Waktu Berdua

“Kamu semalaman di sini?”
Ada sepuluh menit Jibran memeluk Eila sampai puas, kini mereka sudah berada di posisi masing-masing sambil berpegangan erat.
Jibran menggeleng dan menjawab pertanyaan Eila, “Aku dilarang masuk karena udah bukan jam besuk, jadi nunggu di mobil sampai jam besuk dibuka. Sekarang aku gantian sama mama yang ternyata hampir tiap hari jagain kamu.”
Eila tersenyum membenarkan. “Tante Mia sama Om Jagad gantian dan bilang wakilin kamu, makanya mereka sering ke sini buat jagain aku. Mereka juga ngabarin gimana perkembangan rencana kamu sama Mister Timon. Makanya sekarang aku mau diceritain gimana kejadian semalam.”
“Semuanya lancar berkat bantuan kamu, Eila. Kemungkinan Pak Rakha, Kalani, sama Aiden lolos itu sedikit karena udah ada saksi. Itu aja yang bisa aku ceritain.”
“Sisanya?” Eila masih belum puas.
Jibran mengecup punggung tangan Eila dan menambahkan, “Sisanya aku mau berduaan sama kamu tanpa mikirin yang jelek-jelek. Boleh?”
Tanpa bersuara, Eila menyanggupi keinginan Jibran karena pria itu butuh istirahat setelah perlawanan yang cukup panjang untuk menguak kebusukan orang-orang sekitar. Eila pun tidak mau terlalu memusingkan dahulu masalah yang hampir selesai, sebab ingin mencari kebahagiaan setelah kembali bertemu dengan sang pujaan.
“Kenapa orang-orang tega nggak ngasih tahu kabar kamu ke aku? Tiap kali aku nanyain kabar, semuanya pasti jawab keadaan kamu masih sama alias belum bangun. Aku udah sedih-sedih, tapi ternyata kamunya udah sehat begini.”
“Aku yang minta, Jibran. Semuanya juga setuju, apalagi ayah kamu yang pengen anak tunggalnya fokus. Plus aku belum bener-bener sehat. Besok udah pulang, tapi aku ngerasa masih berat gitu buat ngapa-ngapain. Jadi, aku belum sepenuhnya bebas.”
“Terus waktu aku telepon Natta dan ngirim foto kemarin, kamu juga tahu, dong?”
Eila tersenyum jail dan mengaku, “Aku denger kamu ngomong sampai ikut nangis dan itu susah banget, tahu! Perut aku sampai sakit gara-gara nahan nangis. Belum lagi aku harus nahan teriak pas kamu ngirim foto seganteng itu ke Natta. Rasanya nyiksa.”
“Salah sendiri nggak bilang ke aku udah sadar.”
Eila melotot. “Kamu mau nyalahin aku?”
Skakmat!
Jibran kalah telak saat perempuan seperti Eila memegang kunci kendali agar sang pria tidak ngotot. Jibran otomatis melunak dan mencari kata lain untuk tidak menyalahkan Eila yang baru dia temui hari ini.
“Pokoknya jangan bohong lagi, oke? Terus jangan bilang kita bakal pisah, soalnya kalau kamu bilang begitu pasti kejadian. Sama … kamu penyembuhannya di rumah aku aj—oh, nggak. Aku tinggal di rumah kamu biar bisa ngawasin. Sekarang aku nganggur, jadi free sama kamu terus.”
Eila tertawa mendengar berbagai keluhan Jibran, tapi hanya sesaat karena keburu bungkam akibat ngilu pada luka tusuknya. Jibran otomatis berdiri dan menenangkan Eila yang merintih kecil, jadi merasa bersalah sudah banyak bicara tanpa memikirkan kondisi sang kekasih.
“Sorry,” sesal Jibran.
“Enggak apa-apa. Malah aku seneng bisa ketawa. Di sini lebih banyak suramnya.”
Rasanya senang bisa menghibur seseorang, terlebih bagi Jibran yang menganggap dirinya sendiri amat membosankan. Lain saat bersama Eila, dia tidak pernah merasa salah, sebab wanita itu bagaikan kacamata yang tepat hingga Jibran merasa menemukan jati dirinya.
Jibran kembali membungkuk dan menghadiahkan kecupan di dahi Eila yang bibirnya melengkung tersenyum. Jibran lakukan beberapa kali sampai mata Eila terpejam untuk menikmati sapuan bibir prianya yang lembut. Di tengah kemesraan yang baru permulaan, tiba-tiba seseorang yang sudah giliran datang masuk tanpa permisi dan bicara histeris.
“Kak Jibran, Kak Eila, kalian ngapain?!”