Jodoh Itu Misteri
cw // kiss
Kejutan besar Tara Vikrama temukan ketika bangun pagi pada hari Sabtu yang tidak pernah dia duga akan kembali sangat cepat. Saat Zanitha Arshavina bilang dia pergi ke rumah orang tua, pria itu mengira istrinya akan berada sangat lama di sana. Mungkin sebulan atau hingga hukuman yang diberi membuat Zanitha puas. Namun, ternyata hanya terhitung satu minggu, Zanitha sudah kembali dan menjadi orang pertama yang Tara lihat ketika bangun. Tentu Tara tidak langsung percaya sosok di depannya adalah Zanitha meski berkali-kali dia elus sekitar wajah yang terasa nyata.
Kadang saking rindunya, mimpi saja bisa seperti kenyataan, jadi Tara tidak bisa langsung percaya bahwa yang ada di kamar adalah realitas sesungguhnya.
Sampai akhirnya Zanitha bangun dan beradu pandang dengan Tara, tapi tidak bereaksi apa-apa selain memasang ekspresi datar dan sayu karena masih mengantuk. Sang pria mulai mempertanyakan realitas yang ada di hadapannya, masih ragu untuk menganggapnya nyata. Zanitha bangkit dan beranjak dari tempat tidur, mendekati lemari dan mengeluarkan pakaian dari sana, lalu masuk ke kamar mandi untuk melakukan rutinitas di sana.
Berkat suara gemericik air dari shower yang menyala, Tara baru percaya Zanitha benar sudah pulang entah sejak pukul berapa. Seingat Tara, dia tidur pukul delapan demi membayar rindu yang gagal dituntaskan karena belum berhasil bertemu sumbernya. Jadi pasti Zanitha pulang sangat malam dan tidak sempat Tara dengar hadirnya.
Ada dua puluh menit di kamar mandi, Zanitha keluar dengan blouse hitam dan celana training merah yang biasa dia pakai setiap di rumah, khususnya weekend. Rambutnya basah dan dililit oleh handuk kecil. Aroma sabun dan sampo pada tubuh Zanitha menusuk indra penciuman Tara yang sudah duduk bersandar di kepala kasur, menyaksikan gerak-gerik sang istri yang berkeliaran di kamar. Zanitha melakukan rangkaian skincare routine dengan kondisi rambut masih dililit, setelah itu mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer yang bisingnya memekakan rungu Tara, lalu merapikan tas hitam yang baru Tara sadari keberadaannya di dekat meja rias dan dimasukkan ke lemari.
Dari semua kegiatan itu, tidak sekali pun Zanitha melirik Tara yang menaruh sejuta atensi demi mencari jawaban atas pertanyaan di benak. Akibatnya Tara kembali mempertanyakan realitas yang mungkin saja masih halusinasinya, bukan kenyataan.
“Mandi, biar sarapan.”
Begitu kata Zanitha, masih tidak mau melirik Tara yang tertegun ketika diajak bicara meski hanya tiga kata. Bila itu bukan mimpi, artinya … benar Zanitha yang ada di sampingnya sejak tadi, bahkan semalam. Namun, bagaimana ceritanya? Tara tidak sempat berpikir panjang karena bergegas bangkit untuk mandi dan sarapan sesuai perintah Zanitha.
Membutuhkan waktu yang kurang lebih sama dengan Zanitha, Tara keluar dari kamar mandi dengan rambut basah yang dia usap menggunakan handuk kecil untuk mengeringkannya.
Sambil terus mengusap rambut, Tara pergi ke ruang makan tempat Zanitha membuat keributan kecil yang terdengar dari kamar. Zanitha tidak membuat sarapan yang heboh, hanya mengeluarkan beberapa box sereal dan susu, serta enam buah roti bakar yang dijadikan tiga porsi lengkap dengan selai bila ingin ditambah. Di dapur tidak kekurangan bahan apa pun, hanya Zanitha terlalu letih untuk masak dan dia juga bangun kesiangan jika harus masak macam-macam.
Tara berdiri di belakang Zanitha yang cemberut sejak tungkai pria itu dirasa mendekat, lalu menempelkan dagunya di pundak sang istri yang bergerak mengikuti alur tangan ketika menyusun roti bakar di atas tiga piring. Handuk kecil diletakkan asal di atas kursi, mengganggu Zanitha ketika menemukannya, tapi diam saja karena malas merapikan. Tara hirup aroma sabun yang menguar kuat di leher Zanitha. Geli, tapi Zanitha menahan diri untuk tidak bereaksi lebih apalagi sampai terbuai oleh godaan sesaat. Dia masih marah, sangat.
“Ini aku nggak mimpi ‘kan, ya?” bisik Tara sembari melingkarkan lengannya di perut ramping Zanitha. “Kamu akhirnya pulang. Aku kangen banget.”
