hanyabualan

“Mi,” panggil Martin hati-hati sekali saat Wulan sedang menikmati waktu sendiri bersama tontonan terbaik di televisi, tepatnya tidak lama selepas Markus dibawa ke kamar oleh Martha untuk ditidurkan di tempatnya.

Wulan sontak mendongak, menemukan Martin yang didampingi Martha, menimbulkan tanda tanya di dahi beliau karena berpikir menantu dan putranya akan tidur mengingat ini telah memasuki pukul sembilan.

“Kenapa, Nak?” tanya Wulan seraya berdiri, tetapi dicegah oleh Martin agar tetap duduk manis seperti sedia kala.

Sebelum Wulan bertanya lagi, Martin dan Martha berlutut di hadapan Wulan, menyentuh kedua lutut sang ibu dengan tangan masing-masing, lalu sungkem pada beliau yang heran ketika diberi hormat oleh mereka.

“Mi,” Martin berkata lirih, “maafin aku, ya, Mi. Beberapa bulan ini selalu negatif ke Mami, ngomong nggak baik ke Mami, nyakitin hati Mami berkali-kali. Maaf, ya, Mi.”

“Aku juga minta maaf, Mi,” sambung Martha yang tidak mampu lagi membendung segenap air mata hingga mengalir deras membasahi pipi. “Aku udah lawan dan ngomong nggak enak ke Mami. Maafin aku, Mi.”

Kata maaf dari Martin dan Martha menghancurkan benteng pemisah yang mereka bentuk demi melindungi diri dari Wulan. Saat benteng itu hancur, sumber ketakutan mereka ikut menghancurkan ego dan gengsi tinggi yang lebih banyak menyakiti hati sejoli di bawahnya. Wulan belai rambut Martin dan Martha yang terisak, sama seperti beliau karena merasa tak layak untuk menerima maaf mengingat kesalahannya jauh lebih banyak.

Wulan menunduk, mencium puncak kepala Martin dan Martha bergantian tanpa peduli air mata beliau sedikit membasahi rambut sejoli itu.

“Mami yang harus minta maaf sama kalian, Nak. Salahnya Mami lebih banyak, bahkan kalian nggak ada salah apa-apa sampai harus minta maaf. Wajar kalian begitu ke Mami yang keterlaluan. Jadi, maafin Mami, ya. Mami nggak akan begitu lagi sama kalian. Mami bakal lebih hargain kalian, khususnya Martha sebagai sesama perempuan. Udah, ya. Jangan nangis gini ….”

Diminta untuk tidak menangis malah menambah tirta yang tumpah ruah secara bebas tiada henti, khususnya dari Martha yang selalu memimpikan untuk damai saat masa-masa menyakitkan itu masih ada. Sekarang setelah kedamaian yang dicari menemukan titik temu, tangis menjadi wakil dari bebasnya hati yang pernah tersakiti. Sedikit demi sedikit menyembuhkan luka yang pernah tertanam, memekarkan kembali kasih sayang antara ketiga pihak yang sempat saling bertikai.

Wulan raih Martin dan Martha agar duduk mengimpit beliau, memeluk mereka lagi yang menerima banyaknya duka. Wulan biarkan bajunya basah, asalkan ketika kering bisa mengubahnya jadi sukacita. Martin mengurai pelukannya, mencium kedua pipi dan tangan Wulan yang telah berjasa sepanjang hidupnya.

“Maafin aku, Mi,” isak Martin seraya kembali memeluk Wulan erat, kali ini tidak mau lepas untuk sesaat demi menebus kesalahan yang dia lakukan.

“Baik-baik ya kalian di tempat baru nanti. Sering-sering hubungin Mami, oke? Jangan bosen juga kalau Mami tiba-tiba sering ke sana.”

Martin dan Martha kompak menggeleng, tentu tidak akan merasa bosan karena kedatangan Wulan dan keluarga lain akan dinantikan demi menjalin tali kekeluargaan agar lebih erat.

“Biar aku sama Martha juga yang datang ke rumah, Mi. Biar Mami nggak capek,” ucap Martin yang sudah lebih relaks.

Martha hanya bagian mengangguk, masih belum mampu mengembalikan suaranya akibat ditawan air mata. Tidak apa-apa, asalkan setelahnya ikatan yang hilang itu kembali merekat. Tentu ada banyak masa Wulan berbuat salah hingga Martin lelah sampai bersumpah tidak akan memaafkan apalagi meminta maaf, membuat Martha mengelus dada saat ucapan-ucapan mertuanya tidak henti membunuh.

Kini Wulan buktikan beliau tidak akan mengulang kesalahan lama, rela melakukan apa saja demi keluarganya jika membutuhkan bala bantuan. Mungkin ada yang akan keberatan menerima Wulan kembali, tetapi itu tidak akan mengubah status antara satu sama lain. Damai adalah satu-satunya cara hidup tentram dan dijauhkan dari dendam.

Dengan begitu Martin dan Martha bisa memulai hidup baru tanpa beban, sebab semuanya telah kembali seperti semula.

Langkah pertama yang Martha ambil pada Minggu sore saat sekitar komplek sedang ramai. Seorang diri tanpa didampingi, hanya ada Martha yang sedang menghadapi dunia setelah sebelumnya tidak pernah berjauhan dari Martin. Pria itu tidak pernah jauh dari sisi Martha, tetapi kali ini diperintahkan untuk pergi lebih dulu bersama Markus menuju lapangan basket dan akan disusul oleh sang istri.

Martha hanya berkata singkat dan langsung dipahami betul apa niat sesungguhnya, jadi Martin mengabulkan tanpa banyak bertanya dan memercayakan sang istri yang sedang berusaha untuk kembali merangkak naik.

