I Will Give My First Kiss To You


Ada satu part yang terinspirasi dari film Five Feet Apart. Enjoy ^^
—
“Berdasarkan naskah yang aku baca, Jeremy suka cium pipi sama kening Anata. Terus kalau bibir cuma … dua kali. Yang satu masih standar, sedangkan satunya lagi agak … gitu.”
Ada keraguan dari nada bicara Eila ketika menjelaskan adegan ciuman dalam naskah. Eila yang biasanya paling semangat di setiap sesi latihan dan membimbing Jibran yang penuh keraguan, hari ini dirasa berbeda karena wanita itu tidak berani menatap Jibran ketika bicara. Semangatnya tetap muncul, tapi rasanya lain dan Jibran memahami itu.
Sesi latihan kiss scene ini akan menjadi pengalaman pertama Jibran, bersama orang paling berarti yang kini dekat. Di ruang tengah lantai satu, Jibran dan Eila duduk berdampingan di sofa sembari sibuk membaca naskah di tangan masing-masing, tepatnya di bagian kiss scene yang latihannya akan segera dilangsungkan.
Seperti yang dikatakan Eila, adegan ciuman pertama sebenarnya sangat santai dan lebih tepat disebut kecupan singkat yang seharusnya tidak berarti apa-apa. Namun, kasusnya jelas lain mengingat bagaimana Jibran menaruh rasa yang besar pada Eila. Jadi mau seperti apa pun adegannya, jika itu berkaitan dengan sentuhan fisik bersama Eila, maka dampaknya tetap besar.
Rasa canggung masih terasa karena Jibran dan Eila terus sibuk dengan naskah masing-masing, padahal mereka tidak membaca apa-apa di sana. Jadi Jibran merasa perlu ada pencair dahulu sebelum mereka benar-benar latihan untuk adegan ciuman yang mendebarkan. Jibran menutup naskah dan meletakkannya di meja, sedangkan Eila yang menyadari masih memilih berkutat dengan naskahnya sebagai pengalih.
Jibran menoleh pada Eila, memorinya kembali membawa sang aktor pada momen di mana Eila melihat bekas lukanya pada pagi hari. Sesuatu yang Jibran berusaha sembunyikan dari banyak orang, terlebih dari Eila karena tidak mau membuat wanita itu jijik. Setelah kejadian itu, Eila tidak menunjukkan rasa jijik padanya, tapi rasa khawatir tetap ada karena siapa tahu Eila selama ini akting seakan biasa saja, sedangkan di belakang itu Eila justru jijik pada Jibran.
Tak mau membuang-buang waktu dengan membuat pertimbangan, Jibran menanyakan hal paling penting yang sangat ingin dia ketahui.
“Eila,” panggil Jibran yang membuat wanita itu menoleh dan menatapnya. “Apa kamu jijik setelah lihat bekas luka aku?”
Eila mengerjap, tak menyangka akan mendapatkan pertanyaan yang tidak pernah ia perkirakan sebelumnya. Namun, tanpa berpikir panjang, Eila menjawab, “Aku nggak jijik.”
Jibran membulatkan matanya, memberikan reaksi yang tidak biasa karena dia bukannya lega atau senang, tapi malah terkejut sampai memastikan yang ia dengar tidak salah.
“Kalau kamu jijik …, aku nggak masalah. Maksudnya, kamu nggak perlu pura-pura biasa aja setelah lihat bekas luka itu. Soalnya aku aja jijik, Trian juga sempat jijik, apalagi kamu.”
Eila manggut-manggut, paham mengapa Jibran malah heran saat Eila justru biasa saja dengan bekas luka yang baginya bukan suatu masalah.
Tidak ingin membuat Jibran berpikir negatif, Eila pun menjelaskan, “Awalnya aku kaget karena nggak nyangka kamu punya bekas luka kayak gitu. Soalnya setiap lihat kamu, aku selalu mikir kamu pasti akan muji diri sendiri setiap lagi ngaca kayak, ‘wow, aku sempurna banget. Enggak heran banyak yang suka sama aku’, gitu. Aku juga berpikir kamu laki-laki paling sempurna yang nggak ada kekurangan sedikit pun.
“Tapi berkat bekas luka itu, nunjukin bahwa manusia biasa yang punya kekurangan dan minder dengan kekurangan itu. Jadi, aku nggak jijik sama sekali lihat bekas luka itu, karena manusiawi untuk punya kekurangan yang mau ditutupi dari banyak orang. Kalau aku jijik, saat itu aku nggak akan lihatin kamu, tapi kabur atau teriak.”
Oh, bolehkah Jibran senang karena jawaban Eila membangkitkan rasa percaya dirinya? Pasalnya Jibran selalu minder dengan kondisi fisiknya setiap kali berhadapan dengan Eila. Lantas setelah mendengar penjelasan yang mengharukan itu, Jibran merasa derajatnya naik tingkat berkat Eila.
“Kamu yakin nggak jijik?”
