What If: Bagaimana Jika Dia Tidak Pernah Pergi?

Sedikit informasi bagi yang belum pernah baca Yuta sama Marsha (Matcha). Mereka ini udah nikah selama 31 tahun dan sekarang usianya sama-sama 60 tahun. Mereka punya anak namanya Tama sama Yuma dan dua-duanya udah nikah, terus Tama udah punya anak namanya Tala. Cerita ini semacam alternatif ending di mana Marsha bangun dari komanya. Part ini dibuat untuk kalian yang kangen sama Yuta dan Matcha, terus pengen baca versi yang sedikit bahagia hehe. Selamat membaca ^^


“Aku sayang sama kamu, Matcha. Aku … ikhlas.”

Nakamoto Yuta membuka matanya setelah diserang oleh mimpi buruk yang tidak berhenti datang untuk menghantui tidurnya. Mimpi yang akan membuatnya bangun dengan tetes air mata di pipi, seakan mimpi itu nyata karena telah merenggut apa yang dia miliki. Tak hanya air mata, dampaknya pun pada daksa yang jadi menderita. Ngilu di sekujur tubuh tidak bisa Yuta obati dalam waktu singkat, sebab setiap mimpi itu datang, ketakutannya ditinggal oleh kekasih tercinta makin sulit usai.

Yuta seka air mata yang ada di pipi, bukan hal aneh tapi tidak pernah membuatnya terbiasa. Tubuh ringkih Yuta bangkit dari sofa bed yang menjadi tempat tidurnya selama tiga bulan terakhir, tidak lupa menyibak selimut yang menutupi diri. Yuta tuangkan air pada gelas kosong yang ada di meja, lalu meneguknya hingga habis dan membuat tenggorokannya terasa lebih segar. Setelah gelas diletakkan kembali di tempatnya, netra Yuta menemukan sosok yang menjadi penyebab rangkaian mimpi buruk dialami, penyebab tubuhnya tak lagi memiliki tenaga untuk bangkit, penyebab kesedihan yang tak kunjung pergi, serta penyebab ketakutan yang terus menghantui.

Yuta berdiri, lalu berjalan menuju brankar di mana Marsha, istrinya, berbaring tidak berdaya tanpa ada tanda-tanda membuka mata. Masker oksigen masih menjadi alat bantunya hidupnya. Selang infus pun masih menancap untuk memberinya kekuatan agar tetap hadir bersama Yuta. Sayang, meski daksanya masih bisa Yuta rasakan, jika tidak bisa bergerak rasanya seperti kehilangan. Yuta sentuh dengan hati-hati tangan kecil yang seperti tidak bernyawa, membuat rindunya menguar tanpa bisa ditahan.

Sejak awal Yuta menaruh hati berpuluh-puluh tahun lalu, Marsha telah menjadi separuh hidupnya. Maka ketika separuh hidupnya sedang berjuang antara hidup dan mati, sebagian nyawa Yuta seakan ikut dibawa pergi.

“Aku mimpi itu lagi, Matcha. Aku akhirnya ikhlasin kamu, terus kamu pergi pas kita lagi anniversary yang mana masih dua minggu lagi.”

Hanya beberapa kalimat yang terucap, tapi membuat Yuta pengap. Selalu begini setiap bicara, karena Yuta tak kuasa menahan duka. Yuta tidak sempat mencuci muka agar lebih segar, merapikan rambut yang berantakan pun enggan dilakukan. Penampilannya kacau, sekacau jiwanya yang remuk melihat separuh jiwanya tak kunjung kembali dari tidur.

“Kamu … boleh jangan pergi dulu? Aku belum ikhlas. Aku nggak seikhlas di mimpi, aku nggak sekuat itu buat lepasin kamu. Aku mau sama kamu terus, jadi kamu harus bangun. Setelah bangun, aku bakal jagain kamu. Aku nggak akan biarin kamu pergi ke mana-mana supaya kejadian ini nggak keulang. Kalau emang suatu saat kamu harus pergi, tolong … tolong bawa aku juga. Jangan sendirian.”

Tetesan air mata tidak bisa Yuta bendung. Seakan tidak pernah lelah untuk menyiratkan duka mendalam pada sang junjungan. Namun, kali ini Yuta tidak membiarkan air matanya bertahan terlalu lama. Jadi, segera ia hapus hingga tidak tersisa demi menghadapi masa-masa sulit dalam hidupnya.

