hanyabualan

Menonton untuk kencan kali ini berbeda, sebab Jibran dan Eila tidak melakukannya di rumah, melainkan di bioskop yang disaksikan banyak orang. Tak hanya itu, Jibran juga memilih hari dan jam yang sedang ramai-ramainya, yaitu Sabtu pukul 19.30 WIB. Ya, jam orang kencan atau sekadar menikmati malam minggu.

Jibran tahu dia tidak bisa terang-terangan menonton, karena itu dia ingin membuat sesi menonton ini spesial dengan menentukan hari yang biasa digunakan untuk kencan. Well, setidaknya itu yang dikatakan Google bahwa malam minggu adalah malam orang kencan. Sesuai rencana, Jibran datang bersamaan dengan Eila, hanya saja dengan kendaraan berbeda.

Jibran menggunakan mobil bersama Natta, sedangkan Eila naik taksi online dari rumahnya. Untuk tiket, mereka membeli bersama-sama, hanya dengan gawai berbeda. Natta membelikan dua tiket untuknya dan Jibran, sedangkan Eila membeli untuk dirinya sendiri dengan kursi yang saling berdekatan.

Saat tiba di mal tempat bioskop berada, kedatangan Jibran mengundang kehebohan di setiap langkah menuju bioskop. Khususnya dari kau, Hawa yang rela menghentikan aktivitas mereka demi melihat Jibran dari dekat, merekam sang aktor dengan ponsel masing-masing sebagai kenang-kenangan. Belum lagi ada yang melakukan siaran live Instagram untuk update. Tak lupa mengunggah cuitan di Twitter dengan kata-kata heboh bahwa mereka bertemu dengan aktor tampan secara tidak sengaja.

Jibran selalu melempar senyum dan tak ragu untuk melambaikan tangan atau membalas sapaan yang dilayangkan untuknya. Sampai terjadi kerumunan karena Jibran sengaja naik eskalator dibandingkan lift, membuat Natta yang mengenakan masker hitam harus berusaha ekstra untuk menyingkirkan orang-orang yang menghalangi jalan. Beruntung ada security yang sigap membantu, padahal Natta dan Jibran tak meminta karena ini bukan urusan pekerjaan.

Di sisi lain, Eila susah payah berjalan melewati kerumunan yang mengikuti Jibran. Makin naik ke satu lantai, makin bertambah pula kerumunannya. Eila bisa saja naik lift, tapi memilih mengikuti kerumunan seakan-akan dia penggemar, padahal aslinya lebih dari itu.

Sepanjang perjalanan menuju bioskop yang terasa lebih lama dari biasanya, Eila tak berhenti berdecak kagum karena Jibran begitu digilai oleh orang-orang. Well, Eila yakin tidak semua yang ada di mal adalah penggemarnya. Bisa saja ada yang ikut-ikutan atau sekadar menikmati paras rupawan Jibran saja.

Meski bukan penggemar seutuhnya, Eila tetap senang ada banyak yang mengagumi sosok Jibran yang baginya layak mendapatkan atensi luar biasa. Eila tidak mengenakan masker, sengaja karena mereka akting sebagai orang asing, jadi tidak ada salahnya menunjukkan wajah karena orang-orang tidak akan curiga.

Setibanya di bioskop, kerumunan tidak bisa masuk karena ditahan oleh security—kecuali yang ingin menonton. Jibran masih jadi pusat perhatian seisi bioskop yang tak kalah heboh, bahkan mulai menyalakan ponsel mereka dan merekam pria itu. Tingginya yang menjulang dan kulit putihnya makin membuat dia menonjol, sampai Eila saja lupa pria itu adalah kekasihnya.

Sebisa mungkin Eila menjaga jarak, termasuk ketika mencetak tiket dan membeli popcorn. Meski menjaga jarak, Eila sadar Jibran sesekali meliriknya dan tersenyum setipis mungkin agar tidak ada yang merasa aneh dengan gerak-geriknya. Tidak perlu heran, Jibran harus memastikan kekasihnya aman di tengah kerumunan. Selain itu, melihat Eila di antara kerumunan membuat Jibran bahagia karena ada satu yang spesial di antara banyaknya orang.

“Kak Jibran, aku penggemar Kakak. Boleh nggak aku foto sama Kakak?”

Seorang gadis berusia awal 20-an tiba-tiba muncul ketika Jibran tengah menunggu popcorn dan sodanya disiapkan di konter makanan. Karena waktunya luang, Jibran tak menolak ajakan itu.

Jibran tersenyum manis seraya menjawab, “Boleh. Selfie?”

“Iya!”

Gadis itu bersorak heboh sembari menyiapkan kamera ponselnya, membuat banyak orang iri karena ingin ada di posisinya. Tangannya sampai bergetar kala dia dan Jibran mulai berpose.

“Sini, biar aku yang pegang hapenya, ya.”

Gadis itu makin gemetar ketika Jibran meraih ponsel setelah mendapatkan izin, lalu kembali berpose untuk berfoto. Sesi foto dilakukan cepat dan gadis itu segera pergi setelah mengucapkan terima kasih. Tak lama kemudian, beberapa orang ikut memberanikan diri untuk berfoto dengan Jibran. Ada yang sendiri, berdua, bahkan bergerombol dengan meminta Natta untuk mengambil gambar.

Eila yang lebih dulu mendapatkan popcorn-nya memilih berdiri di dekat sofa yang kosong karena orang-orang enggan duduk. Mati-matian Eila menahan senyum ketika fanmeeting dadakan berlangsung. Untung saja Jibran tidak terlihat risi, malah senang melayani para penggemar yang ingin foto atau meminta tanda tangan. Eila yang tak mau kalah ikut menyalakan ponselnya dan merekam momen Jibran yang masih sibuk fanmeeting.

Ada hampir 20 menit fanmeeting dadakan berlangsung dan berhasil dihentikan ketika sudah waktunya Jibran, Natta, dan Eila masuk ke studio satu untuk menonton. Tidak ada yang menahan, karena semuanya puas dan banyak juga yang harus siap menonton. Jibran, Natta, dan Eila duduk di baris C, dengan posisi Natta di antara Jibran dan Eila. Tentunya mereka masih berakting sebagai orang asing yang sangat sulit dilakukan, terlebih dari sisi Jibran yang ingin berdekatan dengan Eila.

“Sabar ya, Bos. Tunggu sampai pulang,” bisik Natta yang paham dengan gerak-gerik Jibran.

“Masalahnya nanti langsung pulang ke tempat masing-masing,” balas Jibran tak senang.

Natta tertawa kecil tanpa mau berkomentar lagi. Sulit, karena Jibran sudah telanjur menjadi budak cinta untuk kakaknya. Lain halnya dengan Eila yang santai, meski aslinya juga menahan diri untuk tidak tertawa atau minimal bicara pada Natta. Eila terus mengingatkan dirinya bahwa dia sedang akting padahal kencan, supaya tidak ada aksi berlebihan nantinya.

Setelah iklan ditayangkan, akhirnya film bertemakan petualangan dimulai. Di awal film, Jibran bisa anteng dan fokus menonton. Eila pun sama dan beberapa kali tertawa ketika ada adegan yang lucu. Namun, ketika mulai pertengahan, Jibran sudah berani melirik sesekali ke arah Eila dengan tubuh yang tetap bergeming di tempat.

Eila melakukan hal serupa, bahkan sempat menatap Jibran selama sepuluh detik sampai netra mereka beradu pandang dalam durasi yang panjang. Jibran tersenyum tipis, masih tetap hati-hati agar orang tidak curiga. Pun Eila yang tidak mau dihujat dadakan karena tertangkap basah melakukan tatapan mesra dengan idola banyak orang.

Hanya mampu berpandangan tanpa ada interaksi lain, ditambah dengan posisi Natta yang duduk di antara mereka, Jibran dan Eila tetap senang karena mereka jadi tahu bagaimana rasanya ‘kencan’, meski jauh jika dibandingkan orang normal pada umumnya. Jibran perhatikan sekitarnya sejenak, termasuk orang di sampingnya dan Eila.

Setelah memastikan aman dan tidak ada yang mencuri-curi pandang ke arahnya, Jibran kembali menatap Eila yang masih memusatkan atensi pada sang aktor.

Tanpa mengeluarkan suara Jibran berkata, “I love you, Eila ….”

Saat Jibran bilang dia akan datang ke rumah Eila, dia tidak berbohong. Pasalnya dalam waktu hampir satu jam, Jibran sudah tiba di kediaman Eila, bahkan kini tengah berbaring nyaman dengan paha sang kekasih sebagai bantal. Mereka hanya berdua di rumah karena Natta menginap di rumah temannya.

Dia biasa begitu ketika sibuk dengan tugas, sengaja supaya ada teman belajar yang kompeten dibandingkan mengerjakan sendirian. Jadi, Jibran dan Eila bisa menikmati waktu berdua tanpa gangguan.

Berada di ruang keluarga dengan saling membisu, tapi tidak dengan debar jantung mereka yang enggan berhenti bergemuruh. Jibran memejamkan matanya, sedangkan Eila elus surai legam sang kekasih tanpa henti agar bisa tenang.

Setahu Eila, Jibran tidak memiliki banyak schedule setelah audisi ketiga. Namun, rasa lelah itu tetap Jibran alami karena ada banyak pikiran yang mengganggunya—salah satunya soal fakta bahwa sang mama sengaja meminta orang mengikuti kehidupannya.

“Ini … kamu nggak apa-apa?” Kali ini Eila mengelus dahi Jibran yang tiba-tiba mengerut, membuat sang pria membuka matanya dan langsung berhadapan dengan wajah sang dara. “Deket-deket audisi terakhir makin banyak pikiran banget, ya?”

Ingin sekali Jibran mengaku soal dia yang diikuti oleh orang asing atas suruhan mamanya, termasuk malam ini kala Jibran datang ke kediaman Eila. Namun, Jibran tak mau membuat Eila ikut panik dan berujung mengusirnya. Lebih berat lagi, Jibran tidak mau Eila terbebani dengan hubungan mereka. Jadi, ia memilih untuk menutupinya serapat mungkin selama Eila tetap aman.

“Aku belum pernah main film kayak gini, makanya kepikiran bisa akting dengan baik atau nggak.”

“Pasti bisa.” Eila optimis dengan jawabannya. “Pas audisi, kamu udah kasih bukti dengan sedikit akting. Menurut aku, aktor yang keren itu bisa akting dalam durasi lama ataupun singkat, dengan atau tanpa dialog. Waktu itu kamu cuma adegan pelukan aja udah kerasa banget feel-nya, apalagi nanti pas udah akting sepanjang film. Ragu nggak masalah, tapi orang sehebat kamu pasti bisa, Jibran.”

Pujian tak pernah berhenti dilayangkan oleh Eila, selalu menganggap sang kekasih hebat tanpa kekurangan. Padahal Eila menjadi saksi bagaimana kakunya Jibran di awal latihan, tapi tak pernah ia membuat sang aktor merasa buruk dengan akting di film romansa perdananya.

Jibran merasa jadi laki-laki yang paling beruntung, karena perasaannya yang telah lama ia miliki bisa terbalas dan bersatu dengan cinta pertamanya. Ia tak salah memilih Eila untuk menjadi tambatan hati, karena buktinya Eila begitu berarti.

“Aku pernah bilang mau berhenti berkarier. Ingat?”

Eila berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Kalau berhenti, kamu mau jadi apa? Dokter? Atau dosen kayak mama kamu?”

“Aku mau istirahat sekitar satu atau dua tahun. Selama istirahat itu, aku bakal nyusun usaha. Belum pasti usaha apa, tapi pas mutusin untuk berhenti, aku kepikirannya mau buka kafe.”

“Itu jadi keputusan fix?”

“Belum, tapi bisa jadi fix biar buka usahanya bareng kamu. Kamu yang bikin croffle, aku yang racik minumannya.”

