hanyabualan

Ada satu part yang terinspirasi dari film Five Feet Apart. Enjoy ^^

“Berdasarkan naskah yang aku baca, Jeremy suka cium pipi sama kening Anata. Terus kalau bibir cuma … dua kali. Yang satu masih standar, sedangkan satunya lagi agak … gitu.”

Ada keraguan dari nada bicara Eila ketika menjelaskan adegan ciuman dalam naskah. Eila yang biasanya paling semangat di setiap sesi latihan dan membimbing Jibran yang penuh keraguan, hari ini dirasa berbeda karena wanita itu tidak berani menatap Jibran ketika bicara. Semangatnya tetap muncul, tapi rasanya lain dan Jibran memahami itu.

Sesi latihan kiss scene ini akan menjadi pengalaman pertama Jibran, bersama orang paling berarti yang kini dekat. Di ruang tengah lantai satu, Jibran dan Eila duduk berdampingan di sofa sembari sibuk membaca naskah di tangan masing-masing, tepatnya di bagian kiss scene yang latihannya akan segera dilangsungkan.

Seperti yang dikatakan Eila, adegan ciuman pertama sebenarnya sangat santai dan lebih tepat disebut kecupan singkat yang seharusnya tidak berarti apa-apa. Namun, kasusnya jelas lain mengingat bagaimana Jibran menaruh rasa yang besar pada Eila. Jadi mau seperti apa pun adegannya, jika itu berkaitan dengan sentuhan fisik bersama Eila, maka dampaknya tetap besar.

Rasa canggung masih terasa karena Jibran dan Eila terus sibuk dengan naskah masing-masing, padahal mereka tidak membaca apa-apa di sana. Jadi Jibran merasa perlu ada pencair dahulu sebelum mereka benar-benar latihan untuk adegan ciuman yang mendebarkan. Jibran menutup naskah dan meletakkannya di meja, sedangkan Eila yang menyadari masih memilih berkutat dengan naskahnya sebagai pengalih.

Jibran menoleh pada Eila, memorinya kembali membawa sang aktor pada momen di mana Eila melihat bekas lukanya pada pagi hari. Sesuatu yang Jibran berusaha sembunyikan dari banyak orang, terlebih dari Eila karena tidak mau membuat wanita itu jijik. Setelah kejadian itu, Eila tidak menunjukkan rasa jijik padanya, tapi rasa khawatir tetap ada karena siapa tahu Eila selama ini akting seakan biasa saja, sedangkan di belakang itu Eila justru jijik pada Jibran.

Tak mau membuang-buang waktu dengan membuat pertimbangan, Jibran menanyakan hal paling penting yang sangat ingin dia ketahui.

“Eila,” panggil Jibran yang membuat wanita itu menoleh dan menatapnya. “Apa kamu jijik setelah lihat bekas luka aku?”

Eila mengerjap, tak menyangka akan mendapatkan pertanyaan yang tidak pernah ia perkirakan sebelumnya. Namun, tanpa berpikir panjang, Eila menjawab, “Aku nggak jijik.”

Jibran membulatkan matanya, memberikan reaksi yang tidak biasa karena dia bukannya lega atau senang, tapi malah terkejut sampai memastikan yang ia dengar tidak salah.

“Kalau kamu jijik …, aku nggak masalah. Maksudnya, kamu nggak perlu pura-pura biasa aja setelah lihat bekas luka itu. Soalnya aku aja jijik, Trian juga sempat jijik, apalagi kamu.”

Eila manggut-manggut, paham mengapa Jibran malah heran saat Eila justru biasa saja dengan bekas luka yang baginya bukan suatu masalah.

Tidak ingin membuat Jibran berpikir negatif, Eila pun menjelaskan, “Awalnya aku kaget karena nggak nyangka kamu punya bekas luka kayak gitu. Soalnya setiap lihat kamu, aku selalu mikir kamu pasti akan muji diri sendiri setiap lagi ngaca kayak, ‘wow, aku sempurna banget. Enggak heran banyak yang suka sama aku’, gitu. Aku juga berpikir kamu laki-laki paling sempurna yang nggak ada kekurangan sedikit pun.

“Tapi berkat bekas luka itu, nunjukin bahwa manusia biasa yang punya kekurangan dan minder dengan kekurangan itu. Jadi, aku nggak jijik sama sekali lihat bekas luka itu, karena manusiawi untuk punya kekurangan yang mau ditutupi dari banyak orang. Kalau aku jijik, saat itu aku nggak akan lihatin kamu, tapi kabur atau teriak.”

Oh, bolehkah Jibran senang karena jawaban Eila membangkitkan rasa percaya dirinya? Pasalnya Jibran selalu minder dengan kondisi fisiknya setiap kali berhadapan dengan Eila. Lantas setelah mendengar penjelasan yang mengharukan itu, Jibran merasa derajatnya naik tingkat berkat Eila.

“Kamu yakin nggak jijik?”

“Sama sekali nggak jijik, Jibran,” ucap Eila penuh ketegasan. “Aku bukannya mau bandingin, tapi kaki aku juga jelek banget. Soalnya aku punya darah manis, jadi gampang gatal dan suka ninggalin bekas luka yang susah hilang. Sampai sekarang aja masih banyak bekasnya. Mau lihat?”

Eila hanya bercanda ketika menawarkan Jibran untuk melihat bekas lukanya, tapi sang aktor justru meresponsnya dengan serius. Jibran tak bersuara, tapi daksanya berlaku lain dengan melepaskan kemeja yang ia kenakan sebagai outer, hingga Jibran hanya mengenakan kaus putih tanpa lengan yang menampakkan bekas luka pada bicepsnya.

Eila menelan ludahnya dengan susah payah, malah tidak fokus pada bekas luka Jibran yang menampakkan dirinya dengan bebas. Jibran terlihat seksi dan—oh, sungguh! Eila hampir hilang akal. Beruntungnya Eila bisa mengembalikan kewarasannya sebelum berpikir aneh-aneh dengan pemandangan di depannya.

Eila mengangkat kaki kanannya ke sofa, menggulung celananya sebanyak 5 gulungan, lalu menunjukkan bekas luka akibat garukannya yang cukup mengganggu. Sama seperti Eila ketika melihat bekas lukanya, Jibran tak terganggu dengan bekas luka itu, apalagi merasa jijik. Kaki putih itu tidak mulus, tapi tidak menjadi poin minus di mata Jibran.

“Ini emang nggak sebanding sama luka kamu,” Eila kembali menutupi bekas lukanya karena malu, “tapi aku juga nggak pede, apalagi aku pernah diputusin cuma gara-gara bekas luka ini. Terus katanya banyak laki-laki yang nggak suka perempuan punya bekas luka kayak gini, soalnya jijik gitu.”

“You still perfect, Eila.”

Sang puan mengangkat kepalanya dan tersenyum kikuk. “Thanks,” balasnya gugup. “Bagi aku …, kamu juga sempurna, Jibran.”

Kekurangan yang selalu ingin mereka sembunyikan kini telah terungkap jelas, tapi tak membuat Jibran dan Eila menyesal telah menunjukkannya. Sebab keduanya paham, bahwa segala kekurangan tidak akan diacuhkan dan tetap menjadi sempurna di pandangan orang yang tepat. Bagi Jibran dan Eila, masing-masing dari mereka adalah orang tepat itu.

“Apa kita mau mulai latihan sekarang?”

Eila mencairkan suasana dengan membawa topik yang telah ditunggu-tunggu. Setelah merasa waktunya tepat, Jibran mengangguk setuju dan kembali mengenakan kemejanya. Eila mengambil langkah pertama yaitu duduk lebih dekat dengan Jibran. Sebenarnya malu, tapi kali ini Eila bisa menepisnya dengan baik. Eila pandang Jibran seraya tersenyum lebar, mengundang Jibran untuk ikut menerbitkan senyumnya.

“Pertama, coba latihan cara tangkup pipi aku. Pake sebelah tangan dulu.”

Jibran mengikuti instruksi Eila dengan baik. Tangan kanannya menangkup pipi kiri Eila, bertahan sekitar 10 detik, sampai akhirnya ditarik menjauh oleh sang puan.

“Sekarang coba tangkup pipi aku dua-duanya.”

Lagi, Jibran mengikuti arahan Eila dan menangkup kedua pipi itu yang terasa lembut dan menggemaskan. Ingin Jibran cubit kedua pipinya, tapi ia tahan mengingat sesi latihan ini harus berjalan serius.

“Gimana? Kamu ngerasa nyaman sama latihan bagian ini?”

Jibran mengangguk seraya menarik kedua tangannya menjauh. Sampai sekarang masih aman, meski debar jantung Jibran tidak bisa diajak bekerja sama.

“Kalau gitu coba cium pipi aku.”

“Gimana?”

“Jeremy suka cium pipi Anata. Jadi, kamu coba cium pipi aku juga.”

Jibran mengetatkan rahangnya sebagai reaksi terkejut. Jika dia yang harus memulai, maka Jibran tidak yakin dia bisa melakukan sesi latihan dengan baik. Berbeda dengan Eila yang terlihat relaks dan sepertinya sudah cukup berpengalaman soal sentuhan bibir, jadi ada baiknya yang lebih paham memberi contoh padanya.

“Kamu dulu aja, Eila,” pinta Jibran sembari berharap bisa dikabulkan. “Anata juga suka cium pipi Jeremy, jadi ada baiknya kamu dulu yang cium pipi aku.”

“Oke.”

Jibran terbelalak dan lehernya seperti tercekik karena dia jadi sulit bernapas akibat Eila yang menjawab tanpa membuat pertimbangan. Tidak mau menunggu banyak reaksi, Eila mencium pipi kanan Jibran seperti permintaannya. Tak lupa pipi kirinya pun ikut diserang oleh bibir merah cherry Eila yang beruntung tidak meninggalkan bekas.

Eila kembali ke posisinya setelah mencium Jibran, melihat jelas bagaimana sang aktor tidak berkedip setelah dicium dalam durasi singkat, tapi bekasnya tak lekang. Eila menggigit bibirnya, antara malu dan menahan tawa melihat kedua telinga Jibran yang merah.

Jangan dikira Eila biasa saja mencium Jibran, karena realitasnya tidak seperti itu. Jantungnya meletup tak terkira dan ada percikan kembang api setelah berhasil mencium Jibran.

“Kamu nggak apa-apa?” Eila bersuara dan menyadarkan Jibran yang berusaha mengembalikan kewarasannya. “Mau dilanjut?”

“Iya.”

“Oke, sekarang giliran kamu yang cium pipi aku,” kata Eila seraya menyelipkan helain rambut ke belakang telinga yang menutupi pipinya. “Aku bakal tutup mata biar kamu nggak malu,” tambahnya seraya memejamkan mata rapat-rapat, lalu memiringkan sedikit kepalanya untuk menunjukkan pipi kirinya yang siap dicium.