Martha menyusul setelah Martin dan Markus pergi selama 20 menit, jeda yang cukup lama hanya untuk mempersiapkan diri. Namun, itu tidak masalah untuk Martin yang sedia menunggu dengan kesabaran lapang, ditambah Markus pun butuh hiburan akibat jenuh berada di rumah dalam waktu lama.

Setiap kali kakinya bergerak ke tempat tujuan, Martha akan bertemu orang-orang di sekitar tempat tinggal Martin yang tidak pernah dia kenal. Orang asing sangat menakutkan, sebab mereka biasanya akan menilai saat pertemuan pertama dalam berbagai aspek. Namun, aspek paling utama adalah penampilan yang sedang Martha perbaiki dan tentu belum maksimal.

Martha sudah bisa cuek dengan gunjingan orang, tetapi dia tetap ingin menghindari ucapan-ucapan buruk itu secara langsung. Martha tidak mau jatuh untuk sekian kali saat banyak yang tertawa di atasnya. Jadi wanita itu berusaha wawas diri selama melakukan perjalanan yang terasa panjang menuju keluarganya.

Martha berusaha hindari kontak mata, tetapi ketika tidak sengaja bertemu pandang, wanita itu refleks tersenyum dan tak disangka dibalas dengan cara serupa yang membuat Martha takjub. Senyum yang membalasnya amat tulus sampai Martha berhenti untuk beberapa saat akibat merasa kagum.

Apa benar itu orang asing yang Martha takutkan? Orang asing yang membuat Martha merinding ketika berada di sekitar? Manusia dari kalangan usia yang sedang nongkrong di halaman rumah tampak tidak memperhatikannya. Jika iya, tidak ada ekspresi aneh kala memandang penampilan berisi Martha yang menurut netizen mengganggu mata. Semuanya tampak biasa, bahkan tidak memedulikan fisik asalkan sikap Martha tetap baik.

Kala tungkainya kembali bergerak maju dan bertemu sepasang suami istri sedang jogging, Martha tersenyum sebagai sapaan hangat dan kembali dibalas sama tulusnya dengan tambahan kata, “Sore.”

Respons positif itu membuat Martha tidak mau jadi pasif, kali ini giliran dia menyapa orang-orang yang dilewati bersama senyum dan kata singkat agar lebih lengkap.

“Selamat sore,” sapa Martha pada beberapa orang yang dia lewati; ibu-ibu yang sedang memberi makan anak balitanya, tiga anak berusia 7 tahun tengah berlarian ke sana kemari, pria paruh baya yang menikmati sore hari, sampai abang penjual bakso yang sedang melayani pembeli.

Sesekali Martha melambai juga, bergerak aktif sebagai apresiasi pada orang-orang yang dia temui hari ini. Saat akhirnya Martha hampir tiba di lapangan, untuk pertama kalinya dia merasa mampu bernapas lega. Tak lagi gentar menghadapi banyak orang, tampil percaya diri dengan rupa apa adanya, merasa diterima dalam lingkungan masyarakat untuk kedua kalinya.

Lantas ketika kakinya berhasil mendarat di lapangan basket yang tetap sepi, hanya ada Martin yang sedang menggendong Markus mengelilingi lapangan sambil membicarakan pemandangan sekitar, separuh—bahkan hampir seluruh—beban Martha hilang dan pundaknya terasa ringan. Wanita itu bahkan bisa berlari tanpa merasa berat untuk mendekati keluarganya yang sedikit jauh dari gerbang masuk lapangan.

“Pelan-pelan,” tutur Martin ketika menyadari Martha berlari untuk menghampirinya.

Setelah mendarat di hadapan, Martin telisik wajah Martha yang cerah seakan sudah menemukan hal baik selama perjalanan.

“Ada cerita apa?”

Semangat Martha kian menggebu ketika pertanyaan itu mengudara bebas di rungu. Baru lagi Martha merasakan semangat sebesar ini, jadi dia tidak ingin menyia-nyiakan waktu untuk menceritakan momen terbaik dalam hidup setelah beberapa bulan berlalu.

“Tadi pas di jalan, aku agak takut sama banyak orang. Terus pas nggak sengaja lihat-lihatan, orangnya senyum ke aku. Berkat dia aku jadi lebih pede, terus aku sapa tiap orang yang aku lewatin sepanjang perjalanan ke sini. Mereka juga balesnya ramah, bahkan anak kecil yang lari-lari juga sampai berhenti buat bales sapaan aku, Martin. Orang-orang baik banget, ya. Aku seneng ketemu mereka. Enggak ada yang mandang aku aneh lagi.”

Martin seperti mendengar anak kecil yang pertama kali keluar menuju dunia luar dan menemui orang-orang baru hingga terkagum-kagum, memberi arti lain bahwa istrinya sangat menggemaskan. Di samping itu, Martin turut senang karena Martha bisa menemukan kenyamanan setelah menghadapi sulitnya realitas sampai menghindari dunia luar. Sebelah tangan Martin yang bebas mengusap puncak kepala Martha, memberikan satu kecupan di bibir sebagai apresiasi atas pencapaian besarnya.

You did well, Martha. Aku bangga banget sama kamu. Markus juga bangga sama Mama, ‘kan?”

Martha tertawa ketika Markus merespons dengan cengiran polos hingga gigi susunya terlihat jelas. Markus juga mengoceh, memberi kode ingin turun dari pangkuan. Martin mengabulkan, lantas berlutut dan pelan-pelan menurunkan Markus agar berdiri menapaki lapangan yang rata. Martha ikut berlutut dalam jarak lima langkah sedikit jauh, sengaja untuk menguji Markus yang belakangan ini sudah belajar berdiri dan berjalan selangkah demi selangkah sambil dituntun.