Eila tertawa mendengar rencana sederhana Jibran yang melibatkan dirinya. Rencana yang lucu, tapi berhasil membuat Eila ikut membayangkan hal tersebut. Meski nantinya sudah tidak jadi aktor, Eila yakin nama Jibran tidak hilang dalam waktu singkat. Jika Jibran jadi mendirikan kafe untuk usahanya, pasti sukses berkat namanya juga. Eila tidak sabar menantikan masa itu agar rencana Jibran bisa terwujud.

“Aku berdoa semoga Ayah sama Mama bisa restuin kita.”

Suasana berubah sendu ketika Jibran mulai membicarakan orang tuanya. Percakapan santai dan manis jadi tidak menyenangkan karena topik ini terlalu sensitif. Eila sudah pernah beberapa kali terlibat dalam hubungan asmara, tapi dia tidak pernah merasa kesulitan mendapatkan restu. Lantas kini ketika ingat kenyataan yang ada, Eila baru merasakan apa itu rumitnya asmara.

“Ayah sebenernya suka sama hubungan kita, cuma karena beliau udah janji soal dijodohin itu, Ayah nggak bisa sembarangan.”

Eila cukup senang mendengarnya. Setidaknya hubungan mereka tidak sepenuhnya ditentang pihak keluarga Jibran.

“Kalau emang nggak bisa dipaksa, berarti jangan dipaksain, ya.”

“Aku bakal paksain.” Jibran bangkit dari posisinya dan duduk di samping Eila. Ia rangkul kekasihnya dan menatapnya penuh harap. “Aku bukan anak kecil lagi yang bisa diatur ini dan itu. Percuma mereka milih orangnya tapi aku nggak mau sama dia. Jadi, kamu nggak perlu khawatir, aku bakal berjuang sampai kita dapat restu, Eila. Asalkan kamu selalu sama aku.”

Kesungguhan tampak jelas di balik manik hitam yang menatap Eila dalam. Harapan Jibran begitu besar dengan hubungan ini, yang mana Eila pun tak mampu untuk mundur lagi.

Eila sudah menetapkan dirinya untuk maju, maka apa pun yang terjadi, dia harus maju bersama Jibran di sampingnya. Eila elus pipi Jibran, lalu mengecup bibirnya hingga telinga Jibran merah karena tak siap dengan serangan itu.

“Aku pasti selalu sama kamu, Jibran.”

“Anya bagus, tapi kalau dari segi penampilan, dia nggak cocok jadi Anata. Malah kelihatan lebih tua dari—eh, penampilan juga dinilai ‘kan, ya?” Eila menjeda seraya menatap Jibran. Setelah sang kekasih mengangguk, Eila melanjutkan, “Karena penampilannya beda, itu jadi bahan pertimbangan buat audisi selanjutnya.”

Trian mengangguk setuju sembari mengamati Anya yang tengah berakting bersama Jibran. “Samuti Rakha termasuk perfeksionis soal penampilan pemainnya untuk peranin karakter yang dia buat. Jadi, bener kata Eila, penampilan Anya bisa jadi penilaian.”

“Oke. Untuk Anya kekurangan di penampilannya. Ada lagi?”

“Dia kelihatan grogi,” komentar Natta setelah cukup lama mengamati dalam diam, sedangkan kedua kakaknya merasa cukup memberikan opini. “Aktingnya bagus, tapi tangannya gemeteran waktu pegangan sama Kak Jibran. Kelihatan banget Anya ini kurang ‘profesional’ untuk adegan skinship. Pas audisi aja beberapa kali cut sama Samuti Rakha, pasti beliau tahu juga Anya ini kurang aman untuk adegan skinship. Tapi kalau adegan lain kayak dia sendiri udah oke.”

Jibran tersenyum bangga mendengar komentar Natta yang sangat jeli dengan gerak-gerik Anya. Eila dan Trian juga takjub, padahal seingat mereka Natta ini jarang berkomentar soal akting meski saat latihan. Kalaupun berkomentar, itu bukan ulasan yang detail seperti sekarang. Pasti ujung-ujungnya memuji Jibran sebagai idolanya. Jibran memberi tepuk tangan sebanyak tiga kali untuk tiga orang terdekatnya, salut dengan komentar mereka yang sama-sama teliti dan membantunya.

“Samuti Rakha kurang lebih kasih komentar yang sama, aku juga mikir hal yang sama kayak beliau. Tapi denger pendapat kalian makin bikin aku yakin untuk ngasih penilaian seperti apa.”

“Lama-lama aku betah jadi stafnya Kak Jibran. Seru gini,” ucap Natta girang seraya duduk bersandar setelah sejak tadi begitu tegak demi konsentrasi menonton VT audisi.

“Jangan santai dulu. Masih ada aktris terakhir yang belum ditonton videonya,” tegur Trian seraya menepuk paha Natta yang kebetulan duduk di sampingnya. “Yang di situ jangan pacaran, ya. Profesional dulu, dong.”

Trian yang tadinya tenang tiba-tiba naik pitam kala melihat Jibran dan Eila malah mencuri kesempatan untuk bermesraan. Eila yang duduk berdampingan dengan Jibran di sofa sebelah kanan malah menjulurkan lidahnya, meledek Trian yang sedang menahan diri untuk tidak menarik adiknya menjauh dari sang pacar.

Jibran terkekeh pelan seraya mengusap lembut surai Eila, sedangkan Natta malah tertawa girang melihat pemandangan manis dari pasangan yang kini tidak malu lagi untuk unjuk gigi.

“Satu VT lagi, terus kita makan.”

Begitu Jibran yang bicara, Eila baru menurut dan kembali duduk tegak. Trian baru bisa lega, meski untuk sementara karena yakin Jibran dan Eila akan menunjukkan kemesraan mereka setelah selesai. VT terakhir dari aktris yang sudah berkecimpung di industri hiburan selama 5 tahun bernama Kalani. Seingat Jibran, jika terpilih, maka ini akan menjadi film ketiganya.

Sejauh ini Jibran nyaman akting dengan Kalani, perkembangannya pun sangat baik di setiap audisi. Jibran juga sudah membuat penilaian yang bagus untuk Kalani, hanya tinggal mendengarkan pendapat dari Eila, Natta, dan Trian terkait penampilannya.

Ruang menonton hanya didiisi oleh suara Jibran dan Kalani dari VT. Ada sekitar dua menit VT ditayangkan setelah empat pasang mata fokus pada akting Kalani, barulah satu per satu berpendapat.

“Kalani yang aktingnya paling bagus di antara yang lain. Dia kelihatan santai, aktingnya alami, kayak udah siap banget sama film ini.”

Natta mengangguk setuju. “Setiap adegan untuk lima aktris beda-beda, tapi semuanya libatin skinship. Dibandingkan yang lain, Kalani ini paling … gimana bilangnya, ya? Kayak udah biasa gitu.”

“Aku juga setuju,” sahut Eila. “Dari segi penampilan aja Kalani cocok banget jadi Anata. Ekspresinya menghayati, terus setahu aku dia cepat hafalin dialog, tapi pandai improvisasi. Menurut aku, akting Kalani sama kamu jadi seimbang. Tapi karena masih ada audisi terakhir, jadi nggak bisa nyimpulin terlalu cepat.”

Lagi, Jibran kagum dengan pendapat tiga saudara di dekatnya. Bukan saja karena satu pikiran dengan Jibran, tapi lagi-lagi pendapat ketiga Madaharsa membuat sang aktor sadar bahwa dia dekat dengan orang yang tepat. Jibran memeluk Eila dan mengecup puncak kepalanya, membuat Trian lagi-lagi harus menahan diri agar tidak menarik sang adik. Lain halnya dengan Natta yang malah mengabadikan momen kemesraan Jibran dan Eila menggunakan ponselnya.

“Kamu nggak cemburu aku akting sama orang lain, ‘kan?”

“Enggak, lah. Itu kerjaan kamu, jadi aku harus ngerti. Malah menurut aku, kamu sama Kalani cocok aktingnya. Semoga dia yang kepilih.”

Jibran mengecup kedua pipi Eila hingga semburat merah timbul. “Coba aja sama kamu aktingnya. Aku lebih semangat.”

Eila elus pipi Jibran yang membentuk lesung pipi kala tersenyum. Begitu manis, sampai Eila tak puas jika hanya melihatnya sebentar. “Kalau sama aku mendingan beneran, deh. Akting doang apa enaknya?”

Jibran terbahak. “Kalau gitu, apa kita harus nikah, Eila?”

“Udah, aku nggak tahan!”

Trian berdiri dan pergi dari ruang menonton, tidak tahan melihat tontonan gratis yang begitu menggelikan. Sebelum ikut kabur, Natta masih merekam momen romantis Jibran dan Eila yang saling mendekap erat. Baru ketika dipanggil Trian untuk menyusul, Natta pergi meninggalkan sejoli yang tengah dimabuk asmara berdua tanpa gangguan.

“Katanya hari ini Ardania ikut ke audisi.”

Aiden menunjukkan sebuah foto di ponselnya pada Mia Yahya yang duduk di hadapannya. Di layar terdapat potret seorang perempuan yang mengenakan pakaian serba hitam, topi, dan masker untuk menyembunyikan wajahnya. Sekilas tak berbeda jauh dengan staf yang juga tertangkap kamera di belakang, jadi penampilannya tidak terlalu mencolok dan orang luar pasti menganggap dia bukan oknum jahat.

Namun, lain halnya dengan Mia yang telah diberi tahu siapa sosok itu. Ardania Eila Madaharsa ikut ke audisi hari ini, bersama manajer dan staf Jibran lain bernama Natta. Harusnya Mia biasa saja karena Jibran mengenalkan Eila sebagai stafnya. Namun, mengingat siapa Eila sekarang di mata putra tunggalnya, Mia tidak bisa tenang.

“Jadi, dia sama Jibran pacaran?” tanya Aiden seraya memasukkan ponsel ke saku celananya. “Berarti pas Jibran ke rumah Ardania, saat itu mereka udah pacaran?”

Mia menggeleng. Bukan karena tidak tahu, melainkan ragu. “Saya nggak yakin udah berapa lama mereka pacaran. Jibran nggak ngasih tahu secara detail.”

“Berarti kita nggak boleh biarin mereka pacaran terlalu lama, Bu Mia. Makin lama mereka sama-sama, makin susah juga maksa Jibran buat nerima perjodohan.”

Mia setuju, karena bagaimanapun perjodohan ini sudah direncanakan jauh sebelum Eila bertemu dengan sang akot dan di luar sepengetahuan Jibran. Sang mama tahu membuat perjanjian begini tanpa diskusi dengan putranya terkesan kejam, tapi beliau tidak bisa menolak dan bagaimanapun caranya rencana ini harus terlaksana. Jadi, Eila yang orang baru harus segera disingkirkan.

“Saya mau Jibran dan Eila tetap aman, Aiden. Jadi, jangan berbuat aneh-aneh sama mereka.”

Aiden tersenyum miring seraya meraih secangkir teh dari meja. Setelah menyeruput teh yang kali ini lebih hangat, Aiden berkata, “Saya cuma ditugaskan untuk mastiin Jibran nggak kena skandal apa-apa karena mau dijodohin. Makanya saya bantu awasin Jibran lewat orang kepercayaan saya.”

“Tapi saya udah bilang untuk berhenti ngawasin gerak-gerik dia, Aiden. Sekarang dia udah tahu sering diikutin.”

Ada kepanikan di balik nada bicara Mia. Wajar, karena beliau sudah menjadi tersangka utama di mata Jibran dan bisa saja putranya tak lagi percaya pada sang mama. Mia tidak mau rencana untuk mengikuti Jibran diteruskan karena baginya itu percuma.

“Bukan Anda aja yang nyuruh saya untuk ikutin Jibran, Bu. Papa saya juga nyuruh begitu. Karena Jibran nanti berurusan sama adik saya, berarti saya nggak bisa diam aja. Gimanapun juga saya harus mastiin calon suami adik saya bersih dari skandal. Itu udah perjanjiannya.”