Bukannya langsung melakukan hal sama seperti Eila, Jibran malah bergeming mengamati sang puan yang mengundangnya untuk melakukan hal lebih dari sekadar pegangan tangan seperti sebelumnya. Waktu terasa bekerja lebih lambat di dunia Jibran, di mana dalam dunianya hanya ada Eila yang menjadi tujuannya.

Jibran yang awalnya tak berani berbuat apa-apa, perlahan mengangkat tangan kanannya dan mengarahkannya pada pipi Eila yang merona berkat dipoles blush. Jibran tangkup pipi Eila, begitu hati-hati dan lembut, seakan ingin membuat Eila nyaman dengan sentuhannya.

Wajah Jibran mulai mendekat, meski ada beberapa kali perhentian karena tak kuasa. Saat matanya terpejam, Eila bisa merasakan tangan Jibran yang dingin pada pipinya. Eila abaikan saja, sembari menunggu Jibran mencium pipinya. Jibran yang telah siap kembali mendekati wajah Eila yang menantikannya, hingga kini jarak mereka hanya tinggal beberapa senti menuju pipi.

Saat bibir Jibran hampir menyentuh pipi, pria itu mengubah haluannya. Bibir Jibran merangkak naik dari pipi Eila menuju kening, lalu bibirnya bertaut dengan kening itu, menyalurkan seluruh rasa melalui sentuhannya ketika rangkaian aksara tak mampu ia lisankan.

Eila yang merasakan ciuman di keningnya seketika terbelalak, tak menyangka Jibran akan menciumnya di sana. Bagi Eila, mencium kening bukan hal yang biasa, karena artinya ada sesuatu yang ingin Jibran sampaikan lewat ciumannya—yang kalau boleh jujur, Eila berdoa tidak menjadi harapan baru untuknya.

Jibran menarik bibirnya dan memandang Eila dalam. Padahal tak berbuat banyak, tapi napasnya sedikit memburu karena Jibran tidak percaya dengan apa yang diperbuat. Seakan tak cukup, Jibran menyuarakan sesuatu sebagai permintaan izin. Tak lupa menyentuh bibir Eila dengan ibu jarinya agar sang puan paham apa maksudnya.

“Apa boleh aku cium di sini?”

Kalimat itu ada di dalam naskah. Eila hapal sekali karena dia sering bolak-balik membacanya. Paham bahwa Jibran sedang mendalami aktingnya sebagai Jeremy dalam sesi latihan, Eila pun mencoba mendalami perannya sebagai Anata dengan memberi anggukan. Saat pintu akhirnya dibuka, Jibran masuk ke sana untuk melangkah lebih maju.

Eila boleh berpikir bahwa ini hanya demi latihan dan sosok di depannya adalah Jeremy yang romantis. Sedangkan kenyataannya, Jibran menginginkannya, tanpa embel-embel Jeremy dalam dirinya. Jibran kembali mendekat, kali ini lebih yakin dari sebelumnya.

Sampai akhirnya bibir mereka bersua, menyalurkan rasa pada milik masing-masing yang sensasinya begitu menyenangkan. Mata keduanya terpejam, menikmati sentuhan bibir yang tak berani bergerak untuk menikmati rasa lain. Memilih dalam posisi ini dalam durasi lama, asalkan Jibran dan Eila bisa terkoneksi dalam rasa yang sama.

Di saat inilah, Eila sudah menjatuhkan pilihan untuk membiarkan perasaannya terus mekar tanpa jeda. Tak peduli Jibran akan menerimanya atau tidak, Eila tetap akan menaburkan siraman cinta agar tertanam sempurna. Karena pada saat ini, tidak hanya Jibran yang memberikan ciuman pertamanya, Eila pun memberikan hal serupa untuk Jibran yang ia tetapkan untuk menjadi tempat melabuhkan cintanya.


Jangan lupa komentarnya ^^

Menembak adalah salah satu keahlian Jibran yang menjadi andalannya di setiap film laga. Jibran sudah terlatih sejak SMA dengan mengikuti klub menembak, lalu ditawarkan untuk ikut sekolah akting oleh ibunya karena tahu Jibran suka berakting, sampai dia bisa debut dengan film laga perdananya.

Jibran ingat peran pertama yang ia dapat adalah sebagai anak dari seorang Mafia yang diculik, dianggap tidak penting oleh banyak orang, tapi ternyata Jibran adalah tokoh berpengaruh yang menjadi otak di balik penculikannya sendiri. Dalam film, Jibran pura-pura diculik untuk memancing beberapa pasukan elit yang dipercaya untuk mencari keberadaannya. Rupanya di akhir film, terungkaplah siapa sosok Jibran selanjutnya yang kemudian melakukan aksi balas dendam untuk membayar kematian orang tuanya.

Walau dalam film Jibran tetap kalah karena pemeran utama yang terdiri dari pasukan elit itu menang, Jibran tetap mencuri perhatian penonton hingga dia mendapatkan penghargaan pertamanya sebagai aktor pendatang terbaik.

Masa-masa awal kariernya sangat indah, tapi lebih indah lagi kala kini Jibran melatih kemampuan menembaknya bersama Eila. Seperti yang diminta, Trian menyewa satu tempat latihan menembak di bilangan Selatan di dalam gedung mal khusus untuk Jibran dan Eila.

Tentunya Trian keberatan, tapi dia tidak punya kuasa untuk banyak melarang. Makin dilarang, keinginan Jibran malah harus dipenuhi. Jadi daripada lelah berperang dengan keras kepalanya Jibran, lebih baik Trian menurut selagi lokasi latihan aman dari banyak orang.

Saat ini Jibran sudah memulai latihan menembaknya dengan pistol, mengarahkan senjata pada target, dan mulai menyerang seakan-akan di depan itu adalah musuhnya dalam film. Eila yang duduk di belakang sesekali menutup telinga karena tidak kuasa menahan suara tembakan yang nyaring dan memekakan telinga.

Saat peluru pada pistol Jibran sudah habis, barulah ia menaruh atensinya pada Eila yang akhirnya bisa tenang dari suara tembakan.

“Jadi, kamu mau latihan sekarang?” tanya Jibran sembari mengambil satu pistol dari meja di depannya yang masih terisi penuh oleh peluru. “Biar aku ajarin.”

Eila menelan ludahnya susah payah, takut sebenarnya, karena ini akan menjadi pertama kalinya bagi Eila menembak. Namun, karena Eila memiliki rencana lain dengan dalih latihan akting, mau tidak mau Eila harus memiliki nyali untuk melakukannya.

Eila berdiri dan mendekati Jibran, lalu mengambil pistol secara sembarang tanpa tahu tekniknya. Jibran tertawa karena cara Eila mengambil pistol itu terlalu buru-buru, menunjukkan bahwa dia gugup, bukannya berani.

“Megangnya nggak gitu, tapi gini.” Jibran menunjukkan cara memegang pistol sembari memegang pistolnya yang tadi pelurunya telah habis.

Bukannya mengikuti cara Jibran, Eila malah memberikan pistolnya. “Coba tolong kamu contohin sambil pegang tangan aku. Biar aku tahu harus kayak gimana. Kalau lihat doang, aku nggak paham.”

Jibran yang langsung paham apa maksud Eila, segera meletakkan pistolnya kembali di meja, lalu mendekat pada Eila dan menyentuh tangannya dengan hati-hati. Dengan gerakan teratur, Jibran berdiri di belakang Eila, masih dengan tangan yang bersentuhan dengan Eila.

Perlahan Jibran mengangkat kedua tangan Eila dan meluruskannya ke arah target, sembari memberi tahu cara memegang senjata yang benar. Eila fokus pada instruksi Jibran, tapi ia juga tahu ketika Jibran mulai memberi jarak agar tak terlalu rapat dengannya.

Tidak mau momen yang bisa berubah romantis ini sia-sia, Eila berkata, “Lebih dekat sama aku, Jibran.”

“Gimana?” Jibran tidak tuli, hanya saja ingin menyakinkan apakah yang dikatakan Eila sesuai dengan yang ada di pikirannya atau tidak.

“Badan kamu harus lebih dekat sama aku, Jibran. Seakan-akan kamu lagi meluk aku.”

Astaga! Rupanya yang dikatakan Eila sama dengan dugaan Jibran. Ada keraguan dalam diri Jibran, padahal Eila sendiri yang berkata mereka bisa memanfaatkan momen untuk latihan skinship lagi, tapi memeluk Eila? Pegangan tangan saja sudah membuat Jibran mati gaya, apalagi memeluknya.

“Jeremy … suka meluk Anata dari belakang—berdasarkan naskah yang aku baca. Jadi, kalau bisa kamu latihan juga buat—”

Kalimat Eila berhenti mengudara ketika Jibran tiba-tiba merapatkan posisinya, mengeratkan pegangannya pada tangan Eila yang menggenggam kuat senjata, dan menipiskan segala jarak yang mereka miliki. Sekarang giliran Eila yang mati gaya karena dada Jibran begitu menempel dengan punggungnya, sampai-sampai Eila menahan napas karena kedekatan di luar nalar ini.

Jangankan Eila, Jibran saja sudah ingin mundur dari posisi yang begitu menyiksa debar jantungnya, tapi dia juga sudah terlena dengan kedekatan mereka. Terlebih ketika Jibran bisa melihat sudut kiri wajah Eila yang tampak cantik, membuainya untuk terus dalam posisi ini. Jibran menggeleng sekali, kembali mengumpulkan konsentrasinya untuk mengajarkan Eila menembak.

“Udah ingat ‘kan yang tadi aku ajarin?”

Eila mengangguk setelah kesadarannya terkumpul penuh. “Udah.”

“Kalau gitu mulai nembak di hitungan ketiga.”

Suara Jibran berada tepat di telinga Eila. Embusan napasnya meninggalkan sensasi geli yang Eila tahan mati-matian. Sebelah tangan Jibran menyentuh pundak Eila, sengaja agar sang puan lebih relaks. Lantas ketika Eila sudah relaks, Jibran mulai menghitung dengan suara yang merdu. Sampai di hitungan ketiga, Eila menembak pada target di depannya sebanyak tiga kali dalam satu kali hitungan.

Semua bidikan tepat sasaran yang membuat Jibran tersenyum bangga, sedangkan Eila syok karena dia bisa menembak meski tak seahli sang profesional. Pistol di tangan Eila sampai jatuh ke meja karena dia langsung lemas, tapi beruntung ada Jibran yang segera mengelus pundak Eila agar tenang.

“Kamu keren. Sekarang mainnya udahan.”