Ada sedikit getaran di balik suara Tara, sebab tidak hanya rindu yang dirasa, dia pun takut yang meninggalkan tidak akan kembali padanya. Zanitha sudah selesai menyusun sarapan di meja, tapi belum bisa beranjak karena pergerakannya dihambat oleh Tara yang tidak mau melepas pelukan. Akhirnya Zanitha biarkan posisi itu bertahan selama lima menit, sampai Tara menyadari sesuatu yang ganjil di meja makan karena ada tiga porsi roti bakar.
“Kok ada tiga? Ada tamu?”
Zanitha mengangguk. “Chaca,” jawabnya singkat.
Tara mengernyit dan menarik dagunya lepas dari pundak Zanitha. “Kapan Chaca ke sini?”
“Semalam, sama aku.”
Tara tergugu-gugu. “Kok … bisa? Maksud aku … itu—”
“Bisa lepas dulu nggak?”
Tara menggeleng dan kembali menempelkan dagunya di pundak Zanitha, bahkan mengeratkan pelukan yang tidak mau dia lepas barang sejengkal. Sudah cukup spasi yang memisahkan, khususnya karena ulah Tara. Sekarang waktunya memperbaiki yang sempat hancur. Tara tidak mau mengulang kegagalan yang kedua karena bila dia kehilangan Zanitha, deritanya akan lebih parah bila dibandingkan dengan perpisahannya bersama Liona.
“Aku di rumah orang tua cuma tiga malam. Selebihnya sama Chaca. Jadi, aku bohong.”
Rengkuhan Tara mulai mengendur, memberi sedikit udara untuk Zanitha yang masih mau memberi penjelasan secara utuh.
“Mbak Liona minta maaf ke aku. Karena masih ngerasa bersalah, Mbak Liona izinin aku buat sama Chaca dari hari Senin. Yaudah, aku jemput Chaca ke sekolah, bawa dia ke hotel yang nggak jauh dari sekolahnya dan nginep di sana, terus … kami pulang karena di chat kamu bilang lagi sakit.” Zanitha melepas lengan Tara yang makin mengendur, lalu berbalik seraya berkata, “Tapi kamu kelihatan sehat. Pas aku pulang pun nggak kelihatan sakit.”
Tara tertunduk lesu setelah diberi penjelasan terkait kepergian Zanitha dan alasan mengapa dia mau pulang. Tara yakin perempuan itu bisa pergi lebih lama hingga perasaannya membaik, tapi rela Zanitha urungkan karena sang pria mengaku sakit. Pesan Tara selalu dibaca meski terlambat dan tidak mendapatkan balasan, sengaja agar Zanitha tahu bagaimana kabar suaminya saat jauh dari jangkauan. Zanitha boleh meninggalkannya, tapi tetap khawatir bila terjadi hal buruk pada Tara yang disebabkan oleh kepergiannya.
Tara sekarang mengerti bagaimana rasanya jadi Zanitha yang selalu ditinggalkan sampai berdusta. Diperlakukan dengan cara yang sama membuat Tara berada di posisi serupa, hanya dampaknya berbeda. Zanitha mengalami sakit mendalam, sedangkan Tara diruntuhkan oleh penyesalan.
“Enggak enak ‘kan rasanya ditinggal sama dibohongin? Kamu pasti sama kecewanya kayak aku.”
Tara mengangkat wajah dan beradu pandang dengan Zanitha yang tidak puas setelah berulah. Tentu, karena Zanitha tidak pernah berniat mempermainkan Tara. Dia pergi ke rumah orang tua untuk istirahat sejenak dari masalah, sedangkan kebohongan itu adalah hal spontan ketika Liona memberikan izin agar Zanitha bisa menghabiskan waktu bersama Charity.
Tara baru merasa bersalah setelah Zanitha berapi-api mengumandangkan ketidakadilan. Lain dengan Zanitha yang bersalah setiap harinya, tapi belum sanggup jika harus tatap muka dengan Tara.
“Pertama, aku beneran sakit.” Tara raih tangan Zanitha dan menempelkan telapaknya tepat di dada. “Hati aku yang sakit,” lanjut Tara sambil mencengkeram tangan Zanitha agar tetap di sana. “Aku juga kecewa, tapi sama diri sendiri karena nggak sadar dari lama. Kamu juga bohong karena alasannya Chaca dan itu bikin aku makin ngerti kalau selama ini … oh, Dear! Please …, jangan pergi lagi.”
Tara peluk Zanitha lagi, menyisir rambut hitamnya agar tidak kehilangan sedikit saja bagian dari sang istri. Tidak sanggup berkata banyak karena ketakutan ditinggalkan sudah cukup mewakilkan segala hal.