Mia bungkam ketika diingatkan lagi perihal perjanjian yang telah dibuat cukup lama tanpa bisa ditarik kembali. Mau tidak mau, semuanya harus berjalan sesuai ketentuan yang telah dibuat atau Jibran yang akan kena getahnya. Mia menunduk sejenak, menatap secangkir teh yang kepulannya telah hilang. Biasanya teh hangat bisa menjernihkan pikirannya, tapi tidak untuk kali ini yang malah mengerikan.

Setelah bungkam untuk beberapa saat, Mia bersuara. “Saya saranin kamu untuk segera pergi dari sini, Aiden. Saya nggak mau ayahnya Jibran lihat kamu.”

Aiden tersenyum sengit seraya meletakkan cangkir teh ke meja. Ia tak merasa tersinggung sedikit pun karena diskusi hari ini telah cukup. Aiden berdiri tanpa melunturkan senyumnya, menyalami Mia yang menyambut seadanya, lalu berpamitan yang terdengar mengancam di rungu Mia.

“Saya pergi, Bu Mia. Semoga Jibran dan adik saya bisa berjalan sesuai rencana.”

Content warning: kiss scene!

Sepanjang usianya yang hampir menginjak 30 tahun, Jibran belum pernah merasakan yang namanya berkencan. Maka tidak heran pengetahuannya soal kencan itu sangat minim, terlebih seperti apa saja yang perlu dan tidak boleh dilakukan saat kencan. Movie date juga termasuk kencan, bukan? Karena Jibran sampai mencari tahu di internet seputar movie date yang mayoritas dilakukan di bioskop daripada di rumah—yang jelas tidak bisa Jibran lakukan karena dia publik figur dan berhubungan secara diam-diam dengan Eila.

Berdasarkan tips dari internet, yang perlu disiapkan untuk menonton bersama pacar adalah film yang tepat. Mayoritas menyarankan film horor dan romantis, tapi karena film sudah disiapkan oleh Eila, maka Jibran memilih menyiapkan hal lain. Mulai dari camilan yaitu popcorn yang ia buat sendiri, dua kaleng soda, selimut (setidaknya begitu yang dikatakan internet), dan mengurangi cahaya agar fokus pada film yang ditonton.

Semuanya sudah tersedia di ruang menonton dan Jibran tinggal menunggu Eila yang tengah pulang untuk mengurus order. Baru sekitar pukul setengah tujuh, Eila kembali sembari membawa croffle kesukaan Jibran dengan senyum semringah.

“Selimut?” Eila tertawa kecil melihat ada selimut di sofa yang masih terlipat rapi.

“Itu yang aku baca di internet,” ucap Jibran polos yang menambah volume tawa Eila.

“Kamu gemes banget, Jibran.” Eila mencubit kedua pipi Jibran, hingga sang pria tersenyum kegirangan dan lesung pipinya terbentuk sempurna. “Oke, aku pasang dulu filmnya, ya.”

Jibran mengangguk semangat dan segera mengatur lampu ruang menonton agar redup layaknya di bioskop. Ruangan itu hanya diterangi oleh cahaya televisi 65 inch yang akan menayangkan film untuk ditonton malam ini. Jibran duduk lebih dulu di sofa, lalu disusul Eila dengan senyum semringah setelah mengatur film yang tinggal di-play oleh remot di tangannya.

Eila meraih selimut dari sofa, membuka lipatannya hingga melebar, duduk di samping Jibran dalam posisi yang rapat, lalu menyelimuti tubuh mereka hingga sebatas leher.

“Ini … harus banget?” tanya Jibran gugup.

Bukannya dia tidak nyaman, tapi terlalu dekat dengan Eila dan berada dalam satu naungan begini tidak aman untuk keadaan jantungnya.

“Harus, biar nyaman nontonnya.”

Belum sempat Jibran mengendalikan kondisi jantungnya, Eila melakukan aksi lain dengan merangkul lengan Jibran setelah memutar film menggunakan remot. Astaga! Kalau seperti ini jadinya, bukan tidak mungkin Jibran jadi salah fokus akibat posisinya dengan Eila begitu erat.

“Eila, itu—”

Yes! Film kamu,” sosor Eila semangat. “Aku ‘kan udah bilang mau nonton film kamu. Makanya sekarang nonton film kamu aja sama aktornya langsung. Biar aku ada teman.”

“Tapi itu … kamu bisa nonton sama Natta,” cicit Jibran yang geli sendiri melihat sosoknya di televisi.

“Maunya sama pacar aku,” balas Eila dengan nada bicara yang dibuat-buat agar imut.

Ah, sudahlah. Jibran lemah dan tidak mampu membantah. Akhirnya Jibran biarkan Eila menonton filmnya yang berjudul Black Sky, walau ia harus menahan malu karena jujur, menonton filmnya sendiri terasa aneh. Dibandingkan saat film Me Before You, Eila kali ini tidak banyak berkomentar dan fokus menonton sembari sesekali menikmati popcorn di meja.

Eila sampai tak berkedip ketika adegan adu tembak muncul dan Jibran yang paling banyak beraksi dibandingkan pemain lain. Meski tidak berkomentar, tubuh Eila sesekali menegang karena gemas kala Jibran melawan villain yang menyebalkan akibat sulit dikalahkan. Reaksi greget Eila menuai senyum Jibran, hingga ketika ia sudah lebih relaks, sang aktor berani memeluk kekasihnya yang masih fokus menonton.

“Jibran!”

Eila bersorak heboh ketika Jibran keluar dari sebuah toko menggunakan jas berwarna hitam, dengan bordir bunga mawar dan bintang. Bukan jas berwarna mencolok itu yang membuat heboh, melainkan otot perut sempurna Jibran yang terpampang nyata dalam durasi sepuluh menit tanpa jeda.

Oh my god! Aku nggak berani lihat.”

Jibran tertawa ketika Eila sok menutup mata dengan kedua telapak tangannya. “Kamu udah pernah lihat secara live, Eila. Enggak usah malu gitu.”

“Tetap aja.”

Eila mengintip sedikit layar televisi yang tidak di-pause. Setelah adegan lebih aman, Eila menyingkirkan tangannya dan mengumpulkan konsentrasinya lagi untuk menonton.

“Pantesan aja film ini yang paling banyak diomongin orang-orang di medsos. Orang kamu nunjukin perut selama itu.”

Jibran terkekeh. Malu juga sebenarnya, tapi untung saja hanya Eila yang menonton bersamanya sekarang tanpa orang lain yang mengganggu. Film berdurasi 2 jam itu diakhiri dengan tepuk tangan meriah dari Eila yang puas dengan bagian akhirnya. Di mana dalam film, Jibran berdiri di antara kobaran api yang menyala setelah berhasil mengalahkan villain.

Ada dua menit lebih Eila bertepuk tangan di depan Jibran, lalu berhenti dan menghadiahkan satu kecupan di pipi sang aktor sebagai bentuk pujian.

“Keren banget! Keren, pokoknya keren! Adegan di akhir itu pecah banget. Terus pas kamu kejar-kejaran di motor juga luar biasa. Oh, sama adegan pas kamu keluar dari toko dan nunjukin otot perut juga menarik banget.”

Puas bercampur bangga Jibran rasakan karena dia bisa membuat Eila sesuka ini terhadap filmnya. Biasanya jika ada orang yang anti film laga, pasti tidak akan menganggap film laga itu bagus walau sudah dicoba untuk menonton. Namun, lain sekali untuk Eila yang langsung menyukai film Jibran dalam satu kali tonton. Belum lagi pujian tak jemu Eila layangkan, membuat rasa percaya diri Jibran bangkit tanpa bisa dihentikan.

“Tapi film itu yang ngasih luka ini ke aku. Makanya jujur aku nggak terlalu suka.”

Senyum Eila memudar kala menyadari Jibran mengenakan kaus hitam lengan pendek hingga bekas lukanya sedikit terlihat. Tanpa merasa jijik, Eila elus bekas luka itu yang timbul dan menonjol di atas permukaan kulit, warnanya kemerahan dan sedikit hangat ketika disentuh.

Tak cukup sekali, Eila mengelusnya dalam durasi yang cukup lama sampai membuat Jibran heran. Pasalnya sang pemilik luka saja jijik sampai sering menghindar, lain sekali dengan Eila yang merasa santai kala menyentuhnya.

“Enggak sakit, ‘kan?”

“Kadang gatal, tapi sekarang udah nggak apa-apa.”

Eila lega, tapi tetap khawatir karena bekas luka itu pasti membatasi Jibran dalam banyak hal. Contohnya ketika ia berpakaian, pasti menggunakan lengan panjang untuk menutupi bekas lukanya. Di rumahnya sendiri pun begitu, jadi Jibran tidak bisa leluasa seperti sebelumnya. Ditambah lagi Jibran adalah publik figur dengan fisik yang menjadi aspek paling dikagumi, khususnya oleh kaum Hawa.

Jika saja ada yang tahu luka Jibran, bukan tidak mungkin banyak orang yang menyoroti kekurangannya dibandingkan kepiawaiannya dalam dalam berakting.

“Kamu beneran nggak jijik, Eila?”

“Kalau jijik, aku udah nyuruh kamu tutup kali. Mana berani aku elus gini.”

Eila benar. Sejak hari itu, Eila tidak pernah menunjukkan rasa jijik pada bekas luka Jibran. Ia justru tetap mendekat, hingga mereka bisa serekat sekarang. Malah kini Eila tanpa ragu duduk di atas pangkuan Jibran dan melingkarkan kedua lengannya di leher sang pria. Sedangkan aktor tersebut tak keberatan, malah ikut melingkarkan lengannya di sekitar pinggang daranya.

Lampu ruang menonton masih dimatikan, jadi satu-satunya cahaya hanyalah televisi di mana adegan Jibran tengah berdiri di antara kobaran api masih ditayangkan. Ya, Eila sengaja mem-pause bagian itu karena dia sangat suka adegan akhirnya. Jibran menatap Eila penuh damba. Sampai-sampai ia mempertanyakan apakah ini hanya mimpi atau dia benar-benar di dunia nyata.

“Rasanya kayak mimpi banget.” Jibran menyuarakan isi pikirannya seraya mengelus pipi Eila. “Aku nggak pernah bayangin bisa sedekat ini sama kamu, Eila. Sekarang pipi kamu bisa aku elus-elus gini. Alasan aku mau akting ada di sini.”

Eila menaikkan sebelah alisnya. “Maksudnya?”

“Kamu alasan aku akting, Eila.”

“Kenapa aku yang jadi alasannya?”

“Karena aku mau dilihat sama kamu, setelah dulu cuma lihatin kamu.”

Senyum Eila mengembang, berbunga-bunga mendengar fakta baru yang Jibran ucapkan. Eila tidak pernah seberharga ini sejak orang tuanya wafat. Lantas kini berkat Jibran yang tak pernah lewat mengaguminya, Eila merasa bangga bisa bertahan hingga detik ini dan bertemu orang yang bisa menghargainya.

Eila tak menyesal memenuhi permintaan Jibran untuk membantunya, karena dia jadi tahu sehebat apa sang aktor dan sebesar apa dia perlu diapresiasi. Tak hanya soal akting, tapi kepribadiannya yang berwarna-warni. Baik, santun, kadang lucu meski humornya tak bagus, dan kini sisi romantis Jibran mulai timbul.

“Aku selalu lihat kamu, Jibran. Bukan sebagai aktor aja, tapi sebagai laki-laki yang paling berharga.”

Tak kuasa menahan, Eila mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Jibran yang terkatup rapat. Dua bagian lembap itu menyatu, bahkan mengait satu sama lain kala Jibran mulai bergerak untuk merayu. Tidak tahu ilham dari mana, karena Jibran pun tidak ingin ciuman kedua mereka tidak spesial dan serupa seperti yang pertama. Terlebih ciuman kali ini menjadi tanda cinta mereka yang telah sampai.