Eila hanya mengangguk, karena dia tidak mau bermain lagi. Untuk pemula sepertinya, menembak menjadi sesuatu yang menyeramkan meski sudah ditemani oleh Jibran. Omong-omong soal Jibran, pria itu masih setia menempel pada Eila meski sudah tidak menggenggam tangannya.

Eila sudah meluruskan tangannya, tapi belum berani beranjak dari tempatnya. Antara lemas untuk mengambil langkah dan menikmati kedekatannya dengan Jibran. Sama halnya dengan Eila, Jibran pun tidak mau menjauh, begitu betah di posisi yang baginya menyenangkan.

Jibran pandang wajah Eila dari posisinya, begitu menawan meski hanya melihat sedikit bagian. Tiba-tiba fokusnya berubah pada bibir merah cherry Eila yang makin menambah pesonanya ketika tersenyum. Jibran menggeleng sekali untuk mengembalikan fokusnya yang tadi, tapi gagal karena Eila malah menoleh hingga jarak pandang mereka hanya satu jengkal.

Eila mengerjap terkejut, sedangkan Jibran malah menahan napas akibat gerakan tiba-tiba itu. Lagi, fokusnya malah beralih pada bibir merah cherry yang menggoda Jibran. Eila meremas ujung kemejanya, tak mampu bergerak dengan kedekatan yang makin memekarkan segala rasa dalam dirinya.

Rasanya ingin Eila peluk Jibran, tapi apa haknya melakukan itu? Eila tak boleh lancang melakukan sentuhan fisik di luar latihan, tapi sungguh, ingin rasanya berlindung di balik dada bidang itu demi meringankan segala bebannya. Pandangan mereka masih saling beradu, seakan saling merayu dalam bisu, tanpa ada yang mau beraksi sebagai pendahulu.

Sampai akhirnya salah satu dari mereka mau membuka lisan, menyampaikan sesuatu yang telah berhimpun sesaat setelah mereka beradu pandang.

“Eila, apa harus kita latihan untuk … kiss scene?”

Part ini terinspirasi dari scene dansa di High School Musical 3

Hanya berdua dengan Ardania Eila Mahadarsa menjadi momen yang paling menegangkan bagi Jibran Dava Adelard kala mereka berada di rumah. Terlebih hari ini Eila malah membuat ide untuk melatih skinship Jibran yang menjadi inti dalam cerita Perfect Wife. Maklum, tokoh Jeremy dalam film adalah laki-laki yang sangat menyukai sentuhan fisik sebagai bentuk rasa sayang pada kekasihnya. Jadi Jibran perlu dilatih untuk membiasakan diri ketika syuting sebenarnya dimulai.

Eila tidak mau Jibran kaku saat syuting, jadi lebih baik dilatih sejak sekarang agar Jibran terbiasa. Jangan sampai Jibran disangka kurang profesional hanya karena tidak mampu melakukan skinship dengan pasangannya di film genre romansa pertamanya. Eila tidak akan membiarkan Jibran dianggap seperti itu. Jadi memanfaatkan momen berdua di rumah, Eila memainkan lagu dari soundtrack film kesukaannya menggunakan ponsel, Can I Have This Dance – High School Musical 3, latihan pun dilakukan.

Di ruang tengah, Eila berdiri menghadap Jibran yang bergeming karena tak tahu harus berbuat apa. Lain dengan Eila yang sudah tersenyum antusias karena tidak sabar dengan latihan mereka. Paham Jibran kebingungan, Eila mengambil satu langkah mendekat sebagai awal menuju step selanjutnya.

Jibran yang awalnya menunduk menatap jemari kakinya sendiri, kini menatap Eila yang jaraknya amat dekat. Senyum manis tak luntur dari wajah Eila, mengundang senyum Jibran yang malu-malu untuk ditunjukkan. Eila meraih tangan Jibran dan menggenggamnya erat, membuat Jibran bisa merasakan kelembutan tangan Eila yang asing kala bersentuhan dengannya.

“Tangan kamu dingin,” ucap Eila seraya tertawa kecil. “Are you okay? Maksudnya kalau nggak nyaman nggak usah dilanjut.”

Jibran mengangguk sekali. “I’m okay,” jawabnya pelan.

Tak peduli tangannya dingin dan letupan kecil pada jantungnya berubah besar akibat Eila, Jibran tidak ingin menyia-nyiakan momen ini begitu saja.

“Kalau gitu, aku boleh lingkarin tangan kanan kamu di pinggang aku?”

Jibran mengerjap, memastikan yang ia dengar tidak salah. Pasalnya Jibran sudah memikirkan beberapa skenario di kepala apa saja yang akan terjadi jika dia mengiyakan pertanyaan Eila. Pertama, Jibran dan Eila akan dalam posisi yang amat dekat. Kedua, debar jantung Jibran bisa saja terdengar dalam jarak dekat. Ketiga, Jibran tak yakin dapat bertahan dalam waktu yang lama.

Namun sekali lagi, Jibran tidak mau menyia-nyiakan momen ini, jadi dia mengangguk lagi sebagai persetujuan atas pertanyaan Eila. Sang puan tersenyum, lalu melingkarkan lengan Jibran pada pinggangnya, sedangkan tangan kanan Eila saling mengait dengan tangan kiri Jibran yang juga terasa dingin.

Senyum Eila sedikit bergetar, menahan tawa karena reaksi tubuh Jibran menjadi tanda bahwa dia asing kala harus bersentuhan dengan perempuan. Saat Eila mengaitkan lengannya pada pundak Jibran hingga jarak mereka kini hanya satu jengkal, Jibran menahan napasnya sejenak yang membuat Eila terbahak karena reaksi pria ini sangat menggemaskan.

“Relaks,” ujar Eila setengah berbisik sambil membimbing Jibran untuk bergerak mengikuti gerakan kakinya, bersamaan dengan lagu Can I Have This Dance yang sudah bermain untuk kedua kalinya. “Kamu belum pernah dansa sebelumnya, ya?” tanya Eila ketika Jibran fokus menatap kakinya yang bergerak kaku, mencoba mengikuti gerakan sederhana Eila.

“Belum,” balas Jibran polos. “Pegangan sama perempuan kayak gini aja belum pernah.”

“Berarti aku harus kasih tahu salah satu aturan dansa yang paling penting dan wajib dilakuin.”

“Apa?”

“Kamu harus lihat pasangan kamu, nggak boleh ke yang lain.”

Jibran tidak tahu mantra atau pelet apa yang Eila miliki, karena setiap katanya selalu berhasil dituruti hanya dalam sekejap. Jibran kembali menatap Eila, fokus pada netra legam yang juga menatapnya dalam. Tak lupa Eila tersenyum, berharap senyumnya bisa membuat Jibran relaks saat daksa mereka kini bergerak lebih ringan dari sebelumnya.

Kedua tangan Jibran tetap dingin, tapi raganya sudah lebih relaks. Debar jantung Jibran? Jangan ditanya! Letupan kecil itu kian membesar, sampai Jibran takut Eila bisa menyadarinya.

Saking sibuk dengan debar jantungnya sendiri, Jibran tidak sadar bahwa Eila sebenarnya merasakan hal serupa, hanya saja ditutupi oleh ketenangannya. Karena jujur, berada di dekat Jibran dengan jarak sedekat ini, sangat berbahaya untuk Eila yang sadar bahwa ada perasaan asing yang mulai menjadi kecambah dalam diri, bersiap untuk mekar dan menunggu sang pemilik untuk mengambilnya.

Bukan laki-laki lain, bukan mantannya yang telah menjadi masa lalu, tapi untuk Jibran yang ada di depan mata.

“Sekarang kamu udah lebih relaks.”

Eila makin mengaitkan lengannya pada pundak Jibran, sengaja agar jarak mereka makin tipis untuk melihat reaksi sang aktor. Terbukti Jibran sudah lebih relaks dari sebelumnya, gerakan dansa mereka pun lebih teratur tanpa merasa ada batas, meski tangan Jibran masih terasa dingin ketika digenggam. Well, tidak apa-apa, yang penting Jibran sudah mulai terlatih dengan sentuhan fisik bersama lawan jenis.

“Aku boleh ngomong jujur?”

“Silakan.”

“Aku bukan penggemar kamu, Jibran. Aku belum pernah nonton film kamu. Tapi bisa sedekat ini sama orang sehebat kamu, aku ngerasa jadi perempuan yang paling beruntung.” Eila menekankan tiga kata terakhir sebagai tanda kesungguhannya.

Jibran melebarkan senyumnya. Tak hanya senang, tapi karena dia juga merasa menjadi laki-laki paling beruntung. Pasalnya saat ini dia berhadapan dengan cinta pertamanya, yang dulu hanya menjadi angan dalam angin, tapi kini daksanya berada dalam jangkauan.

Sayang, nyali Jibran masih ciut seperti dulu untuk mengakui soal perasaan—atau minimal mengaku mereka pernah satu sekolah. Selain karena Jibran masih terikat dengan project, dia tidak mau hubungannya dengan Eila malah regang akibat pengakuannya yang tidak ia pertimbangkan secara matang.

Jadi untuk sekarang, Jibran biarkan perasaannya yang kembali mekar untuk tetap berada di dalam sangkar. Jika nanti waktunya sudah tepat, Jibran membuka sangkar itu dan memberikan bunganya yang mekar untuk Eila.

Can I Have This Dance sudah berputar sebanyak lima kali, tapi Jibran dan Eila masih betah berdansa dengan gerakan santai yang teratur, dengan netra yang saling menautkan pandang, serta senyum yang terpatri sebagai bentuk rasa sepanjang berdansa.

“Eila, ingat aku pernah cerita singkat soal suka sama perempuan di sekolah?” Kala Eila mengangguk, Jibran melanjutkan, “Aku sadar perasaan yang pernah aku punya ke dia masih ada sampai sekarang.”

Eila mengerjap, cukup terkejut mendengar pengakuan itu. “Pernah bilang suka ke dia?”

“Enggak pernah berani,” jawab Jibran seraya tertawa masam. “Sampai sekarang juga nggak berani. Lagian dia nggak akan nerima aku.”

“Kenapa nggak dicoba?” Rasa penasaran Eila mulai merangkak naik. Ingin mengulik lebih dalam apa yang Jibran rasakan saat ini. “Menurut aku, dia pasti nerima kamu. Apalagi kamu aktor yang nggak mungkin orang nggak kenal sama kamu. Jadi, dia pasti senang karena tahu kamu suka sama dia.”

Eila mengira bahwa Jibran membicarakan orang lain, padahal sebenarnya yang dibicarakan Jibran adalah Eila sendiri. Sedihnya, Jibran tak setuju dengan argumen itu, karena Jibran tidak mau perasaannya diterima hanya karena siapa sosoknya yang tidak abadi dalam industri ini.

