Usai

“Tante, ini … mau?”
Gilang menawarkan sepotong keripik kentang pada Eila yang tengah memangkunya. Eila membuka mulutnya, lalu memakan keripik dari tangan keponakannya.
“Enak?”
“Enak banget,” puji Eila. “Makasih.”
Gilang hanya tertawa, lalu kembali menikmati cemilannya yang masih terisi penuh. Saat ini Eila berada di kediaman kakaknya, membantu menjaga Gilang selagi mamanya mengurus sang adik yang baru berusia satu minggu, bersama Trian di kamar bayi. Sudah dua hari Eila menginap, akibatnya dia tidak menerima orderan croffle sampai kondisi keluarga Trian sudah lebih stabil mengurus dua anak.
Belum lagi Trian perlu mengurus Jibran yang sebentar lagi memulai syuting. Jadi waktu untuk istri dan anak sedikit berkurang, membuat Eila dan Natta harus mau membantu agar Thalia tidak kesepian. Omong-omong soal Jibran, Eila tidak pernah sengaja ingin tahu kabarnya, kecuali Jibran yang tiba-tiba memberi kabar atau dari Trian yang melapor secara sukarela.
Eila juga jarang membuka media sosial, terlebih Twitter tempat ia mempromosikan usahanya. Alhasil dia pun tidak tahu bagaimana kabar terkini soal film terbaru Jibran.
“Kak Jibran langsung masuk kamar anak mereka aja, nggak apa-apa. Tadi Kak Trian sendiri yang nyuruh.”
Tunggu! Jibran? Eila dengan sigap memeluk Gilang dan melihat ke sana kemari ketika mendengar suara Natta yang menyebut-nyebut nama Jibran. Seingat Eila, Natta tengah pergi membeli cemilan ke minimarket terdekat. Jika benar dia sudah pulang dan nama Jibran dibawa, apa mungkin aktor itu ikut dengannya?
Kalau iya, Eila panik bukan main sampai mencari perlindungan dengan memeluk Gilang yang keheranan. Untungnya Gilang tidak bertanya apa-apa, meski aneh karena dipeluk tanpa aba-aba.
“Kak Thalia sama Kak Trian di kamar, ‘kan? Ini Kak Jibran mau jenguk.”
Eila spontan berdiri ketika Natta menghampirinya di ruang tengah. Tentu bukan kedatangan Natta yang membuat Eila sampai meluruskan kaki dengan tangan yang kini menggendong Gilang, melainkan ada tamu lain yang dibawa Natta dengan sebuah bingkisan berwarna merah muda di tangan kanannya.
Eila menggigit pipi bagian dalamnya, mati-matian menahan ekspresi agar tidak terkejut, apalagi terlihat seperti orang merindu. Lain sekali dengan Jibran yang matanya jelas berbinar, tapi tetap menahan diri untuk tidak melayangkan kata rindu yang sudah di ujung lidah.
“Ada,” jawab Eila singkat. “Aku nggak tahu kamu mau ke sini,” tambah Eila yang kali ini ditujukan pada Jibran.
Yang dituju mengukir senyum, tak menyangka akan diajak bicara meski ekspresi Eila tidak begitu ramah. “Tadinya mau ngasih tahu, tapi takutnya nggak penting buat kamu.”
Penting banget, Jibran. Ini aku jadi bisa siap-siap biar nggak malu-maluin. Batin Eila boleh bersuara, sedangkan bibirnya terus membisu dan hanya mengangguk sebagai respons. Suasana canggung tidak bisa dilerai, membuat Natta tidak bisa membiarkan Jibran dan Eila terlalu dekat lebih lama. Padahal Natta niatnya ingin menjadi mak comblang dadakan supaya sejoli ini bisa memekarkan rasa yang masih ada, tapi belum apa-apa sudah gagal.
“Yaudah, Kak. Mau aku anterin ke kamar?”
“Boleh,” balas Jibran yang ingin segera pergi, pasalnya berdekatan dengan Eila saat ini bukan pilihan baik.
Setelah Jibran dan Natta ke kamar, Eila baru bisa bernapas lega. Ia kembali duduk dan melepaskan dekapannya dari Gilang. Sang keponakan menatap Eila bingung dengan kepala yang sedikit dimiringkan.
“Tante nggak apa-apa?”
“Enggak apa-apa. Tadi agak panik.”
“Gara-gara Om Jibran?”