Tangan kanan Jibran merangkak naik dari punggung menuju tengkuk, menarik milik Eila agar memperdalam ciuman mereka yang masih penuh ragu. Seakan tak cukup, keduanya langsung menjadi ulung kala Jibran memejamkan mata dengan memiringkan kepala untuk menambah rasa dalam ciumannya. Eila elus surai legam Jibran, meremasnya pelan saat ciuman yang mereka lakukan mulai menggila.

Pasalnya tak hanya bibir yang saling memuja, tapi tangan mereka pun mulai meraba ke bagian yang masih ‘aman’; lengan, pipi, rambut, tengkuk, pinggang, hingga punggung.

Ada gairah yang mulai bangkit di antara mereka, selaras dengan televisi yang menampilkan Jibran di tengah kobaran api, seakan ikut menyalakan bara yang tersembunyi di dalam. Sungguh, tak ada nafsu di sana meski lumatan makin tak terkira. Hanya ada cinta yang disalurkan melalui setiap decapan bibir untuk dibagi.

Jibran tak menyangka bahwa bibir seseorang bisa seadiktif dan menyenangkan ini ketika ciuman dilakukan. Lebih indah lagi ketika dilakukan oleh orang yang dicinta karena ada rasa spesial di dalamnya.

Eila menarik bibirnya lebih dulu ketika pasokan oksigen berkurang, tapi tetap membiarkan jarak mereka tipis karena tak mau berpisah. Jibran tersenyum seraya menyelipkan helaian rambut Eila ke belakang telinganya, menatap sang pujaan semanis mungkin setelah ciuman kedua mereka.

“I love you so much, Eila ….”

“I love you too, Jibran ….”

Ada jeda dua menit setelah ucapan cinta digaungkan oleh keduanya, sampai akhirnya ciuman Jibran dan Eila kembali berlanjut dengan rasa serupa. Di penghujung waktu sebelum mereka harus terpisah, sang aktor bersama sang partner bagikan afeksi yang kuat dan tidak akan terlupakan dalam waktu singkat.


Jangan lupa komentarnya, ya ^^

Pagi ini Jibran bangun di kamar lain yang luasnya lebih mungil, kasurnya pun hanya muat untuk satu orang, dengan berbagai macam poster film—termasuk poster filmnya. Jibran juga tidak bangun hanya mengenakan boxer, tapi mengenakan kaus hitam dan celana training yang beruntung ukurannya pas di badan.

Ya, Jibran jadi menginap di kediaman Eila dan Natta, di mana si bungsu Madaharsa menginap di rumah temannya dan baru pulang hari ini. Bila berpikir Eila langsung mengizinkan Jibran untuk menginap, maka itu salah. Pasalnya Eila sempat mengusir Jibran dengan air mata yang masih berlimpah. Namun, setelah dibujuk dengan alasan Jibran akan menjaga Eila dan membawa-bawa nama Trian sebagai jaminan, akhirnya sang puan luluh juga.

Meski kamar Natta tak seluas kamarnya, Jibran tetap tidur lelap tanpa terbangun tiba-tiba. Bedanya Jibran bangun pagi sekali dari biasanya lantaran ada bunyi yang mengganggu dari luar. Kala diperiksa, waktu baru menunjukkan pukul lima, mentari saja belum menunjukkan figurnya untuk menyinari pagi ini. Saat Jibran keluar dari kamar dengan mata setengah terpejam, ia menemukan Eila yang tengah sibuk di dapur dengan adonan croffle.

“Good morning.”

Suara halus Eila menyapa Jibran yang belum menunjukkan batang hidung di hadapan sang dara, tapi dia sudah tahu bahwa pria yang semalam mendekapnya erat telah bangun.

“Ambil aja minum sendiri, ya. Aku lagi agak sibuk. Kalau mau air dingin langsung dari kulkas. Susu juga ada.”

Jibran hanya mengangguk dan berjalan menuju kulkas, membukanya, lalu mengambil sebotol air es untuk menyegarkan tenggorokannya. Setelah itu Jibran pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya, tentunya tidak menyatu dengan kamar Natta seperti di rumahnya.

Begitu merasa segar, Jibran kembali ke dapur dan berdiri di samping Eila yang sibuk menggulung adonan croissant, lalu memindahkannya ke wadah yang sudah dipenuhi gulungan croissant.

“Boleh minta tolong? Ini masih ada 50, jadi aku butuh bantuan. Biasanya ada Natta, tapi sekarang nggak ada. Makanya aku mau manfaatin kamu supaya aku nggak kerja sendiri.”

Permintaan sekaligus perintah itu tidak bisa Jibran bantah. Terlebih ketika Eila memasangkan Jibran apron berwarna pink dengan border logo Sweet Crown di bagian sakunya. Eila juga memasangkan kedua tangan Jibran dengan sarung tangan plastik agar adonan tetap bersih. Apron pink itu sangat kontras dengan kaus Jibran, sampai-sampai Eila tertawa karena baginya sang pria terlihat menggemaskan. Kalau begini, Jibran lebih memilih apron merah mencolok yang Eila kenakan daripada warna pink.

Jibran menaikkan sebelah alisnya ketika Eila malah menatapnya berbinar. Eila seakan tengah memberikan pujian yang tidak terlalu Jibran pahami.

“Kenapa?”

“Waktu itu aku lihat pemandangan pagi yang indah banget di rumah kamu.” Eila mengelus surai Jibran dan merapikannya agar tidak berantakan. “Sekarang pemandangan indahnya pindah ke rumah aku.”

Jibran melebarkan senyum, ikut memberikan pujian di baliknya karena ia pun senang bisa melihat pemandangan terbaik di pagi hari setelah meluruskan perihal perasaan dengan Eila.

“Kamu bangun sepagi ini buat bikin adonan croissant?”

Jibran sengaja mengalihkan topik dibandingkan menyuarakan pujian di pikirannya. Bukan apa-apa, Jibran tidak mau fokus Eila jadi terbagi dan pekerjaannya jadi terbengkalai.

Eila yang paham kembali pada adonannya yang masih tersisa banyak. “Aku bangun jam 3 buat bikin adonan croffle dan sekarang hampir selesai kalau kamu mau bantuin.”

Jibran tertawa seraya berdiri di samping Eila. Tanpa banyak bicara, Eila mengajarkan Jibran cara menggulung croissant yang langsung diikuti oleh sang aktor agar lekas mampu. Sekitar tiga kali percobaan, Jibran berhasil menggulung adonan lebih rapi dengan ukuran yang seimbang.

“Aku kira kamu bikin croffle pake adonan yang beli dari orang lain, frozen gitu. Terus baru kamu olah jadi croffle,” ucap Jibran sembari terus menggulung adonan, sedangkan Eila memasukkan wadah tertutup berisikan adonan croissant ke kulkas. “Tapi nggak heran rasanya lebih enak. Ditambah lagi yang bikinnya juga orang spesial.”

Di tengah kesunyian fajar, Eila tertawa mendengar kalimat terakhir Jibran bak gombalan receh dari orang sekaku dia.

“Aku diajarin bikin adonan croissant sama mendiang Mama. Beliau punya toko roti kecil-kecilan yang sekarang jadi tempat jualan aku. Karena croffle lagi viral, jadi, kenapa nggak aku buka usaha yang sama? Tentunya nggak gampang karena aku belum punya banyak modal. Mau coba endorse artis atau influencer, modalnya lebih nggak punya lagi. Aku bisa aja minta bantuan Kak Trian buat hubungin seleb siapa gitu, karena dia punya banyak koneksi. Tapi aku nggak enak karena dia udah biayain Natta kuliah, jadi semua modalnya harus dari aku.”

Setelah menggulung sepuluh croissant, Jibran berhenti demi menyimak cerita Eila. Teringat Trian pernah cerita tentang orang tuanya yang telah tiada dan harus bekerja sama dengan adik pertamanya untuk menghidupi sang bungsu.

Selain itu, Trian tidak banyak cerita soal keluarganya karena dia membatasi hal pribadi dengan pekerjaan. Namun kini, keadaan berubah kala Jibran bisa dekat dengan dua adik Trian, khususnya Eila yang sejak dulu sudah ia taksir.

“Untung kamu ketemu aku, Eila. Aku nggak akan ragu buat promosiin usaha kamu.”

Eila tersenyum lebar seraya berkacak pinggang dan menatap Jibran. “Makanya aku berterima kasih banget karena berkat kamu, usaha aku beneran bisa berkembang. Selama kita nggak ketemu, aku bisa dapat order sampai 300 croffle dalam sehari dan nggak berhenti.”

Jibran takjub dan ikut gembira mendengar kabar baik itu. “Kirain kamu sengaja ngehindar setelah aku confess.

“Sejujurnya aku manfaatin kerja buat ngehindarin kamu,” ungkap Eila jujur. “Plus, aku juga nggak bisa bagi waktu buat latihan karena ada banyak order. Soalnya aku bikin adonan, masaknya, sampai packing cuma sendiri. Kadang dibantu Natta pas lagi luang dan jangan khawatir, dia rajin banget walau nantinya ngutang.”

Jibran melepaskan sarung tangan dan meletakkannya di samping adonan yang masih belum ia gulung. Jibran raih daksa Eila, melingkarkan lengan kirinya di sekitar pinggang sang puan yang membiarkan raganya terkurung oleh gagahnya rengkuh.

“Kamu udah lakuin yang terbaik, Eila. Aku bakal bantu promosi setiap hari supaya usaha kamu makin besar. Terus kamu punya pegawai supaya nggak ngerjain sendiri.”

Eila melingkarkan kedua lengannya di leher Jibran. Hanya dengan kejadian satu malam yang diselimuti emosi, mereka bisa seerat ini. “Kamu juga udah lakuin yang luar biasa, Jibran. Aku bakal bantu kamu latihan sampai bisa peranin Jeremy dengan baik. Aku yakin akting kamu nggak akan ngecewain karena kamu sehebat itu.”

Jibran sudah sering mendapatkan pujian, tapi terdengar jauh lebih spesial karena Eila yang mengatakannya. Sama halnya seperti pujian dari penggemar, hanya saja beberapa tingkat di atasnya.

“Aku nggak nyangka kita bisa berdua aja di rumah ini.”

“Aku juga nggak nyangka bisa pelukan sama aktor yang belum mandi dan mau aja disuruh gulung adonan croissant.”

Eila mendorong Jibran hingga dekapan mereka terlepas, tapi sang aktor tak berniat untuk meraihnya kembali. Jibran justru tertawa tanpa beban, karena kini dia tidak perlu menutupi segala rasa yang ia miliki, tapi tentunya masih dengan batasan tersendiri karena masih perlu bersembunyi.

Well, tidak masalah. Selama Jibran dan Eila masih bersama-sama, memadu rasa yang tengah mekar, mereka akan melawan rintangan yang mencoba memisahkan. Bagian yang paling penting dari segalanya, Jibran dan Eila akan menjadi support system satu sama lain demi menguatkan diri.

“Kita lagi diikutin, Jibran. Apa kamu sadar itu?”

Pertanyaan Trian ditanggapi dengan anggukan karena sejak awal mereka pergi dari rumah Jibran, sang aktor sudah sadar tengah dibuntuti oleh mobil Fortuner hitam—mobil serupa yang sebelumnya juga mengikuti Jibran setelah menyelesaikan schedule-nya. Namun, Jibran tidak peduli dengan mobil yang terus berada di belakangnya dengan jarak aman dan berharap kehadirannya tidak diketahui. Pasalnya pikiran Jibran hanya terisi penuh oleh suara Eila setelah membuat pengakuan panjang hingga menangis.