Marsha boleh sedang tidur, tapi dia pasti tidak suka melihat Yuta menangis terus. Yuta memaksakan senyum, ia menunduk dan memberikan kecupan di dahi sang istri sebagai sapaan pagi.

“Aku mandi dulu, ya. Hari ini Yuma sama Jeffrey datang.”

Yuta menyingkir dari dekat Marsha untuk membersihkan tubuhnya agar dia lebih segar, sekaligus menghindar untuk sementara agar dia tidak menangis lagi. Sebelum kejadian yang merenggut kebahagiaan seluruh keluarganya ini, durasi mandi Yuta akan sangat lama—kecuali kalau dia pergi ke kantor. Sekarang Yuta harus memangkasnya karena tidak bisa meninggalkan Marsha berlama-lama. Ada sepuluh menit di kamar mandi, Yuta akhirnya keluar dengan raga yang lebih segar meski matanya selalu sembap. Yuta terlalu sering menangis hingga tidak bisa menutupi bekasnya.

Ini baru pukul enam, jadi perawat yang akan memeriksa kondisi Marsha masih belum datang. Masih pagi juga untuk sarapan, jadi Yuta memilih menemani Marsha dengan duduk di kursi yang selalu menjadi spot-nya selama menjaga sang istri.

Baru saja kursi Yuta letakkan di samping brankar, tubuhnya memaku melihat sesuatu yang asing hingga dia perlu memastikannya berkali-kali karena khawatir salah duga. Yuta mengerjap beberapa kali sampai dadanya mulai bergemuruh tidak tenang kala yang ia lihat tetap sama.

Lutut Yuta mendadak lemas, lebih lemas dari biasanya sampai untuk mendekati brankar saja susah payah dilakukannya. Netra Yuta hanya fokus pada satu hal; mata Marsha yang sedikit terbuka dan pupilnya bergerak hati-hati.

“Matcha …?”

Seakan mendengar panggilan itu, jemari Marsha bergerak sedikit demi sedikit dan tidak Yuta lewatkan pergerakannya. Hati Yuta membuncah, sebab ia tahu bahwa Matcha-nya telah kembali. Lagi, Yuta menangis, tapi kali ini karena bahagia.

“Tunggu sebentar. Aku panggil dokter, ya.”

Yuta memencet bel di samping brankar untuk memanggil siapa pun agar datang memeriksa kondisi Marsha. Tangannya yang bergetar beralih pada dahi dan dia elus dengan hati-hati, membuat wanita yang telah ditunggu kembali mengerakkan bola matanya pelan pada sumber elusan.

“Kamu jangan banyak gerak,” kata Yuta dengan suara bergetar akibat terlalu bahagia saat tahu Marsha susah payah untuk bergerak.

Marsha tidak bereaksi, rungunya juga sayup-sayup mendengar karena seluruh daksanya belum bekerja normal. Jangankan bergerak, Marsha yang bisa membuka mata saja sudah menjadi anugerah terbesar bagi Yuta yang telah menantikan momen ini sejak lama.

“Jangan dipaksain, oke?”

Pandangan Marsha masih mengabur, tapi ia tahu pria di sampingnya tengah menangis tersedu-sedu. Di saat kondisinya belum kembali total, Marsha mendengar suara langkah kaki dari sana-sini mendekatinya, lalu berbagai hal dilakukan demi mengetahui kondisinya. Yuta mundur sejenak, mencari ketenangan dan menyeka air matanya penuh kelegaan. Marsha sudah kembali, jadi tidak ada yang bisa membuat Yuta takut lagi.


Sejak satu per satu anaknya berkeluarga, Yuta hanya hidup berdua dengan Marsha. Kalau ditambah dengan makhluk jenis lain, maka ada tiga kucing yang menemani mereka. Setelah beberapa bulan hidupnya berubah suram, cahaya kembali menerangi hidup Yuta yang sempat berubah kelabu, karena Marsha telah kembali dan siap mengisi hari-harinya.

Kondisi fisik Marsha tidak langsung membaik, masih perlu ada penyembuhan dan menahannya untuk tetap di rumah sakit lebih lama. Mau di mana pun adanya, selama Marsha bersamanya, Yuta tetap bahagia.

