hanyabualan

cw // kiss

Kejutan besar Tara Vikrama temukan ketika bangun pagi pada hari Sabtu yang tidak pernah dia duga akan kembali sangat cepat. Saat Zanitha Arshavina bilang dia pergi ke rumah orang tua, pria itu mengira istrinya akan berada sangat lama di sana. Mungkin sebulan atau hingga hukuman yang diberi membuat Zanitha puas. Namun, ternyata hanya terhitung satu minggu, Zanitha sudah kembali dan menjadi orang pertama yang Tara lihat ketika bangun. Tentu Tara tidak langsung percaya sosok di depannya adalah Zanitha meski berkali-kali dia elus sekitar wajah yang terasa nyata.

Kadang saking rindunya, mimpi saja bisa seperti kenyataan, jadi Tara tidak bisa langsung percaya bahwa yang ada di kamar adalah realitas sesungguhnya.

Sampai akhirnya Zanitha bangun dan beradu pandang dengan Tara, tapi tidak bereaksi apa-apa selain memasang ekspresi datar dan sayu karena masih mengantuk. Sang pria mulai mempertanyakan realitas yang ada di hadapannya, masih ragu untuk menganggapnya nyata. Zanitha bangkit dan beranjak dari tempat tidur, mendekati lemari dan mengeluarkan pakaian dari sana, lalu masuk ke kamar mandi untuk melakukan rutinitas di sana.

Berkat suara gemericik air dari shower yang menyala, Tara baru percaya Zanitha benar sudah pulang entah sejak pukul berapa. Seingat Tara, dia tidur pukul delapan demi membayar rindu yang gagal dituntaskan karena belum berhasil bertemu sumbernya. Jadi pasti Zanitha pulang sangat malam dan tidak sempat Tara dengar hadirnya.

Ada dua puluh menit di kamar mandi, Zanitha keluar dengan blouse hitam dan celana training merah yang biasa dia pakai setiap di rumah, khususnya weekend. Rambutnya basah dan dililit oleh handuk kecil. Aroma sabun dan sampo pada tubuh Zanitha menusuk indra penciuman Tara yang sudah duduk bersandar di kepala kasur, menyaksikan gerak-gerik sang istri yang berkeliaran di kamar. Zanitha melakukan rangkaian skincare routine dengan kondisi rambut masih dililit, setelah itu mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer yang bisingnya memekakan rungu Tara, lalu merapikan tas hitam yang baru Tara sadari keberadaannya di dekat meja rias dan dimasukkan ke lemari.

Dari semua kegiatan itu, tidak sekali pun Zanitha melirik Tara yang menaruh sejuta atensi demi mencari jawaban atas pertanyaan di benak. Akibatnya Tara kembali mempertanyakan realitas yang mungkin saja masih halusinasinya, bukan kenyataan.

“Mandi, biar sarapan.”

Begitu kata Zanitha, masih tidak mau melirik Tara yang tertegun ketika diajak bicara meski hanya tiga kata. Bila itu bukan mimpi, artinya … benar Zanitha yang ada di sampingnya sejak tadi, bahkan semalam. Namun, bagaimana ceritanya? Tara tidak sempat berpikir panjang karena bergegas bangkit untuk mandi dan sarapan sesuai perintah Zanitha.

Membutuhkan waktu yang kurang lebih sama dengan Zanitha, Tara keluar dari kamar mandi dengan rambut basah yang dia usap menggunakan handuk kecil untuk mengeringkannya.

Sambil terus mengusap rambut, Tara pergi ke ruang makan tempat Zanitha membuat keributan kecil yang terdengar dari kamar. Zanitha tidak membuat sarapan yang heboh, hanya mengeluarkan beberapa box sereal dan susu, serta enam buah roti bakar yang dijadikan tiga porsi lengkap dengan selai bila ingin ditambah. Di dapur tidak kekurangan bahan apa pun, hanya Zanitha terlalu letih untuk masak dan dia juga bangun kesiangan jika harus masak macam-macam.

Tara berdiri di belakang Zanitha yang cemberut sejak tungkai pria itu dirasa mendekat, lalu menempelkan dagunya di pundak sang istri yang bergerak mengikuti alur tangan ketika menyusun roti bakar di atas tiga piring. Handuk kecil diletakkan asal di atas kursi, mengganggu Zanitha ketika menemukannya, tapi diam saja karena malas merapikan. Tara hirup aroma sabun yang menguar kuat di leher Zanitha. Geli, tapi Zanitha menahan diri untuk tidak bereaksi lebih apalagi sampai terbuai oleh godaan sesaat. Dia masih marah, sangat.

“Ini aku nggak mimpi ‘kan, ya?” bisik Tara sembari melingkarkan lengannya di perut ramping Zanitha. “Kamu akhirnya pulang. Aku kangen banget.”

Ada sedikit getaran di balik suara Tara, sebab tidak hanya rindu yang dirasa, dia pun takut yang meninggalkan tidak akan kembali padanya. Zanitha sudah selesai menyusun sarapan di meja, tapi belum bisa beranjak karena pergerakannya dihambat oleh Tara yang tidak mau melepas pelukan. Akhirnya Zanitha biarkan posisi itu bertahan selama lima menit, sampai Tara menyadari sesuatu yang ganjil di meja makan karena ada tiga porsi roti bakar.

“Kok ada tiga? Ada tamu?”

Zanitha mengangguk. “Chaca,” jawabnya singkat.

Tara mengernyit dan menarik dagunya lepas dari pundak Zanitha. “Kapan Chaca ke sini?”

“Semalam, sama aku.”

Tara tergugu-gugu. “Kok … bisa? Maksud aku … itu—”

“Bisa lepas dulu nggak?”

Tara menggeleng dan kembali menempelkan dagunya di pundak Zanitha, bahkan mengeratkan pelukan yang tidak mau dia lepas barang sejengkal. Sudah cukup spasi yang memisahkan, khususnya karena ulah Tara. Sekarang waktunya memperbaiki yang sempat hancur. Tara tidak mau mengulang kegagalan yang kedua karena bila dia kehilangan Zanitha, deritanya akan lebih parah bila dibandingkan dengan perpisahannya bersama Liona.

“Aku di rumah orang tua cuma tiga malam. Selebihnya sama Chaca. Jadi, aku bohong.”

Rengkuhan Tara mulai mengendur, memberi sedikit udara untuk Zanitha yang masih mau memberi penjelasan secara utuh.

“Mbak Liona minta maaf ke aku. Karena masih ngerasa bersalah, Mbak Liona izinin aku buat sama Chaca dari hari Senin. Yaudah, aku jemput Chaca ke sekolah, bawa dia ke hotel yang nggak jauh dari sekolahnya dan nginep di sana, terus … kami pulang karena di chat kamu bilang lagi sakit.” Zanitha melepas lengan Tara yang makin mengendur, lalu berbalik seraya berkata, “Tapi kamu kelihatan sehat. Pas aku pulang pun nggak kelihatan sakit.”

Tara tertunduk lesu setelah diberi penjelasan terkait kepergian Zanitha dan alasan mengapa dia mau pulang. Tara yakin perempuan itu bisa pergi lebih lama hingga perasaannya membaik, tapi rela Zanitha urungkan karena sang pria mengaku sakit. Pesan Tara selalu dibaca meski terlambat dan tidak mendapatkan balasan, sengaja agar Zanitha tahu bagaimana kabar suaminya saat jauh dari jangkauan. Zanitha boleh meninggalkannya, tapi tetap khawatir bila terjadi hal buruk pada Tara yang disebabkan oleh kepergiannya.

Tara sekarang mengerti bagaimana rasanya jadi Zanitha yang selalu ditinggalkan sampai berdusta. Diperlakukan dengan cara yang sama membuat Tara berada di posisi serupa, hanya dampaknya berbeda. Zanitha mengalami sakit mendalam, sedangkan Tara diruntuhkan oleh penyesalan.

“Enggak enak ‘kan rasanya ditinggal sama dibohongin? Kamu pasti sama kecewanya kayak aku.”

Tara mengangkat wajah dan beradu pandang dengan Zanitha yang tidak puas setelah berulah. Tentu, karena Zanitha tidak pernah berniat mempermainkan Tara. Dia pergi ke rumah orang tua untuk istirahat sejenak dari masalah, sedangkan kebohongan itu adalah hal spontan ketika Liona memberikan izin agar Zanitha bisa menghabiskan waktu bersama Charity.

Tara baru merasa bersalah setelah Zanitha berapi-api mengumandangkan ketidakadilan. Lain dengan Zanitha yang bersalah setiap harinya, tapi belum sanggup jika harus tatap muka dengan Tara.

“Pertama, aku beneran sakit.” Tara raih tangan Zanitha dan menempelkan telapaknya tepat di dada. “Hati aku yang sakit,” lanjut Tara sambil mencengkeram tangan Zanitha agar tetap di sana. “Aku juga kecewa, tapi sama diri sendiri karena nggak sadar dari lama. Kamu juga bohong karena alasannya Chaca dan itu bikin aku makin ngerti kalau selama ini … oh, Dear! Please …, jangan pergi lagi.”

Tara peluk Zanitha lagi, menyisir rambut hitamnya agar tidak kehilangan sedikit saja bagian dari sang istri. Tidak sanggup berkata banyak karena ketakutan ditinggalkan sudah cukup mewakilkan segala hal.

Please, forgive me …. Aku janji nggak akan gitu lagi. Aku bakal bagi waktu dengan adil, aku bakal duluin kamu di luar waktunya sama Chaca, berapa lama pun pasti aku kasih asalkan kamu jangan pergi.”

“Kalau kamu berulah lagi, aku boleh pergi?”

“Aku nggak akan berulah lagi, Sayang. Kamu boleh pegang kata-kata aku. Kalaupun kamu pergi, aku bakal kejar sampai ke ujung dunia.”

Zanitha tersenyum samar. “Kamu nggak ngejar aku ke rumah orang tua,” sindirnya. “Takut ketemu orang tua aku?”

Tara mengurai pelukannya agar bisa kembali memandang rupa sang istri yang terlalu lama hilang dari sisi. Dibelainya kedua pipi Zanitha, setiap sentinya begitu nyata di tangan.

“Aku nggak pernah takut. Aku cuma ngasih waktu supaya kamu bisa tenang sebelum kita ketemu. Aku udah niat jemput kamu, kok. Tapi kamunya udah pulang duluan karena aku sakit. Berarti di sana khawatir banget sama aku, ya?” ucap Tara percaya diri.

Sudah mampu mencairkan suasana yang sedingin es, meski Zanitha belum mengubah ekspresi yang masih masam akibat amarah tersisa.

“Jelas aku khawatir,” aku Zanitha jujur. “Aku khawatir nggak ada yang mindahin handuk kamu ke tempatnya lagi, kamu bingung milih baju apa yang mau dipake, dan nggak ada yang bantu ambilin handuk waktu kamu lupa bawa ke kamar mandi. Aku juga takut kamu malah seneng-seneng sama Mbak Liona, ngerasa bebas karena nggak ada istri sah. Pokoknya … aku jauh aja selalu mikirin kamu, nggak adil banget, ‘kan?”

Tara menabur senyum, lantas mengangkat tubuh Zanitha dan mendaratkannya di atas meja untuk duduk hingga kini tinggi mereka lebih sejajar.

“Chaca dikasih izin tinggal sebulan di sini,” tutur Zanitha sebelum Tara sempat bicara. “Sebagian barangnya bakal dikirim. Kamu jadi bisa pulang ke sini setiap hari.”

Tara antusias mendengar kabar baik itu, tapi jauh lebih senang ketika namanya tidak pernah pergi dari benak Zanitha. Tersemai di sana tanpa hilang walaupun dipisahkan jarak, menjadi alasannya kembali meski hati masih belum membaik.

“Setelahnya aku bakal pulang ke sini setiap hari, Sayang. Aku udah janji nggak akan ngulangin. Pastinya Chaca nggak mungkin jadi nomor dua, tapi percaya deh, kamu nggak ada duanya.”

Hidung Zanitha kembang kempis saat kalimat itu hampir membuat sudut bibirnya berkedut untuk tersenyum. Astaga. Godaan setan memang dahsyat. Ey, tunggu. Tara itu malaikat, hanya kelakuannya kadang seperti kesetanan. Zanitha mengerling malas, pura-pura tidak terbuai padahal pipinya jelas merona. Tara mengetatkan rahang, berusaha menahan tawa yang nyaris keluar karena tahu dia berhasil meruntuhkan sedikit demi sedikit benteng pertahanan Zanitha.

“Jadi, kita baikan?”

Zanitha tatap Tara sengit lagi. “Aku masih marah.”

Tara mengangguk, menyadari itu. “Tapi kamu juga sayang aku, jadi aku bisa cium.”

