Your Side

Pagi ini hanya ada sejoli yang telah siap memulai rutinitas mereka, sedangkan sang tunggal masih betah di dalam mimpi dan sepertinya baru akan bangun menjelang siang. Teringat pesan yang dikirim Wulan kemarin sore, katanya Martha mengusir beliau dengan cara berlebihan. Masalahnya apa, Martin belum tahu, tetapi yakin tindakan di luar batas itu terjadi karena Martha sudah hilang kendali dan penyebabnya Wulan serta Marni.
Semalam Martin tidak menanyakan soal aduan Wulan, sebab dia ingin Martha istirahat dari segala hal buruk yang menimpanya. Martin pun tidak mau merenggut senyum Martha semalam ketika bermain bersama Markus, tidak ingin membuat sang istri merasa jadi pelaku utama padahal sebenarnya dia korban menyedihkan. Alhasil Martin menahan diri untuk bertanya, mencari waktu yang tepat agar Martha tidak tersinggung atau merasa dicurigai.
Omong-omong, pagi ini Martha sangat cantik sampai Martin ingin di rumah saja jika tidak ingat ada syuting. Martha mengenakan dress panjang berwarna cokelat polos, rambutnya digerai bebas tanpa takut berantakan, sedangkan wajahnya dirias tipis tetapi menawan, khususnya di bagian bibir yang dipoles lipstick warna peach dan membuatnya tampak lebih segar. Oh, jangan lupakan semburat merah di pipi chubby-nya, menggoda Martin untuk mencubitnya.
Akibatnya ketika Martha mengantar sang suami hingga ke depan rumah, Martin tidak sampai hati untuk pergi karena terlalu betah memandang wanitanya yang memesona.
“Kamu nggak pergi? Nanti telat,” tegur Martha, bingung karena Martin tidak kunjung beranjak dari posisinya.
“Masih betah lihatin kamu. Cantik banget, sih.”
Sudut bibir Martha berkedut membentuk senyum, tetapi ditahan ketika kata-kata manis itu tidak lagi terdengar sama di rungu.
“Aku jadi mau cerita,” kata Martha mengalihkan topik. “Kemarin Mami sama Bunda ke sini, terus aku ngusir mereka karena keterlaluan.”
Martin mendelik, tak menyangka Martha akan secara sukarela memberi tahu hal tersebut tanpa diduga. Martha tampak enteng ketika bicara, tetapi Martin tahu ada beban di balik suaranya yang datar.
“Mereka ngeledek penampilan aku lagi, terus aku kehilangan kesabaran sampai bisa sekeras itu ke Mami sama Bunda. Aku bahkan bentak mereka, mukul meja, kayak yang nggak inget mereka itu orang tua.”
“Terus kamu lega setelah gitu ke mereka?” tanya Martin, hati-hati sekali agar istrinya yang rapuh tidak merasa disakiti.
“Aku lega, tapi,” Martha tersenyum kecut, “pasti mereka langsung benci aku. Enggak heran juga kalau kamu bakal marah karena aku bisa sekejam itu ke Mami sama Bunda.”
Martin menggeleng cepat, membantah tuduhan tak berdasar itu karena dia selalu di pihak Martha. “Aku nggak mungkin marah kalau mereka yang keterlaluan,” balas Martin seraya menangkup pipi Martha.
“Tapi aku juga keterlaluan. Aku sampai gebrak meja.”
“Aku nggak marah.”
“Aku juga bentak mereka.”
“Itu bukan masalah.”
“Kamu bilang kayak gitu karena nggak lihat gimana aku marah. Kalau aja kamu lihat, apa yakin kamu bisa sesantai ini?”
“Aku nggak akan marah sama kamu, Martha,” tegas Martin tanpa mempertimbangkan ucapannya, membungkam Martha yang meragukan suaminya sendiri. “Dari awal, aku selalu ada di pihak kamu. Kalaupun kamu yang salah, aku selalu milih kamu. Selama ini kamu yang kena, jadi wajar kamu bisa kehilangan rasa sabar. Justru harusnya kamu begitu dari dulu, jangan ditahan kalau luapin semuanya di depan orang yang nyakitin kamu bisa bikin lega. Aku nggak nyaksiin semuanya, tapi kalau aku jadi kamu, pasti bakal lakuin hal sama.”
Martin tunda kepergiannya, memilih merengkuh sang puan yang membutuhkan tempat bersandar. Martin sembunyikan wajah Martha di dadanya, menjadi tempat terbaik untuk mengadu bila kesusahan. Melawan orang tua adalah kesalahan, tetapi bila orang tua yang jadi penyebabnya, seorang Martha yang serba menahan diri pun pada akhirnya melampiaskan juga.
Martin membelai rambut Martha, berdoa agar segala hal yang membebani isi pikiran sang istri segera menyingkir dari dalam kepalanya.
“Kamu … beneran bakal sama aku terus, ‘kan?”
Getar suara Martha menandakan ketakutan, menularkan hal serupa sebab Martin takut istrinya menyerah dan pergi secara diam-diam.
“Aku bakal sama kamu terus, Martha. Kamu juga sama aku terus, ya?”