“Aku udah lupa kapan bisa lihat orang seganteng ini waktu senyum.”

Terakhir yang Yuta ingat, Marsha tengah melihat-lihat gambar yang dibawakan Tala—cucu mereka—saat berkunjung bersama Tama dan Aqila. Saking asyiknya mengamati sang istri, Yuta sampai larut dalam dunianya dan tidak sadar kini Marsha sudah menaruh atensi padanya.

“Ini kamu lagi muji aku?” tanya Yuta seraya menegakkan posisi duduknya.

“Apa ada lagi laki-laki ganteng di sini selain kamu? Kalau aku muji perawat di luar kejauhan, Yuta.”

Tidak pernah terbayangkan Yuta akan mendengar gombalan Marsha lagi setelah kondisi fisiknya membaik. Beberapa luka Marsha telah pulih, wajahnya kembali berseri, dan senyumnya tak pernah kekurangan kadar manis. Marsha telisik kondisi Yuta yang berbeda dari terakhir kali dia ingat. Yuta tidak sekurus ini, lingkar hitam di bawah matanya pun tidak pernah hadir. Pipinya begitu tirus, bahkan pergelangan tangannya seperti tulang yang dilapisi kulit saja.

“Sini.” Marsha menepuk sisi kanan brankar yang masih tersisa untuk ditempati. “Kamu jangan duduk di situ terus, harus banyak-banyak deket aku.”

“Enggak akan muat, Matcha.”

“Muat, Yuta. Aku cuma nyuruh duduk, bukan tidur.”

Yuta mendesah pelan. “Kalau disuruh duduk di sana, yang ada aku maunya rebahan di sebelah kamu. Terus susah turunnya lagi, soalnya udah nempel banget.”

Marsha tertawa sembari terus menepuk sisi kanannya agar Yuta lebih terundang untuk duduk di sampingnya. Tidak ingin membuat wanitanya kecewa, Yuta akhirnya menurut dan mengisi bagian kosong itu. Mereka duduk berhadapan dengan jemari yang saling mengait erat.

“Kamu harus gemukin badan lagi setelah pulang.” Marsha menggeleng dan meralat, “Malah harus gemukin dari sekarang. Turun berapa kilo selama jagain aku?”

“Aku nggak pernah nimbang. Malah nggak kerasa kurus,” jawab Yuta ringan.

“Kurus banget, Yuta. Aku lihatnya aja sampai greget. Pokoknya keluar dari sini kamu harus makan banyak tanpa beban pikiran. Jangan sampai kita sakitnya gantian.”

Ini pertama kalinya Marsha mengomel soal kesehatan Yuta yang pernah beberapa kali drop, seakan lupa bahwa sang puan juga sedang menjalani proses penyembuhan. Kalau begini keadaannya, malah Yuta yang kelihatannya butuh pendampingan untuk mengawasi kesehatannya dibandingkan Marsha. Alih-alih mengingatkan Marsha tentang kondisinya lagi yang masih belum sepenuhnya pulih, Yuta justru senang dengan omelannya, sebab itu menjadi tanda bahwa istrinya benar nyata kembali.

Yuta angkat tangan Marsha yang ia genggam erat, lalu mengecup bagian punggungnya sebagai ungkapan kasih sayang dan bahagia. Kembalinya Marsha membawa lagi separuh jiwa yang sempat hilang, membuat Yuta lebih berseri tapi tetap harus merawat diri. Marsha elus pipi Yuta dengan sebelah tangannya yang bebas, ingin ikut merasakan bagaimana raga pujaannya. Bagi Marsha ia seperti pergi sehari, tapi tak dapat dipungkiri rindunya sama seperti ia pergi lebih lama dari ini.

“Yuta …, makasih udah kuat nungguin aku balik lagi, ya.”

“Selama apa pun, aku bakal nungguin kamu, Matcha.”

“Kalau ternyata aku nggak balik lagi, kamu bakal gimana?”

Pertanyaan buruk itu tidak sedap didengar oleh rungu, tapi Yuta tetap menjawab dengan kekuatan yang telah terkumpul. “Aku bakal berdoa buat ketemu kamu lagi di akhirat. Aku juga berdoa supaya cepet-cepet dipanggil, soalnya nggak mau kamu kelamaan sendiri.”