Tak sempat merespons, bibir mereka sudah menyatu berkat gerak cekatan Tara yang tidak mau menerima penolakan apa pun. Tara elus punggung Zanitha dengan gerakan naik turun, menyapu bibir sang puan yang terkatup rapat tanpa mau membalas. Zanitha mendorong dada Tara dan berhasil melepas tautan. Wajah Zanitha merah padam karena panas akibat malu dan gengsi yang jadi satu.

“Aku beneran masih marah, ya.”

I know,” balas Tara santai. “Tapi kamu juga kangen.”

Tara kembali menyatukan bibir mereka yang kali ini tidak dapat ditolak karena benar, Zanitha juga rindu berat. Terakhir kali birai mereka beradu saat proses pembuahan yang sudah berlalu cukup lama. Maka ketika dua bibir itu menyatu, Tara dan Zanitha jadi lebih rakus. Decapan terdengar jelas di ruang makan, lidah mulai membelit ketika Zanitha tarik Tara agar lebih rapat.

Tangan Tara sudah menyelinap masuk ke baju Zanitha, mengelus sekitar punggung dari dalam sana. Meski sedikit tergesa, tidak ada syahwat yang dibangkitkan di baliknya, hanya dibalut oleh cinta yang perlu disampaikan setelah keberadaannya diragukan. “Aku sayang kamu,” bisik Tara di sela-sela ciuman. Rambutnya sudah berantakan akibat diremas Zanitha.

Sebelum makin hilang akal, tautan mereka terlepas dan sama-sama terengah. Lengan Zanitha mengait di leher Tara, sedangkan kedua tangan Tara keluar dari sangkar agar tidak kembali tergoda. Keduanya masih terpejam, menikmati sisa-sisa ciuman yang membekas lama. Masih haus akan sentuhan, tapi mencoba menahan sebelum Zanitha mau sepenuhnya berdamai.

Keputusan untuk mengakhiri ciuman lebih cepat adalah tindakan yang tepat, karena tak lama setelahnya, suara parau memanggil Tara dan Zanitha sambil perlahan mendekat.

“Ma, Ayah ….”

Tara bergegas menjauh dan Zanitha turun dari meja, sama-sama merapikan rambut agar tidak dicurigai oleh Charity yang tiba di ruang makan sambil menggaruk kepalanya. Charity yang baru bangun langsung diraih oleh Tara ke pangkuan, lalu mendaratkan sang putri di kursi dan menghadap sarapan yang telah siap.

Tara hujani kecupan di puncak kepala Charity yang menerima segelas air dari Zanitha. Tidak lupa Tara rapikan rambut panjang putrinya agar tidak mengganggu saat sarapan.

Good morning. Anak Ayah sarapannya mau sereal apa?” tanya Tara sambil menatap beberapa jenis sereal yang ada di meja.

Mata Charity menyipit karena masih harus beradaptasi dengan cahaya yang menusuk mata. Charity malah menatap Zanitha yang duduk di sebelahnya, alih-alih menjawab pertanyaan Tara.

“Mau dipangku Mama,” ucapnya sambil merentangkan tangan, memberi kode agar Zanitha meraihnya.

Paham, Zanitha membawa Charity dan kini sudah duduk di pangkuan. Charity bersandar di dada, masih butuh tidur tapi keadaan memaksanya bangun. Sejak menghabiskan waktu berdua, Zanitha dan Charity jadi makin akur. Terbukti Charity hanya ingin menempel pada Zanitha dan menolak Tara yang mau mengambil alih agar sang putri duduk di pangkuannya.

Bukan apa-apa, Tara yang sudah duduk di samping mereka jadi sedikit cemburu karena tidak kebagian dipeluk Zanitha.

“Cha, mending dipangku Ayah. Biar Ayah bisa meluk Mama juga.”

Charity menggeleng dan tertawa jail setelah nyawanya mulai terkumpul. “Enggak boleh. Mama punya Chaca. Nanti kita pergi berdua lagi ‘kan, Ma?” tanya Charity sambil menengadah menatap Zanitha.

“Iya, dong. Kita perginya berdua aja.”

Charity terkikik puas. “Iya, Ayah nggak usah diajak.”

Tara menganga mendengar rencana kepergian Zanitha dan Charity, entah itu real atau sekadar lawakan di pagi hari. Apa pun itu, Tara tidak mau jauh lagi, khususnya dari Zanitha yang baru dia dapatkan kembali.

Jangan sampai Tara kehilangan untuk yang kedua kali, karena pedihnya berkali-kali lipat mengingat orangnya adalah Zanitha; perempuan yang menerima status dudanya, perempuan yang bisa mengimbanginya, perempuan yang menyayangi Charity apa adanya, perempuan yang membuat Tara belajar menekan egonya, dan perempuan yang membuat Tara yakin bahwa kesempatan itu ada, baik untuk dicintai dan mencintai lagi.

Jodoh itu memang misteri, tidak tahu kapan hadir, tapi orang yang tepat akan datang untuk mengisi. Setelah gagal, Tuhan memercayakan Tara untuk memulai lagi bersama Zanitha, sosok yang tepat dan tidak akan dilepas. Sebab Tara yakin—dan untuk pertama kalinya begitu percaya diri—sejak awal perjumpaannya dengan Zanitha, perempuan itu ditakdirkan untuk menjadi miliknya.

Zanitha, saya sudah salah. Saya membuat kamu kecewa. Tapi saya janji, ke depannya tidak ada lagi beban yang saya beri. Seperti yang saya bilang, Charity tidak bisa jadi nomor dua, tapi kamu tidak ada duanya. Di hari saat saya mengucap janji hidup semati, maka janji itu jadi pegangan saya untuk menghadapi hari-hari bersama yang terkasih. Zanitha, maafkan saya yang masih kekurangan. Tapi percaya, kamu selalu membuat saya merasa memiliki segala, karena kamulah segalanya. Saya cinta kamu, Zanitha Arshavina. Saya janji kita tidak akan gagal.

cw // harsh word

Suara pintu utama yang ditutup dan dibuka terdengar dari kamar tempat Zanitha sedang berbaring nyaman dalam sepinya. Biasa ditinggalkan oleh Tara yang pergi ke rumah Liona dengan alasan menghampiri Charity, membuatnya tidak berselera untuk menghuni ruangan lain setelah memasuki sore hari. Toh, tidak ada Tara yang perlu dia urus makan dan minumnya, atau diajak berbincang soal pekerjaannya hari ini, apalagi bemesraan layaknya pasangan suami istri yang bahagia. Zanitha juga sudah makan lebih cepat dari jadwal biasa, jadi bisa santai dan menikmati kesendirian yang sudah biasa dia jalani setiap kali Tara pergi.

Hari ini harusnya sama karena Tara sendiri yang meminta izin untuk pergi ke rumah Liona, tapi ketika ada langkah kaki yang mendekat, suasana jadi lain karena yang pergi telah kembali hadir. Sayang, tidak menarik minat Zanitha untuk menyambut hadirnya Tara, apalagi setelah meledak di chat yang dia yakin membuat suaminya marah ketika membaca.

Zanitha tentu khawatir, tapi berusaha tidak peduli bila Tara sekarang akan marah karena kata-kata perempuan itu keterlaluan. Sebab jika tidak begitu, Tara tidak akan menyadari ulahnya sendiri yang terlalu sering pergi. Memang bukan ke tempat aneh, bukan ke rumah orang asing, tapi terus meninggalkan Zanitha untuk pergi ke masa yang tidak dapat diterima oleh nalar.

“Zanitha ….”

Suara pria yang begitu pelan memanggil Zanitha. Bisa dilihat Zanitha tidak bergerak di dalam selimut ketika Tara terus mendekat dan berakhir duduk di tepi kasur.

“Aku pulang, Sayang.”

Panggilan mesra itu tidak meruntuhkan pertahanan Zanitha yang masih mengurung diri setelah gagal tidur nyenyak. Saat tangan Tara mulai membelai selimut yang membungkus sang istri, Zanitha tetap bergeming.

“Kamu udah makan? Aku belum.”

Tidak ada kemarahan dari nada bicara Tara, malah hati-hati sekali demi membujuk Zanitha yang sudah tidak mampu menghadapi tingkah suaminya. Hanya satu tingkah, lalu dibarengi kebohongan, hingga membuat lelah.

“Makan bareng, ya. Aku udah beli biar kamu nggak capek masak.”

Tara menarik selimut Zanitha pelan untuk membebaskan sang istri dari udara tipis selama bersembunyi di sana. Zanitha terjaga, matanya menatap kosong ke arah lantai ketika Tara menemukannya. Hati-hati Tara raih tubuhnya, membawa Zanitha yang tidak bertenaga untuk duduk, lalu membantunya berjalan keluar dari kamar untuk makan malam. Di ruang makan, Zanitha duduk dan masih membisu selama Tara menyiapkan alat makan. Tak lupa menuangkan dua gelas air untuk Tara dan Zanitha yang diletakkan di hadapan kursi masing-masing.

Saat makan malam siap, Zanitha tidak tergugah untuk makan. Bukan karena dia sudah makan sebelum mengurung diri, tapi belum mau berhadapan fisik bersama Tara yang berusaha menarik hati. Tara rapikan rambut panjang Zanitha dan mengumpulkannya menjadi satu, lalu menguncirnya menggunakan ikat rambut yang dia ambil sebelum memulai makan malam. Selain untuk memudahkan Zanitha ketika makan, Tara pun bisa melihat rupa Zanitha lebih jelas.

Istrinya tampak murung, tapi Tara mengerti dan tetap berusaha membujuk. Tara menggeser kursi agar lebih rapat dengan Zanitha, lalu duduk di sana tanpa mau melepas pandang dari sang istri yang tatapannya makin kosong dan jauh. Tara elus pipi kiri Zanitha, ingin meredakan durja yang muram akibat ulahnya.

“Makan ya, Sayang. Ini aku udah pulang.”

Zanitha sontak menoleh dan suguhkan tatapan nyalang yang sedikit membuat Tara gentar ketika melihatnya. Napas Zanitha seketika memburu, energinya timbul tanpa mampu dibendung. Bukan energi yang baik karena Zanitha keluarkan untuk memaki Tara lagi.

“Kamu emang harusnya pulang ke sini. Dari lama harusnya ke sini. Enggak usah nunggu aku marah dan tahu kelakuan kamu dulu buat pulang. Harusnya kamu inisiatif sendiri, Tara.”

Tidak ada panggilan mesra seperti di chat, tidak membuat Tara marah karena sadar dia yang harus mengalah. Beberapa tahun lalu dia mudah meledak setiap bertengkar dengan Liona, hingga mereka memutuskan usai karena sadar tidak bisa melunturkan ego masing-masing.

Sekarang ketika pertikaian kembali hadir di usia pernikahan yang masih belum menginjak setahun, Tara tidak mau mementingkan ego dan mendengarkan setiap keluhan Zanitha yang menyalahkannya. Toh, Tara pantas mendapatkan itu setelah berbohong seperti seorang pengkhianat.

“Kenapa kamu bohong?” tanya Zanitha sengit, membutuhkan seluruh penjelasan yang bisa diterima oleh nalar.

Tara raih tangan Zanitha yang mengepal erat, berharap selama mendengar penjelasannya tidak akan ada yang menghindar. Sekaligus meyakinkan Zanitha bahwa segala ulah dia tidak mengubah apa pun yang Tara rasakan untuk istrinya.

“Kita hampir berantem karena kamu marah setelah janji dinner yang aku batalin gara-gara di rumah Liona. Terus kamu jadi seneng setelah Chaca di sini dan aku pun nggak ke mana-mana setiap malam selama seminggu penuh. Waktu … Liona minta tolong, aku nggak bisa nolak, tapi nggak mau bikin kamu kecewa lagi. Makanya aku milih bohong dan udah janji sama diri sendiri setelah Chaca sekolah, aku nggak akan ke rumah Liona lagi kecuali pas waktunya sama Chaca. Aku … baru minta izin tadi karena nggak mungkin pake alasan lembur lagi. Terus ternyata kamu udah tahu duluan dan sekarang aku nyesel banget. Maafin aku, Zanitha.”

Tara ingin mengecup punggung tangan istrinya, tetapi berusaha ditarik menjauh oleh Zanitha yang enggan bersentuhan fisik terlalu intens. Setidaknya untuk sekarang. Permintaan maaf Tara dan raut wajah penuh sesal itu tidak meruntuhkan pertahanan Zanitha yang telanjur kecewa. Mau alasannya untuk Charity, kebohongan Tara tetap sulit dimaafkan.

“Setiap Liona minta tolong, kamu ada nggak … sekali aja … mikirin aku? Khususnya waktu ngebohong.”

Tara menelan salivanya susah payah, lidahnya kelu tak mampu menjawab. Reaksi itu makin menciptakan luka di batin Zanitha, merasa dirinya makin tidak dianggap karena sebelum muslihat Tara tercium, sang istri tidak pernah dipikirkan secara serius.

“Kamu takut aku kecewa karena terlalu sering ke rumah Liona, padahal ngebohong gini bikin aku jadi ragu sama perasaan kamu, Tara.”