“Aku nggak mau dikenal sebagai aktor belaka. Aku mau dia nerima perasaan aku secara tulus sebagai orang biasa. Kalau dia nerima karena aku aktor, belum tentu perasaan dia bisa tulus dan malah jadiin aku ajang pamer.”

Alasan Jibran sangat masuk akal dan Eila menerimanya. Tidak dipungkiri sosoknya sebagai aktor menjadi incaran perempuan. Perasaan seorang penggemar dan pecinta jelaslah beda. Penggemar bisa saja berubah seiring dengan popularitas yang juga tidak abadi. Sedangkan seseorang yang mencintai tanpa melihat status, tak akan peduli pada popularitas yang dia miliki.

Seperti Eila sekarang yang tidak melihat Jibran sebagai aktor ternama, melainkan hanya manusia biasa yang butuh kawan untuk bicara. Namun, Eila tidak berani berharap bahwa orang yang dimaksud Jibran adalah dirinya, atau dirinya ada di posisi perempuan yang diceritakan oleh Jibran. Karena … siapalah Eila? Jibran pasti memiliki sosok idaman yang jauh berbeda dengan Eila sekarang.

“Terus gimana?” tanya Eila sembari menahan rasa sesak di dadanya. “Kamu mau pendam terus?”

“Aku bakal bilang ke dia saat waktunya tepat,” jawab Jibran tanpa ada keraguan sedikit pun.

“Kapan?”

“Kalau aku udah bebas dari ini semua dan dia masih bisa aku jangkau.”

Begitu rupanya. Eila tak terlalu mengerti apa maksud kata sudah bebas yang dilontarkan Jibran, tapi jujur, membayangkan Jibran akan mengakui perasaannya pada perempuan yang pernah ditaksirnya membuat Eila takut. Ya, ia takut patah hati di saat perasaannya mulai tumbuh tanpa bisa dicegah. Sepintar apa pun Eila menyangkal, kata hati tidak pernah bisa berbohong. Justru makin disangkal, realitasnya makin terasa jelas bagi Eila.

Gerakan mereka berhenti bersamaan dengan lagu yang ikut berhenti total, tapi Jibran dan Eila tidak ingin melepas tangan mereka yang saling mengait satu sama lain. Jika waktu boleh berhenti, maka Jibran akan menikmati waktu ini sebaik mungkin dan membiarkan daksanya berada sedekat ini dari Eila.

Momen ini tidak akan datang dua kali, terlebih Eila pun tidak keberatan ketika lengan Jibran yang melingkar di sekitar pinggangnya mengerat. Namun, Semesta seolah tidak mau melihatnya bahagia terlalu lama. Karena ketika suasana mendukung untuk jadi romantis, ada saja pengganggu yang datang untuk mengacau.

“Eila! Jibran! Kalian berdua ngapain?”

-

High School Musical rekomen banget buat ditonton

Melupakan kejadian saat bangun tidur tadi, Jibran dan Eila bisa bertingkah seperti biasa seakan tidak ada apa-apa. Jibran yang pandai akting bisa dengan mudah pura-pura tidak tahu apa-apa, sedangkan Eila yang tidak mau memusingkan urusan pribadi orang memilih abai dan fokus dengan yang akan mereka lakukan.

Seperti yang direncanakan, pagi ini Jibran latihan sesuai naskah, di mana dalam naskah ada Jeremy yang membuatkan sarapan untuk Anata yang menginap di rumahnya. Eila duduk dengan tenang di depan meja makan sembari memandangi Jibran yang berdiri di depan meja marmer, dengan tangan yang sibuk membuat adonan telur dan susu. Natta sendiri berdiri di samping meja makan sembari merekam Jibran dan Eila bergantian menggunakan ponsel kakaknya.

“Jangan lupa sesekali lirik aku dan wajib senyum,” titah Eila dengan netra yang fokus pada Jibran. “Biar sesuai sama naskah.”

Tanpa membantah, Jibran melirik Eila sesekali seraya tersenyum dengan manis. Senyumnya terlihat alami saat aktingnya dimulai, membuat Eila merasa kagum dan bangga karena perkembangan akting Jibran sebagai Jeremy makin baik.

“Nanti nggak usah terlalu sering liriknya. Yang penting kamu mastiin Anata nggak kelihatan bosan.”

Jibran tertawa karena sadar dia terlalu sering melirik Eila. Dalam satu menit, bisa terhitung 4 kali ia melirik Eila.

“Sorry.”

“Santai. Sekarang kamu fokus masak aja.”

Jibran lagi-lagi menurut dan kini lebih fokus memasak. Jibran membuat tiga porsi toast keju dengan daging asap. Adegan memasak sudah memuaskan, jadi sekarang tinggal menunggu sarapan selesai dibuat. Tanpa diinstruksi, Natta membantu Jibran membuat sarapan, sedangkan Eila malah mengamati punggung Jibran yang lebar dan terlihat nyaman untuk jadi tempat bersandar.

Teringat lagi dengan bekas luka bakar pada biceps Jibran yang tertutup oleh kaus hitam lengan panjangnya. Eila jadi tidak bisa melihat gaya berpakaian Jibran dengan cara yang sama lagi, karena ternyata Jibran menyembunyikan kekurangan yang membuat dia kehilangan rasa percaya diri. Eila selalu berpikir bahwa tiap kali Jibran bercermin, pasti dia akan memuji dirinya sendiri. Namun kini, Eila yakin pujian itu hilang akibat kekurangannya. Well, sebenarnya itu bukan masalah. Benar, ‘kan? Kekurangan itu menjadi tanda bahwa Jibran juga manusia biasa.

Aroma sedap menyadarkan Eila dari lamunannya, lalu tersenyum lebar ketika tiga porsi toast sudah mendarat di meja makan untuk menjadi menu sarapan.

“Harusnya kita yang masak, Kak. Kasihan nih Kak Jibran malah masak buat kita.” Natta sudah mengoceh saja sembari mengambil posisi di samping Eila.

“Enggak apa-apa. Ini ‘kan sekalian latihan. Aku juga udah terbiasa nyiapin sarapan sendiri.”

“Wow.” Eila tersenyum takjub. “Berarti strateginya bagus, ya. Kamu kelihatan lakuin ini semua secara rutin. Good job, Jibran.”

Jibran memaku ketika rambutnya dielus lembut oleh tangan Eila sebagai bentuk pujian darinya. Jibran sampai lupa akan melakukan apa pada toast-nya karena elusan berdurasi singkat itu meninggalkan bekas cukup lama. Bola matanya merangkak naik menatap Eila dengan gerakan pelan, menemukan wanita itu tengah menikmati toast-nya dengan semangat. Eila sampai menari kecil sebagai tanda bahwa toast yang Jibran buat berhasil memanjakan lidahnya.

Jibran tersenyum, tapi buru-buru menyembunyikan senyumnya dengan menunduk karena terlalu malu. Kalau Eila terus begini dan skinship yang mereka buat makin intens, Jibran tidak yakin dia bisa mengenyahkan perasaannya. Mau tidak mau, Jibran harus menerima segala rasa yang ia miliki mekar untuk Eila seorang.

“Wah! Akhirnya aku bisa lihat trofi punya Kak Jibran secara langsung!”

Natta berseru heboh sembari menatap takjub pada rak kaca berisikan trofi kemenangan Jibran sepanjang karier aktingnya, serta beberapa foto dokumentasi yang menjadi bukti kesuksesannya. Rak itu diberi nama Star Corner, berada di ruangan yang sama dengan piano Jibran.

Dari hasil hitungan Natta, ada total 45 penghargaan yang Jibran terima sepanjang 8 tahun berkarier dari beberapa ajang penghargaan. Mulai dari aktor baru terbaik, aktor pendukung terbaik, aktor laga terbaik, sampai actor of the year yang Jibran dapatkan 5 kali berturut-turut di penghargaan yang sama. Tidak ingin melewatkan momen berharga, Natta memotret setiap penghargaan yang ada untuk koleksi pribadinya.

“Aku makin kagum sih sama Kak Jibran,” ucap Natta sembari menghampiri Eila yang duduk di ruang tengah dengan televisi menyala. “Aku termotivasi jadi aktor laga juga, deh. Keren nggak, sih?”

Eila menatap adiknya yang kini berdiri di samping sofa sembari berpose memegang pistol seperti Jibran di banyak filmnya. Eila tersenyum mengejek, malah geli melihat pose Natta yang kaku dan aneh.

“Mending kamu duduk. Aku udah bikinin susu.”

Natta berdecak lidah dan langsung menurut pada perintah Eila. “Aku udah gede masih aja dibikinin susu,” gerutu Natta sembari meraih segelas susu di meja, lalu menghabiskannya setengah. “Tapi enak, jadi aku nggak bisa nolak. Thanks, Kak.”

Eila hanya mengangguk, lalu netranya fokus pada televisi yang sudah memulai talkshow di mana Jibran menjadi salah satu bintang tamunya. Omong-omong, hari ini Eila dan Natta menginap di rumah Jibran. Sesuai yang diperintahkan sang aktor, Eila dan Natta berangkat ke rumah pada siang hari sebelum Jibran dan Trian pergi ke studio tempat talkshow diadakan. Talkshow dijadwalkan malam, tapi Jibran ada jadwal lain dengan produser terkait filmnya, jadi dia pergi lebih cepat.

Dalam talkshow Jibran mengenakan kaus putih dengan outer kemeja hitam yang selaras dengan warna sepatunya. Jibran tampak seperti anak muda, tidak terlihat seperti laki-laki yang usianya hampir menginjak kepala tiga. Sepanjang menonton, Eila tersenyum. Bukan hanya karena Jibran yang terlihat menawan di televisi—yang jujur saja, ini pertama kalinya Eila menonton televisi karena Jibran—tapi karena pembawaan host kondang Indra Herlambang yang sangat menghibur dan membuat suasana talkshow terasa hidup.

“Berarti sampai sekarang belum ada ya pemeran utama perempuannya di film terbaru?”

“Untuk sekarang masih proses audisi. Makanya belum bisa ngasih tahu detailnya.”

“Tapi kalau Jibran boleh berharap sama pemeran utama perempuan nih, maunya yang kayak gimana, sih? Siapa tahu kamu ada kriteria tertentu gitu.”

“Enggak ada sih kalau yang harus sesuai aku banget. Soalnya kalau jadi pemeran dalam film yang dinilai itu pasti aktingnya. Jadi, kriterianya udah pasti gimana dia akting seperti tokoh dalam filmnya. Improvisasi juga penting, tapi sosok Anata tetap harus nempel sama dia. Makanya dari pihak Samuti Rakha milih beberapa aktris yang ciri fisiknya minimal mendekati sosok Anata ini, tapi kalau dari aku nggak ada kriteria tertentu karena yang dilihat aktingnya.”