Martin menuntun kedua tangan Markus yang pelan-pelan maju mendekati Martha di depannya. Martha rentangkan tangan, semangat menanti Markus yang tidak sabar mendekati mamanya.

“Sini, Nak. Samperin Mama.”

Masih tertatih meski dituntun, Martin tetap sabar membimbing putranya yang tertawa kegirangan setiap kakinya bergerak lurus tanpa halangan apa pun. Satu, dua, tiga langkah, diambil Markus sambil pegangan kuat pada tangan sang ayah. Hingga anak tunggal itu berhasil menggapai Martha dan berakhir di pelukannya.

Di bawah hangatnya terik mentari sore yang mulai terbenam untuk berganti malam, keluarga kecil itu duduk di lapangan sepi seakan hanya boleh mereka saja yang huni. Rona bahagia jelas terpatri, sama-sama siap untuk memulai hidup baru tanpa takut masalah lalu terulang kembali.

Namun, dari semua itu, Martin yang paling berbangga hati karena istrinya berangsur kembali.

“Mi, biar aku aja yang kerjain, ya. Biar Mami nggak capek.”

Begitu kata Martha kala melihat Wulan sibuk di dapur menyiapkan makan siang Markus. Bukannya tidak memercayakan konsumsi putranya pada sang nenek, hanya Martha tidak mau memberatkan Wulan apalagi setelah beliau memasak menu juga untuk makan siang. Alih-alih menurut, Wulan tetap sibuk menyatukan beberapa bahan untuk diolah menjadi bubur bayi, amat telaten ketika menggunakan pisau layaknya seorang koki andal.

Martha mengawasi gerak-gerik Wulan, siapa tahu butuh bantuan setelah ucapannya diabaikan oleh sang mertua karena tidak mau menyerahkan satu tugas pun yang ada di dapur. Tentu bukan karena Wulan takut Martha tidak piawai dalam membuat makanan untuk putra sendiri—selama ini Markus sehat, jadi makanan yang dibuat Martha pasti sangat baik—tetapi sejak awal niatnya ke rumah Martin memang untuk mengurus keluarga kecil itu, khususnya Martha agar memiliki waktu rehat yang cukup dan fokus memulihkan kesehatan mentalnya.

Martin sendiri sedang berada di studio kecil rumahnya, tengah menghubungi perihal pekerjaan bersama perwakilan salah satu produk yang mengajaknya menjadi brand ambassador, ditemani oleh Markus agar putranya itu ada teman selagi sang mama dan neneknya tengah menyibukkan diri di dapur. Well, lebih tepatnya hanya Wulan yang sibuk karena Martha tidak dibiarkan untuk menyentuh apa pun selain menjadi penonton setia di sana.

Sadar tengah diawasi, Wulan menjeda tugasnya setelah semua bahan masuk ke panci untuk dibuat bubur. Wulan menoleh ke arah Martha yang berdiri tegak di belakang beliau, makin waswas kala ditatap tegas oleh mertuanya yang menaruh atensi setelah cukup lama fokus pada masakannya. Reaksi itu ditangkap jelas oleh Wulan, tentu tidak menyenangkan kala ditemukan karena artinya sang menantu belum merasa aman ketika di sekitarnya. Reaksi yang tidak sepatutnya ada, jadi Wulan ingin memperbaiki agar tidak ada lagi ketegangan di antara beliau dan Martha.

“Kamu duduk aja, Martha. Biar Mami yang masak juga buat Markus. Mami nggak akan aneh-aneh, kok.”

Martha menggeleng, menyangkal pikiran buruk Wulan kala mengira diawasi karena takut berbuat buruk. “Aku nggak biasa diem aja kalau masuk jam makan gini, Mi. Makanya biar aku bantuin, ya. Supaya lebih cepet selesai juga,” tutur Martha hati-hati, tidak mau menyinggung hati Wulan yang sudah membantu banyak.

Martha sudah siap mendekati kompor untuk mengawasi bubur buatan Wulan, tetapi segera dicegah oleh sang mertua dengan mencengkeram pelan tangan menantunya. Refleks Martha mundur, takut jika aksinya salah di mata Wulan yang tidak mau diganggu. Wulan bisa melihat sorot mata penuh waspada dari iris legam Martha, menandakan bahwa situasi menantunya masih belum sebaik yang dikira.

“Selama ini kamu tetep ngerjain urusan rumah walaupun lagi nggak baik-baik aja, Martha?” tanya Wulan seraya menarik tangannya agar Martha tidak merasa ditawan.

“Iya, Mi. Itu ‘kan tugas aku.”

“Berarti sekarang istirahat yang banyak, ya. Mami nginep di sini lumayan lama, jadi urusan rumah biar Mami yang kerjain. Kamu nggak usah terlalu mikirin dan fokus sama kesehatan sendiri. Biar bisa sehat lagi.”

Mengingatkan Martha akan kesehatan biasanya jadi tugas Martin karena pria itu yang paling hafal dengan kondisi sang istri. Lantas aneh ketika mendengarnya dari Wulan, tetapi melenyapkan segala ketakutan bergejolak di dada berkat kepedulian mertua yang tidak mau menantunya dalam kondisi terpuruk lagi. Wulan sudah pernah melihat Martha menangis, mati-matian pula melawannya, jadi itu sudah cukup membuktikan bahwa wanita muda di hadapannya menopang beban tidak terhingga akibat ucapan orang-orang termasuk dari beliau.