Tara menggeleng cepat dan kini merangkum wajah Zanitha agar melihat kesungguhan hati melalui mata sang pria. Tidak berubah, selalu mencintai Zanitha sejak mereka masih memasuki masa kasmaran.

“Jangan ragu,” lirih Tara, “aku tetep buat kamu.”

“Terus kenapa kamu nggak mikir dua kali sebelum pergi? Aku kira kamu bakal berubah setelah aku hamil, ternyata malah lebih parah. Kamu pembohong! Kamu berengsek! Aku benci pernikahan kita harus ditambah kebohongan.”

“Iya, aku emang berengsek. Katain aku aja, tapi jangan raguin perasaan aku, ya.”

Mana bisa Zanitha begitu jika bukti terlalu kuat menunjukkan bahwa Tara tidak bisa adil antara yang dulu dan sekarang? Sekali berbohong, ke depannya mungkin akan sama. Zanitha tidak mau menerima kenyataan seberat itu. Sekarang Tara tidak berhenti mengucap kata maaf seraya memeluk Zanitha yang kembali tidak berdaya, tengah mengisi energi yang hilang terlalu cepat akibat luapan kata buruk untuk suaminya.

Tara cium kedua pipi Zanitha, mengungkapkan rasa yang sedang diragukan. Tidak mau kehilangan kepercayaan yang Zanitha berikan sejak mereka mulai memadu kasih, sekaligus mempertahankan hubungan yang tidak boleh gagal untuk kedua kali.

“Aku sayang kamu, Zanitha. Aku beneran sayang kamu.”

Tara terisak, terdengar putus asa saat Zanitha tidak goyah. Zanitha justru mendorong Tara menjauh, berdiri setelah bebas dari kurungan lengannya, lalu pergi meninggalkan ruang makan untuk kembali ke persembunyian. Tara tidak diam. Dia segera mengejar istrinya hingga ke kamar sebelum pintunya ditutup dan dikunci oleh Zanitha.

Mendapati dirinya gagal melindungi diri, Zanitha melempar bantal tepat ke tubuh Tara yang membiarkan dia jadi sasaran empuk dari serangan istrinya.

“Kamu lagi hamil. Tenangin diri dulu,” bujuk Tara sambil mendekat.

“Kamu tahu aku lagi hamil, tapi kenapa nggak mikir sebelum bohong, hah?!” Zanitha membentak dan jantungnya bertalun dahsyat seakan ingin meledak bila kendali dirinya sudah hilang. “Sekarang kamu pulang karena ketahuan bohong, ‘kan? Bukan bener-bener peduli sama aku atau minimal anak kita. Seandainya nggak ketahuan, kamu bakal ke sana lagi, pulang tengah malam, terus mungkin ada kebohongan lain setiap mau ke sana.”

“Itu nggak mungkin, Zanitha. Aku janji nggak akan bohong lagi.”

“Apa jaminannya?” tanya Zanitha sedikit menantang. “Aku hamil aja nggak jamin kamu berhenti berulah. Terus kalau dipikir-pikir, alasan minggu lalu kamu bisa selalu ada tiap malem karena ada Chaca di sini. Setelah Chaca pulang, kamu langsung bohong dengan bilang lembur padahal ke rumah Liona.”

Zanitha menjeda untuk mengelus perutnya yang dirasa mual dan perih. Tenggorokannya pun sakit karena bicara terlalu keras tanpa memperhitungkan efek yang diberikan. Tara ingin kembali mendekat untuk membantu Zanitha meredakan sakit ketika perutnya tidak berhenti dielus, takut terjadi sesuatu pada anak mereka yang masih rentan dan harus dijaga ekstra.

Namun, Zanitha menggeleng karena untuk saat ini dia tidak butuh perlindungan apa-apa, dia hanya ingin bicara sampai tuntas. Gelengan itu menghentikan Tara dan tetap bergeming di tempat, membiarkan Zanitha bicara sampai selesai.

Setelah mualnya mereda, Zanitha berkacak pinggang dan berusaha bicara lebih tenang. Jangan minta Zanitha untuk berpikir jernih, karena bisa sabar sedikit saja sudah sangat bagus.

“Aku selalu ngerti Chaca anak kamu. Aku sayang dia,” ucap Zanitha merendahkan volume suara agar tenggorokannya tidak makin perih. “Tapi sekarang jadi ragu kamu bakal peduli sama anak kita kalau ke aku aja belum bisa adil.”

Lutut Zanitha tiba-tiba lemas. Tubuhnya mendarat di tepi kasur sebagai penopang agar setidaknya Zanitha masih bisa mempertahankan diri selama bicara.

“Aku selalu siap nikah di umur segini, mau itu sama kamu atau bukan. Tapi kalau rumah tangga kayak gini yang kamu kasih, aku nggak yakin bisa tahan.”

Tara tidak mau diam diri lagi. Dia mendekati Zanitha dan berlutut di hadapannya. Tara berlinang air mata, iba dan menyesal melihat Zanitha yang tersiksa akibat ulahnya.

“Aku bakal berubah. Aku janji. Aku nggak akan begini lagi, Zanitha. Beneran … janji.”

Gagap di akhir kalimat sebab Tara tidak mampu membendung tangis. Dia bersimpuh dan memeluk lutut Zanitha sebelum kabur tanpa sempat dikejar. Zanitha belum juga luluh, masih terlalu kecewa dengan nasib yang dia terima sepanjang pernikahan.

Teringat lagi bagaimana Tara begitu manis di masa mereka pacaran, selalu ada untuk Zanitha bahkan saat tidak membutuhkan bantuan. Waktu yang mereka habiskan saat masih pacaran bahkan lebih banyak dibandingkan setelah menikah. Tidak ada alasan Charity yang mengganggu waktu temu. Zanitha dijadikan pusat dunia Tara yang kembali mencinta setelah gagal dan menduda.

Setelah menikah, kenangan manis itu hanya jadi bayangan pahit karena tidak bisa dimiliki lagi. Tara berubah hanya dalam waktu singkat, membuat Zanitha merasa jadi yang kedua, bahkan kadang seperti pajangan yang dilihat saat dibutuhkan. Hanya karena masalah kecil yang berulang, Zanitha hampir menyerah.

“Sekarang aku tahu kenapa hubungan kamu sama Liona nggak berhasil,” ucap Zanitha lemas. “Apa harus kita—”

No,” Tara menyambar. Matanya merah dan pipinya basah akibat air mata ketika mendongak untuk menatap Zanitha. “Jangan ngomong gitu. Jangan … aku nggak mau ditinggalin kamu.” Tara tersedan-sedan sambil menggenggam pergelangan tangan Zanitha yang dipangku di atas pahanya. “Tolong … jangan …. Jangan ke mana-mana.”

Seperti ada yang meninju ulu hati, perih yang Tara rasakan bukan main. Tubuh yang seringnya berdiri tegak itu kini lemah di hadapan Zanitha, seperti anak kecil yang takut ditinggalkan oleh sang ibu padahal hanya pergi ke depan. Tidak semata-mata takut gagal, Tara juga takut Zanitha pergi tanpa mau kembali ke pelukan. Tidak ada sedikit pun niat jahat, tapi Tara sadar tindakan dia sangat fatal.

Zanitha katupkan bibir, dia pun tidak mampu mengikrarkan kata pisah karena masih ingin berjuang, tapi takut jika harus tersiksa akibat hal sama. Bermenit-menit kemudian tidak ada satu aksara pun yang dilisankan baik oleh sang Adam dan Hawa. Mereka menangis bersama sebagai pemberi dan penerima luka. Salah satunya takut ditinggalkan, tapi terlalu sering meninggalkan. Satunya lagi sering ditinggal pergi, tapi takut memisahkan diri.

Ditampar oleh realitas besar soal rumah tangga yang tidak mudah, bahkan bagi Tara yang sudah dua kali hidup di dalamnya. Namun, jika timbal balik gagal didapat, apa masih berhak untuk bertahan?

Saat tahu Tara tidak akan langsung pulang setelah selesai bekerja karena harus menjaga Charity saat Liona sedang sakit, Zanitha memilih tidur saat waktu sudah memasuki pukul empat sore. Zanitha tahu tidur sore itu tidak baik, tapi dia butuh pengalihan dari rasa sepi yang terlalu sering didapat dan tidur adalah salah satu solusinya. Zanitha tutup semua tirai di kamar, mematikan lampu hingga kamar gelap gulita seperti sudah malam. Dia nyalakan AC dan menyetel suhu mencapai batas maksimal, lalu berbaring di kasur sambil membungkus sekujur tubuh menggunakan selimut.

Tak butuh lama bagi Zanitha untuk dijemput oleh bunga tidur, berharap dia bangun esoknya dan memulai hari baru yang pasti berakhir sama; pagi mengurus Tara yang pergi bekerja, lalu ditinggalkan sampai malam. Zanitha sangat damai dalam tidurnya, tidak bising oleh isi kepala yang memutar banyak hal, serta dipenuhi gejolak membara di hati akibat cemburu yang berlebih.

Namun, kedamaian sedikit terganggu ketika mendengar cekikikan pelan dari sisi kirinya, lalu merasakan elusan dari jemari ukuran kecil di dahi Zanitha. Akibatnya mata Zanitha terbuka perlahan. Hal pertama yang dia lihat adalah langit-langit kamar lebih terang dari terakhir dia ingat. Zanitha yakin sudah menutup semua akses masuk cahaya, tapi kenapa sudah terang saja? Apa sudah pagi? Sampai akhirnya Zanitha menemukan sumber cekikikan yang membuatnya terbangun.

Rupanya itu ulah Charity yang ikut berbaring di samping Zanitha, tersenyum lebar melihat perempuan yang terpaksa diganggu terbangun.

“Mama udah bangun,” ucap Charity senang sambil mengelus dahi Zanitha yang mengernyit heran.

Mama, katanya. Zanitha tidak salah dengar, ‘kan? Kalau tidak salah, apa mungkin dia masih mimpi? Sebab di dunia nyata, Charity tidak mungkin memanggilnya begitu. Ya, pasti Zanitha masih bermimpi dan di dalamnya dia menjadi Liona, sebab itu Charity memanggilnya mama.

“Bangun, Mama. Ayo, makan,” titah Charity seraya menarik lengan Zanitha yang tidak berdaya.

Akibat lengan Zanitha lebih besar, Charity jadi sedikit susah payah ketika menarik karena tenaganya pun sangat minim.

“Mama, jangan rebahan terus. Kita makan aja, ya. Makanannya enak banget.”

Betah sekali mendengar sebutan Mama disematkan untuknya, tetapi lama-lama Zanitha sedih karena dia dianggap orang lain oleh Charity. Tanpa bisa ditahan, tiba-tiba Zanitha berurai air mata yang membasahi pipi. Tirta itu mengejutkan Charity yang dengan sigap menghapus setiap tetesnya agar tidak makin membanjiri pipi.

“Mama, kenapa nangis?”

Ditanya begitu malah membuat pertahanan diri Zanitha runtuh. “Aku bukan Mama Liona.”

Charity yang masih kecil antara sedih dan bingung mendengar ucapan itu.

“Aku bukan Liona.”

“Mama emang bukan Mama Liona, tapi Mama Zanitha.”

Sedetik kemudian Zanitha ditarik ke realitas yang dia kira mimpi semata. Zanitha sontak bangkit dari posisi berbaring, meraih ponsel di nakas yang menunjukkan waktu sudah memasuki pukul tujuh malam. Astaga! Jadi, tadi itu—tunggu. Zanitha masih tetap harus berpikir jernih. Bisa saja tadi tetap halusinasinya, jadi Zanitha harus memastikan bahwa dia tidak sendiri di kamar.

Zanitha menoleh ke samping kiri setelah meletakkan kembali ponselnya di atas nakas, menemukan Charity yang duduk sambil menelengkan kepala karena bingung melihat tingkah perempuan di sampingnya.

“Mama, nggak apa-apa? Mama sakit?”

Zanitha menahan napasnya, masih harus mencerna panggilan baru yang dia terima karena merasa aneh dan takut salah dengar.

“Chaca … beneran manggil Mama ke Tante?”

Charity mengangguk pelan. “Dari tadi Chaca udah manggil Mama. Mama nggak denger?”

Mulut Zanitha menganga kecil, kepalanya mendadak pusing antara efek tidur sore atau panggilan yang masih sangat sulit dicerna oleh hati. Sepanjang berjalannya pernikahan, tidak ada paksaan bagi Charity harus memanggil mama pada Zanitha. Baik Tara dan Liona sendiri tidak menyuruh, Zanitha juga tidak mau merayu jika Charity belum mau. Sebab itu Zanitha belum mampu mencerna secara utuh, bahkan kedatangan Charity saja masih membuatnya takjub.