Pertama kalinya Eila melihat Jibran diwawancara langsung seperti ini dan kagum pria itu bisa menjawab dengan santai. Coba kalau Eila yang ada di sana. Bukannya santai, Eila bisa mati gaya karena tidak tahu harus apa di depan kamera.

Acara itu tengah menayangkan sebuah VT* berupa pertanyaan dari penggemar Jibran yang diambil dari komentar Instagram. Mayoritas pertanyaan terkait film dan masih aman. Baru di pertanyaan terakhir berupa hal yang sedikit pribadi—yang Eila yakin sengaja disisakan terakhir oleh pihak kreatif.

(*Video Tape)

“Pertanyaan terakhir.” Indra bicara sedikit heboh dari sebelumnya. Sengaja untuk memanaskan suasana di studio. “Jibran lagi naksir sama seseorang nggak, sih?”

Penonton di studio bereaksi riuh. Pun Jibran yang tertawa kecil dan malu karena pertanyaan itu muncul tanpa ia duga. Jibran menyugar rambutnya sebagai pengalih rasa malu, sedangkan Indra memancing Jibran untuk bertanya. Natta yang menonton mengepalkan tinjunya karena greget menunggu jawaban, dia juga kepo berat siapa yang sedang Jibran taksir.

“Aku jadi yakin pertanyaan yang Kak Jibran kasih ke aku waktu itu maksudnya dia, deh,” ucap Natta yang masih tak sabar menunggu jawaban Jibran.

Eila mengernyit. “Pertanyaan?”

“Dia nanya gimana caranya ngaku ke seseorang kalau dia sama orang itu alumni di sekolah yang sama. Sebelumnya nggak ngaku, tapi sekarang pengen ngaku gitu, deh. Katanya ada di naskah, tapi aku yakin nggak mungkin. Cuma diam aja, orang itu urusan pribadi. Aku mana berani nanya.”

Eila melirik ke arah Natta sebentar, lalu kembali fokus pada televisi. Khususnya pada Jibran yang masih bungkam sambil senyum-senyum malu karena tidak menduga pertanyaan itu akan terlontar begitu saja. Eila jadi penasaran siapa yang dimaksud Jibran sampai bertanya pada Natta. Tentu saja naskah yang disebut Jibran pada Natta itu bohong karena tidak ada scene itu dalam naskah.

Lebih penasaran lagi dengan jawaban Jibran terkait pertanyaan yang ada dalam VT tadi. Mungkinkah orangnya sama dengan yang pernah Jibran ceritakan sekilas setelah bernyanyi untuk Eila? Kalau iya, Eila mulai tidak nyaman. Tiba-tiba dia jadi menolak untuk mendengar, ingin menulikan telinga, tapi juga penasaran dengan jawaban Jibran.

“Gimana, nih? Ada nggak? Coba jawab sambil lihat kamera.”

Dalam layar televisi, Jibran yang awalnya menunduk akhirnya menatap ke arah kamera, hingga Eila merasa Jibran tengah menatap lurus ke arahnya. “Ada.”

“Wow. Orangnya tahu nggak?”

Jantung Eila kembali berdebar menantikan jawaban Jibran selanjutnya. Detik demi detiknya terasa lambat, padahal kalau dihitung sepertinya hanya jeda sepuluh detik dari pertanyaan menuju jawaban. Namun, bagi Eila ini memakan waktu beberapa menit yang menyiksa. Lantas ketika jawaban akhirnya digaungkan Jibran yang ditonton oleh jutaan orang di negeri ini, dada Eila tiba-tiba sesak mendengarnya.

“Orangnya nggak tahu, tapi aku harap bisa ngasih tahu ke dia secepatnya.”

Pagi ini Eila bangun di tempat asing, tapi tak butuh waktu lama baginya untuk mengenali di mana tempat ini. Eila ingat dia menginap di rumah Jibran dan tidur di kamar tamu lantai satu, sedangkan Natta yang ikut menginap tidur di kamar tamu lantai dua. Eila mengerjap beberapa kali sembari bangkit dari posisinya, lalu duduk bersandar pada kepala kasur sembari melihat-lihat sekitar.

Untuk kamar tamu dengan kamar mandi dalam, ukurannya terbilang luas dibandingkan kamar Eila sendiri. Dindingnya berwarna pastel, ada lemari satu tingkat berwarna putih untuk menyimpan baju, nakas, meja rias, dan tempat anduk di dekat jendela agar langsung disinari oleh mentari. Kamar ini terlalu nyaman sampai Eila bisa saja betah jika diminta untuk tinggal lama-lama. Namun, Eila tak mungkin terlena karena dia punya pekerjaan.

Demi menginap, Eila sampai harus tutup order untuk sehari dulu karena takut tidak bisa mengejar. Maklum, hari ini dia harus fokus latihan dengan Jibran sebagai partner-nya. Eila berdiri, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya agar lebih segar. Setelah itu Eila keluar dari kamar untuk mengambil minum demi menyegarkan tenggorokannya. Rumah Jibran ini seperti memantrainya, karena meski di rumah orang lain—aktor pula—Eila bisa berlaku sesukanya.

Saat dia hampir tiba di dapur, langkahnya mendadak berhenti ketika melihat pemandangan pagi yang paling indah. Ya, itu Jibran. Sedang berdiri di depan kulkas sambil meminum sekotak susu. Bukan itu saja yang menjadi indah, penampilan Jibran di pagi hari yang—err, seksi, menjadi bagian terbaiknya. Jibran hanya mengenakan boxer, hingga menampilkan otot perut, otot kaki, dan bicepsnya. Rambutnya sedikit berantakan, lalu jakunnya naik turun ketika sekotak susu itu larut ke tenggorokannya.

Sebagai perempuan normal, pemandangan tidak biasa ini membuatnya menganga kecil sampai tidak berkedip, seakan tidak ingin melewatkan satu titik pun dari Jibran. Oh, ini jelas bahaya, tapi Eila tetap berjaga tanpa peduli dianggap aneh.

Eila yang tadinya fokus pada perut Jibran yang berbentuk dengan sempurna, kini beralih pada biceps Jibran yang berwarna merah seperti bekas luka. Bukan bekas luka kecil yang bisa diabaikan, melainkan bekas luka cukup besar yang membuat Eila bertanya-tanya. Eila tak lagi memandang Jibran dengan tatapan ‘lapar’, justru berubah menjadi rasa iba karena luka itu cukup mengganggu untuk banyak orang. Eila tidak jijik, malah penasaran dari mana luka itu berasal.

Jibran yang akan menyingkir setelah menghabiskan susunya, tiba-tiba memaku di tempat kala menyadari ada Eila yang mengamatinya—entah sejak kapan. Jibran yang sadar bagaimana kondisinya sekarang jelas salah tingkah karena malu. Matanya liar memandang ke sana kemari untuk mencari rute kabur yang aman agar tidak melewati Eila.

Terbiasa tidur hanya dengan boxer sepertinya harus Jibran ubah, apalagi dia tidak ingat Eila menginap dan sekarang harus menemukannya dalam kondisi minim busana. Namun, rasa malu itu berubah menjadi kekhawatiran ketika Jibran sadar ke mana arah Eila memandangnya.

Ya, bekas lukanya. Bekas luka yang menganga jelas dan menjijikan untuk dilihat. Jibran berbalik memunggungi Eila untuk menutupi bekas luka itu, meski ia sadar sudah percuma karena Eila telanjur melihatnya secara jelas.

Eila yang paham lantas mengalihkan pandang, lalu berjalan mendekati meja marmer untuk mengambil gelas yang tertata di sana, kemudian mengambil minum di dispenser yang berada tepat di samping kulkas. Eila sebisa mungkin tidak menoleh ke arah Jibran yang berusaha kabur darinya, sampai akhirnya pria itu berhasil pergi kembali ke kamarnya dan mengurung diri di sana.

Sekarang Eila mengerti kenapa Jibran sering memakai pakaian lengan panjang. Yup! Demi menutupi lukanya. Eila menduga luka itu bukan luka biasa karena Jibran sampai panik ketika Eila melihatnya. Eila ingin tahu dari mana luka itu berasal, tapi dia sadar bertanya pada Jibran malah akan meruntuhkan rasa percaya dirinya. Jadi Eila akan bertanya pada orang yang tepat untuk menghilangkan segala pertanyaan di benaknya.

Makan malam seperti yang telah direncanakan berlangsung dengan santai. Tanpa perubahan rencana, Jibran datang membawa Trian, Natta, dan Eila yang dikenalkan sebagai manajer serta stafnya. Disebut staf, rasanya tidak salah juga. Selama ini Eila dan Natta memang membantu Jibran selama persiapan syuting, tapi dalam keadaan seperti ini mereka diharuskan ikut.

Diajak makan malam di kediaman keluarga Jibran menjadi sebuah kehormatan yang membuat Eila dan Natta harus berhati-hati ketika bertingkah. Apalagi orang tua Jibran bukan orang sembarangan yang dilihat dari jauh saja sudah membuat Eila dan Natta segan. Ayahnya, Jagad Adelard, adalah seorang dokter spesialis penyakit dalam. Sedangkan ibunya, Mia Yahya, adalah seorang dosen bahasa yang keanggunannya begitu melekat sampai Eila saja kagum kala melihatnya.

Namun kini, kekaguman itu bertransformasi menjadi rasa gugup karena Eila duduk di samping Mia, sedangkan di samping kirinya ada Natta. Di hadapannya ada Jibran yang didampingi oleh Trian. Lalu di bagian utama meja, ada Jagad sebagai orang yang memimpin makan malam.

“Kenapa kamu mau main film genre romansa gini, Jibran? Ayah pikir kamu udah nyaman banget main film laga. Secara delapan tahun ini filmnya itu terus.”

“Cari suasana baru,” jawab Jibran seadanya.

Jagad manggut-manggut. “Trian, makasih udah jaga anak saya, ya. Kalau Jibran sedikit susah dikasih tahu, tolong kabarin saya.”

Trian yang sedang mengunyah buru-buru menelan makanannya, lalu menjawab, “Siap, Pak Jagad. Saya pasti berkabar.”

Eila menggigit bibirnya melihat Trian yang jadi tidak berdaya saat di depan Jagad. Wajar, meski wajahnya ramah dan sambutannya hangat, tetap saja membuat orang sekitar segan pada beliau. Jagad lebih banyak bicara dibandingkan Mia yang tadi hanya menanyakan kabar Jibran. Selebihnya Jagad yang membuka obrolan dan mau bertanya pada staf Jibran.

