Will You Stay?
cw // mature content

Martin terkapar lemas penuh kepuasan di wajahnya yang berhiaskan semburat merah dan berpeluh deras setelah menyelesaikan percintaan dahsyat bersama Martha. Istrinya di samping pun keadaannya tidak berbeda jauh. Martha yang menyerahkan diri seutuhnya malam ini, dirajai sedemikian rupa oleh Martin sangat menikmati pelepasannya yang sudah tidak terhitung berapa kali dicapai.
Napas mereka sama-sama terengah, berusaha dinormalkan kembali sebelum nantinya bicara sebagai pemanis selepas memadu asmara. Martha tutupi tubuhnya dengan selimut hingga sebatas leher, membungkusnya tanpa sisa untuk dilihat Martin yang masih menikmati sisa-sisa puncak tertinggi cinta. Setelah tenaganya mulai pulih dan napasnya kembali normal, Martin menoleh ke arah Martha yang begitu lelah memuaskan nafsu mereka.
“Kok ditutup semua, sih?” Martin dengan jail berusaha menarik ujung selimut. “Aku ‘kan mau lihat lagi.”
Martha menahan selimut itu agar tetap membungkus tubuhnya sebaik mungkin, tentu dipahami betul oleh Martin mengapa istrinya sampai berbuat demikian. Bukannya pelit, hanya rasa percaya dirinya kembali tiada.
“Kamu cantik, Sayang. Beneran, deh. Kan tadi aku juga sambil muji-muji kamu,” goda Martin seraya merapatkan posisinya, memeluk Martha yang masih enggan membuka selimutnya.
“Iya, aku percaya setiap kamu ngomong gitu. Cuma nggak enak aja badan segede gini dilihat nggak pake apa-apa. Makanya mending ditutup.”
“Tadi kamu biasa aja. Malah kelihatan pede abis.”
“Itu … beda,” cicit Martha. “Lagi begitu boro-boro keinget selimutan.”
Martin tertawa pelan dan tidak mendesak Martha lagi untuk membebaskan tubuhnya dari selimut yang melindungi. Martin singkirkan anak rambut yang sedikit menutupi wajah Martha, hingga wanitanya mulai berbaring miring dan mereka saling beradu tatap tanpa spasi yang memisahkan.
Martin belai pipi Martha, berharap gembil di wajahnya itu tidak akan menghilang karena dia sangat menyukainya. Namun, Martin tahu bahwa semua lemak yang bertambah di tubuh Martha sangat ingin disingkirkan sesegera mungkin. Maka bila suatu saat lemak itu menghilang, termasuk yang ada di bagian favoritnya, Martin harus siap asalkan sang istri bisa kembali memupuk rasa percaya diri.
“Kelamaan nggak sih buat diet setelah Markus umur setahun atau pas dia udah bisa jalan?”
Pertanyaan itu mengembalikan fokus Martin yang sedang menikmati pemandangan indah berupa paras manis Martha. “Kamu diet pas Markus udah sekolah juga silakan, Sayang. Aku nggak maksa kamu buat cepet-cepet, asalkan kamunya nyaman.”
“Pas Markus udah bisa jalan aja. Soalnya aku jadi bisa ajak Markus olahraga bareng yang ringan-ringan gitu. Kalau sekarang ‘kan apa-apa masih perlu digendong. Bisa sih sambil gendong bayi atau Markus biar main di baby walker, tapi dia ditinggal dikit suka rewel, jadi takut aku nggak fokus. Nanti ujung-ujungnya aku diet kayak waktu itu.”
“Kalau itu aku nggak izinin,” sergah Martin cepat, tidak mau melihat Martha dalam kondisi terpuruk akibat kekurangan makan demi mengembalikan bentuk tubuhnya.
“Iya, aku nggak gitu lagi,” ucap Martha menuruti perintah suaminya. “Tapi kamu bakal sama aku terus sampai bisa berubah kayak dulu, ‘kan?”
Ada harapan penuh di balik iris hitam yang memandang Martin. Ingin mendapatkan jawaban terbaik demi memupuk kembali rasa percaya diri Martha yang sempat runtuh akibat gunjingan orang-orang sekitar. Martha ingin kembali bukan saja untuk dirinya, tetapi juga untuk Martin agar tidak menanggung malu akibat mendapat ledekan serupa karena memiliki istri yang sedang dalam keadaan terburuknya.
Martin lebarkan senyum, lantas mendekap erat Martha yang masih dipenuhi rasa takut ketika berusaha menjadi diri sendiri dan apa adanya. Tubuh ideal adalah hal baik, artinya Martha peduli pada kesehatannya sendiri. Namun, bila itu dilakukan Martha hanya untuk kepuasan orang lain, Martin tidak mau istrinya jadi terbebani akibat ocehan tak penting yang telanjur tertanam dalam diri.