Charity mendekat, naik ke pangkuan Zanitha yang wajahnya sedikit bengkak akibat baru bangun dan menangis. Charity menempelkan punggung tangan ke dahi Zanitha, dilakukan selama beberapa detik sampai akhirnya ditarik menjauh.

“Mama nggak panas. Berarti nggak sakit, ya.”

Zanitha tersenyum, antara gemas dengan tingkah Charity dan terlampau senang mendengar panggilan itu. “Tante—maksudnya Mama, nggak sakit. Cuma … agak pusing karena habis bangun tidur.”

Charity ber-O ria, percaya saja dengan semua yang dikatakan Zanitha. “Mama kenapa tidur duluan? Ini ‘kan belum waktunya tidur.”

“Soalnya sendiri di rumah, kesepian nggak ada yang nemenin, makanya mending tidur.”

Charity tersenyum lebar hingga gigi susunya terlihat jelas. “Sekarang Chaca di sini temenin Mama, ya. Chaca nginep,” gadis itu menggerakan jemarinya sambil komat-kamit tidak jelas, “tujuh hari. Iya, Chaca nginep tujuh hari di sini.”

Zanitha sedikit skeptis. “Beneran? Terus Mama Liona gimana? Bukannya lagi sakit?”

“Mama Liona udah sehat, kok. Makanya ngasih Chaca izin buat nginep di sini.”

Syukurlah bila Liona benar sudah sehat. Zanitha lega karena tidak perlu membatin membayangkan bagaimana Tara menjaga Li—oh, tidak! Zanitha tidak boleh berpikir buruk lagi soal Liona yang sudah mengizinkan Charity menginap dalam waktu lama. Zanitha harus berterima kasih karena memiliki kesempatan bersama Charity dan yang paling penting Tara bisa di rumah setiap malam.

“Chaca manggil Mama ke Tante disuruh sama siapa?”

“Chaca nggak disuruh siapa-siapa. Chaca mau sendiri.”

“Oh, ya?”

“Iya, Ma,” balas Charity sambil mengangguk agar lebih dipercaya.

“Sebenernya Chaca udah sering mau manggil gitu, tapi suka malu.”

“Sekarang masih malu?”

“Enggak, dong. Malah seneng Chaca jadi punya dua mama.”

Zanitha tertawa dengan suaranya yang masih parau. “Beneran seneng … punya dua mama?”

“Seneng banget. Chaca jadi punya banyak temen main.”

Charity memang yang terbaik. Buktinya berhasil membuat Zanitha gembira kembali. Zanitha peluk Charity erat, sebagai ucapan terima kasih atas panggilan baru yang membuatnya merasa lengkap. Dipanggil Tante sangat menyenangkan, tapi dipanggil Mama lebih membahagiakan. Zanitha merasa dianggap jadi keluarga, bergabung ke dalam bagian hidup Charity dan terlibat dalam setiap tumbuh kembangnya.

“Cha, mamanya udah—oh, sorry. Kirain belum bangun.”

Zanitha mengurai pelukannya ketika suara Tara mendekat dan kini sudah di ambang pintu kamar, tidak ingin mengganggu kemesraan ibu dan anak yang membuat perasaannya menghangat.

“Mama udah bangun, Ayah.”

Zanitha paksakan senyum, tiba-tiba merasa asing melihat Tara ada di rumah sebelum tengah malam saat hari kerja, tapi dia tetap senang karena tidak perlu merasa kesepian.

“Aku cuci muka dulu. Nanti nyusul.”

Tara mengangguk. “Oke. Chaca ikut Ayah duluan, ya.”

Charity turun dari pangkuan dan tempat tidur, menghampiri Tara yang menanti di ambang pintu, lalu keluar dari kamar meninggalkan Zanitha sendiri untuk membersihkan wajahnya yang kacau akibat air mata. Zanitha sudah mandi sore sebelum tidur, jadi hanya tinggal menyegarkan wajah agar lebih sedap dipandang oleh Tara dan Charity.

Setelah lebih segar dan penampilannya pun rapi, Zanitha keluar dari kamar mandi dan terkejut ketika melihat Tara duduk di tepi kasur seakan tengah menantinya hadir. Tara otomatis berdiri ketika Zanitha mendekat, berusaha santai padahal sama-sama grogi.

“Kenapa nggak nunggu di luar?” tanya Zanitha sambil mengelus pipinya, berharap tidak ada jejak sabun yang tersisa meski tadi sudah dipastikan dia bersih.

“Aku mau ngomong berdua dulu.”

“Kan kita bisa makan dulu, Mas.”

Tara menggeleng sembari merogoh sesuatu dari saku celananya, lalu menunjukkan sebuah barang yang dia temukan di lemari. Zanitha menggigit bibir bawahnya, segan ketika ditunjukkan sebuah gift box kecil berwarna ungu dengan pita berwarna senada sebagai hiasannya. Baiklah, Zanitha tidak mau menunda bila itu yang ingin Tara bicarakan.

“Aku nemu ini pas mau ganti baju dan kamu masih tidur. Aku udah buka duluan dan baca note-nya juga.”

Tara membuka gift box itu, terlihatlah sebuah testpack yang menunjukkan dua garis dan mengartikan positif. Tak lupa note yang bertuliskan, ‘Selamat, kamu mau jadi Ayah lagi,’ yang tersimpan rapi di bawahnya. Tara raih testpack itu, lalu meletakkan gift box di permukaan kasur.

“Kenapa nggak ngasih ini ke aku?”

Zanitha mengedikkan bahunya. “Mau aku kasih pas kamu janji dinner.”

“Tapi kamu bisa ngasih besoknya, Zanitha.”

Zanitha paksakan senyum, tapi begitu pahit kala dilihat. Zanitha elus perutnya yang masih rata, menantikan kehidupan baru yang dititipkan oleh-Nya.

“Karena kamu ingkar janji, aku jadi ragu mau ngasih. Makanya aku nyari waktu yang pas supaya reaksi kamunya juga enak,” aku Zanitha jujur. “Soalnya … aku ragu anak kita bisa jadi prioritas, kalau aku aja keberadaannya masih belum jadi apa-apa. Terus aku juga jadi ragu kamu bakal seneng karena terlalu sayang sama Chaca. Siapa tahu kamu … nggak siap punya anak lagi, ‘kan?”

Tara menggeleng sekali saat bibirnya bergetar menghadapi kenyataan pahit yang harus Zanitha terima akibat ulahnya. Makin terjerumus ke jurang penyesalan karena sadar dia belum bisa membagi prioritas secara adil untuk perempuan yang sekarang menjadi pendamping.

Tara raih Zanitha, membawanya ke dalam dekapan erat. Dibelainya rambut lurus panjang sang istri, merasakan kehadiran yang secara sadar Tara lupakan akibat tidak bisa berbagi. Zanitha sembunyikan wajah di balik pundak Tara, mencari perlindungan yang nyaris hilang.

“Aku seneng, Zanitha. Aku seneng …,” lirih Tara penuh suka dan haru. “Aku mau punya anak dari kamu. Aku selalu siap.”

Zanitha bertanya di balik pundak Tara, “Oh, ya?”

Tara mengangguk cepat, makin mengeratkan pelukannya karena antusias yang tinggi akan mendapatkan anak kedua dan kali ini dari Zanitha. “Maafin aku ya, Sayang. Aku nggak pernah ada buat kamu. Harusnya aku bagi waktu, aku tepatin janji, aku nggak banyak perginya dari kamu, ya. Aku beneran … nggak ada maksud nyakitin kamu. Tapi aku jahat banget nggak pernah mau sama kamu. Aku minta maaf ya, Zanitha. Kamu mau maafin aku, ‘kan?”

Zanitha tidak sanggup bicara, jadi dia membalas pelukan Tara sebagai tanda permintaan maaf diterima. Bukan semata-mata dia lemah hanya karena kata sayang di sana, tapi selama ini yang dia suarakan berupa hak adalah kehadiran Tara dan sekarang—semoga ke depannya—berhasil didapatkan.

Belum lagi ketika Tara dengan sosok kalemnya menunjukkan kebahagiaan besar atas kehamilan Zanitha. Puas memeluk, Tara berlutut tepat di depan perut Zanitha dan mengelusnya hati-hati, seakan gerak yang terlalu agresif akan melukai nyawa di dalam sana.

“Ini kamu masih kecil, ya? Kapan gedenya? Ayah mau ngerasain kamu nendang-nendang dari sekarang, Nak.”

Kata ‘Ayah’ dan ‘Nak’ biasanya hanya Zanitha dengar ketika Tara bicara pada Charity. Sekarang Zanitha bisa mendengar Tara bicara begitu untuk anaknya yang masih menanti waktu hadir. Ketakutan anaknya tidak akan diterima karena sang suami memiliki prioritas lain langsung runtuh, sebab buktinya setelah tahu Zanitha hamil, Tara yang kembali berdiri tampak berseri-seri berkat kebahagiaan baru dari sang istri.

Tentu Zanitha masih marah dan kecewa soal ulah Tara beberapa waktu ini, tapi dia ingin melupakannya sejenak, berganti sukacita dan membuat selebrasi sendiri karena akan memberikan keturunan untuk Tara.

“Susul Chaca, yuk,” ajak Zanitha, tiba-tiba malu saat Tara tidak berhenti mengelus perutnya.

“Sekalian kasih tahu Chaca. Dia pasti seneng.”

“Beneran … bakal seneng?”

Tara belai rambut panjang Zanitha dan mengangguk sangat yakin. “Ayahnya aja seneng, pasti kakaknya juga seneng.”

Kakak, ya. Zanitha merasa hampir lengkap membangun keluarganya sendiri bersama jabang bayi yang akan berbagi kehidupan selama masih di perutnya. Jika Tara saja bisa sebahagia ini, seharusnya benar, Charity pasti menerima dengan sukacita juga.

Maka ketika Tara membawa Zanitha keluar dari kamar untuk makan malam serta memberi tahu kabar bahagia pada Charity, perempuan itu yakin respons baik akan diberi oleh sang putri.

Sudah setengah tahun menikahi Tara Vikrama, duda yang ditinggal cerai dan telah memiliki satu anak berusia lima tahun, rupanya hanya memberikan kebahagiaan yang bisa dihitung jari jika Zanitha Arshavina mau mengingatnya. Sejak menjalani masa pacaran, Zanitha sudah tahu risikonya berkomitmen bersama seseorang yang pernah memiliki masa lalu dalam ikatan serius, apalagi sampai menghasilkan keturunan.

Saat dilamar dan akhirnya menikah pun, terlebih di usia dia yang masih sangat muda, Zanitha telah mempertimbangkan baik dan buruknya momen yang akan terjadi selama rumah tangga berjalan. Tidak ada pernikahan yang selalu berjalan mulus seperti jalan tol—jalan tol saja ada macet—jadi ketika gerimis, hujan, hingga badai itu tiba untuk mengguncang hubungan yang tengah dijalin, kesiapan pasangan sangat diuji untuk diketahui apakah mereka mampu tetap berdiri tegak di dalamnya, atau terbawa arus dan tenggelam dalam luka yang gagal disembuhkan.

Sampai sekarang ini, Zanitha tidak mau menganggap Liona, mantan istri Tara, sebagai guncangan yang akan mengganggu rumah tangganya. Hubungan Tara dan Liona hanya sebatas mantan serta orang tua kandung Charity—putri mereka—tidak lebih dan tidak akan kembali seperti yang lalu. Namun, keakrabannya membuat Zanitha seringkali dilanda cemburu dan takut, sebab bila makin diperhatikan, Tara dan Liona tetap terlihat seperti pasangan serasi yang bahagia bersama putri semata wayang mereka.

Well, kita bisa anggap itu hanya akting di depan Charity agar sang putri tidak merasa kekurangan kasih sayang dari orang tua. Sayangnya bagi Zanitha yang selalu jadi saksi—bahkan korban—dia sering merasa jadi nomor dua, sedangkan Liona menjadi prioritas utama oleh Tara ketika mantan istri membutuhkan pria itu di rumahnya. Alasannya selalu Charity dan Zanitha mengerti itu, tapi mengingat yang Tara temui juga adalah Liona, itu paling memberatkan.

Lantas kini setelah beberapa kali ditinggalkan demi menyusul Liona dan Charity, mereka berdua datang ke kediaman Tara dan Zanitha untuk makan malam bersama. Ya, hanya makan malam, tidak mengganggu dan Zanitha juga menerima dengan senang hati, khususnya ketika Tara tidak perlu pergi. Namun, melihat pemandangan di depan sepanjang makan malam berjalan, Zanitha merasa posisinya seperti pajangan.

Di meja makan berkapasitas enam orang, Tara, Charity, dan Liona duduk sejajar sambil bersenda gurau. Di hadapan mereka ada Zanitha yang duduk seorang diri, tidak didampingi oleh suami yang memilih bersama prioritasnya. Zanitha lebih banyak diam dan menikmati makan malam yang dibuat Liona dengan nafsu setengah-setengah.