“Kamu kelihatan masih muda,” ucap Jagad yang ditujukan pada Natta. “Kamu umurnya berapa?”

Natta yang selalu percaya diri lantas menjawab, “Saya baru 21 tahun, Pak. Masih kuliah.”

“Oh? Kok bisa jadi staf Jibran?”

Natta langsung bungkam. Dia bingung harus menjawab bagaimana. Beruntung Jibran yang sudah memiliki banyak skenario di kepala bisa segera mengambil alih agar Jagad dan Mia yang berhenti makan jadi curiga.

“Natta staf freelance, Ayah. Natta sama Eila ini adiknya Trian dan tertarik sama industri hiburan. Makanya sambil belajar, mereka jadi staf aku dulu.”

“Gitu, ya.”

Jagad percaya tanpa menaruh curiga. Lain halnya dengan Eila yang mati-matian menahan tawa sembari menatap Jibran jail. Yang ditatap hanya mengangkat bahunya tak acuh sembari tersenyum tipis, karena yang penting dia sudah menjawab semampunya.

Menyadari ada interaksi kecil antara Jibran dan Eila yang terasa sedikit spesial untuk hubungan aktor dan staf, Jagad pun beralih untuk bertanya pada Eila yang sejak tadi diam.

“Eila, sebelumnya kamu kerja apa?”

Eila yang ditanya tiba-tiba tegang. Ia sampai memegang pisau untuk memotong steik lebih erat sebagai pengalih ketegangan pada dirinya. “Saya punya usaha croffle, Pak.”

“Oh, toko besar, ya?”

“Cuma toko kecil. Tapi pesanannya harus pre-order dulu.”

Eila menyelipkan helaian rambutnya di belakang telinga sebagai pengalih rasa gugup yang tidak kunjung hilang. Eila menatap Jibran, memberi kode bahwa dia sangat segan di hadapan Jagad. Paham, Jibran mengedipkan matanya perlahan, memberi tahu bahwa Jagad tidak akan bicara aneh-aneh atau memberi pertanyaan yang sulit.

Eila akhirnya tersenyum dan ketegangan di tubuhnya berhasil luruh. Ia mengangguk sekali, pelan, agar orang-orang sekitar tidak curiga. Sayang, interaksi yang menimbulkan percikan asmara itu nyatanya tetap disadari oleh Jagad dan Mia. Terlebih Mia yang ada di samping Eila dan sudah aneh dengan gerak-geriknya.

Ketika tahu ada komunikasi kecil yang hanya dipahami oleh Jibran dan Eila, Mia yang pendiam jadi tertarik untuk bersuara.

“Eila, kamu udah ada pacar?”

Pertanyaan tiba-tiba itu mengembalikan ketegangan yang sempat hilang dari Eila. “Saya … belum punya, Bu.” Eila mencicit kala menjawab pertanyaan Mia seraya menatap beliau.

“Padahal kamu cantik. Kenapa belum punya?”

“Belum ada yang cocok,” jawab Eila yang memainkan buku jarinya di bawah meja.

“Coba aja Jibran belum dijodohin, saya nyaranin kamu sama Jibran, deh. Dari staf jadi pacar gitu.”

Mia bergurau, tapi tidak mengundang tawa orang-orang yang tengah makan. Trian malah menganga kecil, sepotong steik yang akan mengudara ke mulut Natta berhenti karena terkejut, sedangkan Jibran malah curiga karena Mia mengatakan sesuatu yang aneh dan janggal kala didengar.

“Oh, iya.” Jagad menanggapi dengan semangat. “Jibran udah dijodohin sama anak kenalan saya. Dia anak pertama, kelihatan cocok sama Jibran yang anak tunggal. Sayang banget dia nggak bisa ke sini, soalnya saya udah janji ini jadi dinner kita aja.”

“Ayah,” tegur Jibran. “Enggak seharusnya ngomongin ini di depan mereka.” Apalagi di depan Eila. Jibran tatap Eila sejenak yang kembali makan, antara tidak ingin mendengar atau tidak ingin ikut campur dalam percakapan pribadi. “Ini obrolan pribadi, jadi nggak seharusnya diomongin di depan banyak orang, Ma,” lanjut Jibran yang juga menegur Mia.

“Kamu malu?” Jagad terbahak sedangkan Mia hanya tersenyum. “Kamu ini lucu banget. Waktu itu nolak, sekarang malu kayak mau. But okay, Ayah nggak bahas lagi biar kuping kamu nggak makin merah.”

Sejujurnya Jibran tidak malu dan tidak masalah jika orang tuanya membahas soal perjodohan dengan orang yang ia belum ketahui siapa. Namun, tidak di depan Trian, Natta, apalagi Eila—perempuan yang tengah ia taksir.

Jibran tahu Eila tidak menyukainya—mungkin—tapi dia tidak boleh mendengar kabar ini karena terlalu pribadi. Selama ini Eila selalu dekat dengannya, jadi Jibran khawatir nanti Eila malah menjaga jarak dan intensitas kedekatan mereka selama latihan malah berkurang.

Suasana berubah canggung di tengah mulut yang sibuk makan, tapi tidak bagi Jagad dan Mia yang saling berpandangan seakan paham ada apa dengan putra tunggalnya. Meski tahu, Jagad dan Mia tidak akan mengubah keputusan mereka untuk menjodohkan Jibran dengan orang yang lebih mereka kenal. Jadi mau tidak mau, Jibran ada dalam posisi harus setuju.

“Perfect Wife. Sebuah film tentang Jeremy Adinata yang menemukan tambatan hatinya bernama Anata Hapsari, yang ia temui di sebuah fashion show di mana Anata merupakan seorang desainer. Jeremy berusaha mendapatkan sosok Anata yang langsung membuatnya terpikat. Lantas setelah hubungan mereka dimulai dan Jeremy berniat untuk menjadikan Anata sebagai istri, cobaan justru datang dari ibu Jeremy yang menganggap Anata tidak layak menjadi istrinya karena tidak sempurna.”

Eila membaca sinopsis singkat naskah Perfect Wife yang berada di bagian belakang naskah. Sudah berulang kali dia membaca, tapi tidak pernah bosan Eila mengulangnya. Alasannya karena Eila merasa heran mengapa Jibran mau menerima tawaran film romansa yang jauh dari image-nya sebagai aktor laga. Eila suka saja dengan film seperti ini, karena konflik yang ada tidak jauh dari kehidupan nyata. Namun, Eila bertanya-tanya; apakah Jibran juga menyukai film ini?

Eila mengangkat kepalanya dan menyimpan naskah di meja setelah puas membacanya. Netranya langsung tertuju pada Jibran yang baru saja menyelesaikan makan siang, sembari terus memikirkan pertanyaan yang ada di benaknya. Kala Jibran ikut menatap Eila dan menaikkan sebelah alisnya bingung, Eila merasa ini kesempatannya untuk bicara.

“Jibran, apa kamu suka sama isi naskahnya?” tanya Eila to the point. “Soalnya aku jadi mikir, alasan kenapa kamu cukup susah mendalami karakter Jeremy karena nggak suka sama naskah—bahkan filmnya.”

Jibran menyeka sudut bibirnya menggunakan tisu, lalu menjawab, “Jujur, aku nggak suka sama filmnya. Selain karena ini di luar zona nyaman aku, susah juga harus akting sebagai Jeremy yang kadang-kadang cheesy.

Eila tertawa menyetujui hal tersebut. “Cheesy, tapi kalau kamu yang ngomong kayaknya orang malah suka. Aku yakin film ini bakal iconic banget karena ada kamu di dalamnya. Jangan rindunya Dilan bisa aja kalah sama kalimat, ‘Kita dilahirkan bukan untuk jadi manusia sempurna, Anata. Tapi aku percaya kita ditakdirkan ketemu buat saling melengkapi,’ gitu. Banyak perempuan bakal klepek-klepek, deh.”

Jibran tersipu mendengar pujian yang baginya terlalu berlebihan, ditambah Eila juga mengucapkan dialog yang sebenarnya menjadi kesukaan Jibran. Namun, ketika didengar dari orang lain rasanya malah aneh.

“Kamu pasti baca dulu naskahnya sebelum teken kontrak, ‘kan? Oke, kamu emang mau keluar dari zona nyaman dengan genre baru, tapi kalau nggak suka sama naskah film ini, apa nggak sebaiknya ditolak aja? Daripada pas proses syuting, bahkan latihan ini aja bikin kamu nggak nyaman.”

Jibran mendesah berat, berusaha melampiaskan sesuatu yang selalu ia tahan. “Ada sesuatu yang maksa aku buat nerima film ini. Jadi, walaupun aku udah baca duluan naskahnya dan nggak suka, aku tetap harus nerima.”

Begitu rupanya. Sekarang Eila paham, meski tidak memahami banyak hal yang baginya terlalu rumit karena dia bukan selebritas seperti Jibran. Eila juga tidak terlalu paham industri perfilman, jadi dia tidak bisa memberikan banyak komentar. Suasana berubah muram setelah percakapan singkat soal film dan perubahan ini membuat Eila merasa bersalah—karena secara tidak langsung, Eila sudah menanyakan hal yang sensitif bagi Jibran untuk dibahas dengan orang lain.

Eila melihat-lihat sekitar rumah Jibran yang sudah akrab ia datangi untuk latihan. Sekarang Eila dan Jibran hanya berdua, jadi ketika situasi canggung mulai mengambil alih, tidak ada yang bisa memecahnya. Natta kuliah, sedangkan Trian menemani istrinya check up yang tengah hamil anak kedua. Jadi selama 3 jam ke depan—yang kini sudah tersisa 2 jam—Eila dan Jibran hanya berdua.

Eila ingat di rumah Jibran ada satu ruangan yang menyimpan piano di samping ruang tengah. Piano itu pasti bukan pajangan, bukan? Jibran bukan orang kaya yang membeli piano hanya karena bosan, jadi pasti bermain piano adalah hobinya.

Eila tersenyum kecil setelah menemukan ide yang bagus. Daripada membuang waktu dengan hanya bengong sembari menunggu Trian kembali, lebih baik melakukan sesuatu yang masih bersangkutan dengan latihan selagi Trian dan Natta sedang pergi.

“Jibran, kamu bisa main piano?”

Jibran yang awalnya menunduk otomatis menatap Eila. “Sedikit.”

“Boleh tolong mainin satu lagu buat aku?”

Permintaan itu membuat Jibran bingung karena sudah lama sekali dia tidak menyentuh pianonya. Jibran hanya bermain sendirian untuk menghilangkan penat dan stres, jadi dia merasa kagok ketika Eila tiba-tiba memintanya bermain. Eila memiringkan kepalanya, seakan tak sabar permintaannya dikabulkan. Bak diberi mantra, Jibran langsung menyanggupi dengan anggukan yang membuat Eila tersenyum lebar.