Marsha menaikkan sebelah alisnya dan menatap Yuta dengan ekspresi jail. “Emang yakin ketemu di sana?”

“Yakin.” Suara Yuta sedikit meninggi, antara ragu dan menantang diri. “Katanya kalau jodoh bakal ketemu di akhirat.”

“Kalau nggak ketemu?”

Yuta tak lekas menjawab dan malah memalingkan pandang ke arah lain sampai diam untuk beberapa saat. Padahal Marsha hanya bergurau, tapi Yuta meresponsnya dengan sedikit serius. Maklum, apa pun yang berkaitan dengan kepergian bukan hal ramah bagi Yuta setelah nyaris ditinggalkan. Lama Yuta diam hingga pandangannya kosong ke arah lantai, membuat senyum jail Marsha luntur karena pertanyaannya menyulitkan Yuta. Niatnya ingin bercanda malah tidak mampu direspons dengan cara serupa oleh suaminya.

“Yaudah, jangan dipikirin. Yang penting akunya udah sehat, ya.”

Yuta kembali ditarik ke realitas. Sang pria coba meraih sebanyak mungkin oksigen dengan serakah untuk mengisi pernapasannya. Yuta menjatuhkan pandangnya lagi pada Marsha yang khawatir, lalu tersenyum agar istrinya yang tidak berpikir aneh-aneh akibat melamun.

“Maaf, ya. Aku nggak fokus.”

Marsha merentangkan kedua tangannya dengan hati-hati. “Sini, aku peluk.”

Tak butuh dua kali diperintah, Yuta mendekat dan menghamburkan diri dalam pelukan istrinya. Tentunya hati-hati, sebab Yuta tidak mau istrinya kesakitan jika terlalu erat. Yuta juga tidak bisa bertahan terlalu lama memeluk Marsha atau nanti sang pria sulit lepas.

“Aku belum nanya ini,” ucap Marsha seraya mengelus surai Yuta. “Keadaan rumah aman-aman aja, ‘kan? Kamu jarang pulang ke rumah, jadi curiga rumah nggak dibersihin.”

Yuta terkekeh kecil dengan wajah yang ia sembunyikan di balik ceruk sang istri. “Tenang, Yuma selalu mastiin rumah bersih. Kucing-kucing juga dikasih makan tepat waktu.”

“Kamu jadi jarang sama kucing kesayangan. Enggak apa-apa? Nanti sedih lagi gara-gara jauh dari mereka.”

Lagi, Yuta terkekeh saat Marsha sengaja membawa-bawa tiga kucing di rumah dan menyindirnya. “Kamu lebih penting.”

“Udah di rumah ngomongnya bisa sama nggak?” sindir Marsha lagi dengan nada gurauan.

“Dijamin bisa.” Yuta sedikit mengeratkan pelukannya, masih dengan batas wajar agar tidak menyakiti Marsha.

Seperti yang dapat ditebak, ketika dua orang yang saling merindu itu terikat kuat, tidak ada yang sudi untuk saling melepas. Satu senti pun enggan dilakukan, sebab keduanya terlalu serakah untuk mereguk sentuhan sebagai pelepas rindu. Jadi, biarkan Yuta dan Marsha seperti ini untuk beberapa saat, sebelum dipaksa lepas saat Jeffrey dan Yuma datang.


Bak alarm berbunyi sesuai waktu yang ditentukan, Nakamoto Yuta bangun di jam yang sama seperti biasanya. Setiap kali bangun, Yuta akan memeriksa posisi di sebelahnya untuk melihat apakah sang istri telah bangun atau belum. Namun kali ini, tangan Yuta yang meraba sisi kirinya tidak menemukan raga yang seharusnya ada di sana.

Dia yang setengah terbangun langsung membuka matanya lebar dan tidak melihat siapa-siapa di sampingnya. Yuta panik. Sang pria lantas menyibak selimut yang membalut tubuh, bangkit dari posisinya, lalu berjalan keluar dari kamar untuk mencari jejak sang istri. Kepalang panik membuat Yuta tak mampu berpikir positif, sebab khawatir Marsha yang sadar selama ini hanyalah mimpi dan ternyata dia tetap sendiri. Beruntung kekhawatiran itu dipatahkan ketika Yuta mencium aroma kue yang baru diangkat dari oven. Aroma yang tidak pernah ada di rumah, kecuali jika Marsha yang membuatnya.