Selagi mengikis beban itu, Wulan tidak mau menambah beban Martha dengan memikirkan pekerjaan rumah untuk sementara selama beliau ada di rumah. Wulan ingin Martha fokus pada segala kesehatan mental yang memengaruhi fisik, serta memperbaiki hubungan yang regang akibat perang dingin.

Wulan elus pundak Martha yang tidak setegap biasanya, tetap berusaha kokoh setelah ditimpa banyak hal, tidak mau lagi berhati dingin hanya demi putra semata wayang. Selama ini Wulan buta jika Martin tidak mempermasalahkan penampilan Martha yang baginya selalu sempurna, maka kini beliau sadar bahwa komentarnya adalah kata yang tidak pantas diucapkan saat putranya sangat bahagia dalam keadaan sederhana.

Kesederhanaan itu berasal dari Martha seorang yang tidak perlu menunjukkan kemewahan diri berlebih demi membuat Martin kagum. Cukup dengan dukungan dan presensinya yang tidak pernah absen, Martin telah merasa cukup. Sebab yang menciptakan kesempurnaan di antara mereka bukan salah satunya, bukan satu-satunya, melainkan kombinasi yang pas untuk menjadi kesatuan.

Wulan sunggingkan senyum, lalu memeluk Martha yang sedikit tegang mendapat sentuhan fisik tidak terduga dari mertuanya. Sudah lama sekali tidak merasakan pelukan dari beliau, jadi Martha sedikit tidak terbiasa tetapi menikmati segala yang diberikan.

“Kamu udah berusaha kuat, Martha. Sekarang istirahat sebentar aja demi diri sendiri, ya. Biar Mami yang repot, kamunya jangan.”

Istirahat.

Sebuah kata dalam perintah yang selalu Martin utarakan agar istrinya tidak berbuat macam-macam demi memulihkan diri. Begitu diucapkan oleh Wulan, istirahat jadi terasa lebih mudah sebab sumber lukanya sudah mulai pulih. Bibir Martha bergetar, hampir menangis. Kali ini ditahan karena tidak mau merusak suasana baik yang sudah diciptakan Wulan. Martha mengangguk, tidak membantah apalagi keberatan dengan perintah itu.

“Tapi kalau butuh bantuan bisa panggil aku kok, Mi.”

Wulan tertawa pelan, diam-diam beliau pun menahan tangis agar tidak ada air mata dalam kedamaian itu. “Iya, nanti Mami panggilnya Martin aja biar pandai masak dan bantuin kamu kalau lagi nggak bisa.”

Tawa riang mengudara dari belah bibir Martha, senang Wulan yang dulunya menyenangkan bisa kembali menentramkan raga. Martha berdoa semoga kedamaian yang ada bertahan lama. Tidak ada lagi yang merasa tinggi berkat merendahkan, apalagi merasa rendah ketika melihat yang lebih tinggi.

Sebab manusia memiliki porsinya masing-masing berada dalam ketinggian mana, hanya tinggal mampu atau tidaknya naik sedikit demi sedikit untuk mencapai posisi terbaiknya. Dan Martha sedang berusaha mencapai posisi itu bersama dukungan yang dia dapat.

Sidang pertama berjalan tanpa hambatan, tetapi tidak ramah bagi Martha yang untuk pertama kalinya tampil di muka publik, di salah satu tempat paling sakral untuk menyaksikan para pelaku kejahatan yang mengorbankannya mendapatkan balasan setimpal. Martha duduk di bangku paling depan, memangku tangan di atas pahanya ketika mendengar orang-orang di ruang sidang bicara satu per satu.

Jujur, Martha tidak menyimak dengan baik karena fokusnya seakan ditarik jauh dari realitas, tidak memberinya kesempatan untuk bernapas lega akibat terlalu banyak orang yang memperhatikan. Pelaku yang bertindak paling parah—khususnya Dalia—boleh saja sudah di tangan para ahli hukum, tetapi kekhawatiran akan komentar negatif terkait dirinya tidak hilang hingga detik ini.

Martin di samping Martha beberapa kali melirik, memastikan kondisi istrinya stabil, tidak tiba-tiba jatuh akibat rasa takut yang menghampiri. Begitu sadar ada yang mulai tidak beres, Martin akan mengelus punggung Martha atau menggenggam tangannya erat untuk memberikan ketenangan sampai sidang selesai.

Upaya itu berhasil, karena buktinya Martha akan kembali relaks berkat lindungan pria yang menjadi penjaga terbaik. Martha tidak menghitung berapa lama sidang berlangsung, tetapi dia bersumpah itu adalah momen terlama dalam sejarah hidupnya, lebih lama dibandingkan ketika dia melakukan persalinan pertama setahun lalu.

Ketika akhirnya yang hadir dibubarkan dan para terdakwa dibawa untuk menunggu sidang kedua, Martha yang hampir mencapai pintu ditarik secara kasar oleh seseorang di bagian tangan, menyebabkan dia lepas dari jangkauan Martin yang menjaganya sebelum berhadapan dengan kerumunan awak media di luar.

Martha syok, makin menggigil ketika berhadapan dengan Dalia yang wajahnya merah padam penuh amarah, ekspresinya menggelap akibat tidak menerima dia berada dalam keadaan terpuruk sedangkan Martha bisa menikmati hidup bersama yang Dalia kagum.

“Lo harus bebasin gue, Martha!” hardik Dalia sembari menarik kerah baju Martha. Dalia sudah mengenakan borgol dan ditarik oleh dua petugas, tetapi tenaganya yang maksimal membuat siapa pun tidak bisa mengalahkan gadis itu. “Lo harus bebasin gue atau nggak hidup damai!”