Sering ingin ikut dalam obrolan, tapi tidak dapat kesempatan untuk sekadar bersuara atau menanggapi gurauan. Tara, Liona, dan Charity memiliki dunia sendiri, sedangkan Zanitha bukan salah satunya.

“Ayah, nanti pokoknya harus beli boneka baru. Chaca mau yang cantik itu, lho. Rambutnya panjang sama pirang, terus bajunya macem-macem.”

Charity, yang akrab disapa Chaca, semangat sekali meminta boneka baru dan tampaknya orang tua gadis itu sedikit keberatan untuk mengabulkan. Momentum itu dimanfaatkan Zanitha untuk masuk agar dia tidak hanya jadi boneka yang terlupakan presensinya. Selain cari muka di depan Tara, Zanitha juga harus pandai mencuri hati Charity yang sekarang menjadi anak sambungnya.

Hubungan Zanitha dan Charity tidak buruk, sudah beberapa kali bertemu sejak zaman pacaran, tapi belum bisa dibilang sebagus itu jika harus akrab. Jadi, ini saatnya Zanitha yang bersinar untuk menunjukkan bahwa dia layak mendapat predikat istri dan ibu juga.

“Chaca mau boneka Barbie?” tanya Zanitha, memastikan boneka yang dideskripsikan oleh Charity sama seperti di benaknya.

Charity segera memberi atensi pada Zanitha dan mengangguk semangat. “Iya, Tante. Chaca mau boneka Barbie.”

“Tante punya lho boneka Barbie di rumah. Ada beberapa, baju-bajunya juga banyak. Chaca mau? Biar Tante kasih.”

Mata Charity berbinar, menepuk tangannya beberapa kali mendengar tawaran itu. “Mau! Mau!” balasnya cukup lantang, memeriahkan ruang makan dan menambah ceria hati Zanitha yang sempat memburuk.

“Oke, nanti Tante bawain buat Chaca, ya.”

Tepukan tangan Charity makin meriah. “Makasih, Tante.”

Zanitha hanya mengangguk, sangat puas bisa mengambil hati Charity dengan taktik spontan yang terlintas di pikirannya.

“Chaca udah kebanyakan boneka, Zanitha.” Tiba-tiba Tara bersuara, memudarkan kesenangan Zanitha yang hanya bertahan sejenak. “Baiknya jangan terlalu dimanjain.”

Zanitha menatap Tara yang terlihat tidak suka dengan usaha istrinya mendekatkan diri pada Charity. “Tapi daripada beli, mending aku kasih. Lagian boneka di rumah orang tua aku terlalu numpuk, jadi baiknya dikasih ke Chaca supaya bisa dimainin.”

Charity manggut-manggut seraya mengunyah ayam goreng kecap yang jadi salah satu menu makan malam, tentu berada di pihak Zanitha demi boneka yang dia inginkan.

“Cha, nanti aja bonekanya, ya?” bujuk Tara sembari menyeka sudut bibir Charity yang terkena noda kecap menggunakan tisu. “Takutnya bosen, terus ujung-ujungnya numpuk aja di kamar Chaca.”

Ekspresi Charity berubah murung, seiras dengan mood Zanitha yang makin turun. Liona yang peka dengan situasi di sekitar—khususnya suasana hati Charity yang paling jadi perhatian—membuatnya lekas bergerak sebagai penengah. Wanita berambut hitam ikal itu tidak mau membuat putrinya kecewa, apalagi setelah Zanitha berbaik hati mau menyenangkan Charity.

“Enggak apa-apa, Mas, kasih izin aja. Toh, kita nggak beli juga buat Chaca. Jadi, kita nggak manjain banget maunya dia.”

Zanitha yang jadi penyimak bisa melihat Tara melunak melalui anggukan kecil sebagai respons dari bujukan Liona. Sangat kontras dengan kondisi tadi di mana Tara malah menolak kebaikan Zanitha, tapi mampu terbuai dalam sekali bujukan Liona. Zanitha menunduk, fokus pada piring yang masih terisi setengah porsi dan kini nafsu makannya makin sirna.

“Oke, Chaca boleh punya boneka lagi,” ucap Tara sebagai final dari percakapan soal mainan. “Tapi setelahnya minta barang lain yang lebih bermanfaat, ya.”

Senyum Charity kembali terbit, lebih lantang ketika bersorak gembira karena akan segera mendapatkan boneka. Detik berikutnya Zanitha bisa mendengar suara kecupan yang diberikan Liona dan Tara untuk Charity sebagai ekspresi kasih sayang. Lagi, Zanitha diabaikan layaknya boneka rusak yang tak patut mendapatkan tempat. Tidak ada terima kasih pada Zanitha yang akan memberi, mereka bertiga menciptakan selebrasi sendiri tanpa mau melibatkan orang yang baru hadir.

Tara pulang tengah malam dari kediaman Liona dengan langkah ringan tanpa beban menumpuk, apalagi rasa bersalah setelah membuat janji makan malam bersama Zanitha yang dia ingkar sendiri. Saat masuk, keadaan rumah masih terang menyilaukan mata, situasi yang seharusnya tidak terjadi jika Zanitha telah bermimpi dalam tidurnya.

Benar saja. Saat menemukan suara televisi yang menyala riuh di ruang keluarga, Tara segera mendekat alih-alih langsung masuk ke kamar untuk istirahat. Di ruang keluarga Tara menemukan Zanitha yang duduk dalam tegangan tinggi di sofa, menatap televisi dengan pandangan kosong. Televisi itu bukan digunakan untuk menonton, melainkan hanya mengisi kesunyian malam yang menabur pilu.

Aroma masakan di ruang makan masih tercium, tapi tidak menggoda selera Tara karena dia sudah kenyang. Disadari pula Zanitha mengenakan dress abu-abu selutut dan riasan wajah yang masih menempel rapi, rambut panjang lurusnya dibiarkan terurai bebas. Sayang, cantiknya Zanitha harus ditutupi oleh luka yang telanjur menjalar hingga tersenyum saja tidak mampu dilakukan.

Merasakan kehadiran seseorang yang masih berdiri di samping sofa, Zanitha lirik Tara melalui ekor matanya. Pria itu berdiri tenang tanpa niat mendekat ataupun pergi, seolah menunggu Zanitha bereaksi lebih dulu karena tahu Tara tidak akan mengerti apa yang dia rasakan jika hanya diam. Baiklah, Zanitha tidak mau membisu tanpa peduli Tara sedang lelah. Zanitha tidak mau menahan diri untuk bersuara mengingat ini perihal hati yang terlalu banyak terluka.

“Seru di rumah Mbak Liona?” tanya Zanitha sarkas tanpa berusaha menoleh ke arah Tara.

Suara Zanitha masih tenang, tapi dadanya bergemuruh tanpa tahu arah. Tara membuka mulut, tiba-tiba ikut tegang dan tubuhnya hanya mampu mematung di tempat yang sama.

“Liona butuh aku buat diskusi soal sekolahnya Chaca mau masuk ke mana. Aku nggak bisa nolak, makanya harus ke sana supaya bisa diskusi dengan jelas.”

Selalu Charity yang menjadi alasan dan sungguh, Zanitha mengerti itu. Namun, situasi kali ini berbeda. Tara terlalu sering pergi ke rumah mantan istri demi Charity padahal memiliki jadwal jelas kapan dia mendapat waktu eksklusif bersama sang putri. Kalaupun memanfaatkan waktu itu, Tara hanya akan pergi berdua bersama Charity tanpa melibatkan Zanitha yang hanya tahu setelah suaminya pulang ke rumah. Malah seringnya Tara memilih di rumah Liona saja dibanding rumahnya sendiri, padahal sering sekali Zanitha ingatkan agar Charity dibawa ke rumah mereka.

Sayang, Tara tidak mendengar. Tetap dengan dunianya yang terlalu indah untuk dirusak oleh pendatang. Sebab itu Zanitha tidak bisa percaya lagi jika alasannya soal Charity. Ada Liona di sana, masa lalu Tara yang entah sebenarnya telah selesai atau belum hingga sekarang. Hubungan mereka boleh sudah usai, tapi tidak menutup kemungkinan masih ada rasa yang berpijar.

“Dibandingin sama istri sendiri, kamu lebih sering di rumah mantan istri.”

Tara berdecak lidah, sedikit tidak suka dengan cara bicara Zanitha yang penuh sindiran. “Jangan sebut Liona kayak gitu, oke? Dia tetep keluarga.”

Zanitha akhirnya berdiri dan mau beradu pandang dengan Tara, menunjukkan secara nyata dampak yang diberikan sang suami ketika terlalu sering meninggalkannya. Zanitha kepalkan tinju, menumpuk sebagian kebengisan yang dia tahan agar tidak keluar deras.

“Sengaja supaya kamu ingat status aku sebagai istri. Soalnya kalau nggak diingetin, kayaknya kamu bakal lupa. Setiap hari kerja pulangnya ke rumah Liona dan alasannya pasti Chaca. Udah gitu nyampe sini tengah malam kayak nggak ingat istri yang sendiri di rumah. Terus tiap aku nawarin diri buat ikut ke rumah Liona, pasti kamu larang dengan alasan bakal bosen.

“Pernah dua kali ke sana dan aku paham kenapa bisa bosen walaupun udah coba ngobrol, karena kamu terlalu punya dunia sendiri tanpa libatin aku sama sekali. Tadinya aku nggak mau kapok, tapi dipikir-pikir bakal terus rugi kalau akhirnya gitu lagi. Ujung-ujungnya aku tetep nungguin kamu di sini, pulang dari masa lalu yang lebih punya banyak waktu sama kamu.”

Zanitha terengah dan mengelus dadanya dengan gerakan cepat, merasa belum tuntas mengeluarkan semua beban di hati. “Dan ini bukan soal Chaca ya, Mas,” imbuh Zanitha sebelum Tara berpikir sang istri keberatan soal Charity. “Aku sayang Chaca, aku seneng lihat kamu sama dia, tapi nggak suka lihat kamu sama Liona!”

“Terus aku harus gimana, Zanitha?”

Tara ikut meninggikan intonasi bicara demi menyamakan emosi Zanitha yang nyaris meledak. Zanitha tersentak, tapi tidak mau gentar sebelum pembicaraan mereka tuntas. Entah itu berakhir dengan baik atau tidak menemukan solusi yang tepat. Tara berkacak pinggang dan mendengkus pelan, paling membenci pertikaian karena itulah penyebab dia dan Liona harus berakhir dalam perceraian; pertikaian panjang yang gagal mendapatkan solusi apalagi jalan tengah, memilih berakhir saat usia Charity masih dua tahun.

Perihal ini sebenarnya tidak perlu diperbesar, tapi Zanitha bertingkah seolah dia jadi korban penyiksaan yang membuatnya harus bersuara lantang. Tara menyugar rambutnya, berusaha tetap berkepala dingin sebelum akhirnya bicara agar pertikaian bisa segera usai.

Sambil menatap sang istri, Tara berkata, “Hak asuh Chaca ada di tangan Liona. Aku nggak bisa sembarangan bawa dia ke mana-mana kalau bukan waktunya dan tanpa izin Liona. Aku datang ke sana setiap hari beneran karena Chaca, bukan karena yang lain, apalagi Liona. Tadi juga aku datang buat kepentingan Chaca, kok. Kalau nggak ada, aku pasti pulang ke sini. Waktu kamu mau nikah sama aku yang punya status duda dan punya satu anak, harusnya udah tahu bakal gimana ke Chaca. Kamu harus ngerti Chaca itu prioritas aku, Zanitha.”

Penuturan Tara membuat Zanitha bungkam untuk beberapa saat, berusaha mencerna dan memilah kata sebelum menjadi rangkaian kalimat yang akan jadi balasan. Zanitha menunduk, jadi mempertanyakan apakah keputusannya untuk menikah itu benar atau tidak.

Soal kesiapan, jangan ditanya.

Zanitha tidak pernah menyesal melepas status lajang di usia muda, tak lama setelah dia mendapatkan gelar sarjana. Dipertanyakan pun rasanya percuma, Zanitha tidak bisa mundur begitu saja saat usia pernikahan masih seumur jagung. Zanitha tidak boleh kalah dari masalah yang dihadapi ini, tidak boleh terbawa arus badai yang memberikan luka di awal rumah tangganya ini.

Zanitha harus tegar, menganggap masalah ini sebagai adaptasi bagi dia dan Tara yang berstatus suami istri. Belum lama bagi Tara memulai lagi, tapi tetap bukan perkara mudah hidup berdua dalam ikatan pernikahan. Namun, jika semua harus Zanitha mengerti, rasanya tidak adil. Pernikahan dibangun oleh dua orang dan dua kepala yang dipaksa berjalan beriringan.