“Please, forgive me …. Aku janji nggak akan gitu lagi. Aku bakal bagi waktu dengan adil, aku bakal duluin kamu di luar waktunya sama Chaca, berapa lama pun pasti aku kasih asalkan kamu jangan pergi.”
“Kalau kamu berulah lagi, aku boleh pergi?”
“Aku nggak akan berulah lagi, Sayang. Kamu boleh pegang kata-kata aku. Kalaupun kamu pergi, aku bakal kejar sampai ke ujung dunia.”
Zanitha tersenyum samar. “Kamu nggak ngejar aku ke rumah orang tua,” sindirnya. “Takut ketemu orang tua aku?”
Tara mengurai pelukannya agar bisa kembali memandang rupa sang istri yang terlalu lama hilang dari sisi. Dibelainya kedua pipi Zanitha, setiap sentinya begitu nyata di tangan.
“Aku nggak pernah takut. Aku cuma ngasih waktu supaya kamu bisa tenang sebelum kita ketemu. Aku udah niat jemput kamu, kok. Tapi kamunya udah pulang duluan karena aku sakit. Berarti di sana khawatir banget sama aku, ya?” ucap Tara percaya diri.
Sudah mampu mencairkan suasana yang sedingin es, meski Zanitha belum mengubah ekspresi yang masih masam akibat amarah tersisa.
“Jelas aku khawatir,” aku Zanitha jujur. “Aku khawatir nggak ada yang mindahin handuk kamu ke tempatnya lagi, kamu bingung milih baju apa yang mau dipake, dan nggak ada yang bantu ambilin handuk waktu kamu lupa bawa ke kamar mandi. Aku juga takut kamu malah seneng-seneng sama Mbak Liona, ngerasa bebas karena nggak ada istri sah. Pokoknya … aku jauh aja selalu mikirin kamu, nggak adil banget, ‘kan?”
Tara menabur senyum, lantas mengangkat tubuh Zanitha dan mendaratkannya di atas meja untuk duduk hingga kini tinggi mereka lebih sejajar.
“Chaca dikasih izin tinggal sebulan di sini,” tutur Zanitha sebelum Tara sempat bicara. “Sebagian barangnya bakal dikirim. Kamu jadi bisa pulang ke sini setiap hari.”
Tara antusias mendengar kabar baik itu, tapi jauh lebih senang ketika namanya tidak pernah pergi dari benak Zanitha. Tersemai di sana tanpa hilang walaupun dipisahkan jarak, menjadi alasannya kembali meski hati masih belum membaik.
“Setelahnya aku bakal pulang ke sini setiap hari, Sayang. Aku udah janji nggak akan ngulangin. Pastinya Chaca nggak mungkin jadi nomor dua, tapi percaya deh, kamu nggak ada duanya.”
Hidung Zanitha kembang kempis saat kalimat itu hampir membuat sudut bibirnya berkedut untuk tersenyum. Astaga. Godaan setan memang dahsyat. Ey, tunggu. Tara itu malaikat, hanya kelakuannya kadang seperti kesetanan. Zanitha mengerling malas, pura-pura tidak terbuai padahal pipinya jelas merona. Tara mengetatkan rahang, berusaha menahan tawa yang nyaris keluar karena tahu dia berhasil meruntuhkan sedikit demi sedikit benteng pertahanan Zanitha.
“Jadi, kita baikan?”
Zanitha tatap Tara sengit lagi. “Aku masih marah.”
Tara mengangguk, menyadari itu. “Tapi kamu juga sayang aku, jadi aku bisa cium.”
Tak sempat merespons, bibir mereka sudah menyatu berkat gerak cekatan Tara yang tidak mau menerima penolakan apa pun. Tara elus punggung Zanitha dengan gerakan naik turun, menyapu bibir sang puan yang terkatup rapat tanpa mau membalas. Zanitha mendorong dada Tara dan berhasil melepas tautan. Wajah Zanitha merah padam karena panas akibat malu dan gengsi yang jadi satu.
“Aku beneran masih marah, ya.”
“I know,” balas Tara santai. “Tapi kamu juga kangen.”
Tara kembali menyatukan bibir mereka yang kali ini tidak dapat ditolak karena benar, Zanitha juga rindu berat. Terakhir kali birai mereka beradu saat proses pembuahan yang sudah berlalu cukup lama. Maka ketika dua bibir itu menyatu, Tara dan Zanitha jadi lebih rakus. Decapan terdengar jelas di ruang makan, lidah mulai membelit ketika Zanitha tarik Tara agar lebih rapat.
Tangan Tara sudah menyelinap masuk ke baju Zanitha, mengelus sekitar punggung dari dalam sana. Meski sedikit tergesa, tidak ada syahwat yang dibangkitkan di baliknya, hanya dibalut oleh cinta yang perlu disampaikan setelah keberadaannya diragukan. “Aku sayang kamu,” bisik Tara di sela-sela ciuman. Rambutnya sudah berantakan akibat diremas Zanitha.