Martin berusaha menarik lepas tangan Dalia dari kerah baju Martha. Adegan itu ditonton oleh awak media yang sudah menanti di luar ruang sidang saat pintu terbuka. Semuanya berbondong-bondong mengambil gambar untuk dijadikan topik hangat, menyorot wajah Dalia dan Martha bergantian sebagai dua tokoh utama di sana.

Entah keberanian dan tenaga dari mana, Martha berhasil menyingkirkan tangan Dalia hingga gadis itu terhuyung mundur akibat hilang keseimbangan. Takut ditambah nyali yang terisi penuh menciptakan energi besar, memberanikan Martha untuk bicara blak-blakan sebagai penutup hari yang melelahkan.

“Selama ini aku juga nggak pernah hidup damai karena ulah kamu dan yang lain, Dalia!” Martha meninggikan intonasi bicaranya, menyunyikan riuhnya kerumunan demi mendengar perlawanan Martha secara jelas. “Mungkin nggak akan pernah tenang walaupun kamu udah tinggal di tempat lain. Kamu di sini bukan karena kemauan aku pribadi, nggak akan bisa balikin aku dalam keadaan baik kayak dulu, tapi minimal bikin kamu sadar bahwa kelakuan kamu itu salah! Bebas atau nggak, aku bakal tetep takut sama orang banyak. Jadi, jangan nuntut aku untuk cabut apa pun yang terkait sama kamu sebelum kamu sendiri mau sadar.”

Napas Martha tersengal-sengal, tetapi puas bisa membuat Dalia kalah telak dengan kalimat singkat yang mewakili seluruh rasa. Tentu, dampak lain adalah Martha kehilangan energi sangat cepat, membuat dia harus mencari pegangan dan Martin adalah satu-satunya yang tersedia. Dalia yang masih bergeming akibat tertohok tidak dapat menolak ketika petugas membawanya menjauh, tentu diawasi oleh Julian dan orang tuanya yang kini tidak bisa menjangkau putri bungsu itu secara sembarang karena dalam penjagaan ketat.

Sebelum hilang dari jangkauan mata, Julian bisa melihat setetes kristal bening yang mengalir dari mata Dalia, menciptakan ngilu di dada karena sang kakak tidak dapat melindungi adiknya dari ancaman. Dalia boleh menyebalkan, boleh membuat Julian muak, boleh pula bersalah, tetapi hati Julian sebagai kakak tidak berbohong jika sebenarnya dia iba.

Sayang, Julian tidak mau mengulurkan bantuan terlalu banyak agar Dalia menyadari perbuatannya yang berdampak buruk pada seseorang.

Di luar ruang sidang, Martin dan Martha dikerumuni oleh awak media yang meminta pernyataan, khususnya terkait drama kecil yang baru saja terjadi dan menjadi tontonan terbaik untuk dibahas. Martha tentu diam, sedangkan Martin berusaha merangkul istrinya dan meminta awak media untuk menyingkir agar memberi jalan.

Kendati demikian, Martha bisa lebih percaya diri karena merasa lega setelah menumpahkan sedikit beban pada Dalia, setelah sebelumnya gagal akibat hampir diserang oleh sang pelaku yang hilang kendali. Ditambah banyak awak media yang ada di pihak Martha, berhasil membangkitkan kembali semangat yang sempat sirna karena terpuruk dalam luka.

Martha sesekali tersenyum meski hanya bertahan satu detik, tetapi itu sudah cukup menandakan bahwa sang puan mulai merangkak naik untuk menemukan arti hidupnya lagi.

“Markus, cium Mama, Nak.”

Markus yang pemahamannya sudah lebih tinggi ketika diminta beberapa hal segera mengabulkan keinginan Martha. Batita yang tengah duduk di sofa itu mencium pipi Martha, sampai wanita tersebut menunduk demi bisa merasakan bibir putranya menyentuh pipi dalam waktu singkat.

Martha tersenyum kegirangan kala kedua pipinya jadi sasaran Markus, lantas membawa sang putra ke pangkuan karena gemas dengan tingkahnya yang makin pintar. Giliran Martha suguhkan kecupan di puncak kepala sang putra yang rambutnya telah dipangkas rapi setelah ulang tahun, begitu wangi khas shampo bayi yang membuat wanita itu betah untuk mencium aromanya.

Kemesraan ibu dan anak itu menghangatkan Martin ketika mendekat sembari membawa potongan buah apel dan biskuit Markus menuju ruang keluarga, memeriahkan waktu yang sudah menjelang sore dan memasuki masa-masa santai bersama orang terkasih. Martin duduk di samping Martha, meraih sepotong apel menggunakan garpu, lalu menyuapi istrinya yang fokus menonton BoBoiBoy di televisi.

“Enggak perlu disuapin kali,” tolak Martha dan berusaha mengambil alih garpu di tangan Martin.

Tak biarkan istrinya mengambil garpu tersebut, Martin tetap menyuapi Martha sampai akhirnya wanita itu menyerah dan membiarkan dirinya diperlakukan bak ratu yang serba dilayani dalam hal apa pun.

Di hari dan waktu biasa, Martin pasti masih sibuk di studio melaksanakan rekaman endorse bersama Julian yang akan diunggah ke media sosial masing-masing, lalu latihan untuk syuting podcast pada esok harinya agar tidak ada salah-salah kata ketika bertemu narasumber. Pada masanya Martin merasa kesibukannya adalah hal perlu karena dia mencari nafkah untuk keluarganya—yang bisa saja bertambah.

