Waktu Santai

Seharusnya hari ini latihan dilaksanakan sesuai waktu dimulai dan berhenti tepat pada waktunya. Namun, semua itu kacau karena Jibran dan Eila malah bermesraan di ruang tengah rumah sang aktor setelah latihan sebentar. Mereka saling berpelukan erat, mengabaikan keadaan di rumah seperti dunia hanya milik berdua.

Jibran dan Eila sampai lupa ada Natta yang seharusnya mengawasi latihan, tapi pasrah ketika sejoli itu sudah tidak bisa dipisahkan. Biasanya Jibran dan Eila pasti fokus latihan sampai selesai, sayangnya kali ini mereka sedang ingin malas-malasan, terlebih setelah proses audisi selesai dan Eila yakin Jibran sudah sangat fasih menjadi Jeremy.

Selain itu, Eila ingin memberi jeda agar Jibran tidak terus latihan dan memiliki waktu santai. Jadi, inilah waktu yang tepat agar pikirannya tidak stres karena hanya diisi soal syuting.

“Gimana usahanya? Ada kendala?” tanya Jibran setelah cukup lama keduanya membisu.

“Sekarang lagi santai karena orderan nggak sebanyak sebelumnya. Makanya aku bisa ke sini terus tepat waktu.”

“Nanti aku bantu promosi lagi biar dagangannya makin laris.”

Eila tersenyum senang seraya memandang Jibran yang hari ini mau mengenakan kaus hitam berlengan pendek. Akibatnya Natta jadi tahu soal luka Jibran dan sama seperti Eila, bekas luka itu tidak melunturkan rasa kagum adiknya pada sang idola. Jibran jadi lebih percaya diri dengan penampilannya di depan orang-orang terdekat yang mengisi hari-harinya selama beberapa bulan terakhir ini.

Thank you. Aku beneran beruntung banget bisa deket sama aktor yang mau bantuin promosi, terus sekarang bisa jadi pacar. Tapi tanpa lihat pacar dan misal aku kerja bareng aktor atau aktris lain, belum tentu mereka mau bantu promosi. Makanya kamu ini aktor paket komplet. Aktingnya keren, ganteng, terus baiknya nggak ketulungan.”

Jibran melebarkan senyumnya mendengar pujian itu. “Banyak aktor yang baik, Eila.”

“Baik di depan kamera sih emang banyak. Setidaknya itu yang Kak Trian bilang,” Eila mengelus rambut lebat Jibran yang terasa lembut di tangannya, “ada aja yang manis di depan kamera, tapi di belakang ternyata kasar sama staf sendiri.”

“Aku sering repotin Trian,” aku Jibran karena tidak ingin Eila menganggapnya terlalu sempurna.

Eila manggut-manggut. “Kak Trian sering ngeluh soal kamu yang repotin, tapi itu aja, nggak lebih. Malah Kak Trian seneng kerja sama kamu, soalnya nggak aneh-aneh banget dan masih sopan. Terus soal repotin, Kak Trian katanya cukup sadar diri aja emang harus ngurus aktornya. Cuma sekarang lebih repot lagi karena kita berani pacaran saat dia larang.”

Jibran terbahak puas ketika diingatkan soal Trian yang sering mengeluh karena adiknya dan sang aktor punya hubungan spesial. Ditambah sekarang ini mereka jadi sering mengumbar kemesraan, baik di via group chat, maupun secara langsung. Selagi Trian tidak sepenuhnya menentang, maka hubungan ini tetap aman.

Harus diakui bahwa Trian seringkali berdoa yang tidak-tidak, tapi biarkan itu terjadi karena semua Tuhan yang mengatur. Meski begitu, suatu kenyataan tetap melunturkan senyum dan tawa Jibran dalam waktu singkat. Ia tak menunjukkan secara jelas karena menyembunyikannya dengan mendekap Eila. Namun, tak cukup untuk mengurangi ketakutan yang mulai hinggap dalam dirinya.

Jibran kecup dahi Eila yang tengah memejamkan matanya, mendekapnya makin erat karena Jibran tak mau mereka berpisah apa pun alasannya. Sebanyak apa pun pihak yang menentang, Jibran tidak akan berhenti berdoa pada Sang Pemilik Kehidupan untuk mengatur jodohnya agar ia bersama Eila, bukan orang lain.