Tuntutan

“Masalah kemarin aku udah urus dengan baik,” ucap Martin bangga sembari mengamati gerak-gerik Martha yang sedang membuatkan makan malam Markus di dapur, tidak lupa mengajak putranya bermain yang tengah duduk anteng di high chair. “Aku udah dapet CCTV dari supermarket dan terbukti omongan di sosmed itu nggak bener. Rekamannya juga udah kesebar, jadi nggak ada lagi yang ngomong jelek soal kamu.”

Martha yang posisinya memunggungi suami dan anaknya tidak bereaksi apa-apa, tetapi diam-diam dia tetap tersenyum karena masalah yang membuatnya menangis nyaris seperti orang kehilangan arah tadi sudah reda. Setelah menuangkan makanan Markus ke mangkok dan membawanya ke ruang makan, barulah Martha bereaksi yang sangat dinanti Martin.

“Makasih udah beresin semuanya, Martin. Pasti capek ngurus masalah kayak gitu di sela-sela kerjaan,” ucap Martha seraya duduk di samping Markus dan mulai menyuapi putranya.

Tidak ada jejak air mata, apalagi sendu yang tersisa di wajah Martha. Wanita itu menyembunyikan segala duka yang dialaminya hari ini di balik riasan tipis, berhasil menghilangkan curiga hingga Martin tidak berpikir aneh-aneh soal istrinya.

“Aku nggak capek, soalnya selesai syuting podcast langsung ngurus semuanya. Itu juga nggak susah, kok. Ada sejam kali aku minta CCTV langsung dikasih, terus bikin pernyataan di sosmed, ngasih rekamannya ke salah satu media terpercaya, terus disebar sampai trending. Pokoknya ngurus penyebar hoax nggak susah karena dia nggak punya bukti apa-apa, beda sama kita yang ngalamin.” Martin belai rambut Martha yang dikuncir rapi. “Kamu nggak usah khawatir lagi, ya. Akun yang nyebar hoax juga lagi diselidiki. Nanti setelah datanya dapet, kita bisa tuntut dia atas dasar pencemaran nama baik.”

Kalimat terakhir Martin menghentikan gerakan tangan Martha yang mengudara untuk menyuapi Markus lagi. Menuntut seseorang? Berurusan dengan hukum? Sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam hidup Martha, apalagi jika itu berkaitan dengan orang lain sebagai pihak yang dilaporkan.

Martha letakkan makanan Markus di atas meja makan, mengabaikan putranya yang berusaha menggapai kembali mangkuk karena masih lapar. Reaksi Martha menimbulkan kerutan di dahi Martin, karena seharusnya sang istri senang, bukannya marah atau menunjukkan ekspresi kecut yang menolak tuntutan diadakan.

“Masalahnya udah beres, jadi nggak perlu nuntut penyebarnya juga, Martin,” tolak Martha setelah bungkam beberapa saat, jawaban yang sangat di luar prediksi Martin.

“Tapi dia udah bikin nama kamu jelek, Martha. Baiknya kita tuntut supaya nggak kejadian gini lagi, biar orangnya juga kapok. Kamu nggak perlu terlalu baik sama orang yang udah jahatin kamu.”

“Aku bukannya terlalu baik, Martin,” bantah Martha yang intonasi bicaranya sedikit meninggi. “Aku nggak mau ada komentar lagi yang bilang kita itu berlebihan. Udah cukup komentar sebelumnya bikin kamu capek bertindak, jangan sampai muncul komentar lain yang bikin keadaan makin kisruh. Lebih baik fokus sama hal lain, okay? Jangan lakuin hal berlebih yang bisa bikin kita jauh lebih rugi.”

Martha lanjut menyuapi Markus makan tanpa menunggu respons Martin, menganggap yang tadi sebagai final percakapan mereka tanpa hasil positif. Martin akhirnya menyerah, tidak mau memaksa Martha untuk melanjutkan ke langkah yang lebih jauh bila istrinya tidak menginginkan.

Seperti niatnya di awal, Martin akan membawa akun penyebar fitnah itu ke meja hijau bila Martha mengizinkan. Lantas kini Martha seolah ingin semuanya selesai tanpa ada drama lain yang memberatkan dirinya apalagi Martin. Selesai tanpa adanya sorotan publik yang ingin mengetahui lebih dalam terkait bagaimana situasi berjalan. Martha ingin semuanya kembali hening seperti biasa, jauh dari ocehan orang, hanya itu.

Dengan pilihannya, Martin belum puas tidak bisa bertindak semaunya. Kendati demikian Martin menghargai keputusan Martha asalkan itu yang terbaik untuk istrinya.