Sebelum makin hilang akal, tautan mereka terlepas dan sama-sama terengah. Lengan Zanitha mengait di leher Tara, sedangkan kedua tangan Tara keluar dari sangkar agar tidak kembali tergoda. Keduanya masih terpejam, menikmati sisa-sisa ciuman yang membekas lama. Masih haus akan sentuhan, tapi mencoba menahan sebelum Zanitha mau sepenuhnya berdamai.
Keputusan untuk mengakhiri ciuman lebih cepat adalah tindakan yang tepat, karena tak lama setelahnya, suara parau memanggil Tara dan Zanitha sambil perlahan mendekat.
“Ma, Ayah ….”
Tara bergegas menjauh dan Zanitha turun dari meja, sama-sama merapikan rambut agar tidak dicurigai oleh Charity yang tiba di ruang makan sambil menggaruk kepalanya. Charity yang baru bangun langsung diraih oleh Tara ke pangkuan, lalu mendaratkan sang putri di kursi dan menghadap sarapan yang telah siap.
Tara hujani kecupan di puncak kepala Charity yang menerima segelas air dari Zanitha. Tidak lupa Tara rapikan rambut panjang putrinya agar tidak mengganggu saat sarapan.
“Good morning. Anak Ayah sarapannya mau sereal apa?” tanya Tara sambil menatap beberapa jenis sereal yang ada di meja.
Mata Charity menyipit karena masih harus beradaptasi dengan cahaya yang menusuk mata. Charity malah menatap Zanitha yang duduk di sebelahnya, alih-alih menjawab pertanyaan Tara.
“Mau dipangku Mama,” ucapnya sambil merentangkan tangan, memberi kode agar Zanitha meraihnya.
Paham, Zanitha membawa Charity dan kini sudah duduk di pangkuan. Charity bersandar di dada, masih butuh tidur tapi keadaan memaksanya bangun. Sejak menghabiskan waktu berdua, Zanitha dan Charity jadi makin akur. Terbukti Charity hanya ingin menempel pada Zanitha dan menolak Tara yang mau mengambil alih agar sang putri duduk di pangkuannya.
Bukan apa-apa, Tara yang sudah duduk di samping mereka jadi sedikit cemburu karena tidak kebagian dipeluk Zanitha.
“Cha, mending dipangku Ayah. Biar Ayah bisa meluk Mama juga.”
Charity menggeleng dan tertawa jail setelah nyawanya mulai terkumpul. “Enggak boleh. Mama punya Chaca. Nanti kita pergi berdua lagi ‘kan, Ma?” tanya Charity sambil menengadah menatap Zanitha.
“Iya, dong. Kita perginya berdua aja.”
Charity terkikik puas. “Iya, Ayah nggak usah diajak.”
Tara menganga mendengar rencana kepergian Zanitha dan Charity, entah itu real atau sekadar lawakan di pagi hari. Apa pun itu, Tara tidak mau jauh lagi, khususnya dari Zanitha yang baru dia dapatkan kembali.
Jangan sampai Tara kehilangan untuk yang kedua kali, karena pedihnya berkali-kali lipat mengingat orangnya adalah Zanitha; perempuan yang menerima status dudanya, perempuan yang bisa mengimbanginya, perempuan yang menyayangi Charity apa adanya, perempuan yang membuat Tara belajar menekan egonya, dan perempuan yang membuat Tara yakin bahwa kesempatan itu ada, baik untuk dicintai dan mencintai lagi.
Jodoh itu memang misteri, tidak tahu kapan hadir, tapi orang yang tepat akan datang untuk mengisi. Setelah gagal, Tuhan memercayakan Tara untuk memulai lagi bersama Zanitha, sosok yang tepat dan tidak akan dilepas. Sebab Tara yakin—dan untuk pertama kalinya begitu percaya diri—sejak awal perjumpaannya dengan Zanitha, perempuan itu ditakdirkan untuk menjadi miliknya.
Zanitha, saya sudah salah. Saya membuat kamu kecewa. Tapi saya janji, ke depannya tidak ada lagi beban yang saya beri. Seperti yang saya bilang, Charity tidak bisa jadi nomor dua, tapi kamu tidak ada duanya. Di hari saat saya mengucap janji hidup semati, maka janji itu jadi pegangan saya untuk menghadapi hari-hari bersama yang terkasih. Zanitha, maafkan saya yang masih kekurangan. Tapi percaya, kamu selalu membuat saya merasa memiliki segala, karena kamulah segalanya. Saya cinta kamu, Zanitha Arshavina. Saya janji kita tidak akan gagal.