“Gilang kenal Om Jibran?”
Gilang mengangguk dengan polosnya. “Iya, pernah ke sini. Tapi Gilang nggak suka.”
“Kenapa?”
“Orangnya jelek. Gantengan Gilang.”
Eila menggigit bibirnya. Ingin sekali tertawa sepuas mungkin, tapi takut dianggap tidak tahu diri. Bisa-bisanya Jibran yang digilai oleh kaum Hawa malah dianggap jelek oleh anak kecil. Yah, sudahlah. Anak kecil sering merasa dirinya yang terbaik, jadi tidak heran bila Gilang tidak menganggap Jibran tampan seperti kebanyakan orang.
Ada sepuluh menit Jibran di kamar bertemu Trian dan Thalia. Gilang sudah menyusul orang tuanya, sedangkan Eila masih di ruang tengah dan sibuk dengan ponsel untuk melihat apakah ada order masuk. Jika ada, Eila terpaksa harus menundanya sampai tiga hari ke depan karena masih belum menerima order. Ditambah lagi Eila sedang tidak mood membuat croffle dan tidak mau memaksakan diri saat mood-nya belum membaik.
“Eila.”
Eila mendongak ketika dipanggil oleh suara yang begitu merdu, lalu berdiri menghadap Jibran yang kali ini menghampirinya seorang diri. Oh, sial. Kalau begini ada baiknya Natta ikut datang atau minimal Gilang, yang penting ada orang lain sebagai pengalih atensi.
Berdua saja dengan Jibran setelah kejadian itu—terlebih ini pertemuan pertama mereka—jelas bukan situasi yang mudah untuk dihadapi. Lain dari sebelumnya, Eila mau memperhatikan penampilan baru Jibran. Rambutnya yang terakhir sedikit gondrong sekarang dipangkas pendek, sengaja untuk mendalami tokoh Jeremy Adinata yang akan diperankannya sebentar lagi. Sialnya, Jibran makin tampan dan membuat Eila nyaris menggila kala melihatnya.
“Aku mau pamit sama kamu.”
Eila manggut-manggut. “Makasih udah datang.”
“Sama mau ngasih tahu filmnya syuting minggu depan. Terus kalau nggak terlalu sibuk, apa boleh aku pesen croffle buat dikasih ke staf pas syuting? Aku order pas kamu nggak sibuk aja, biar nggak ganggu order yang lain. Soalnya kemungkinan aku order lebih dari sekali.”
Sejumput senyum Eila sunggingkan untuk Jibran, sebab secara tidak langsung, pria itu tetap ingin membantunya untuk mempromosikan usahanya, seakan lupa dengan kejadian lalu saat Eila menghancurkan hatinya. Kalau sudah begini, rasanya Eila ingin jujur, tapi tidak mampu karena semuanya sudah telanjur.
“Boleh, nanti aku kabarin kapan luangnya.”
Jibran tersenyum senang, setidaknya mereka bisa memiliki komunikasi langsung yang cukup baik, meski masih kaku seperti yang dibayangkan sang aktor sebelum datang ke rumah manajernya. Mereka kini bergeming di posisi yang belum berubah, saling menatap sebagai pengganti lisan yang terkunci rapat. Keduanya sama-sama merindu, tapi tak mampu untuk mengadu.
Sebab Jibran ingin mengikuti dulu permainan orang-orang yang ingin menjatuhkannya, serta Eila yang sudah jahat terhadap orang yang dicintainya. Tak ingin hanya diam, Jibran mengangkat tangannya yang menarik atensi Eila. Sang dara yang paham membalas dan berjabatan tangan dengan Jibran, sebagai pertanda bahwa hubungan profesional mereka telah usai.
“Makasih udah bantuin aku selama ini, Eila.”
“Aku nggak bantu banyak. Dari awal, kamu udah hebat.”
“Tapi berkat kamu, aku jadi percaya diri untuk mulai syuting.”
“Kalau gitu semoga syutingnya lancar. Kalau butuh saran atau cerita, kamu boleh chat aku.”
Jibran tersenyum makin lebar karena Eila masih mau membuka pintu lebar untuk komunikasi mereka. Di saat jabatan tangan itu masih belum usai, Jibran berjanji pada dirinya sendiri akan menyelesaikan permainan sampai akhir. Setelah itu, dia akan mengembalikan keadaan hingga membaik, termasuk mengembalikan Eila untuk menjadi miliknya lagi.