“Sama sekali nggak jijik, Jibran,” ucap Eila penuh ketegasan. “Aku bukannya mau bandingin, tapi kaki aku juga jelek banget. Soalnya aku punya darah manis, jadi gampang gatal dan suka ninggalin bekas luka yang susah hilang. Sampai sekarang aja masih banyak bekasnya. Mau lihat?”
Eila hanya bercanda ketika menawarkan Jibran untuk melihat bekas lukanya, tapi sang aktor justru meresponsnya dengan serius. Jibran tak bersuara, tapi daksanya berlaku lain dengan melepaskan kemeja yang ia kenakan sebagai outer, hingga Jibran hanya mengenakan kaus putih tanpa lengan yang menampakkan bekas luka pada bicepsnya.
Eila menelan ludahnya dengan susah payah, malah tidak fokus pada bekas luka Jibran yang menampakkan dirinya dengan bebas. Jibran terlihat seksi dan—oh, sungguh! Eila hampir hilang akal. Beruntungnya Eila bisa mengembalikan kewarasannya sebelum berpikir aneh-aneh dengan pemandangan di depannya.
Eila mengangkat kaki kanannya ke sofa, menggulung celananya sebanyak 5 gulungan, lalu menunjukkan bekas luka akibat garukannya yang cukup mengganggu. Sama seperti Eila ketika melihat bekas lukanya, Jibran tak terganggu dengan bekas luka itu, apalagi merasa jijik. Kaki putih itu tidak mulus, tapi tidak menjadi poin minus di mata Jibran.
“Ini emang nggak sebanding sama luka kamu,” Eila kembali menutupi bekas lukanya karena malu, “tapi aku juga nggak pede, apalagi aku pernah diputusin cuma gara-gara bekas luka ini. Terus katanya banyak laki-laki yang nggak suka perempuan punya bekas luka kayak gini, soalnya jijik gitu.”
“You still perfect, Eila.”
Sang puan mengangkat kepalanya dan tersenyum kikuk. “Thanks,” balasnya gugup. “Bagi aku …, kamu juga sempurna, Jibran.”
Kekurangan yang selalu ingin mereka sembunyikan kini telah terungkap jelas, tapi tak membuat Jibran dan Eila menyesal telah menunjukkannya. Sebab keduanya paham, bahwa segala kekurangan tidak akan diacuhkan dan tetap menjadi sempurna di pandangan orang yang tepat. Bagi Jibran dan Eila, masing-masing dari mereka adalah orang tepat itu.
“Apa kita mau mulai latihan sekarang?”
Eila mencairkan suasana dengan membawa topik yang telah ditunggu-tunggu. Setelah merasa waktunya tepat, Jibran mengangguk setuju dan kembali mengenakan kemejanya. Eila mengambil langkah pertama yaitu duduk lebih dekat dengan Jibran. Sebenarnya malu, tapi kali ini Eila bisa menepisnya dengan baik. Eila pandang Jibran seraya tersenyum lebar, mengundang Jibran untuk ikut menerbitkan senyumnya.
“Pertama, coba latihan cara tangkup pipi aku. Pake sebelah tangan dulu.”
Jibran mengikuti instruksi Eila dengan baik. Tangan kanannya menangkup pipi kiri Eila, bertahan sekitar 10 detik, sampai akhirnya ditarik menjauh oleh sang puan.
“Sekarang coba tangkup pipi aku dua-duanya.”
Lagi, Jibran mengikuti arahan Eila dan menangkup kedua pipi itu yang terasa lembut dan menggemaskan. Ingin Jibran cubit kedua pipinya, tapi ia tahan mengingat sesi latihan ini harus berjalan serius.
“Gimana? Kamu ngerasa nyaman sama latihan bagian ini?”
Jibran mengangguk seraya menarik kedua tangannya menjauh. Sampai sekarang masih aman, meski debar jantung Jibran tidak bisa diajak bekerja sama.
“Kalau gitu coba cium pipi aku.”
“Gimana?”
“Jeremy suka cium pipi Anata. Jadi, kamu coba cium pipi aku juga.”
Jibran mengetatkan rahangnya sebagai reaksi terkejut. Jika dia yang harus memulai, maka Jibran tidak yakin dia bisa melakukan sesi latihan dengan baik. Berbeda dengan Eila yang terlihat relaks dan sepertinya sudah cukup berpengalaman soal sentuhan bibir, jadi ada baiknya yang lebih paham memberi contoh padanya.
“Kamu dulu aja, Eila,” pinta Jibran sembari berharap bisa dikabulkan. “Anata juga suka cium pipi Jeremy, jadi ada baiknya kamu dulu yang cium pipi aku.”
“Oke.”
Jibran terbelalak dan lehernya seperti tercekik karena dia jadi sulit bernapas akibat Eila yang menjawab tanpa membuat pertimbangan. Tidak mau menunggu banyak reaksi, Eila mencium pipi kanan Jibran seperti permintaannya. Tak lupa pipi kirinya pun ikut diserang oleh bibir merah cherry Eila yang beruntung tidak meninggalkan bekas.