Ya, sejak awal Eila menghubungi Trian, Jibran mendengar semuanya tanpa jeda. Saat itu Trian sedang ada di rumah Jibran untuk membicarakan soal schedule di depan mata. Ketika panggilan telepon masuk dari Eila, Jibran tak berpikir aneh-aneh meski menahan diri untuk tidak titip sapa agar sang puan tahu dia tengah bersama Trian. Awalnya Jibran cuek saja—sekaligus meredam rindu yang sudah ia tahan selama beberapa hari sebab tidak bertemu Eila, bahkan minim komunikasi.

Namun, ketika di awal cerita Eila sudah membawa nama sang aktor, Jibran gagal menudungi rindu dan menajamkan rungu demi menyimak segalanya. Dimulai dari Eila yang ternyata mengakui perasaan untuk Jibran pada sang kakak, lalu Eila yang berharap bisa memiliki Jibran, beberapa alasan yang membuat Eila memilih untuk tidak mengakui perasaannya, ketakutan yang ia melanda jika Jibran bersamanya, sampai terakhir soal Mia yang rupanya menyuruh Eila untuk menjaga jarak dari Jibran.

Semua fakta yang seharusnya didengar oleh Trian seorang membuat Jibran ikut kegirangan—khususnya soal perasaannya yang ternyata terbalas. Tentu saja Jibran tidak bisa mengabaikan kenyataan lain, seperti pesan dari Mia dan Eila yang menangis tanpa henti. Well, tangis Eila yang membuat Jibran tergerak untuk akhirnya bersuara, yang secara langsung membuka diri bahwa dia mendengar segalanya.

Jibran tidak mau Eila sendirian merasakan hal-hal buruk itu, di saat Jibran bisa menerima hal serupa untuk menjadi teman berbaginya. Lantas kini, setelah sedikit berdebat dengan Trian yang akhirnya luluh juga, Jibran diantar ke rumah Eila dengan risiko dibuntuti oleh orang asing yang penasaran dengan kehidupannya. Trian khawatir dengan aktor yang diurusnya, lain sekali dengan Jibran yang hanya dipenuhi soal bagaimana keadaan Eila di kediamannya.

“Aku telepon Eila dulu,” ujar Trian setelah mobilnya terparkir di depan gerbang rumah bercat putih, dengan taman di halaman yang ditanami bunga mawar yang tengah tumbuh.

Ada pula kedai kecil di samping pintu utama yang sudah tutup, di mana terdapat logo Sweet Crown pada pintunya. Di situlah Eila membuka usahanya yang kini tengah berkembang.

“Kamu mau masuk rumah juga?” tanya Jibran sedikit tak suka karena niatnya ingin memiliki waktu berdua agar bisa bicara empat mata. Kalau Trian ikut masuk juga—

“Tenang, aku paham kamu butuh ngomong empat mata sama Eila. Entar aku dikatain ikut campur urusan pribadi orang kalau masuk.”

Jibran mendesah lega dengan kepekaan Trian yang untuk saat ini tidak mengatur, apalagi mengomel tidak jelas padanya. Trian sudah menempelkan ponselnya ke telinga dan menunggu panggilan tersambung pada Eila, sedangkan Jibran harap-harap cemas.

Saat panggilan akhirnya tersambung, Jibran memberi kode tanpa bersuara agar Trian menyalakan speaker. Train yang paham langsung menjauhkan ponsel dari telinganya, lalu menyalakan pengeras suara agar Jibran bisa ikut mendengar tuturan Eila.

“Kenapa telepon aku?” Suara Eila sedikit bergetar, seakan tangisnya masih tersisa.

“Aku udah di depan rumah, nih. Tolong buka pintu. Aku males mencet bel.”

Jeda sejenak, lalu tak lama Eila bersuara, “Kamu atau Jibran yang datang?”

Dugaan itu membuat Trian dan Jibran panik, tapi untungnya sang kakak bisa mengendalikan situasi sebelum Eila tambah curiga.

“Ini beneran aku. Jibran aku larang datang. Soalnya gawat, bisa-bisa malah ngebucin.”

Jibran melotot memberi sanksi, tapi diabaikan Trian karena masih menunggu respons Eila yang terbilang lama. Trian yakin Eila masih menaruh curiga, tapi dia pun yakin adiknya akan luluh.

“Buruan. Ini aku bawain list order croffle banyak. Aku harus kasih langsung biar jelasin order-nya apa aja.”

“Yaudah, bentar.”

Jibran dan Trian sama-sama puas karena Eila luluh dengan alasan order croffle. Jibran membantinkan maaf karena Trian sudah berbohong, tapi turut senang ketika mendengar suara pintu yang kuncinya dibuka. Artinya Eila percaya bahwa hanya Trian yang datang, tanpa Jibran yang tengah mempersiapkan diri untuk bertemu sang pujaan.

“Udah aku buka. Bener ya nggak sama Jibran?”

“Iya,” jawab Trian tegas. “Emang kenapa sih kalau dia ikut? Takut banget. Sekarang atau nanti juga bakal ketemu.”

“Yaudah, ketemu nanti aja. Sekarang nggak usah,” balas Eila yang nada bicaranya sedikit meninggi, pertanda kurang nyaman membahas soal Jibran.

Sang aktor yang dibicarakan malah menahan tawa karena sebenarnya sekarang dia di sini, menunggu waktu untuk masuk ke rumah Eila dan bicara empat mata.

“Kamu langsung masuk aja tanpa mencet bel atau ketuk pintu, ya. Nanti Eila curiga kalau kamu begitu,” ucap Jibran setelah sambungan telepon terputus.

“Enggak apa-apa?”

“Enggak apa-apa. Mending gitu, lagian adik aku juga nggak akan lagi aneh-aneh. Terus … ini aku nggak enak sebenernya, tapi kalau bisa dan masalahnya langsung beres, kamu nginap aja buat temanin Eila. Soalnya Natta nginap di rumah temannya, jadi aku nggak mau dia sendirian.”

Jibran mengerjap, semangatnya langsung duduk tegak dan menatap Trian tak percaya. “Serius?”

“Catatan, masalahnya langsung beres,” tegas Trian seraya mengangkat jari telunjuknya. “Udah, sana. Jangan lama-lama di sini. Nanti Eila curiga.”

Jibran mengangguk dan bergegas melepas seatbelt-nya. Jibran menepuk bahu Trian dua kali seraya berkata, “Thanks, Calon kakak ipar. Doain yang terbaik.”

“Geli! Cepetan pergi!”

Jibran terkekeh pelan sembari membuka pintu dan keluar dari mobil. Tanpa berlama-lama, Jibran lekas berjalan menuju rumah Eila dan menyiapkan banyak nyali di setiap langkahnya. Ini kedua kalinya Jibran ke rumah Eila, tapi dengan tujuan berbeda.

Sebelumnya Jibran mengantar Eila pulang karena saat itu sudah malam tanpa sempat masuk untuk bertamu, sedangkan hari ini dia datang untuk meluruskan perihal perasaan yang sama-sama mereka miliki. Sesuai perintah Trian—yang hari ini sedang baik—Jibran langsung masuk ke rumah Eila yang masih terang. Aroma butter menyambut Jibran, seakan dia sedang di toko kue, bukan di rumah seseorang.

Setelah menutup pintu, Jibran berjalan dengan hati-hati dan matanya memandang ke sana kemari untuk mencari jejak Eila. Hening sekali, sampai Jibran khawatir Eila sebenarnya tahu dia yang datang dan sekarang tengah sembunyi. Jibran tidak ingin membiarkan itu, karena bagaimanapun mereka perlu bicara, bukan bermain petak umpet.

“Ada berapa order-nya? Aku nggak bisa bikin sekaligus karena lagi banyak juga. Jadi, kalau bisa nunggu dulu atau kamu bantu—”

Suara yang berhenti mengudara itu mengundang atensi Jibran dan berhasil menemukan sosok yang begitu damba untuk ditemuinya. Eila yang baru keluar kamar lagi memaku di tempat, seketika pikirannya kosong saat hatinya memberi instruksi untuk kabur.

Sama halnya dengan Jibran yang tak langsung mendekati Eila, dia malah mengamati penampilan sang puan dari atas hingga bawah. Eila mengenakan piama berwarna marun dengan celana selutut. Sebelum Eila benar-benar kabur, Jibran segera beraksi tanpa mau menunggu.

“Aku ke sini diantar Trian dengan kemauan sendiri,” Jibran menjawab tanda tanya yang tertera jelas di wajah Eila. “Aku juga udah bilang mau ke sini buat tenangin kamu.”

Eila yang sudah kepalang malu tak berani untuk kabur. Menghindar pun sudah terlambat karena Jibran kini ada di depannya dengan segala hal yang ia dengar lewat telepon. Jadi, mau tidak mau, Eila harus menghadapi Jibran dengan nyali seadanya. Pikiran Eila sudah terisi penuh, tapi ia tetap bingung untuk mencari kata tepat demi membalas Jibran.

Eila tidak berniat menyangkal semua pengakuannya di telepon karena tahu itu percuma. Namun sayang, lisannya tak mampu bersuara, terlebih ketika Jibran mengambil dua langkah mendekat dan menyisakan tiga langkah lagi jika mereka ingin lebih dekat.

“Maafin aku karena Trian harus ngebohong soal order. Kalau nggak gitu, kamu belum tentu ngasih aku izin masuk. Tapi di luar itu, aku mau balas semua yang kamu bilang tadi. Jadi, tolong dengar sampai aku selesai.”

Eila tidak merespons, tapi ia patuh dengan perintah itu. Jibran kembali mengambil satu langkah mendekat, menyisakan dua langkah lagi untuk merapat. Namun, Jibran sengaja sisakan jarak itu agar nantinya Eila yang membuat pilihan setelah mendengar balasannya. Apakah Eila mau meneruskan langkah bersamanya atau tetap di jalannya sendiri.

“Kamu perempuan pertama yang berhasil ngasih tahu aku soal perasaan yang namanya kagum, suka, dan cinta. Aku jaga perasaan itu untuk beberapa lama, tanpa peduli aku harus patah hati karena bertepuk sebelah tangan. Setelah cukup lama, aku bisa pendam perasaan itu dan berpikir semuanya udah nggak ada buat kamu. Tapi saat kita ketemu lagi—dan aku akui itu karena keinginan sendiri—ternyata aku masih ngerasain hal sama dan sadar perasaan itu nggak pernah hilang buat kamu, Eila.

“Jadi, jangan takut untuk ngakuin perasaan kamu ke aku. Jangan ngerasa nggak sepadan sama aku, karena kita tetap sama tanpa mandang apa yang aku punya. Soal karier, kamu nggak perlu khawatir karena aku bakal urus semuanya. Aku bakal jagain kamu kalau seandainya publik tahu. Aku nggak akan pernah lepasin tangan kamu, nggak akan biarin kamu jauh tanpa pengawasan, dan selalu ada saat kamu kesulitan.

“Aku nggak akan jadi siapa-siapa tanpa kamu, Eila. Karena berkat perasaan ini, aku jadi kayak sekarang. Kamu emang nggak ada di sana saat awal aku berkarier, tapi selalu ada kamu yang jadi alasan aku begini. Jadi, aku harap kamu mau jadi bagian dari langkah aku ke depannya, karena saat sama kamu itulah aku ngerasa lengkap.”

Bolehkah Eila menangis? Oh, tidak. Eila sesungguhnya sudah menangis, hanya saja dia tidak sadar kala kristal bening itu mulai bertumpahan untuk sekian kalinya dari pelupuk mata. Jibran mengepalkan tinjunya, menahan diri untuk tidak langsung memeluk Eila demi menenangkannya dari tangis. Bukan karena tidak peduli, tapi Jibran ingin Eila menerimanya sesuai kemauan sendiri tanpa merasa dipaksa.

Katakanlah Jibran takut ditolak, tapi dengan begitu dia tak perlu bersusah payah mengikhlaskan Eila kalau ada di pelukannya. Eila embuskan napas berat, tapi tak mengurangi rasa sesak di dada. Eila yang terbiasa tegas justru jatuh berhamburan, tak sempat menolong harga dirinya.