Namun, sekarang Martin sadar kesibukannya itu terlalu padat hingga waktu bersama Martha dan Markus sangat tipis, apalagi weekend pun bisa digunakan untuk syuting. Sebab itu Martin jadi lebih menghargai momen yang ada selama dia rehat dari segala kesibukan, memanjakan Martha yang selalu membutuhkan perlindungan, serta mengikuti setiap tumbuh kembang putranya tanpa melewatkan satu detik pun.

“Sekarang kamu udah enakan?” tanya Martin, mengingat tadi sepanjang persidangan Martha tidak nyaman berada di depan banyak orang.

Paham maksud suaminya, Martha menjawab lugas, “Justru setelah ngomong gitu di depan Dalia, aku ngerasa lebih lega. Aku juga kasihan, tapi … dia harus jera biar nggak ada korban lain.”

Martin turut lega mendengar jawaban Martha, percaya karena setibanya di rumah, sang istri tidak gentar apalagi sampai bergetar setelah sidang dan dikerumuni banyak orang.

“Makasih banget, ya. Berkat kamu, aku udah nggak apa-apa. Kamu jagain aku banget pas di ruang sidang.”

Bukan sok rendah hati, tetapi Martin tidak setuju dengan anggapan tersebut karena baginya kondisi Martha sekarang adalah berkat sang istri sendiri. Martha yang berusaha positif, Martha yang berkali-kali memberanikan diri, Martha yang menemukan cara untuk tersenyum lagi, hingga Martha yang berniat kembali seperti dulu lagi adalah berkat dia pribadi. Martin hanya bertugas mengawasi, sesekali mengulurkan tangan untuk memotivasi.

“Jagain dan mastiin kamu sehat udah jadi kewajiban aku. Tapi perubahan sekarang berkat kamu sendiri, Martha. Kamu nggak berusaha nyangkal waktu nggak baik-baik aja, tapi nggak pernah diam dan selalu mau bangkit. Susah, tapi buktinya tadi aja kamu bisa.”

Martin dan kata-kata manisnya, selalu membuai Martha untuk berdiri di tempat yang tinggi seakan layak berada di sana. Namun, setinggi-tingginya tempat, takhta di hati Martin adalah podium paling tinggi yang harus Martha tempati dalam waktu lama. Sebab di sanalah dia merasa jadi segalanya tanpa perlu dipandang sebelah mata, diapresiasi atas hal kecil yang mungkin sepele bagi banyak orang.

“Martin,” panggil Martha dan membuat sang suami yang sedang memberikan biskuit kedua untuk Markus menaruh atensi pada istrinya.

“Kenapa?”

Martha suguhkan satu kecupan di pipi Martin baru berkata, “Makasih udah sayang sama aku dalam keadaan kayak gini. Enggak pernah nilai kekurangan aku sebagai aib yang harus ditutupin. Makasih udah setia sampai aku ngerasa lebih baik. Makasih, ya. Makasih banyak.”

Tak terhitung berapa kali ucapan terima kasih tersemai yang sesungguhnya tak perlu. Sebab yang dilakukan Martin adalah kewajiban setelah berjanji hidup semati bersama Martha, tanggung jawab sejak pria itu sadar bahwa dia telah jatuh ke lubang cinta terdalam yang hanya berisikan nama Martha di sana.

Bagaimanapun Martha, apa pun anggapan orang terhadapnya, tidak akan mengubah cinta Martin yang murni untuk sang pujaan. Martin belai pipi Martha yang masih berisi. Menikmati sensasinya sebelum hilang berkat diet yang akan segera Martha mulai.

“Kamu selalu yang terbaik buat aku, Martha. Aku juga bukan apa-apa kalau nggak ada kamu.”

Rumah di Kota Hujan menjadi lokasi diadakannya acara ulang tahun Markus yang pertama. Rumah yang dibeli sebagai tempat tinggal baru bersama istri dan anak itu sengaja dijadikan tempat berpesta, agar Martha dan Markus bisa mudah beradaptasi sebelum pindah.

Rumah dua lantai dengan empat kamar tidur dan tiga kamar mandi itu dilengkapi area barbeque di rooftop, sehingga acara diadakan di sana agar bisa melihat pemandangan asri sekitar yang dihiasi pepohonan rindang. Martin, Martha, dan Markus sudah tiba di rumah itu sejak H-1 dan baru pulang H+1 setelah acara, sengaja untuk melakukan persiapan dan memastikan keadaan rumah dalam keadaan rapi ketika ditinggalkan sebelum jadi tempat berteduh sepenuhnya.

Acara ulang tahun dihadiri oleh orang-orang inti saja seperti keluarga Martin dan Martha, tidak mau mengadakan pesta besar karena selama ini wajah Markus sendiri sering dirahasiakan dari publik. Selain menghindari fotonya disebar secara sembarang dan digunakan untuk yang tidak-tidak, Markus dan Martha merasa wajah Markus adalah privasi yang tidak boleh ditunjukkan pada banyak orang.

Kalaupun ada rencana, dan sudah dilakukan, wajah Markus tidak ditunjukkan secara keseluruhan, yang penting tahu anak tunggal itu lebih mirip siapa dan bagaimana perkembangannya sekarang. Bila biasanya ulang tahun anak dipenuhi anak-anak sebaya atau minimal tidak jauh dari usia Markus, maka pesta kali ini lain karena mayoritas yang datang adalah orang dewasa.

Pasalnya teman Martha dan Martin belum ada yang menikah, kerabat mereka pun tidak memiliki anak kecil sepantar Markus yang bisa diajak bermain bersama. Alhasil Markus dikelilingi orang tua, berlimpahan doa dan kado yang sangat bermanfaat untuk sang tunggal.