Jibran lebih dulu berdiri dan berjalan mendekati pianonya, disusul Eila di belakang sembari bersorak tertahan karena permintaannya dikabulkan oleh sang aktor. Jibran yang lebih dulu duduk sedikit terkejut ketika Eila tiba-tiba ikut duduk di sampingnya. Posisi mereka begitu rapat karena ukuran kursi terlalu pas-pasan untuk dua orang. Bukannya Jibran tidak suka, hanya saja … Jibran tidak bisa mengendalikan dirinya yang salah tingkah!

“Boleh sambil nyanyi, ya? Suara kamu pas ngomong bagus banget. Jadi, aku yakin suara kamu pas nyanyi nggak kalah bagus.”

Lagi, Jibran berhasil dimantrai oleh permintaan Eila yang mampu menghipnotisnya. Tak ingin menyia-nyiakan waktu dan Jibran ingin kedekatan ini cepat selesai, ia mulai memainkan jemarinya di atas tuts. Tarian jarinya menghasilkan melodi indah nan manis yang mendamaikan Eila kala mendengarnya. Jibran memberi jeda sejenak, lalu menyuarakan satu kalimat yang diikuti dengan kalimat lain seirama dengan melodi indah dalam permainannya.

Suara Jibran sedikit bergetar dan cenderung pelan, mungkin gugup karena kini Jibran menyanyi untuk Eila. Sebuah soundtrack dari film ternama keluaran Disney yang membuat Eila mengingat masa-masa mudanya menjadi pilihan Jibran. Awalnya Eila hanya fokus pada jari yang masih menari, sampai akhirnya ia menatap Jibran ketika suaranya makin lantang karena menemukan percaya diri dalam nyanyiannya.

Eila menatap Jibran takjub, binar matanya pun tak berbohong bahwa ia begitu mengagumi suara dan melodi indah yang Jibran ciptakan. Senyum yang Eila pertahankan perlahan terkikis, ia sampai kehilangan kata-kata untuk mendeskripsikan seindah apa Jibran di sampingnya sekarang.

You know the world can see us In a way that's different than who we are Creating space between us, 'til we're separate hearts But your faith, it gives me strength Strength to believe

We're breakin' free We're soarin', flyin' There's not a star in heaven that we can't reach If we're tryin', yeah, we're breakin' free Oh, we're breakin' free!

Can you feel it building? Like a wave the ocean just can't control Connected by a feelin', ooh, in our very souls Rising 'til it lifts us up, so everyone can see

We're breakin' free We're soarin', flyin' There's not a star in heaven that we can't reach If we're tryin', yeah, we're breakin' free Oh, we're breakin' free!

Jibran begitu larut dalam lagu yang ia nyanyikan, sampai tak sadar Eila terus memperhatikannya. Namun di benaknya, Jibran berharap permainan dan nyanyiannya tidak buruk ketika didengar oleh Eila. Karena apa yang tengah Jibran tampilkan saat ini hanya untuk Eila seorang.

Lagu berdurasi 3 menit itu berakhir, meninggalkan rasa puas untuk Jibran seakan segala ketakutannya dan kekhawatirannya luruh tak tersisa. Jibran mengembuskan napas lega setelah cekikan tak kasatmata berhasil lepas dari dirinya. Seolah kembali hidup bebas bersama seseorang yang pernah menjadi bagian berarti di masa mudanya.

Jibran akhirnya menoleh, menemukan sosok yang dulu pernah menghantui pikirannya, lalu kini raganya begitu erat dengannya. Jibran ikut tersenyum seperti Eila, membiarkan letupan indah di dadanya memancarkan segala rasa yang sekarang ingin ia luapkan.

“Suara kamu bagus banget,” puji Eila yang tidak berhenti mengagumi sosok Jibran sekarang. “Kamu bisa jadi penyanyi juga, lho. Kan ada aktor yang nyanyi juga.”

“Aku nggak sebagus itu. Nyanyi cuma hobi.”

“Hobi yang bagus dari orang sehebat kamu.”

Lagi. Telinga Jibran jadi panas karena malu diberi pujian. “High School Musical satu-satunya film romansa yang aku tonton.”

“Oh, iya?”

“Aku nontonnya pas masih remaja. Tepatnya pas lagi suka-sukanya sama satu perempuan di sekolah.”

“Oh?” Lagi-lagi Eila dibuat takjub mendengar cerita singkat soal masa lalu yang Jibran ucapkan secara cuma-cuma. “Berarti ada satu hal yang cocok di kita. Soalnya aku juga suka banget sama High School Musical.”

Hanya kesamaan kecil yang mungkin bagi banyak orang tidak berarti, tapi begitu besar bagi Jibran karena dia punya satu langkah mendekat pada Eila. Namun, langkah itu tidak ingin Jibran ambil secara sembarang, karena Jibran takut perasaannya makin menggila di saat ia masih terikat sesuatu.

“Coba elus rambut aku.”

“Gimana?”

“Elus rambut aku,” titah Eila. “Jeremy suka elus rambut pasangannya. Jadi, kamu harus coba juga biar terbiasa setelah syuting.”

Baru saja Jibran ingin bergeming di tempat, Eila malah membuka pintu lebar-lebar untuknya masuk dan melangkah maju sebanyak mungkin. Eila tersenyum sebagai sambutan, menunggu Jibran mau bertandang padanya. Jibran ingin sekali melakukannya, bukan sekadar untuk bertandang, tapi untuk menetap.

Ketika Jibran hanya menatapnya ragu, Eila tertawa renyah karena merasa konyol meminta sesuatu yang tidak mungkin Jibran mampu lakukan hanya dalam waktu singkat. Niatnya ingin membuat suasana romantis malah gagal dan Jibran belum terbiasa berperan sebagai pria romantis.

“Kalau kamu nggak mau, it’s ok—”

Kalimat Eila berhenti mengudara ketika merasakan elusan kaku tapi lembut dari tangan tegas Jibran. Suasananya tidak seromantis yang diperkirakan, malah jadi canggung dan kaku. Namun, Eila menikmati elusan tangan pada surai legamnya yang kini jauh lebih santai. Jibran yang berusaha menjadi manis dan Eila biarkan sang aktor memanfaatkannya sebagai partner.

Bagi Eila, ini semua sebatas demi akting belaka. Sedangkan bagi Jibran, ia melakukan ini demi menyampaikan perasaannya meski Eila tidak akan peka. Well, tidak apa-apa. Selagi Jibran masih diberi kesempatan untuk sedekat ini dengan Eila, melakukan hal manis yang asing baginya pada Eila dengan dalih akting, maka Jibran akan menikmati setiap momennya. Sampai nanti ketika waktunya tepat dan Semesta berkehendak, Jibran akan menjadikan Eila sebagai miliknya.

Trian gugup selama menemani Jibran schedule hari ini. Penyebabnya adalah keikutsertaan Eila dan Natta dalam schedule atas perintah Jibran. Adik dan kakak itu ikut dengan tugas mereka masing-masing. Natta memiliki postur yang lebihtinggi dan tegak dari Trian, jadi Jibran mengangkatnya sebagai bodyguard sekaliguspersonal assistant. Sedangkan Eila—seperti yang telah dikatakan di group chat—menjadi ahli camilan Jibran selagi melakukan pekerjaannya.

Ahli camilan di sini bukan semata-mata untuk dirinya saja, melainkan untuk para staf saat dia interview dan syuting. Bukan sekali Jibran menyuguhkan camilan untuk staf saat syuting, maka dia meminta Eila untuk membuat croffle sebanyak 150 yang dibagikan setelah pekerjaanya selesai.

Eila jelas tidak keberatan selama usahanya dibayar setimpal, apalagi dia tidak pernah mendapatkan pesanan sebanyak itu dalam satu kali antar. Jadi ketika Jibran memintanya dan membayar di muka, Eila langsung menyanggupi tanpa basa-basi.

“Kak Jibran ganteng banget, ya,” puji Natta kagum ketika Jibran sedang melakukan sesi pemotretan untuk produk skincare yang menjadikannya brand ambassador. “Kulitnya mulus gitu. Kayak bukan aktor laga.”

“Ssstt, jangan berisik,” tegur Trian yang mood-nya sedang tidak baik.

Pasalnya dia masih gugup karena khawatir ada yang curiga dengan kehadiran Eila dan Natta yang asing. Sejauh ini tidak ada yang bertanya karena penampilan Eila dan Natta tidak mencolok—sama-sama mengenakan masker dan jaket hitam agar dianggap staf Jibran. Namun, penampilan netral itu tidak membuat Trian tenang karena bisa saja di belakang mereka ada yang menaruh curiga.

“Kenapa sih kamu judes banget?” bisik Eila yang lama-lama gerah dengan tingkah kakaknya.

“Kamu tahulah kenapa, Eila.”

“Aku juga di sini kerja, ya. Jangan mikir aneh-aneh.”

Whatever. Pokoknya aku nggak bisa tenang selama ada kalian.”

Natta yang ada di antara Trian dan Eila hanya diam sembari memandangi Jibran yang masih fokus syuting. Sekarang Jibran sedang melakukan adegan untuk video iklan terbaru, sementara ketiga rekannya berdiri di belakang staf lain yang minim cahaya.

Awalnya Eila kebosanan, sama seperti saat Jibran interview karena dia hanya menunggu di ruang rias sembari memainkan ponselnya tak menentu. Lama-kelamaan, ada yang berbeda dari sebelumnya.

Selain karena Eila bisa melihat proses syuting, dia juga bisa melihat sisi lain Jibran yang hanya bisa dilihat ketika momen ini. Momen di mana sosok selebritas sekelas Jibran menunjukkan pesonanya di depan kamera, beratraksi sebagai ahli berpose tanpa canggung sedikit pun, mengubah pujian yang dilayangkan oleh para staf sebagai bentuk semangat, serta set berwarna putih dan biru menjadi tempat bermain sang aktor untuk menunjukkan kepiawaiannya.

Di sela-sela break untuk pengambilan gambar selanjutnya, seorang perempuan bertugas sebagai make up artist dan laki-laki yang bertugas stylist mendekati Jibran. Sebagai publik figur yang fokus di depan kamera, Eila bisa melihat betapa berbedanya sosok Jibran dengan yang biasa ia lihat di rumah. Perbedaan dunia Jibran dan Eila makin kentara, seakan Jibran ada di atas dan Eila ada di bawah sebagai pengamat.