“Gimana sama karier dan penggemar kamu? Apa kamu nggak takut dihujat atau … diomongin jelek-jelek?”

Jibran tersenyum tipis karena akhirnya Eila mau bicara. “Aku nggak takut sama sekali, Eila. Hujatan kayak gitu udah pernah aku terima, jadi bukan masalah lagi sekarang.”

“Terus gimana sama … orang tua kamu? Ditambah kamu juga udah dijodohin.”

“Aku bukan anak kecil yang bisa diatur. Aku punya keputusan sendiri dan kamu orangnya, Eila.”

“Tapi aku … bukan siapa-siapa …,” lirih Eila yang makin membiarkan kesusahan hatinya tumpah ruah.

Bukan demi menarik simpati, melainkan karena Eila tak mampu menahan diri lagi. Keinginannya untuk memiliki Jibran makin membuncah, tapi nyalinya untuk menuangkan itu semua menjadi keputusan tetap tidak mudah. Jibran menggeleng, dia tak setuju dengan anggapan Eila tentang dirinya sendiri.

“Kamu itu cinta pertama aku, nggak akan pernah berubah. Dulu aku nggak berani untuk berharap kita sama-sama, tapi sekarang saat tahu kita punya perasaan yang sama, aku nggak mau diam aja, Eila. Kamu boleh nolak aku, tapi aku nggak mau perasaan ini sia-sia karena nggak sampai. Lebih besar lagi, aku mau jalanin waktu yang tersisa sama orang berharga dalam hidup aku.”

Rasa percaya diri Eila berhasil timbul berkat ucapan Jibran, meski ketakutannya masih tersisa. Eila tidak takut untuk melawan dunia yang menentangnya, tapi ia takut Jibran yang akan menerima kecaman dari segala arah. Namun, ketakutan itu berhasil Eila tepis bersamaan dengan air mata yang tak kunjung habis. Digantikan dengan rasa ingin melindungi yang kuat agar Jibran bisa menghadapi semuanya. Ditambah lagi rasa ingin memiliki Eila tak bisa gugur begitu saja, terus menguat sampai sang puan tak mampu menahannya.

Biarkan air matanya terus tumpah, yang terpenting dia tidak takut melawan Semesta dengan pilihannya. Eila merobohkan dinding yang sempat ia buat untuk menjaga jarak, melaluinya dengan perasaan bebas, karena kali ini ia memiliki tujuan yang lebih besar; bersama-sama dengan Jibran dan melindunginya dari segala tirani dunia. Eila mengambil sisa langkah yang membentang, lalu memeluk Jibran seerat mungkin dan menumpahkan sisa air matanya.

Jibran langsung membalas dekapan itu sama eratnya, mencurahkan segala rasa yang sama meski tanpa aksara yang tertuang. Jibran elus surai legam itu, menenangkannya yang masih menangis. Jibran biarkan kausnya basah, yang penting Eila bisa lega.

Jibran juga merasakan kelegaan yang sama, karena dekapan ini menjadi tanda bahwa Eila menerimanya. Kini Jibran tidak akan merasa takut dengan apa pun, karena bagian dirinya telah lengkap. Jibran hanya perlu memastikan separuh dunianya akan selalu bersamanya, sama-sama menjadi zona nyaman yang jauh dari ancaman.

“Aku sayang kamu, Eila ….”

Eila tersenyum di balik tangisnya dan berkata, “Aku juga sayang kamu, Jibran.”

“Malam ini aku nginap buat temanin kamu, ya. Trian yang nyuruh.”

“Gi-gimana?”

Hampir 1,5k kata. Enjoy ^^


Soal perasaan masih menjadi misteri Tuhan yang tidak pernah bisa diduga oleh manusia. Ketika orang bilang bahwa Tuhan Maha Membolak-balikan perasaan hamba-Nya, maka itu benar adanya. Pasalnya apa yang dikatakan oleh banyak orang tengah dialami oleh Ardania Eila Mahadarsa. Seorang wanita yang sedang tidak mengharapkan cinta setelah gagal beberapa kali, lalu dipertemukan dengan pria luar biasa yang baginya hanya pria dalam mimpi, tapi siapa sangka Eila malah jatuh hati, dan kini malah ingin memiliki.

Sesungguhnya saat Eila sudah menjatuhkan pilihan untuk membiarkan perasaannya mekar untuk Jibran, dia tidak pernah berharap sang pria akan membalas. Namun, kala Jibran mengaku bahwa dia memiliki perasaan yang sama, bahkan jauh sebelum Eila memilikinya, sang puan tak mau begini saja. Lisannya saat itu boleh hanya mengucapkan terima kasih, tapi hatinya mengatakan aksara lain yang hanya diketahui oleh dia dan Tuhan.

Saat itu, relung hatinya berkata bahwa ia menginginkan Jibran untuk menjadi miliknya seorang. Tanpa peduli apa status Jibran dan apa anggapan orang-orang terhadap Eila. Pasalnya sejak dulu, ketika Eila menyukai seseorang dan orang itu menyukainya juga, maka saat itulah harapan untuk memiliki muncul dan pasti Eila akan bersama orang yang dia suka.

Namun, kasus kali ini berbeda, karena Jibran bukan orang sembarangan yang bisa Eila harapkan tanpa pertimbangan panjang. Jibran seorang selebritas, memiliki nama besar yang tidak bisa disepelekan, ada banyak orang yang mengaguminya dan berharap bisa menjadi Hawa yang beruntung karena dicintai sang Adam, ditambah lagi katanya Jibran sudah dijodohkan.

Beberapa hal itu menjadi pertimbangan penting jika Eila ingin mengaku bahwa dia juga menyukai Jibran, apalagi sampai memberi tahu keinginannya soal memiliki sang pria.

Ini baru pukul 7 malam, tapi Eila sudah berada di kamarnya yang hanya diterangi lampu tumblr berwarna gold yang melintang di dinding kamar membentu namanya. Eila duduk sembari memeluk lututnya, sedangkan tangan dan netranya fokus pada ponsel. Eila membuka Twitter, salah satu media sosial yang sering ia gunakan. Selain untuk bercuit di akun pribadi sebagai tempat pelampiasan hati, Eila juga mempromosikan usahanya di sana yang sedang berkembang berkat bantuan Jibran.

Di timeline-nya sekarang, sedang ramai soal audisi untuk film terbaru Jibran yang sudah berlangsung tiga hari lalu. Foto-foto Jibran saat proses audisi pun tersebar luas, baik dari penggemar sampai media online. Semua kolom reply dan QRT dipenuhi oleh komentar penggemar serta penonton yang tak sabar dengan film terbaru dari sang aktor laga.

Eila membaca balasan pada salah satu akun berita online yang mengunggah berita soal audisi. Senyumnya tak bisa ditahan karena Eila senang banyak yang merespons baik film Perfect Wife sejak masih proses awal. Eila juga bangga, karena orang-orang akan melihat akting terbaik Jibran di film genre romansa pertamanya. Jibran masih dalam masa latihan, tapi perkembangan pesat sudah ditunjukkan dan Eila yakin hasilnya akan sangat luar biasa.

Senyum Eila perlahan memudar ketika membaca beberapa balasan yang komentarnya kurang enak kala dibaca. Bukan komentar miring soal filmnya, tapi soal siapa yang akan berperan dengan Jibran.

Gue berdoa semoga Jibran gak cinlok! Gue gak rela, ya!

Gue udah lama ikutin Jibran dan nonton semua filmnya. Sekarang dia main film romantis tuh kayak ada nggak relanya. Sori kalau lebay, tapi gue nggak siap lihat dia pegangan, pelukan, apalagi ciuman sama cewek lain.

Belum apa-apa, udah mau bejek-bejek lawan mainnya Jibran aja!!!!!!!

Semoga Jibran kagak cinlok sama pemainnya. Gue belum rela lihat dia pacaran. Banyak juga fans Jibran yang belum rela dia pacaran. Pokoknya jangan!!!!!

Komentar terakhir mendapat seribu like, 675 retweet, dan QRT sebanyak 350 yang mayoritas menyetujui komentar tersebut. Akibatnya Eila terpengaruh, karena artinya banyak penggemar yang tidak merestui bila Jibran berkencan dengan seseorang. Eila menjatuhkan ponselnya begitu saja karena tak mampu membaca lebih banyak komentar buruk soal Jibran.

Apa yang dikhawatirkan memang belum terjadi, tapi Eila tetap merasa ngeri membaca pembahasan miring terkait sesuatu yang akan Jibran alami di masa mendatang. Namun, kengerian itu juga berdampak pada keinginan Eila untuk mengikuti hatinya agar mengaku suka dan memiliki Jibran. Bukan saja demi memenuhi hati yang ingin diisi, tapi demi melindungi sosok yang berarti. Sayang, Eila tak bernyali. Karena jika nantinya kabar Jibran dan dirinya terendus massa, maka Jibran bisa kena getahnya berupa ulasan negatif soal dirinya.

Ada ngilu yang menghambur ke seluruh tubuh dan gagal membuatnya kukuh. Debar jantungnya berdebar hebat, antara mencari balasan cinta serta ketakutan ketika mendapatkannya. Tak mampu menahan diri seperti biasa, Eila kembali raih ponselnya dan menghubungi seseorang yang bisa membuatnya tenang.

Eila tempelkan ponsel di telinga, sedangkan sebelah tangannya masih memeluk lututnya yang mulai bergetar. Saat panggilan akhirnya tersambung, Eila lantas bersuara.

“Kak,” panggilnya, “kamu di rumah?”

Ya, Eila menghubungi kakaknya, Trian. Laki-laki menyebalkan, tapi anehnya bisa menenangkan Eila di situasi begini kala dibutuhkan.

“Iya, aku di rumah. Kenapa, Dek?”

“Aku mau jujur soal sesuatu. Boleh?”

“Silakan aja. Aku dengerin sampai tuntas.”

Jika Trian sudah bicara begitu, maka dia pasti akan mendengarkan tanpa menyanggah atau mengomentari hal yang tidak perlu. Lantas ketika Eila sudah diberikan lampu hijau untuk bicara, ia mempersiapkan runtunan kata yang telah dihimpun di ujung lidah dan ingin segera dilepaskan.

“Kamu ingat waktu aku bilang udah suka sama Jibran? Terus waktu Jibran tiba-tiba confess, aku bilang pengen banget milikin dia? Itu … nggak bercanda, Kak. Aku mau banget sama Jibran, aku mau kami saling memiliki karena punya perasaan yang sama, aku mau kami bisa berdampingan sebagai pasangan, bukan partner biasa. Tapi waktu Jibran bilang suka, aku nggak berani ngaku karena ada banyak pertimbangan dan akhirnya aku gagal bilang. Selain aku ngerasa nggak sepadan sama Jibran, dia juga punya karier yang harus dipertahankan, punya penggemar yang bisa aja patah hati atau marah dan nyalahin Jibran kalau aku sama dia. Ini—tunggu! Kenapa aku harus nangis, sih?”

Eila tak mampu menahan genangan air yang telah menumpuk di pelupuk, yang akhirnya runtuh jua tanpa bisa ditampung. Tidak ingin menutupi apa pun, Eila biarkan hati menyuarakan rintihan dengan lantang. Sembari lisannya mempersiapkan aksara untuk kembali bicara.

Eila menyeka air matanya yang membasahi pipi, tapi percuma saja karena genangannya tak kunjung berhenti. Belum juga memiliki, tapi patah hatinya sudah begini. Padahal perasaan Jibran dan Eila tidak bertepuk sebelah tangan, tapi salah satu di antara mereka memilih diam tanpa mau bertepuk tangan.