Zanitha tidak mau terjebak bersama orang yang mementingkan masa lalu hingga lupa masa sekarang. Nanti bila terus didesak oleh dominasi satu pihak, Zanitha hanya banyak makan hati karena terus mengalah. Zanitha kembali memandang Tara yang sudah lebih tenang, menunggu dengan sabar istrinya bicara dan berharap mau menyudahi segalanya lebih cepat. Bukan karena Tara ingin istirahat, melainkan tidak mau masalah sekecil ini jadi makin besar.

“Kayak yang aku bilang, ini bukan karena Chaca, tapi Liona.”

Suara Zanitha begitu pelan, nyaris tidak terdengar bila diucapkan di keramaian. Berkat sunyinya tengah malam, Tara masih bisa mendengar. Pria berkemeja hitam itu menajamkan rungu demi mendengar secara jelas semua yang Zanitha ucapkan.

“Aku udah bikin perhitungan sebelum nerima pinangan dari duda satu anak. Bukan cuma aku yang harus kamu nafkahin, tapi Chaca juga dan aku selalu ngerti itu. Satu hal yang aku lewatin itu Liona. Aku nggak nyangka bakal secemburu ini karena kamu habisin banyak waktu di rumah dia. Alasannya boleh karena Chaca, tapi tetep ada mantan istri kamu yang sekarang nggak bisa aku cuekin gitu aja. Aku tahu Liona nggak akan rebut, tapi aku takut perasaan yang sering kamu kasih tahu ke aku jadi berubah buat dia lagi. Terus akhirnya … kamu lebih milih masa lalu daripada aku.”

Zanitha menyeka sudut matanya yang berair, mengembuskan napas berat hingga dada sesak menahan tangis. Tidak, dia tidak mau menangis dulu sampai suara hatinya dituntaskan di depan Tara. Menangis bukan berarti lemah, tapi itu akan menyulitkan Zanitha untuk bicara dan akhirnya hanya mampu menangis tanpa sempat menyelesaikan.

Suara Zanitha makin bergetar di setiap kalimatnya, Tara sadar itu. Bukan mencoba menghentikan, Tara biarkan Zanitha memanfaatkan waktu untuk menuntaskan segalanya. Walau sayang, tidak dapat membuka mata Tara secara utuh.

“Aku istri kamu. Apa aku … bukan prioritas juga?” Zanitha menyeka lagi sudut matanya yang tidak berhenti berair, lalu melanjutkan, “Sebelum lamar, harusnya kamu udah tahu mau gimana sebagai suami ke istrinya. Kamu nyuruh aku ngerti status kamu sebagai seorang ayah, tapi kamu sendiri nggak ngerti status sendiri yang sekarang jadi suami lagi. Harus berapa lama aku nunggu kamu pulang dari rumah Liona tiap malam? Berapa lama aku baca chat kamu yang selalu minta izin ke rumah Liona dan alasannya selalu Chaca? Berapa lama sampai aku bisa jadi prioritas juga? Setahun? Dua tahun? Lima tahun?”

Zanitha mengambil tiga langkah mendekat, hingga kini berada tepat di hadapan Tara yang masih setia mendengar. “Kalau harus selama itu, mending aku lepas diri aja. Aku nggak akan sanggup punya keluarga baru tapi kamunya nggak mau ikut bangun.”

Setelahnya Zanitha angkat kaki, meninggalkan Tara ke kamar untuk mengurung diri karena sadar tidak sanggup lagi melawan derita di hati. Zanitha sudah menumpahkan semuanya. Tidak membuat lega, tapi Zanitha harap bisa menyadarkan Tara bahwa dia mulai lelah. Zanitha bungkus sekujur tubuhnya menggunakan selimut, menangis di baliknya sebagai pengganti aksara yang tidak mampu lagi terungkap.

Tidak peduli bagaimana perasaan Tara setelah mendengar, malam ini Zanitha hanya ingin fokus pada dirinya. Napas Zanitha putus-putus akibat tangis yang gagal ditahan keluar. Tidak apa-apa, untuk sekarang Zanitha biarkan, asalkan setelahnya dia lega. Masih sambil menangis dan entah sudah berapa lama waktu berlalu, ada gerakan kecil di sampingnya dan tubuh yang sedikit besar ikut bergabung ke dalam selimut.

Detik berikutnya Zanitha bisa merasakan lengan gagah seorang pria melingkar di sekitar perut dan pinggang sang empu. Bukannya lega dan senang, Zanitha makin terisak saat satu kalimat terlontar tepat di daun telinganya.

“Maafin aku, ya, Zanitha ….”

Sudah hampir enam bulan Dalia ditahan dan tidak pernah absen ditemui oleh keluarganya setiap satu minggu sekali. Biasanya Julian akan bertemu Dalia di hari berbeda dengan orang tuanya, sengaja agar bisa mengobrol secara pribadi bersama sang adik yang tampak lesu setiap kali bertemu. Ditambah lagi Dalia tidak banyak bicara ketika bersama Julian, jadi waktu 15 menit yang didapatkan tidak bisa digunakan secara maksimal.

Sekarang Julian sudah duduk di hadapan Dalia yang dipisahkan oleh dinding kaca, menempelkan saluran telepon internal di telinga sebagai media komunikasi agar bisa mendengar suara masing-masing. Dalia tidak selesu biasanya, rupa gadis itu lebih segar dan cerah meski lingkar hitam di bawah matanya tetap nyata. Sebab itu Julian tidak bisa lega melihatnya, tetapi perubahan kecil itu cukup membuat sang kakak yakin adiknya baik-baik saja di bui sampai masa tahanan selesai.

Seragam tahanan berwarna oranye yang mentereng itu sempat membuat mata Julian silau ketika pertama kali berjumpa Dalia di rumah tahanan. Sekarang Julian sudah terbiasa berkat kunjungan tiap minggu yang tidak pernah mangkir dilakukan.

“Kenapa kamu selalu datang sendirian, Kak?”

Di luar kebiasaan, Dalia mengajukan pertanyaan lebih dulu dan mengutarakan sesuatu yang tidak Julian perkirakan. Sebelumnya Dalia hanya menjawab terkait kabar yang semula akan Julian tanyakan dan kini harus ditarik tanpa sempat mengudara.

“Aku ‘kan mau ngobrol berdua sama kamu aja, Lia,” jawab Julian.

Tanpa diduga Dalia mau tersenyum samar yang bisa Julian tangkap sekilas, makin yakin adiknya sudah ikhlas dengan hukuman yang dia terima dan buktinya tidak memberontak, apalagi merasa tidak bersalah ketika bicara bersama Julian seperti di awal-awal dia dijadikan tersangka.

“Berarti aku boleh ngobrolin hal ini sama kamu, Kak?”

Julian mengangguk antusias. “Boleh banget. Kamu mau ngobrolin soal apa?”

“Martin sama Martha.”

Dua nama yang disinggung itu membekukan Julian di tempat duduknya, sudah berprasangka buruk adiknya akan membicarakan hal negatif terkait sejoli itu. Paham kecurigaan yang tersirat di balik ekspresi datar Julian, Dalia segera melisankan kata yang meruntuhkan segala prasangka.

“Bilang ke mereka aku minta maaf ya, Kak …,” lirih Dalia, “khususnya ke Martha karena udah nyakitin dia. Awal-awal di sini aku digangguin sama orang beda sel, mereka bilang aku kayak anak nggak diurus, aku cungkring, aku mirip hewan, bahkan kalau lagi lewat beberapa kali kepala aku ditoyor. Sekarang … aku udah ngerti perasaan Martha, ternyata nggak enak digituin. Aku hampir tiap malem nangis, Kak. Aku pengen pulang tapi nggak bisa. Terus aku kepikiran gimana keadaan Martha sekarang, pasti dia juga susah udah digituin sama banyak orang. Aku aja nggak kuat, tapi dikuat-kuatin sampai hampir lima tahunan lagi.”

Astaga! Seberat itu rupanya siksaan yang Dalia terima di bui, tetapi berhasil membuka mata setelah dia lebih mengerti posisi Martha. Julian sampai menitikkan air mata, ingin sekali memeluk adiknya agar mendapat perlindungan yang dibutuhkan. Dalia di sana sendiri dan sangat ingin Julian temani.

Di hadapannya Dalia berusaha tegar, sebab keberadaannya sekarang akibat ulahnya juga. Jadi, tidak ada yang ingin Dalia lakukan selain menerima hukuman; baik di mata hukum dan mata orang-orang yang berada satu atap dengannya.

“Sekarang kamu masih digangguin?”

Dalia menggeleng, menyunggingkan senyum yang kini sudah lebih mampu dia paksakan. “Udah nggak, Kak. Aku udah punya temen juga di sini. Orang-orang yang satu sel sama aku mulai baik, jadi aku nggak terlalu sepi.”

Terjawab sudah kenapa Dalia selalu lesu setiap bertemu. Bukan karena belum menerima kenyataan, melainkan dihantam realitas yang menyakitkan. Terjawab pula bagaimana Dalia mendapatkan kembali sedikit cahaya selama terisolasi dari dunia luar dan bila bisa, Julian ingin berterima kasih pada teman satu sel Dalia yang sudah mau menemani adiknya.

“Kamu beneran nggak apa-apa sekarang, Dek?” Julian bertanya lagi, memastikan Dalia aman di balik jeruji.

“Aku sehat, Kak. Paling kurang tidur karena nggak dapet kasur empuk.”

Julian tertawa bersama air mata yang tumpah ruah karena masih tidak menyangka Dalia mendapat perlakuan kasar. Mungkin dia berhak mendapatkannya, tetapi sebagai kakak, Julian tidak tega.

“Tunggu, ya, Dek. Nanti setelah bebas, aku beliin kasur paling empuk supaya kamu nyaman tidurnya. Aku juga beliin makanan yang paling enak, bawa kamu ke tempat bagus supaya kamu bisa refreshing setelah bertahun-tahun di sini. Sabar, ya. Aku nggak akan ke mana-mana sampai kamu bebas.”

Di menit-menit terakhir, Dalia gagal membendung air mata yang akhirnya tumpah juga. Dalia merindukan dunia luar, tetapi seperti yang Julian katakan, dia harus sabar sampai waktu bebasnya tiba. Mungkin ada yang masih ingin menghukumnya lebih berat, tetapi Dalia sudah cukup mendapatkan balasan setimpal dengan dijauhkan dari dunia luar dan berada di posisi Martha.

Tak perlu menghakimi, izinkan Dalia bertaubat. Kesalahannya besar, mungkin tidak semua menerima permintaan maaf, tetapi adik kecil itu sudah rela tundukkan kepala dan singkirkan gengsi yang tinggi demi mendapatkan ampunan. Sekarang biarkan Dalia mendekam sampai beberapa pergantian tahun dan berdoalah agar dia sepenuhnya berubah setelah menghirup kembali udara bebas.

Seminggu selepas sidang terakhir, Martin, Martha, dan Markus pindah ke kediaman baru yang ada di Bogor. Lokasinya tidak jauh dari pusat kota, suasananya masih sejuk berkat pepohonan di sekitar komplek yang gagah menjulang tinggi.

Rumah lama resmi dijadikan studio oleh Martin untuk syuting endorse dan mengembalikan tim podcast lama sebagai stafnya. Tidak, Martin belum memutuskan untuk kembali bergabung dalam podcast, tetapi mengizinkan rumahnya untuk jadi studio syuting podcast bersama Julian sebagai pembawa acara tunggal sampai bertemu partner baru—dan tentu dia tetap ingin Martin kembali karena tidak ada yang bisa menandingi rekannya.

Pindahan keluarga kecil itu diantar oleh dua keluarga inti dari pihak Martin dan Martha, tidak lupa melaksanakan pesta kecil-kecilan sebagai perayaan rumah baru yang resmi jadi tempat berteduh. Saat anggota keluarga lain—ayah Martin dan kedua adik Martha—pulang, Wulan beserta Marni memutuskan menginap satu malam dan baru pulang siang ini.

Di depan rumah, mereka berlima kumpul untuk saling berpamitan. Marni memeluk Martha erat, sedikit berat melepas putrinya untuk jauh. Saat masih tinggal satu kota, Marni bisa tiba dengan cekatan bila Martha butuh apa-apa. Sekarang setelah pindah—meski tidak jauh dari Ibu Kota—Marni tidak dapat datang secepat kilat sebab ada perjalanan yang butuh ditempuh cukup lama dari rumahnya. Sebab itu Marni sulit lepas karena takut tidak bisa berada di sana ketika putrinya membutuhkan—akan sama berlakunya bila nanti kedua anaknya menikah dan tinggal terpisah.

“Baik-baik di sini ya, Nak. Maaf nanti Bunda nggak selalu ada buat kamu.”

“Bunda baik-baik juga di rumah, ya.”

Marni mengecup kedua pipi Martha sebagai final dari pertemuan mereka, lalu berganti posisi bersama Wulan yang mendapat giliran memeluk menantu satu-satunya.

“Jangan bosen kalau Mami ke sini,” tutur Wulan, sengaja agar menantunya tidak terkejut bila sewaktu-waktu beliau datang dengan rajin setiap satu minggu sekali.