Acara dimeriahkan pula oleh seluruh anggota tim podcast yang sudah lama tidak syuting. Sebagai ganti podcast yang sedang krisis karena satu pembawa acaranya masih enggan kembali, Julian meminta izin pada Martin untuk merekam pesta ulang tahun Markus dan diunggah ke kanal mereka sebagai vlog—dengan catatan wajah Markus wajib disensor.

Tidak ada hiasan meriah, tetapi makanan yang disiapkan tidak sedikit agar bisa dinikmati sepanjang hari. Mulai dari kudapan ringan hingga yang berat, minuman tawar dan minuman manis.

Dari semua tamu yang hadir, Wulan dan Marni paling lesu, hanya mampu tersenyum ketika diajak bicara dan memangku Markus bergantian, sebab ketika tahu Martin dan Martha akan pindah ke rumah tersebut, mereka masih keberatan.

“Martha kelihatan sehat, tuh,” tutur Julian mendapati Martha yang ceria ketika berbincang bersama kedua adik dan mertuanya—ayah Martin. “Terakhir ketemu pas sama Dalia itu.”

Martin ikut menatap ke arah Martha berada, turut senang melihat kondisi istrinya yang telah membaik. Bila orang luar yang melihat, tentu akan berpikir Martha tidak merasa kesulitan sedikit pun dalam hidupnya. Padahal untuk sampai ke titik ini—tentu masih perlu melangkah tanpa henti sampai sepenuhnya pulih—Martha harus merasakan ketakutan yang menghantui, memiliki masalah rasa percaya pada orang lain, mudah terguncang hingga emosinya naik turun, dan entah sudah berapa banyak air mata yang tumpah akibat tumpukan beban di tubuh.

“Itu juga masih harus diawasin,” balas Martin seraya kembali menatap Julian.

“Berarti lo nggak akan balik kerja dulu sampai Martha bener-bener sehat?”

Martin menambahkan, “Sampai dia udah berani ketemu orang banyak. Soalnya dia masih gampang keguncang kalau di tempat umum.”

Julian mengangguk paham, apalagi keadaan itu terjadi akibat ulah Dalia di pestanya juga. Sudah berlalu cukup lama bagi orang-orang yang menyaksikan, tidak ada yang membahasnya juga, tetapi dampaknya masih luar biasa bagi Martha sebagai korban.

“Kan lo mau tinggal di sini,” kata Julian seraya memindai sekeliling rooptof, “nanti pas udah balik, mau kerja apa? Podcast lagi, yuk.”

Pria bertubuh jangkung itu masih giat membujuk Martin untuk kembali mengadakan podcast. Ditambah akun media sosial Julian, Martin, dan akun resmi podcast mereka pun dibanjiri pertanyaan kapan pria satu anak itu akan kembali mengisi ruang obrolan yang sepi tanpa konten. Bila sebelumnya Martin langsung menolak dengan ekspresi sinis, maka kali ini dia tersenyum yang membuat Julian seakan diberi harapan.

“Martha beberapa kali nyuruh gue balik podcast lagi sama lo.” Informasi itu membuat Julian merasa diangkat tinggi-tinggi karena masih ada harapan untuk memulihkan kanal YouTube mereka. “Tapi gue tetep nggak mau, Jul,” tolak Martin, langsung menjatuhkan Julian hingga senyum di wajahnya sirna. “Kemungkinan gue buka YouTube sendiri kalau mau. Masih tetep nerima endorse, apalagi udah banyak DM masuk buat kerja sama. Terus gue juga ditawarin buat jadi BA salah satu produk skincare, bareng Martha pula.”

Julian menganga lebar, takjub atas pencapaian sejoli yang belakangan ini lebih banyak diam dan menghindari media sosial. Tidak ada iri, justru bangga karena karier temannya tetap melejit sampai dipercaya menjadi brand ambassador yang belum disebut apa nama produknya.

“Gile! Diam sembunyi, bergerak jadi BA,” gumam Julian kagum. “Martha terima?”

“Gue udah ngomong, tapi dia malu. Katanya belum balik kayak dulu. Kalau dari pihak sana sih nggak peduli sama penampilan istri gue, tapi Martha masih belum siap, makanya nggak langsung kerja bareng. Malah pihak sana nanyain lo mau juga atau nggak. Makanya gue ngomong gini sekalian nawarin juga. Kalau Martha mau, kita jadi BA bertiga. Kalau nggak, gue berdua aja sama—”

“Jelas mau,” sambar Julian sambil mengangkat gelas berisi sodanya setinggi telinga sebagai bentuk selebrasi atas tawaran tersebut. “Oke. Kapan ketemu sama pihak sana? Gue siap.”

Martin tertawa, sudah bisa menebak Julian pasti tidak mau melewatkan tawaran satu itu—sama seperti Martin, tetapi dia masih menunggu keputusan Martha.

“Minggu depan. Bisa nggak?”

“Bisa banget,” jawab Julian tanpa pikir panjang. “Gue ngurusin adek doang karena podcast belum jalan. Jadi banyak waktu free.”

Ah, benar. Sebentar lagi sidang pertama dimulai, jadi pasti Julian akan sangat sibuk mengurus Dalia. Dalam sidang pertama pun Martin dan Martha diharuskan datang, jadi pria itu sama sibuknya untuk mempersiapkan sang istri berada di depan publik lagi untuk menyelesaikan perkara yang ada. Saat asyik berbincang berdua bersama Julian, sedangkan tamu lain asyik juga di beberapa spot berbeda untuk menikmati kudapan, Martin melihat Martha dibawa oleh Wulan dan Marni ke lantai bawah entah untuk apa.

