twitter biasa, itu pun tidak terlalu aktif, jadi trend yang ada tidak dia ikuti sebaik mungkin. Dia hanya mendengar orang-orang Twitter banyak yang lebih keji ketika berkomentar, termasuk orang yang menyebar fitnah Martha ada di sana. Kendati demikian Martha berusaha mendekati media itu untuk tahu bagaimana suasana di dalamnya.
Martha tidak mau sembunyi terlalu lama, jadi muncul di Twitter adalah bentuk pertahanan diri agar orang-orang tahu dia tidak selemah yang dibayangkan. Mulainya semua aman, Martha bisa menerima berbagai sambutan positif dan negatif tanpa membawa perasaan serius di dalamnya.
Barulah setelah tujuh hari menjadi pengguna Twitter yang cukup aktif bersuara dengan berbagai respons dari warga sana, Martha merasakan dampak yang tidak baik dari respons itu. Sekarang ketika Markus sedang tidur siang dan ada waktu untuk aktif Twitter, leher Martha terasa seperti dicekik kala menerima berbagai komentar negatif di permintaan pesan. Martha hanya membaca sepintas, tetapi gunjingan yang dilayangkan untuknya tetap nyata seperti membaca utuh.
Di siang bolong saat keadaan rumah sepi dan hanya Martha seorang insan yang sadar, tangannya bergetar luar biasa kala menerima seratus pesan ujaran kebencian yang tidak menerima kehadirannya. Napasnya putus-putus, matanya merah menahan tirta yang berusaha luruh, dadanya berdenyut ngilu, sedangkan sekujur tubuhnya bergetar tanpa tahu pupus.
Kamar yang biasanya penuh gelak tawa bersama anak dan suami, kembali menjadi saksi ketika Martha disiksa oleh belati berupa aksara tak terhitung yang menancap hingga ubun-ubun. Martha yang berniat main cerdik dengan fokus pada komentar positif, nyatanya harus jadi korban keteledorannya akibat komentar negatif.
Tak sanggup tangannya menggenggam ponsel yang jadi sumber derita, Martha biarkan jatuh ke kasur tempatnya duduk bersandar. Telapaknya berusa menyembunyikan wajah nyaris tidak berbentuk akibat air yang masih ditahan agar tidak meluap.
Ada sisi rapuh yang berusaha Martha perbaiki agar kembali utuh, sebab dia pikir bagian itu akan memberinya kekuatan untuk unjuk gigi di depan publik. Nyatanya usaha Martha tidak berhasil, sebab perban yang menutupi sisi rapuhnya itu tidak kuat untuk mengobati, hingga kini berubah menjadi serpihan yang tak tertolong lagi.
Topeng yang Martha gunakan di depan orang-orang, termasuk Martin, tak sanggup lagi menjadi tempat persembunyian bagi sosoknya yang menahan pilu di hati. Topeng kaca yang indah, membuai siapa pun ketika melihatnya, pecah tanpa sisa dan gagal membantu Martha untuk melindungi persona sesungguhnya selagi dia mengumpulkan kekuatan agar bisa menjadi dirinya lagi.
Berbagai usaha itu gagal Martha lakukan, sebab dia tetap kalah oleh komentar orang. Hatinya hancur tanpa yang terdekat tahu, menularkan kehancuran yang sama pada daksa hingga tungkainya tidak sanggup lagi menahan beban.
Tertatih Martha menjauhi kamar untuk melindungi putranya dari jeritan. Begitu dia sampai di tempat penyimpanan dan mengurung diri di sana, Martha menjerit sekeras mungkin, berusaha melupakan berbagai komentar lama dan baru yang didapatkan karena berhasil menjadi siksaan luar biasa baginya.
Layaknya misteri, Martha adalah teka-teki menakutkan yang harus segera dipecahkan sebelum meledak dengan sendirinya. Jika itu sampai terjadi, jangankan orang luar, uluran tangan Martin bisa jadi terasa percuma baginya.