Lantas … apa mungkin?

“Bagus udah bangun. Sekarang cuci muka, terus kita sarapan.”

Langkah Yuta tertahan di depan pintu kamar, makin sulit bergerak melihat Marsha yang kini mampu berjalan tanpa bantuan. Marsha mengernyit bingung melihat Yuta yang hanya bergeming seperti ditahan sesuatu, lalu mendekat untuk memastikan suaminya tidak apa-apa. Langkah wanita itu masih pelan, belum bisa bergerak terlalu gesit karena kadang kakinya masih terasa sakit.

“Kamu kenapa, sih?” tanya Marsha melihat wajah Yuta yang pucat pasi. “Kamu sakit?”

“Aku kira kamu nggak pernah ada. Biasanya pagi-pagi dibangunin sama aku. Sarapan juga kita beli atau aku yang bikin.”

Sisi melankolis Yuta kembali yang jelas bagi Marsha lucu, tapi dia berusaha menahan tawa agar suaminya tidak merasa diledek. “Kamu bilang pengen banget ngadain anniversary yang ketunda, makanya aku bangun lebih pagi buat bikin kue sama sarapan. Lagian aku udah bisa jalan lancar, Yuta. Mau lihat?”

Marsha berjalan maju mundur beberapa kali demi meyakinkan suaminya bahwa ia baik-baik saja. Wanita itu juga mengentak-entakkan kaki agar terlihat sehat seperti sedia kala.

“Ya, ‘kan?” Marsha berhenti bergerak dan napasnya sedikit sesak. Meski sudah sepenuhnya pulih, tapi fisiknya yang telah berusia 60 tahun tidak dapat berbohong.

“Kamu tetep harus dibantu kalau ngapa-ngapain,” balas Yuta sembari mendekati istrinya. Gemas sekali melihatnya terlalu banyak bergerak.

“Aku nggak mau bergantung banget, Yuta. Tiga bulan di rumah apa-apa harus dituntun ‘kan repot. Kasihan kamunya.”

“Bagi aku nggak repot, kok. Malah aku jadi nggak panik.”

Marsha terkekeh pelan dan mengelus pipi sang suami yang kini sudah lebih berisi berkat program menggemukkan badan setelah pulang ke rumah. “Kalau gitu sekarang cuci muka atau sekalian mandi juga terserah, biar cepet sarapan.”

“Bentar.” Yuta menahan Marsha sebelum kembali ke dapur. “Cium dulu,” tambahnya sambil menunjukkan pipinya yang tadi dielus.

Bagaikan kembali menjadi remaja nanggung yang baru merasakan namanya jatuh cinta, malu-malu Marsha mencium pipi Yuta yang langsung tersenyum lebar setelah keinginannya terpenuhi, lalu bergegas kembali ke kamar untuk mengikuti perintah istrinya. Selesai mandi dan tubuhnya lebih segar, Yuta sudah duduk manis di depan meja makan selagi Marsha menata sarapan.

Pertama kalinya melihat Marsha seaktif ini, jelas menjadi pemandangan terbaik yang Yuta rekam tanpa melewatkan satu momen pun di matanya. Selepas itu Marsha duduk di samping Yuta yang sudah menanti untuk makan bersama, tak lupa menyuguhkan kecupan manis di pipi istrinya yang tidak akan lepas dari sisinya. Semburat merah muncul, merasa tidak pantas untuk bermesraan di usia mereka yang tidak lagi muda.

“Bisa nggak sih kamu jangan kayak anak ABG? Udah nggak pantes.”

“Apanya coba yang nggak pantes?”

“Tuh,” tujuk Marsha pada rambut Yuta. “Ubannya sedikit-sedikit udah kelihatan. Kalau senyum kelihatan keriput. Terus dikit-dikit ngeluh sakit punggung, pinggang, kaki, pusing. Pokoknya semua penyakit udah kerasa.”

“Enggak apa-apa. Kalau sama kamu rasanya sehat terus.”