Eila abaikan presensi semua orang yang ada di lokasi syuting, termasuk dua orang yang mengelilingi Jibran. Oh, ini gawat! Dunia mereka makin bertolak belakang. Jibran tampak bercahaya di set, sedangkan Eila berada di kegelapan yang tidak bisa maju ke cahaya tersebut. Bukan tempatnya berada di sana, lebih tepatnya bukan Eila yang tepat berada di sana.

Namun, kala netra bening Jibran menatap lurus pada Eila seakan-akan hanya ada wanita itu di lokasi yang sama, Eila mengabaikan segala perbedaan yang ada. Karena ketika Jibran Jibran Dava Adelard tersenyum pada Ardania Eila Mahadarsa hingga pipinya membetuk lesung manis, dua dunia yang berbeda itu tiba-tiba menyatu, seakan segala perbedaan yang ada di antara mereka berhasil terkikis tanpa sisa satu pun.

Eila memaku di tempatnya, tak kuasa menahan gejolak yang tiba-tiba timbul di dada. Perasaan ini baru Eila rasakan sekarang, karena di pertemuan pertamanya dengan Jibran, dia tidak merasakan gejolak seperti ini. Eila bukan penggemar Jibran yang bisa menggila ketika bertemu dengannya secara langsung, bukan juga staf di sekitar yang mengagumi Jibran secara diam-diam, tapi gejolak ini timbul tanpa tahu diri seakan Eila adalah orang di antara mayoritas.

Oh, tidak! Gejolak ini jelas lain. Apa yang Eila rasakan di dadanya bukanlah rasa kagum semata ketika menikmati ciptaan Tuhan, tapi lebih dari itu. Jelas saja ini gawat, karena jika Eila mempertahankan perasaan ini, maka dia takut tidak akan pernah bisa lepas dari Jibran.

Alasannya sudah jelas; dunia mereka tumpang-tindih untuk bersatu meski kemungkinannya cukup besar. Jadi sebelum gejolak ini mekar menjadi perasaan lain, Eila segera menepis dengan gelengan pelan dan menganggap segalanya hanya sementara.

Bila mengira Jibran benar-benar datang ke rumah Eila demi menonton film, maka itu salah. Pasalnya ketika Jibran sudah siap bertandang, Eila lebih dulu datang bersama dua porsi croffle sebagai camilan menonton.

Eila datang seorang diri, karena itu Jibran sedikit salah tingkah dengan kedatangannya yang sangat tidak diduga. Jibran sempat ingin mengadu pada Trian agar datang ke rumah dan menemani mereka, tapi ia urungkan karena bisa-bisa malah Eila dan Jibran yang kena omel mulut pedas Trian.

Lantas kini, Jibran dan Eila duduk berdampingan di sofa berwarna abu-abu bersamaan jarak yang memisahkan, di ruang menonton lantai dua khusus ketika Jibran sedang santai seperti sekarang. Film sudah dimulai dan croffle yang dibawa Eila telah disiapkan di meja, bersama dua cangkir teh hangat sebagai pelengkap.

“Kamu nggak akan ngantuk pas nonton film ini, ‘kan?” tanya Eila iseng. “Soalnya Natta bilang kamu sempat ketiduran waktu nonton film Titanic.”

Jibran mengutuk dalam hati karena Natta bisa-bisanya mengadu. Ya, Jibran akui dia sempat tertidur sebentar saat menonton film Titanic, tapi beruntung bisa kembali fokus karena Natta dengan cepat membangunkannya. “Aku tetap nonton sampai selesai, kok.”

I know, tapi kalau kamu nggak nyaman nonton ini, nggak usah selesai dalam satu kali tonton gitu. Nanti kamu bisa nonton setengahnya lagi sendiri.”

Jibran seketika menggeleng. “Langsung selesai aja. Nanti aku malas.”

“Malas atau maunya sama aku?” Eila bertanya seraya menatap Jibran jail.

Ini gawat! Telinga Jibran pasti merah karena malu. Jibran berharap Eila tidak menyadari telinganya yang merona, jadi dia buru-buru memalingkan wajah agar fokus menonton film yang sudah memulai pembukaannya. Eila hanya tersenyum, lalu ikut menonton film yang sudah berkali-kali ia tonton—Eila sudah tidak menghitungnya karena terlalu sering.

Eila menonton dengan serius, terlebih saat Louisa Clark baru bertemu dengan Will Traynor dan berusaha mendekati pria itu agar lebih ramah serta terhibur dengan kehadirannya.

Baru di pertengahan film, Eila berkomentar, “Will kelihatan lebih ganteng pas udah cukuran. Dia juga udah mulai nyaman di dekat Louisa.”

Komentar itu memecah fokus Jibran hingga ia menatap Eila yang terlihat antusias dengan filmnya. Segala reaksi yang Eila berikan jauh lebih menarik dari filmnya. Jibran akui dia lebih enjoy dengan film Me Before You dibandingkan Titanic, tapi lebih enjoy lagi ketika melihat reaksi Eila yang menggemaskan. Terlebih ketika Eila mulai menikmati croffle-nya dengan mata berbinar menatap ke arah layar, Jibran jadi tergoda untuk mencubit pipi itu.

Jibran coba alihkan perhatian dengan ikut menikmati croffle dan kembali fokus pada film. Jibran tidak mau kena protes karena gagal fokus. Pun enggan tertangkap basah mengamati Eila. Pengalihan akhirnya berhasil karena Jibran bisa menonton film dengan lebih santai, walau beberapa kali sedikit terganggu dengan komentar Eila soal Will yang baginya tampak manis.

“Aku nggak suka scene ini.”

Jibran mengangkat sebelah alisnya mendengar komentar Eila setelah memasuki akhir film. “Kenapa? Itu mereka kelihatan asyik aja di pantai.”

“Coba tonton. Kamu pasti tahu alasannya.”

Jibran menurut. Ketika Louisa dan Will mulai bersitegang membicarakan sesuatu yang Jibran pahami karena jadi poin utama dalam film, yaitu keputusan Will untuk mengakhiri hidup karena putus asa dengan kondisinya.

Jibran jadi paham mengapa Eila tidak menyukai bagian tersebut, karena Jibran sudah menebak ke mana arah film akan berakhir dan Eila tidak suka dengan akhir seperti itu. Saat mendekati akhir film, Jibran mendengar isak kecil di sampingnya yang tidak bisa ia abaikan begitu saja. Jibran menoleh dan terkejut mendapati Eila mulai menangis sembari memakan sisa croffle-nya.

Jibran gigit bibirnya, antara iba dan ingin tertawa. Jibran akui filmnya sangat menyayat hati—terlebih di akhir film—tapi dia tidak menyangka Eila yang selalu tegas bisa lemah juga karena film. Jibran meraih selembar tisu di meja, lalu memberikannya pada Eila. Sang puan yang baru saja menghabiskan croffle-nya spontan terkejut dengan tisu di depan matanya, tapi ia raih sembari terisak, lalu menyeka air matanya dengan tisu tersebut.

Ada 10 menit setelah film selesai, Eila baru berhenti menangis. Jibran tidak biasa menonton film dengan suara-suara kecil lain karena mengganggu konsentrasinya. Namun, pengecualian bersama Eila, karena setiap reaksi yang Eila berikan, termasuk air mata yang ia curahkan, menjadi bagian menarik dari sesi menonton kali ini.

Sorry, filmnya terlalu sedih. Aku selalu nonton ini, tapi selalu nangis,” aku Eila yang lebih tenang. “Nanti tolong kasih tahu gimana penilaian karakter Will bagi kamu, ya. Penilaiannya chat aja ke aku.”

Bagai kerbau dicocok hidungnya, Jibran manggut-manggut dengan netra yang fokus memandang Eila serta bibir yang menyunggingkan senyum. Segala yang dikatakan Eila bagai perintah yang tidak bisa Jibran bantah.

“Jujur, aku awalnya ngira bakal susah banget buat dekat sama kamu sebagai partner.”

Jibran mengangkat kedua kakinya dan duduk menyamping, lalu Eila melakukan hal sama hingga mereka duduk berhadapan.

“Kenapa kamu ngira gitu?” tanya Jibran yang jadi tertarik dengan cerita Eila selanjutnya.

“Aku nggak ngira kamu sombong, tapi karena kamu aktor dan aku orang biasa, aku kira kita bakal susah buat dekat dan pasti ada jarak. Aku juga nebak kamu itu aktor yang bakal susah diatur, agak keras kepala menyangkut sesuatu yang kamu bisa, tapi ternyata kamu fleksibel dan … cukup gampang diatur,” jelas Eila diiringi tawa di akhir kalimat.

Jibran ikut tertawa melihat Eila yang begitu manis, membuatnya ingin menyelami sosok yang membuatnya tidak keruan lagi.

“Aku nggak terlalu susah buat akrab sama orang seumuran. Aku juga tadinya orang biasa yang nggak tahu akting, jadi nggak baik aku sombong. Ditambah lagi kamu udah bantu aku, jadi udah seharusnya aku nurut.”

Jawaban Jibran membuat Eila senang bercampur haru, karena jujur ketika Trian menawarkan adiknya menjadi partner Jibran, dia sudah memikirkan hal-hal miring terkait sang aktor. Di pertemuan pertama keduanya sempat kaku dan itu wajar. Lantas kini, Jibran dan Eila bisa duduk berhadapan di kediaman sang aktor, hanya berdua, tanpa diketahui oleh Trian yang cerewet, dan keduanya sama-sama nyaman dengan kondisi ini.

“Kamu tinggal sendiri di sini?” Eila mengalihkan topik karena tiba-tiba gugup dipandang manis oleh Jibran. “Rumah dua lantai, besar pula. Enggak mungkin tinggal—”

“Aku sendirian. Paling ditemanin sama ART yang bersihin rumah seminggu sekali,” sambar Jibran.

Eila membulatkan matanya takjub seraya melihat-lihat sekeliling rumah Jibran. “Kok bisa tinggal sendirian di rumah segede ini? Apa nggak takut? Apalagi kamu aktor, pasti butuh dijaga.”

“Aku nggak takut.” Setidaknya sekarang.

Eila makin takub mendengar jawaban penuh percaya diri itu. “Tolong kasih tipsnya biar nggak takut, dong.”

Jibran tidak menjawab pertanyaan dengan nada gurauan itu. Ia hanya tersenyum sembari terus memandangi Eila yang kini berdiri dan berjalan mengitari sekitar ruang menonton untuk mengamati detail rumah Jibran dengan dekat. Meski Eila tidak mendengarnya melalui lisan, tapi Jibran tetap menjawab dengan monolog dalam hatinya.

Aku nggak takut karena ada kamu, Eila.


Jangan lupa komentarnya, ya ^^

Me Before You rate 8,5/10 dari aku. Rekomen banget buat ditonton 💚