“Tenang, Mi. Aku malah nunggu.”

Santai sekali Martha menanggapi, seakan kini tidak ada lagi luka yang menghampiri. Martha sudah mampu bicara lugas tanpa gentar menghadapi ibu dan mertuanya, bisa bercengkerama akrab tanpa melibatkan masa lalu yang mampu dilupakan.

Lima belas menit berlalu, Wulan dan Marni pergi menggunakan taksi online yang akan mengantar mereka hingga rumah, tak lupa melambai meski telah berada di mobil hingga akhirnya dua orang itu hilang tanpa jejak dibawa oleh perjalanan menuju kediaman masing-masing.

Sekarang hanya tinggal Martin, Martha, dan Markus yang tersisa. Saling melempar pandang dan berbalik untuk kembali masuk ke rumah.

“Siap nggak di rumah baru?” tanya Martin, masih menggendong Markus yang mengoceh dan menunjuk ke arah pintu cokelat seakan tidak sabar untuk memulai lagi.

Martha merangkul lengan Martin, mengecup suami dan putranya bergantian, barulah menjawab, “Aku siap banget.”

Kediaman baru, lingkungan baru, dan fase baru. Berbulan-bulan menghadapi cobaan berat hingga Trio M itu telah menemukan titik ternyaman kembali. Ketiganya siap memulai segalanya dari awal tanpa ada gangguan dari orang kejam. Jikalau ada, Martin, Martha, dan Markus tidak gentar untuk menghadapinya.

cw // mature content

Dalam kamus Martin, nama Martha hanya memiliki dua makna; cantik dan baik. Jadi dalam keadaan apa pun, memiliki kekurangan atau kembalinya kejayaan dulu, tidak mengubah pandangan Martin terhadap istrinya. Namun, di atas itu semua kepercayaan diri Martha adalah segalanya bagi Martin. Dengan percaya diri, bagaimanapun penampilan Martha akan selalu jadi sanjungan, minimal bagi mata Martin yang selalu tulus kala itu semua tertuang melalui aksara maupun aksi nyata.

Hampir empat bulan diet tanpa siksaan besar tidak sia-sia, karena buktinya Martha berhasil mengembalikan tubuh idealnya lagi tanpa terganggu dalam mengurus Markus. Pun tidak mengganggu kesehatannya seperti yang dulu-dulu. Targetnya masih harus menurunkan sepuluh kilo, tetapi tubuhnya yang sekarang pun sudah mengembalikan kehidupan impian Martha dulu.

Martha sudah berani tampil di depan publik, bisa memakai pakaiannya yang dulu lagi, lebih lincah dan segar sampai Martin tidak bisa menandingi dayanya. Seperti sekarang, di kasur, saat hari berganti gelap, ditemani rembulan yang menerangi pekatnya malam, dan tentu Markus telah tidur nyenyak, sejoli itu bersanggama bebas demi meraih kenikmatan.

Martha berada di atas Martin, memacu cepat seakan hari esok tidak ada lagi waktu untuk merasakan gairah yang sama. Dari bawah sana bisa Martin lihat jelas bagaimana indahnya tubuh Martha meliuk bebas dengan ringan, bermandikan peluh deras, membuat gumpalan bulat menggemaskan itu ikut naik turun seirama, serta melatunkan nyanyian merdu bernama desah yang memecah kesunyian malam.

Sesekali Martha tersenyum saat melihat Martin tidak berdaya di bawahnya, merasa hebat bisa memonopoli sang suami yang biasanya merajai tanpa henti. Martin yang mengelus kedua paha itu merasa bangga, sebab dari jutaan laki-laki, dialah yang terpilih untuk memiliki dan berada di bawah kuasa Martha. Terpilih dan dipercaya menjadi satu-satunya pria yang diberi dan melihat segala sisi dari sang pujaan.

Martin angkat tubuhnya, ikut duduk karena tidak mau menjadi pasif padahal biasanya mendominasi. Martin raih tengkuk Martha, mempertemukan birai dan saling menyatu dalam ciuman panas sebagai pengganti desah. Mereka tidak mau Markus bangun, jadi sebisa mungkin diredam agar tidak tanggung. Sebelah tangan Martin yang bebas ia gunakan untuk mengelus punggung Martha, merajai titik sensitif yang memicu adrenalin sang ratu dalam gapainya.

Kepala Martin pening bukan main saat puncak sudah tiba di ujung. Martha menengadah kala berhasil mencapai puncak lebih dulu, sedangkan Martin masih harus berusaha sedikit demi memuaskan syahwat yang sama. Hingga akhirnya Martin mengerang, meredamnya sembari bersembunyi di balik dada Martha yang terengah. Entah itu peluh siapa yang menempel di tubuh, mereka sudah tidak peduli, karena yang penting permainan pertama berhasil digapai dengan luar biasa.

Martha kumpulkan rambutnya jadi satu, dibiarkan terurai ke belakang sebelum akhirnya meraih bibir Martin dan mencumbunya mesra. Martin balas sama mesranya, sedikit rakus akibat masih haus akan gairah. Di bawah sana sudah terpuaskan, tetapi keinginan untuk melanjutkan tetap ada.

Martha menarik bibirnya, lalu menyatukan dahinya bersama dahi Martin tanpa mengubah posisi. Mereka saling melempar senyum, memberi jeda sebelum memasuki ronde dua yang tidak sabar menanti karena buktinya pusat gairah Martin kembali bangkit.

“Sekarang aku udah ringan ya pas di atas gini.”

Martin belai pelipis Martha, menyeka peluh yang tidak henti-hentinya menetes di sana. “Dari dulu juga kamu selalu ringan, kok.”

Martha percayakan segala pujian yang Martin berikan untuk dia. Namun, pujian saat tak ada sehelai perca yang membalut jelas memberikan sensasi berbeda. Lebih menggairahkan, lebih panas, dan lebih membangkitkan kepuasan.

“Sekarang kamu udah lebih pede,” puji Martin lagi. “Aku seneng banget. Diet kamu juga berhasil.”

“Aku pede bukan karena berhasil dietnya aja, tapi udah bisa nanggepin omongan orang tanpa kepikiran terlalu lama.”

Ah, benar. Jika saja tidak ada gunjingan yang diterima, sejak dulu Martha tetap percaya diri dengan keadaannya. Baru ketika berbagai komentar itu muncul, Martha yang dulu runtuh tanpa jejak. Toh, saat awal-awal berusaha mengembalikan bentuk tubuh, Martha sudah berani keluar hanya bersama Markus untuk belanja atau sekadar jalan-jalan sekitar tempat tinggal. Membuktikan bahwa keadaannya berangsur pulih tanpa ada lagi yang menyakiti.

Kini Martin lega Martha-nya telah kembali secara utuh, senantiasa hidup lebih baik dan berusaha cuek bebek terhadap omongan negatif. Di bawah sana ada yang bergerak lagi, menciptakan desah dari belah bibir Martha yang buru-buru ditahan karena volumenya begitu keras.

“Ihhh!” erang Martha. “Bukannya ngomong dulu mau gerak.”

Martin sebagai pelaku utama malah tertawa tanpa dosa, memulai lagi untuk mencapai kenikmatan dan kali ini jauh lebih panas karena mereka berani bermain di luar kamar.

Markus, jangan kaget jika nanti kamu punya adik di usia yang masih muda, Nak ….

“Ya, bagus. Senyum lagi yang cantik. Good job.”

Berbagai pujian dari seorang fotografer yang tengah memotret Martha tidak henti disuarakan bersama dengan arahan agar posenya lebih bagus. Berdiri membelakangi layar serba putih, mengenakan dress biru selutut berbahan satin, rambut panjangnya yang digerai bebas, tidak lupa memegang produk sunscreen di tangan, membuat penampilan Martha amat menawan saat berpose secara leluasa di depan kamera.

Tak bosan mendengar setiap arahan, justru antusiasme Martha sangat tinggi karena bisa kembali tampil di depan kamera, khususnya akan menjadibrand ambassador bersama suami dan rekannya—Julian. Omong-omong, Martin sudah mendapat giliran foto dan sekarang berada di belakang kamera sembari menggendong Markus yang tersenyum melihat mamanya sedang beraksi dengan kepercayaan diri tinggi.

“Ma … Ma ….”

“Iya, itu Mama. Cantik, ya?”

Markus mengangguk ketika ditanya begitu, bahkan sempat melambai ketika Martha tengah rehat dan dibalas semringah oleh sang mama yang sebenarnya sudah tidak sabar untuk menghampiri putra serta suaminya. Saat Martha kembali beraksi untuk diambil beberapa foto lagi, sebelah tangan Martin yang bebas memegang ponsel dan mulai merekam Martha di depan sana.

Tidak lupa menyanjung kecantikan istrinya yang sudah mengembalikan bentuk tubuhnya seperti semula, menjadi Martha yang ideal, tetapi tidak membuatnya jadi tinggi hati hanya karena pujian yang tak henti mengudara untuknya.

“Aduh, istri lo cantik banget.” Julian muncul tepat setelah Martin selesai merekam Martha, sontak mendelik saat pujian dari rekannya sedikit membuat panas.

“Jangan macem-macem,” ancam Martin tidak suka.

Julian nyengir dan merangkul pundak Martin yang tiba-tiba tegang. “Cuma muji, Tin. Enggak boleh pelit.”

“Pelit, soalnya itu istri gue. Cuma gue yang boleh muji.”

Well, sebenarnya itu tidak benar karena Martin senang ketika istrinya dipuji banyak orang. Namun, darahnya sering mendidih jika Julian yang memuji karena pandangan mata pria itu selalu berbinar ketika melisankan sanjungan. Paham apa yang ada di pikiran Martin, Julian segera meralat sebelum disangka akan berbuat buruk hanya karena sering memuji Martha yang baginya memang sangat cantik.

“Gue cuma muji, beneran. Enggak akan rebut. Gue ganteng, nggak mungkin nargetin istri orang.”

“Istri orang siapa?”

Suara Martha yang mendekat menginterupsi ketegangan antara Martin dan Julian, sedangkan Markus sudah tidak sabar untuk berpindah tangan dari sang ayah ke mamanya. Martha lantas meraih Markus yang kini di gendongannya, mencium pipi putra semata wayangnya yang paling manja pada Martha. Wanita itu tidak pernah jauh dari jangkauan, jadi sedikit saja memiliki jarak seperti tadi, Markus sudah rindu berat.

“Julian mau punya istri, Sayang,” jawab Martin asal.

Martha tersenyum lebar mendengar kabar baik itu. “Bagus, dong. Kapan nikahnya, Jul?”

“Masih kapan-kapan, Martha. Soalnya belum ada jodoh. Tolong cariin, dong.”

Martha sudah menanggapi serius, tetapi rupanya yang dibicarakan belum terlalu serius. “Temen aku banyak yang lajang. Mau aku kenalin satu?”

“Mau, dong.”

Julian sudah antusias ingin mendengar cerita tentang teman Martha yang kemungkinan besar akan dikenalkan padanya, tetapi pria itu lebih dulu dipanggil untuk memulai sesi pemotretan dan terpaksa meninggalkan obrolan sejenak. Di antara para staf, tinggal Martin, Martha, dan Markus yang tersisa. Menikmati waktu jeda sebelum memulai pemotretan ketiga selepas makan siang.

“Susternya mana?”

“Aku kasih istirahat dulu. Makanya sama aku.”

Martha ber-O ria. “Bagus, bagus. Biar istirahat, terus Markus bareng Mama sama Papa. Markus seneng, ‘kan?”

Markus tertawa riang, sedikit nyaring sampai beberapa staf bisa mendengar dan ikut tertawa gemas melihat sang tunggal melakukan aksi sederhana. Omong-omong Martha menyewa babysitter harian saat dia dan Martin sedang sibuk seperti sekarang. Di hari-hari biasa, Markus tetap diurus oleh Martha dan Martin saja, sesekali oleh Wulan dan Marni yang bergantian datang tiap minggunya.

Meninggalkan ruang pemotretan, Trio M memilih masuk ke ruang rias tempat barang-barang mereka berada, istirahat dan memberi Markus susu botol yang sekarang sudah berhenti menyusu pada Martha. Setelah Markus duduk anteng bersama susunya di atas stroller, Martin dan Martha baru bisa bernapas lega karena jauh dari lingkaran staf yang begitu banyak di ruangan lain.

“Kamu cantik banget, deh,” puji Martin yang duduk di samping Martha seraya membelai rambut lembut istrinya. “Tadi juga kelihatan pede banget.”

“Aslinya aku gemeteran. Tadi awal-awal aja senyumnya kaku. Kamu nggak nyadar?”

Martin menggeleng. “Buat aku nggak ada yang kurang. You’re perfect.”