Eila kembali ke posisinya setelah mencium Jibran, melihat jelas bagaimana sang aktor tidak berkedip setelah dicium dalam durasi singkat, tapi bekasnya tak lekang. Eila menggigit bibirnya, antara malu dan menahan tawa melihat kedua telinga Jibran yang merah.
Jangan dikira Eila biasa saja mencium Jibran, karena realitasnya tidak seperti itu. Jantungnya meletup tak terkira dan ada percikan kembang api setelah berhasil mencium Jibran.
“Kamu nggak apa-apa?” Eila bersuara dan menyadarkan Jibran yang berusaha mengembalikan kewarasannya. “Mau dilanjut?”
“Iya.”
“Oke, sekarang giliran kamu yang cium pipi aku,” kata Eila seraya menyelipkan helain rambut ke belakang telinga yang menutupi pipinya. “Aku bakal tutup mata biar kamu nggak malu,” tambahnya seraya memejamkan mata rapat-rapat, lalu memiringkan sedikit kepalanya untuk menunjukkan pipi kirinya yang siap dicium.
Bukannya langsung melakukan hal sama seperti Eila, Jibran malah bergeming mengamati sang puan yang mengundangnya untuk melakukan hal lebih dari sekadar pegangan tangan seperti sebelumnya. Waktu terasa bekerja lebih lambat di dunia Jibran, di mana dalam dunianya hanya ada Eila yang menjadi tujuannya.
Jibran yang awalnya tak berani berbuat apa-apa, perlahan mengangkat tangan kanannya dan mengarahkannya pada pipi Eila yang merona berkat dipoles blush. Jibran tangkup pipi Eila, begitu hati-hati dan lembut, seakan ingin membuat Eila nyaman dengan sentuhannya.
Wajah Jibran mulai mendekat, meski ada beberapa kali perhentian karena tak kuasa. Saat matanya terpejam, Eila bisa merasakan tangan Jibran yang dingin pada pipinya. Eila abaikan saja, sembari menunggu Jibran mencium pipinya. Jibran yang telah siap kembali mendekati wajah Eila yang menantikannya, hingga kini jarak mereka hanya tinggal beberapa senti menuju pipi.
Saat bibir Jibran hampir menyentuh pipi, pria itu mengubah haluannya. Bibir Jibran merangkak naik dari pipi Eila menuju kening, lalu bibirnya bertaut dengan kening itu, menyalurkan seluruh rasa melalui sentuhannya ketika rangkaian aksara tak mampu ia lisankan.
Eila yang merasakan ciuman di keningnya seketika terbelalak, tak menyangka Jibran akan menciumnya di sana. Bagi Eila, mencium kening bukan hal yang biasa, karena artinya ada sesuatu yang ingin Jibran sampaikan lewat ciumannya—yang kalau boleh jujur, Eila berdoa tidak menjadi harapan baru untuknya.
Jibran menarik bibirnya dan memandang Eila dalam. Padahal tak berbuat banyak, tapi napasnya sedikit memburu karena Jibran tidak percaya dengan apa yang diperbuat. Seakan tak cukup, Jibran menyuarakan sesuatu sebagai permintaan izin. Tak lupa menyentuh bibir Eila dengan ibu jarinya agar sang puan paham apa maksudnya.
“Apa boleh aku cium di sini?”
Kalimat itu ada di dalam naskah. Eila hapal sekali karena dia sering bolak-balik membacanya. Paham bahwa Jibran sedang mendalami aktingnya sebagai Jeremy dalam sesi latihan, Eila pun mencoba mendalami perannya sebagai Anata dengan memberi anggukan. Saat pintu akhirnya dibuka, Jibran masuk ke sana untuk melangkah lebih maju.
Eila boleh berpikir bahwa ini hanya demi latihan dan sosok di depannya adalah Jeremy yang romantis. Sedangkan kenyataannya, Jibran menginginkannya, tanpa embel-embel Jeremy dalam dirinya. Jibran kembali mendekat, kali ini lebih yakin dari sebelumnya.
Sampai akhirnya bibir mereka bersua, menyalurkan rasa pada milik masing-masing yang sensasinya begitu menyenangkan. Mata keduanya terpejam, menikmati sentuhan bibir yang tak berani bergerak untuk menikmati rasa lain. Memilih dalam posisi ini dalam durasi lama, asalkan Jibran dan Eila bisa terkoneksi dalam rasa yang sama.
Di saat inilah, Eila sudah menjatuhkan pilihan untuk membiarkan perasaannya terus mekar tanpa jeda. Tak peduli Jibran akan menerimanya atau tidak, Eila tetap akan menaburkan siraman cinta agar tertanam sempurna. Karena pada saat ini, tidak hanya Jibran yang memberikan ciuman pertamanya, Eila pun memberikan hal serupa untuk Jibran yang ia tetapkan untuk menjadi tempat melabuhkan cintanya.
Jangan lupa komentarnya ^^
