“Ternyata bener kata kamu, Kak …,” isak Eila susah payah, “dalam situasi aku sama Jibran, pasti ada perasaan yang tumbuh. Saat aku ngerasain itu, aku nggak mampu nahan diri dan biarin mekar gitu aja. Sekarang aku harus patah hati, padahal bukan siapa-siapanya Jibran. Aku bisa aja cuekin penggemar Jibran, nggak akan cemburu lihat dia akting sama aktris lain karena itu hanya kerja, dan cuekin fakta kalau dia aktor karena aku nggak pernah mandang dia sebagai orang terkenal, tapi sebagai laki-laki biasa yang pengen aku miliki. Sayangnya setelah dipikir-pikir lagi, aku nggak bisa buang fakta itu gitu aja karena Jibran yang bakal lebih banyak ruginya. Belum lagi … Jibran mau dijodohin, yang berarti kesempatan aku sama dia sedikit banget.

“Ini … aku ngaku sama kamu aja ya, Kak.” Eila meluruskan kakinya ketika mengingat bagian penting yang menjadi alasan terbesarnya tidak bisa menerima Jibran. Tumpuan dari seseorang yang membuat Eila tak berani bertindak banyak. “Mamanya Jibran … chat aku dan nyuruh buat jaga jarak. Beliau nggak larang aku buat suka sama dia, tapi aku tahu beliau nggak akan kasih satu pun restu kalau aku sama Jibran. Makanya aku nggak berani ngaku, padahal aku mau banget luapin semuanya juga biar Jibran tahu perasaan aku, tapi semua itu percuma aja karena aku sama Jibran nggak akan berakhir bahagia. Iya, ‘kan …?”

Trian tidak menjawab, tapi Eila tidak masalah dengan hal itu karena untuk saat ini dia hanya ingin didengarkan agar muntahan kata di benak bisa tuntas. Eila boleh saja lega, tapi tangisnya makin tak bisa ditahan. Segalanya jadi kacau seakan hatinya diobrak-abrik tak keruan oleh takdir yang mengikat.

Kali ini Eila meluapkan perasaannya dengan air mata dan rintihan yang memilukan, berharap segala kesusahan hatinya bisa terurai bersama dengan alirannya. Tidak apa-apa hanya sesaat, asalkan Eila bisa kembali muncul di depan Jibran dengan kondisi yang sama, tanpa patahan hati yang telanjur sulit merekat.

“Kak, aku nggak bisa gitu aja hilangin perasaan ke Jibran. Jadi, boleh aku tetap suka sama dia? Aku janji nggak akan bilang ke dia.”

“Itu terserah kamu, Eila. Kalau kamu bisa nahan semuanya, aku nggak akan larang walaupun banyak khawatirnya.”

Eila tersenyum, meski hanya bertahan beberapa detik sebelum akhirnya kembali memudar. Ada jeda cukup lama karena Trian membiarkan Eila menangis lagi untuk menumpahkan sisa-sisa kesedihannya. Sekitar lima menit berjalan dan tangis Eila mereda, ada suara lain yang menyahut di seberang sana, membuat sang puan membeku hingga pegangan pada ponselnya menguat.

“Eila, apa mau aku ke sana dan tenangin kamu?”

“Jibran …?”

Hampir 1,5k kata. Enjoy ^^


“Mungkin kamu nggak akan percaya ini, tapi alasan aku minta bantuan ke kamu bukan semata-mata karena adiknya Trian. Aku minta bantuan karena kita pernah satu sekolah, aku pernah lihat kamu main drama, dan kamu orang yang aku suka itu, Eila.”

Saat diminta tolong untuk menjadi partner sang aktor ternama bernama Jibran Dava Adelard, Eila sudah mempersiapkan diri untuk terpesona kala melihat visual Jibran yang sering diagung-agungkan oleh banyak orang bersamaan dengan aktingnya. Eila juga sudah siap untuk menahan diri agar tidak histeris melihat seindah apa Jibran secara langsung dalam jarak yang dekat.

Eila bukan penggemar Jibran dan mengaku tidak pernah menonton filmnya, tapi bukan berarti sosok Jibran diabaikan olehnya. Bagaimanapun juga, Eila adalah perempuan normal yang bisa langsung melotot atau menghentikan segala aktivitasnya demi melihat laki-laki setampan Jibran. Jadi, tidak heran Eila butuh pertahanan diri yang tinggi agar tidak menunjukkan rasa kagumnya terhadap Jibran.

Namun, menyukai Jibran bukan sesuatu yang Eila siapkan sebelumnya, apalagi ketika pria itu mengaku memiliki rasa yang sama—bahkan sudah jauh lebih dulu memiliki rasa itu sebelum Eila—jelas sangat mengejutkan sampai-sampai Eila nyaris kehilangan napas.

Fakta bahwa mereka satu sekolah bisa Eila terima, tapi pernah melihatnya bermain drama dan ternyata Eila adalah perempuan yang Jibran suka? Rasanya seperti mimpi yang tak akan menjadi nyata, jadi Eila mengira bahwa ini masih bagian mimpinya.

Suasana berubah kaku dan dingin, bagaikan es yang sulit mencair. Eila menatap lurus ke arah Jibran, tapi pandangannya kosong seakan isi pikirannya ikut terhapus tanpa sisa. Lain dengan Jibran yang justru menatap Eila harap-harap cemas, sampai dadanya bergemuruh tak tenang kala menantikan respons yang akan diberikan oleh Eila.

Waktu seakan berjalan lebih lambat, ditambah lagi jeda yang ada di antara mereka tidak bisa dibilang sebentar. Bunyi jarum jam yang bergerak di ruang tengah terdengar hingga ke ruang makan, menjadi pertanda bahwa kesunyian di antara Jibran dan Eila sudah memprihatinkan dan butuh segera dipecahkan.

Beruntung, Eila sadar di waktu yang tepat. Karena jika Eila tidak kunjung bereaksi, Jibran sudah berencana tertawa dan meralat semuanya bahwa itu hanya gurauan belaka. Jibran tahu alasan itu terdengar konyol, tapi daripada dia menanggung malu, lebih baik begitu. Kini Eila menegakkan posisinya dan matanya memindai ke sana kemari seolah mencari jawaban yang pas.

Tak lama, barulah ia bertanya, “Soal yang pernah lihat aku main drama itu … beneran?”

Jibran lega karena akhirnya Eila merespons, sekaligus terkejut karena hal pertama yang Eila tanyakan adalah soal drama. Bukan perihal mereka yang satu sekolah, apalagi soal Eila yang Jibran suka.

“Iya,” jawab Jibran seraya mengangguk. “Bahkan aku salah satu siswa yang bikin properti buat drama kamu.”

“Apa?!”

Eila memekik hingga matanya membulat sempurna. Sampai-sampai Jibran tersentak ketika mendengarnya. Eila lantas berdiri, lalu berjalan menjauhi Jibran untuk memutar otaknya yang bekerja lebih lambat dari biasanya. Jibran tak tinggal diam. Kakinya mengikuti Eila yang berjalan di sekitar rumah dengan langkah pelan, tapi tentu dengan jarak yang cukup jauh untuk memberikan Eila ruang sendiri.

Eila gigit kukunya, mencoba mencerna beberapa fakta yang ia dapatkan tanpa pernah diduga. Pernah satu sekolah dengan aktor saja tidak pernah Eila sangka-sangka. Apalagi kalau ditambah fakta bahwa Jibran tidak hanya menonton dramanya, tapi juga terlibat dalam persiapan yang cukup menguras tenaga. Astaga! Takdir macam apa ini?

Eila berbalik menghadap Jibran dengan napas terengah seakan ia sudah lari marathon, padahal hanya pikirannya yang berlari ke sana kemari akibat fakta yang masih belum bisa ia terima dengan nalar—terlebih fakta terakhir. Jibran kembali harap-harap cemas, sampai ia menyembunyikan kedua tangan di balik punggungnya dan menantikan Eila untuk bicara lagi setelah lebih tenang.

“Kok bisa? Maksudnya … kenapa orang kayak kamu bikin properti buat drama?”

Jibran mengangkat kedua bahunya. “Apa maksudnya orang kayak aku?”

“Kamu aktor, kamu kerjanya di depan kamera, tapi saat itu kamu malah bikin properti buat aku yang aktingnya aja berantakan. Itu … aneh banget.”

Jibran tersenyum, nyaris tertawa sebenarnya jika saja dia tidak bisa mengendalikan diri. “Eila, aku bukan siapa-siapa pas masih sekolah. Aku nggak punya nama besar, fisik yang sempurna, apalagi dapat banyak pujian kayak sekarang. Dulu aku cuma siswa biasa yang wajib belajar di sekolah, terus nyari aktivitas lain buat isi waktu dan itu adalah bikin properti drama, di mana ada kamu di situ sebagai pemeran utama.”

Alasan itu bisa Eila terima, tapi fakta bahwa Jibran menonton dramanya tetap belum bisa dicerna dengan baik. Rasanya masih mengganjal karena masa lalu memalukan itu diungkit. Saat itu Jibran boleh bukan siapa-siapa, tapi kala Jibran mengatakannya sekarang saat dia sudah punya nama besar, keganjilan justru dirasakan Eila seakan tidak seharusnya sang aktor begitu. Eila menggeleng pelan, mencoba menepis segala hal aneh dalam pikirannya dan fokus pada kenyataan di depan.

“Jujur, sebelum kita ketemu, aku nyari tahu soal kamu di Google dan cukup kaget waktu dapat fakta bahwa ternyata kita pernah satu sekolah. Aku juga nggak tahu kamu saat sekolah, tapi aku mikir kamu laki-laki popular yang kebetulan aku nggak tahu aja. Soalnya … di sekolah aku bukan siswa yang tahu banyak orang. Aku lebih suka di kelas dan pertemanan aku sempit banget. Aku kenal sama semua orang di kelas, sedangkan yang nggak satu kelas, aku nggak akan kenal. Aku nggak berani bilang kita pernah satu sekolah waktu pertama ketemu karena mikirnya nggak akan penting juga buat kamu. Lagian … belum tentu juga kamu kenal aku, jadi milih nggak bilang supaya kesannya aku nggak sok akrab. Makanya waktu kamu ngaku sendiri bahwa kita satu sekolah, kamu lihat drama aku dan jadi tim properti, itu … aku nggak nyangka banget.”

Jibran bisa memahami penjelasan Eila walau harus susah payah menahan tawanya. Apa katanya tadi? Jibran laki-laki popular? Boro-boro. Ditaksir perempuan saja tidak pernah, apalagi popular. Namun, anggapan itu bisa Jibran terima karena Eila baru mengenalnya sekarang setelah terkenal.

Tidak heran juga jika Eila malah asing dengan sosoknya di sekolah yang hanya siswa biasa saat itu. Setelah beberapa saat dilanda kepanikan, kerutan di dahi Eila mengikis dan ia sudah bisa mengendalikan segala pikiran aneh di kepalanya. Eila pun lebih mampu mengendalikan diri, meski harus diakui debar jantungnya masih belum bisa diajak berkompromi.

“Jadi …, apa harus kita kenalan lagi supaya lebih akrab?” Eila mencoba memecahkan kecanggungan di antara keduanya, meski ia sendiri merasa aneh dengan topik yang dibuat. “Kita pernah satu sekolah, berarti bisa lebih akrab kayak teman alumni.”

Jibran tersenyum lebar sembari berjalan mendekat, lalu mengulurkan jabatan tangan pada Eila sebagai tanda bahwa ia menerima perkenalan kedua dengan identitas berbeda.

“Aku Jibran Dava Adelard. Aku satu sekolah sama kamu dan pernah lihat kamu main drama. Saat itu akting kamu bagus dan cantik, sampai bikin aku gagal fokus pas bikin properti setiap kamu latihan.”

Tanpa perlu jeda banyak, Eila membalas jabatan Jibran, tapi dengan perasaan lain yang tidak biasa. Pasalnya tangan Eila dingin, berlainan dengan telapak tangan Jibran yang hangat, seakan sudah mampu mengendalikan fisik, hati, dan pikirannya agar tidak berbuat ulah.