Yuta peluk Marsha dengan erat sebagai pelampiasan rasa bahagia yang tidak terhingga karena bisa berduaan. Sesi sarapan sampai harus ditunda karena Yuta yang memasuki mode bucin tidak bisa dihentikan. Jika di masa muda Marsha akan sok menolak dan memaksa Yuta menyingkir, maka kali ini berbeda. Sebab Marsha biarkan suaminya menempel selama yang ia inginkan, yang penting tidak berlebihan mengingat malu dengan usia.

“Anak-anak ke sini jam berapa, ya? Aku mau hias kuenya bareng Yuma, deh,” ucap Marsha setelah sarapan akhirnya dimulai.

“Aku suruh anak-anak ke sininya besok. Hari ini berduaan aja sama kamu.”

“Dih? Kok gitu? Kan harus rame-rame rayainnya, Yuta.”

“Tapi ini anniversary kita yang udah ditunda berbulan-bulan, Matcha. Aku nggak mau diganggu walaupun sama anak sendiri. Toh, mereka juga udah berkeluarga semua. Pasti ngerti orang tuanya mau berduaan.”

Yah, sudahlah. Marsha tidak ingin berdebat dengan Yuta yang masih dalam mode bucin. Selama Yuta senang dan kembali menjadi dirinya seperti sedia kala, Marsha akan mengikuti keinginannya.


Anniversary pernikahan yang ke-31 menjadi momen mengharukan bagi Yuta dan Marsha. Bila dihitung sejak mereka pacaran, putus, kembali bersama, hingga menikah selama setengah usia mereka, sudah banyak sekali yang dilalui setiap detiknya. Mulai dari yang membahagiakan, menyedihkan, mengharukan, menyatukan segala emosi yang sempat membuat mereka nyaris berpisah, sampai kini bertahan setelah anak-anak mereka tumbuh dewasa.

Banyak pasangan yang bisa mencapai usia ini, dan Yuta serta Marsha beruntung menjadi salah satunya. Lebih beruntung lagi ketika Marsha diberi kesempatan untuk kembali ke dekapan Yuta dan seluruh anggota keluarganya, seakan diberi waktu tambahan untuk melanjutkan hari-harinya dengan yang terkasih.

Saat ini Yuta dan Marsha duduk berhadapan di atas kasur setelah sesi tiup lilin serta makan kue usai. Tidak ada persiapan berlebihan seperti bunga mawar atau lilin di sepanjang kamar, karena kebersamaan mereka saja sudah terasa mewah. Yang terpenting keduanya sehat, maka segalanya sudah menjadi istimewa.

“Matcha, aku boleh ceritain sesuatu?” Yuta yang tadinya membisu akhirnya bersuara dan dibalas anggukan oleh sang puan. “Selama kamu koma, aku selalu mimpi buruk. Di mimpi itu … kamu pergi ninggalin aku sama anak-anak pas anniversary kita. Kamu pergi setelah aku ikhlas, terus aku nggak berhenti nangis setelahnya. Kayak anniversary sebelumnya, aku juga nyanyiin lagu kesukaan kamu, tapi sambil nangis-nangis karena tahu itu bakal jadi yang terakhir.”

Marsha mengelus tangan Yuta ketika suaranya tiba-tiba bergetar karena tidak kuasa menahan duka. Padahal Marsha sudah ada di hadapannya, tapi mimpi buruk itu seakan tidak lenyap dari ingatan dan terus menakutinya.

“Aku mau nyanyi kayak biasanya, tapi takut …,” lirih Yuta yang tiba-tiba menunduk demi menyembunyikan air matanya. “Takut kamu pergi lagi ….”

Setelah dia sadar, Marsha pikir Yuta sudah percaya bahwa dirinya telah kembali. Nyatanya tidak, sebab mimpi itu berdampak buruk hingga Yuta takut dia masih berada di dalamnya. Yuta selalu dihantui kekhawatiran setiap bangun apakah dia akan berakhir sendiri tanpa Marsha di sampingnya.