Bukan sekali memuji, tetapi Martha selalu salah tingkah seakan baru sekali mendapat pujian dari sang pria. Pipi Martha sampai bersemu merah, layaknya remaja kasmaran baru bertemu pangeran impian karena selalu memberikan yang terbaik untuk putrinya. Tak akan bosan pula Martin merasa bangga atas kembalinya Martha yang tidak takut lagi melawan kenyataan.

Tentu tidak mudah, kadang pun Martha masih ragu untuk melakukan beberapa hal jika berkaitan dengan banyak orang, tetapi kali ini dia mampu mengatasinya lebih cepat. Itu sudah langkah baik yang akan selalu Martin apresiasi tanpa lelah.

“Kamu sekarang udah nggak apa-apa ‘kan, Martha?”

Pertanyaan itu lagi, masih tersemai setiap kali Martin ingin memastikan kondisi sang hawa sudah optimal kembali. Martin tidak mau masa lampau terulang, sebab itu dia harus yakin istrinya telah pulih sepenuhnya.

“Kadang masih takut main sosmed, apalagi sebentar lagi muka aku terpampang bareng sama kamu. Aku udah kayak gini pun pasti masih ada yang ngomongin jelek, tapi sekarang udah lebih baik kok, Martin. Berkat kamu juga.”

“Itu berkat kamu sendiri,” ralat Martin, tidak mau membuat Martha berpikir bahwa semua perubahannya hanya berkat suaminya seorang. “Kalau diibaratkan penonton, aku cuma tim hore dan kamu main sendiri dalam banyak babak. Jadi, bisa ada di titik ini bukan karena aku, tapi berkat usaha kamu yang nggak menyerah sama keadaan.”

Martha menggeser kursinya, sengaja agar lebih rapat dari suaminya yang terlalu rendah hati. “Sama kayak pemain,” Martha berkata, “enggak ada apa-apanya tanpa tim hore. Saat pemain itu nyerah karena hampir kalah, ada tim hore yang selalu ada buat dukung. Tim hore penting, karena itu wajib ada saat pemain lagi bermain. Jadi, kalau bukan karena kamu sebagai tim hore, aku mana bisa kayak sekarang.”

Deskripsi yang tepat, menggambarkan peran Martin dan Martha yang berjalan saling beriringan, tidak di depan dan tidak di belakang. Saat Martha maju, maka Martin ikut maju untuk menyertai setiap langkahnya. Saat Martha mundur, maka Martin ikut mundur untuk menyusul dan menggenggam erat tangan sang istri agar memulai langkahnya lagi.

Sejatinya tidak ada yang paling berkontribusi, sebab Martin dan Martha berjalan bersama-sama di setiap tantangan dalam permainan yang terus berjalan. Sekarang permainan itu telah selesai, tetapi pemain dan tim horenya tidak akan berpisah begitu saja. Mereka terjalin erat sampai mendapatkan permainan selanjutnya, memenuhi segala tantangan dengan berani karena sama-sama yakin bahwa Martin dan Martha akan selalu menang.

Terseok-seok, terguncang, renggang, semuanya sudah pernah dialami di usia pernikahan yang masih terbilang muda. Tantangannya bukan main. Meski disebabkan oleh orang luar, bukan berarti tidak berdampak pada bagian internal yang akhirnya sempat retak. Sekarang Trio M—Martin, Martha, dan Markus—menikmati masa-masa tentram tanpa ocehan netizen budiman.

Kalaupun ada, mereka siap menghadapinya lagi seakan itu hanya permainan enteng yang siap dimenangkan dalam satu babak. Sebab mereka percaya dengan saling berpegang teguh, tidak ada yang dapat memisahkan keluarga kecil itu, khususnya Martin yang terjerat kail asmara bernamakan Martha hingga tidak sanggup lepas. Kalaupun bisa, Martin tidak akan pergi dari sisi Martha sebab wanita itu adalah segalanya.

Bukan Martha yang beruntung mendapatkan Martin, justru Martin yang beruntung mendapatkan Martha. Karena dari banyaknya pria yang pasti pernah mendekati Martha, hanya dia, Martin, berhasil meluluhlantakkan hati sang putri dan memahkotainya sebagai ratu bagi sang raja yang terukir jelas di hati.

Martha, percaya pada saya. Dalam keadaan apa pun, kamu selalu yang terbaik. Di atas penilaian orang, ada penilaian saya yang jauh lebih tinggi. Jadi, jangan merasa rendah saat kamu sudah mendapatkan takhta tertinggi sebagai pemilik hati ini.

Bila boleh mengingat sedikit pertemuan bersama Martha, hari itu saya menawarkannya untuk menjadi narasumber podcast sebagai salah satu selebgram yang namanya cukup melejit. Saya menghubungi secara pribadi, bukan semata-mata menganggap Martha cantik—dan itu fakta—tapi karena saya sudah tertarik sejak awal melihat fotonya di kamar bersama caption tentang apa saja yang biasa dia lakukan saat free time.

Dari caption tersebut, saya bisa simpulkan Martha adalah orang sederhana yang lebih memilih tinggal di rumah daripada harus bepergian. Sesuai pula dengan tema yang akan diusung saat itu, jadi Martha adalah narasumber yang sangat pas.

Sayang, Martha justru menolak untuk menjadi narasumber dengan alasan dia malas keluar rumah dan bicara panjang lebar demi sesi tanya jawab. Apalagi saat itu syuting dijadwalkan hari Minggu, menambah kemageran Martha karena mengaku lebih nyaman di rumah, ditambah endorse yang masuk pun banyak hingga dia sulit mengatur waktu dengan baik.

Saya tidak mau diam, jadi saya datang ke rumah Martha dan terus membujuknya untuk menjadi narasumber podcast. Makin saya gencar membujuk, makin sering pula Martha menolak. Sampai pelan-pelan kami dekat, saling bertukar pesan di luar pekerjaan, hingga berakhir tertanam rasa bernamakan kasih dan cinta yang tidak mampu kami sembunyikan—khususnya bagi saya sendiri, sebab sejak pertama kali datang menemui Martha di kediaman orang tuanya, saat itu juga saya tahu telah ditarik masuk ke dunianya bersama hati yang telah terbuka untuk Martha seorang.

Sekitar satu bulan lebih dekat dengan alasan pekerjaan, saya mulai memberanikan diri untuk lebih blak-blakan bahwasanya ingin merekatkan diri karena tertarik pada Martha. Ajaibnya, Martha merespons saya dengan baik dan sejak itulah kami membicarakan hal pribadi. Mulai dari keluarga, apa yang ingin dicapai, hingga asmara.

Tak disangka kami sama-sama memiliki kesiapan yang menikah cukup tinggi, jadi ketika akhirnya saya dan Martha menetapkan diri sebagai sepasang kekasih, kami sudah tahu ke mana hubungan akan berakhir. Ya, jenjang pernikahan.

Tidak butuh waktu lama untuk yakin. Ketika Martha mampu akrab dengan keluarga saya, menunjukkan ketertarikan besar pada anak-anak, dan selalu nyambung setiap kali saya singgung soal pernikahan, saya memberanikan diri untuk datang ke rumahnya lagi untuk melamar.

Entah saya beruntung atau sudah berbuat baik di masa lampau, segalanya dimudahkan oleh Tuhan. Mulai dari lamaran yang diterima, pernikahan yang meninggalkan memori indah, kehamilan Martha tiga bulan setelah kami menikah, dan rezeki yang tidak henti-hentinya berlimpah.

Tentu kemudahan itu sejalan pula dengan cobaan yang ada, berasal dari orang luar merugikan kesehatan Martha dan menghilangkan sosoknya yang dulu hingga kadang saya tidak mengenalnya. Sekarang semuanya boleh membaik, tetapi kadang-kadang saya menemukan Martha duduk termangu seorang diri di balkon lantai dua. Entah memikirkan apa, tapi saya yakin bukan sesuatu yang baik. Kendati demikian, Martha selalu mampu kembali menjadi dirinya dalam waktu cepat, tak henti pula saya yakinkan bahwa dia baik-baik saja. Dari situ saya pun percaya Martha sudah pulih dan berada di jalan yang tepat.

Martha sudah kembali aktif di Instagram, menerima beberapa endorse yang sekiranya bisa dia urus sendiri. Seringnya Martha menerima endorse UMKM berupa kudapan ringan, lalu meminta bantuan pada saya untuk merekam dan ikut menikmati kiriman yang selalu lezat. Tidak setiap hari juga Martha menerima endorse karena tetap memprioritaskan saya dan Markus, jadi memiliki jadwal khusus dan tidak boleh keluar dari waktu yang telah ditetapkan itu.

Sekarang kami sudah bahagia bersama Markus, masih memiliki ketakutan tertentu tetapi yakin mampu melawan hingga takluk.

Omong-omong, Markus—kini usianya hampir dua tahun—yang makin aktif sedang menangis karena tadi berlarian tanpa henti sambil menendang bola, lalu berakhir jatuh di dapur. Martha yang sigap segera membawa Markus ke pangkuan, membiarkannya menangis sembari memantrai lutut putra kami yang terasa sakit menggunakan elusannya.

“Sakit,” adu Markus tanpa berhenti menangis. “Iya, Mama tahu. Berarti ke depannya Markus harus hati-hati, nggak lari-lari lagi kayak tadi biar nggak jatuh. Boleh ya, Nak?”

Kalimat lembut itu berhasil membuat Markus berhenti menangis, diganti oleh anggukan patuh seraya menyeka air matanya sendiri menggunakan punggung tangan. Saya di samping mereka hanya duduk manis sebagai penyimak, makin takjub saja pada Martha karena bisa mengatur Markus dengan piawai.

Bila sudah begini, mana ada urusan saya memilih pasangan yang salah? Buktinya sudah jelas, Martha memang pantas dan serasi bersanding dengan saya—yang tidak pandai mengatur anak kecil.

“Udah bisa jalannya? Udah enakan?” tanya Martha ketika Markus turun dari pangkuan.

“Bisa,” jawab Markus yang meraih kembali bolanya dari tangan saya.

“Mainnya sekitaran sini aja ya, Nak. Di dapur jalannya licin, biar nanti Markus nggak jatuh lagi.”

Lagi, Markus mengangguk patuh dan menendang bola karet itu di sekitar ruang keluarga yang bisa kami awasi secara ketat. Markus kembali tertawa dan saat itulah kami bisa mendesah lega, khususnya Martha karena tidak perlu menenangkan sang tunggal lagi setelah yakin dia aman.

Sebagai apresiasi, saya kecup pipi Martha hingga menimbulkan semburat merah di sana. Alih-alih dibalas yang sama, Martha malah mencubit pipi saya karena salah tingkah. Tidak masalah, cubitan Martha itu tanda cinta, jadi saya suka. Satu fakta baru, sebenarnya Martha memiliki target untuk turun lima kilo lagi. Namun, tidak dia lakukan agar pipi chubby-nya menetap, sebab dia tahu betapa saya suka pipi itu.

Sekarang fokus Martha adalah menjaga berat badannya agar tetap stabil, hidup sehat baik secara fisik dan mental, serta menjalani hari-hari tanpa beban di hati lagi. Jika suatu saat omongan orang mulai mengganggu, saya akan siaga berdiri di segala sisi sebagai perisai—tentu juga tim hore agar Martha tahu selain dilindungi, dia pun diberi dukungan penuh.

Bila boleh sedikit mengulas masalah lalu, sekarang saya mengerti bahwa ketikan di media sosial, satu kata negatif yang menyinggung hati, akan berdampak besar pada korban. Saya yakin ada yang memiliki masalah serupa seperti Martha, baik yang sudah menikah maupun masih lajang, jadi saya berdoa agar korban-korban lain bisa kuat menghadapi ocehan itu, mampu menyingkirkan yang buruk dan fokus pada hal baik.

Pun dari sisi pelaku, berhentilah mengomentari fisik seseorang dan berdalih hanya memotivasi atau bicara soal fakta. Gemuk, kurus, tinggi, pendek, berkulit putih, sawo matang, itu semua tetap menjadikan kita sebagai manusia. Jadi jangan ada lagi Martha atau korban lain, tetapi semoga saja ada orang yang jauh lebih baik dari saya untuk mengulurkan bantuan, minimal pada orang terdekat. Jika tidak bisa berkata baik, maka diamlah.

Jika menganggap orang lain buruk, maka becermin dan bertanya, apakah kita sudah lebih baik dari orang tersebut? Atau justru kita yang perlu introspeksi diri agar menjadi pribadi baik?

Kisah saya diawali bersama Martha, maka akan berakhir serupa; selalu bersama Martha. Kami sudah bahagia. Semoga siapa pun yang menjadi saksi kisah kami pun bahagia; mau itu bersama orang lain ataupun seorang diri.

Sekarang izinkan saya, Martha, dan Markus tutup buku. Ambil hal baik dan semoga kita dijauhkan dari hal buruk. Kalian semua berharga. Jika belum ada orang yang tepat untuk menganggap demikian, maka pujilah diri sendiri dan yakin bahwa kalian sangat hebat.