“Aku Ardania Eila Madaharsa, yang masih nggak nyangka bisa satu sekolah sama kamu.”

Meski di kepalanya berlarian banyak kata, tapi hanya itu yang sanggup Eila katakan setelah mampur mencerna segala fakta dari Jibran. Perkenalan ini berbeda, karena tidak hanya menunjukkan identitas lain sebagai dua orang yang sebenarnya bisa saling mengenal dan dekat sejak lama, tapi perasaan mereka pun tersalurkan meski masih banyak yang ditahan. Khususnya dari Eila sendiri yang membekam rasa di dada dan nyaris terlisankan saat telah di ujung lidah.

“Kamu … beneran suka sama aku?”

Masih dengan tangan yang saling berjabatan, Jibran cukup terkejut karena Eila mau membahas hal tersebut. Sebagai balasan, Jibran hanya mampu mengangguk yang segera direspons oleh Eila.

“Sejak kapan?”

“Sejak aku jadi tim properti dan lihat kamu latihan. Di situ aku kagum banget sama akting kamu. Sampai akhirnya rasa kagum itu nggak bisa aku tahan setelah lihat kamu di panggung. Saat itu aku sadar udah bukan kagum lagi, karena berubah jadi rasa suka sebagai laki-laki ke perempuan yang berharap bisa memiliki, tapi aku cuma bisa berpuas diri dengan lihat kamu jadi jauh, dan jadi salah satu doa waktu perpisahan supaya kamu ketemu orang yang sepadan sama kamu.”

Eila kembali syok hingga raganya membeku seakan ditembakkan oleh es yang tak mampu mencair sebesar apa pun usaha yang dikerahkan. Pengakuan Jibran soal masa lalu bukan sesuatu yang Eila siapkan, apalagi yang bersangkutan dengan perasaan karena baginya itu sesuatu yang tidak mungkin terjadi.

Lantas kini, setelah pengakuan terlisankan tanpa merasa ada yang membatasi perasaan dalam dada, Eila malah merasakan ketakutan besar untuk ikut mengakui perasaan yang ia sadar telah dimiliki untuk Jibran. Bukti bahwa Jibran pasti menerimanya ada di depan mata, tapi Eila terlalu takut untuk mengakui hal serupa karena dirinya merasa bukan apa-apa. Bibir yang terkatup itu terbuka sedikit, telah siap merapalkan rangkaian kalimat spontan yang kondradiktif dengan kenyataan.

Tanpa senyum, Eila berkata, “Makasih buat perasaannya, Jibran. Aku hargai itu.”

“Aku masih suka kaget waktu mama kamu tiba-tiba chat aku. Coba aja Kak Trian nggak ngasih nomor, pasti aman.”

Eila mengeluh pada laki-laki berstatus anak tunggal yang ibunya sempat bertukar pesan dengan sang puan. Masih menjadi salah satu momen paling mendebarkan, padahal permintaan Mia Yahya tidak aneh-aneh. Jibran yang diberi tahu juga ikut merasakan kekhawatiran Eila, tapi ketika mendengar wanita itu mengeluh, Jibran malah menahan tawa karena baginya keluhan Eila menggemaskan. Jibran sampai menunda menikmati croffle buatan Eila karena lebih fokus pada sang pembuat dibandingkan makanan buatannya.

“Tapi setelah itu mama aku nggak chat lagi, ‘kan?” tanya Jibran setelah bisa mengendalikan diri dari tawa.

“Enggak, tapi bisa aja nanti-nanti chat, ‘kan? Secara beliau sayang banget sama anak tunggalnya, terus butuh informasi dari siapa pun yang menyangkut anaknya, termasuk dari aku.”

Sorry, harusnya kamu nggak jadi incaran mama aku. Biasanya Mama emang tanya ke Trian, itu juga hitungannya jarang. Sekarang malah ke kamu.”

“It’s okay,” balas Eila enteng sembari memotong croffle menjadi bagian kecil, lalu menyodorkannya pada Jibran. “For you.”

Perlakuan manis itu mengundang senyum Jibran, yang kemudian memasukkan suapan croffle dari Eila ke mulutnya yang terasa lebih nikmat dari suapannya sendiri. Kalau dilihat sekilas, apalagi mereka hanya berdua di rumah, sang aktor dan sang partner terlihat seperti sepasang kekasih yang tengah menikmati quality time berdua tanpa gangguan siapa pun.

Harus diakui setelah latihan adegan ciuman itu, serta permintaan Jibran agar mereka tidak canggung, kedekatan Jibran dan Eila jadi lebih intens seperti pasangan yang baru mulai memadu kasih. Masih malu-malu yang tak ragu untuk memadu rayu. Awalnya mereka boleh lebih canggung sampai Eila sendiri khawatir dia tidak bisa mengendalikan diri, tapi untung mereka sudah tahu caranya untuk tenang di hadapan masing-masing setelah bertemu lagi hari ini. Sesi latihan tidak pergi dari ingatan mereka, justru menjadi alasan mereka sedekat ini.

“Satu jam lagi Trian sama Natta datang. Kayaknya kita harus act normal supaya nggak digodain.”

Jibran mengangguk setuju. Dia tidak mau rumahnya riuh karena Trian atau Natta mengungkit soal latihan waktu itu saat melihat Jibran dan Eila tampak seperti pasangan. Bisa-bisa Trian mengomel dan Natta malah menggoda tiada henti. Jibran dan Eila kembali menikmati croffle masing-masing, tapi tidak semesra sebelumnya dan secara tidak langsung membentuk benteng pertahanan dari godaan.

Di tengah keheningan yang berkuasa, rasa penasaran Jibran tiba-tiba merangkak naik soal alasan sesungguhnya mengapa Eila mau membantunya latihan hingga ke adegan-adegan yang membutuhkan sentuhan fisik. Maksudnya, mereka tergolong orang asing meski pernah satu sekolah—yang sampai saat ini Jibran belum berani akui pada Eila. Jadi, aneh sekali jika Eila mau saja melakukan kontak fisik selama latihan bersama Jibran.

“Eila, boleh aku tanya?”

Eila yang akan menyimpan piring ke dishwasher langsung menunda dan memilih merespons pertanyaan Jibran. “Silakan.”

“Aku tahu sekarang kita udah akrab, tapi tetap mau nanyain ini.”

Jibran membetulkan posisi duduknya dan sedikit mencondongkan tubuhnya agar lebih dekat dengan Eila. Sang partner menatap Jibran penuh minat, seolah tak sabar menunggu pertanyaan apa yang sekiranya akan diajukan.

“Kenapa kamu mau aja latihan kontak fisik sama aku yang bisa dibilang masih asing? Aku nggak maksud ungkit soal latihan yang itu, tapi—aku yakin kamu paham maksud aku.”

Tanpa perlu dijelaskan secara rinci, Eila paham maksud Jibran. Seharusnya sebagai aktor, Jibran sudah tahu jawabannya. Meski begitu, Eila tetap menjawab pertanyaan Jibran untuk menepis segala tanda tanya dalam benaknya.

“Dalam dunia peran, kita nggak pernah nebak akan akting sama siapa, tapi kita udah tahu harus apa dan siap untuk melakukannya. Aku dipercayai untuk jadi partner kamu selama latihan film romansa ini. Terus aku baca naskahnya dan jadi tahu harus apa sepanjang latihan. Makanya aku mau aja latihan adegan skinship, selagi kamu juga nggak keberatan dengan hal itu. Walau amatiran, aku juga pernah akting sama orang yang nggak terlalu kenal dan ada kontak fisik. Jadi, bagi aku itu nggak masalah sama sekali, selama kamunya juga nyaman.”

Jawaban Eila tak bisa Jibran bantah, karena yang ia katakan benar adanya. Setiap kali ditawarkan untuk audisi film baru, Jibran tidak pernah tahu siapa yang akan menjadi lawannya. Jibran baru akan diberi tahu setelah teken kontrak dan sesi pembacaan naskah pertama.

Termasuk di film Perfect Wife ini, Jibran belum menemukan pemeran utama yang tepat, tapi sudah tahu harus apa. Kalau boleh jujur, Jibran tidak ingin mencari pemeran utama untuk memerankan sosok Anata, karena Eila sudah cukup memenuhi standar dan tinggal diasah sampai matang bersama Jibran.

Namun, Eila bukanlah orang yang mau berada di depan layar. Jadi, Jibran harus berpuas diri menyaksikan akting Eila selama latihan, sebelum nantinya sang aktor memainkan peran dengan pemeran utama sesungguhnya.

“Makanya kamu nawarin juga untuk adegan skinship termasuk yang itu?”

Eila mengangguk seraya tersenyum lebar. “Sebagai partner latihan kamu, aku nggak ada bedanya kayak properti yang bisa kamu gunain saat butuh. Makanya aku berusaha ada saat kamu perlu properti itu.”

Lengkungan di bibir Jibran perlahan memudar, digantikan dengan ekspresi masam sebagai tanda bahwa dia tidak menyukai jawaban Eila. Bukan karena menyebalkan, tapi karena Eila menganggap dirinya serendah itu dengan menyebut properti semata. Padahal di mata Jibran, Eila jauh lebih berharga tanpa berpikir bahwa wanita di hadapannya properti atau barang yang digunakan demi kepentingan latihan.

Eila terlihat santai setelah mengatakan hal tersebut, lain sekali dengan Jibran yang mengetatkan rahangnya, berusaha menahan himpunan aksara untuk tetap berada di tenggorokannya dan jangan sampai merangkak naik ke ujung lidah, karena Jibran bisa gagal menahan segalanya. Di kala Eila pergi untuk memindahkan piring ke dishwasher, Jibran mengamati dengan mata menyipit tajam bak elang mengawasi mangsanya.

Tak lama Eila kembali duduk di hadapannya, masih terlihat santai seolah menganggap dirinya sebagai properti di mata Jibran bukanlah kesalahan. Makin diam, Jibran gagal mempertahankan rangkaian aksara itu untuk tetap berada di tenggorokannya. Sebab kini, lidah Jibran sudah siap menumpahkan segala hal yang ia tahan setelah menyinkronkan pikiran dengan hatinya.

Tak peduli dengan akibatnya, tak peduli dengan respons yang Eila berikan padanya, Jibran tetap ingin mengatakan hal ini pada Eila agar wanita itu tahu bertapa berharganya dia di mata Jibran.

“Eila ….”

Eila yang tengah memainkan ponselnya langsung memberikan seluruh atensinya pada Jibran. “Iya?”

“Bagi aku, kamu sama properti itu beda. Kamu lebih dari itu.”

Tak ada ekspresi berarti apalagi seulas senyum dari wajah Jibran, tapi Eila merasa keberadaannya begitu dihargai.

“Thanks, I guess.”

Eila menggigit bibirnya, berharap pipinya tidak menunjukkan warna alami akibat malu.

“Boleh aku ngakuin sesuatu sebelum Trian sama Natta ke sini?”

Eila memberikan izin tanpa berpikir aneh-aneh. Ada jeda sejenak karena Jibran masih perlu mempersiapkan diri untuk membuat pengakuan terbesarnya. Pengakuan yang ia rencanakan setelah menyelesaikan segala urusannya, kini dipercepat karena Jibran tak mampu menahan dan pura-pura seakan tidak ada apa-apa dalam dirinya.

Jibran menelan salivanya susah payah, mengumpulkan berjuta-juta nyali, hingga rangkaian aksara itu ia lisankan dengan netra yang fokus tertuju pada Eila seorang.

“Mungkin kamu nggak akan percaya ini, tapi alasan aku minta bantuan ke kamu bukan semata-mata karena adiknya Trian. Aku minta bantuan karena kita pernah satu sekolah, aku pernah lihat kamu main drama, dan kamu orang yang aku suka itu, Eila.”