Pagi ini saja sudah menjadi bukti bahwa Yuta terlalu dipengaruhi oleh mimpinya, membuat Marsha harus bekerja ekstra untuk meyakinkan sang suami bahwa ia tidak akan ke mana-mana kalau bukan tanpa Yuta. Bukan dengan kata-kata penenang atau sentuhan lembut yang menjadi obat paling ampuh, melainkan dengan sebuah lagu yang menjadi pengikat mereka sejak hari pernikahan hingga ulang tahun sekarang.

jichin haruga gago dalbich arae du saram hanaui geurimja nun gameumyeon jabhil deut aryeonhan haengbogi ajig jeogi itneunde

sangcheo ibeun maeumeun neoui kkum majeo geuneureul deuriwodo gieog haejwo apeudorog sarang haneun sarami gyeote itdaneun geol

Lantunan bait yang Marsha nyanyikan dengan suara seadanya, menjadi tembang yang menghibur Yuta kala didengar. Yuta mengangkat wajahnya dan menatap Marsha yang memberi jeda atas nyanyiannya, memberikan senyuman dan menularkannya pada sang suami yang ketakutannya sirna setelah yakin bahwa dia berada di dunia nyata.

Yuta kumpulkan suaranya yang tertahan di tenggorokan, lalu melanjutkan lagu dengan suaranya yang jauh lebih merdu. Matanya boleh menangis, tapi bibirnya tersenyum pertanda bahwa dia bahagia dengan momen ini.

ttaeroneuni giri meolgeman boyeodo seogeulpeun maeume nunmuri heulleodo modeun iri chueogi doel ttaekkaji uri du saram seoroui shwil goshidoe eo

seotulgo tto bujog hajiman eonje kkajina gyeote isseulge mojin baram tto dashi bureo wado uri du saram jeo geochin seworeul jina gari

Lagu berakhir dengan manis, membuat mereka merasa seperti muda kembali. Usia bertambah, kemesraan Yuta dan Marsha pun ikut bertambah. Dengan bibir yang melengkung menjadi senyum dan tetap membisu, keduanya berjanji tidak akan saling meninggalkan lagi. Jika Tuhan berkehendak untuk memanggil mereka, maka Yuta dan Marsha berdoa agar dipanggil bersama-sama.

Tidak ada yang perlu ditinggalkan dan meninggalkan, sebab mereka akan berjalan menuju Keabadian bersama. Bertahun-tahun melalui berbagai rintangan di dunia, nantinya akan terbayar dengan jalanan indah sebagai bayaran atas perjuangan mereka. Di tengah kesunyian malam dan disinari rembulan yang iri melihat kemesraan pasangan dimabuk asmara, Yuta dan Marsha saling mendekap erat.

“Aku sayang kamu, Matcha ….”

“Aku sayang kamu, Yuta ….”

Kini pasangan yang sudah merasakan manis, pahit, asam, asinnya kehidupan sudah menemukan puncaknya dalam hubungan. Bersama dalam suka dan duka, sejak awal hingga menemukan akhirnya. Setelah ungkapan sayang saling dilontarkan, mata Yuta dan Marsha terpejam erat menikmati hari-hari yang tersisa. Dengan senyum yang tak luntur, mereka saling menyusul untuk kembali bertemu. Sesuai janji, mereka tidak akan berpisah lama, sebab pada akhirnya Yuta dan Marsha pergi bersama-sama.


Translate Lagu Two People

After a tiring day passes, underneath the moonlight, two people become one shadow A vague happiness that seems reachable is still over there

Even if my scarred heart casts a shadow on your dreams PLease remember that a person, who loves you till it hurts, is next to you

Although this path seems far sometimes, even if you shed tears out of sadness Until everything becomes a memory, let’s become each other’s resting place

When I’m walking with you, when I can’t see where I need to go or the path I’m on I’ll remember the world of that day when everything dazzled with just you alone

I’m still awkward and I lack but until always, I’ll be by your side On a dark night, even if we’re lost and wandering, let’s be each other’s light

In the far days ahead, even if the dreams we’re looking for isn’t past the rainbow The times spent with you right now are more precious to me

Although this path seems far sometimes, even if you shed tears out of sadness Until everything becomes a memory, let’s become each other’s resting place

I’m still awkward and I lack but until always, I’ll be by your side Even if the cruel wind blows again, we will overcome the rough times together

Gimana? Apa kangen kalian sama pasangan ini terbayar? Semoga terbayar, ya! Dan untuk bagian akhirnya diserahkan kembali sama sudut pandang pembaca, apakah Yuta dan Matcha akhirnya sama-sama pergi atau cuma tidur. Hahahaha! Sekian dari aku. Makasih udah baca Yuta dan Matcha. Semoga gak capek bacanya. Sampai jumpa di cerita lainnya 💚