Penasaran, Martin meminta izin pada Julian, lalu menyusul karena tidak mau membiarkan istrinya sendiri.

Di lantai satu, jauh dari riuhnya orang-orang di atas, Markus juga berada dalam penjagaan kakeknya, tiga wanita kumpul di ruang tamu yang diisi tiga sofa hitam dan meja kayu bundar di tengah-tengahnya, lengkap dengan pajangan bunga artificial di samping sofa. Martin muncul sebelum Wulan dan Marni sempat bersuara, tentu mengejutkan mereka berdua tetapi membiarkan pria itu untuk bergabung.

“Kenapa ini?” Martin waswas.

Wulan yang menyarankan untuk bicara beraksi lebih dulu. Sebagai orang yang paling merasa bersalah, Wulan tidak mau membuang waktu dan makin dicurigai bahwa beliau akan melakukan hal buruk pada menantunya.

“Mami mau minta Martha supaya kalian nggak jadi pindah, Martin,” jawab Wulan lesu.

“Bunda juga nggak mau kalian pindah. Masalahnya udah selesai. Apa nggak bisa kalian tetap di rumah lama?”

Martin dan Martha saling bertegur pandang, tidak tega melihat permintaan penuh harap dari Wulan dan Marni yang tampak keberatan akibat kepindahan sejoli itu. Bukan sebatas tidak terima, Wulan dan Marni merasa jadi lebih buruk karena sadar diri masing-masing menjadi alasan putra putri itu mencari hunian baru—di kota yang berbeda pula.

Wulan tiba-tiba berlutut di hadapan Martha, spontan membuat wanita itu mundur selangkah akibat terkejut dan merasa tidak layak mendapatkan perlakuan seperti itu dari mertuanya.

“Maafin Mami, Martha. Mami janji nggak akan ngulang kesalahan yang dulu. Mami nggak akan ngomong jelek ke kamu lagi. Mami nggak akan bikin kamu takut lagi, Martha.”

Belum sempat Martha meraih Wulan untuk berdiri, Marni ikut berlutut dan berurai air mata demi memohon ampunan yang sama sebagai wanita paling besalah karena telah menyakiti putrinya sendiri.

“Bunda juga nggak akan gitu lagi, Nak,” isak Marni susah payah. “Jangan pindah buat ngehindarin kami. Tolong ya, Nak. Bunda bakal ngomong banyak hal baik ke kamu.”

Martha ikut berlutut dan berusaha meraih kedua orang tua itu yang susah payah diajak berdiri. Tidak mau goyah sampai permintaan keduanya terkabul, Wulan dan Marni tetap di posisi yang sama dengan air mata tak kunjung reda. Wulan dan Marni bukan mengais ampun semata, tetapi tidak mau dirundung rasa bersalah karena kepergian Martin dan Martha disebabkan oleh mereka.

“Udah, ya. Jangan gini,” pinta Martha, ikut menangis karena tidak mau terlihat seperti anak durhaka melihat orang tua berada jauh di bawah. “Kalian masih bisa ke sini, kok. Rumahnya nggak jauh dari Jakarta.”

Tidak cukup dibujuk begitu, Wulan dan Marni tetap tidak luluh. Martha lantas memeluk mereka untuk menenangkan keduanya agar tidak makin histeris saat kepindahan sejoli tidak bisa diganggu gugat.

Martin turut berlutut, merangkul Wulan yang putus asa selama menahan putra dan menantunya agar tetap berada dalam jangkauan. Sayang, sebanyak apa pun air mata yang dikeluarkan di hari bahagia, keputusan Martha dan Martin sudah bulat.

Malam kedua di kediaman baru sebelum esoknya kembali ke rumah lama—baru akan pindah setelah perkara selesai—Martha berbaring miring sembari menepuk pelan pundak Markus di sampingnya hingga tertidur.

Lupa membawa kasur Markus membuat sang tunggal terpaksa tidur satu kasur bersama orang tuanya, berakibat pada minimnya pergerakan Martin dan Martha selama tidur agar tidak mengganggu Markus. Jangankan bermesraan, bisa tidur tenang dalam posisi yang tepat saja sulit dilakukan.

Kamar utama di kediaman baru memiliki fasilitas yang kurang lebih sama dengan kediaman lama, bedanya lebih luas dan terdapat walk in closet yang lebih nyaman ketika menyimpan pakaian dan bersiap-siap di sana. Paling enak adalah tidak perlu memasang AC setiap malam, sebab cuacanya yang sejuk sudah membuat malam mereka jadi dingin berkat pendingin alami.

Martin yang baru saja selesai mengenakan pakaian tidur akhirnya berbaring, melakukan peregangan kecil saat dirasa tubuhnya pegal setelah seharian melayani tamu di pesta ulang tahun Markus. Belum lagi tadi membuka puluhan kado yang sekarang menumpuk di sekitar kasur. Padahal yang diundang sekitar 20 orang, tetapi kadonya dua kali lipat lebih banyak dari tamunya.

Di rumah lama juga masih ada kado lain dari teman-teman Martin dan Martha yang belum dibuka, begitu disyukuri karena Markus bisa mendapatkan rezeki berlimpah dari orang terdekat.

“Jadi keinget waktu Mami sama Bunda nangis,” gumam Martha setelah menyelimuti Markus menggunakan selimut bergambar Woody. “Kenapa ya mereka sampai begitu?”

“Mereka ngerasa bersalah, jadi mau nebus kesalahan mereka. Kalau kamu pindah, mereka jadi jauh dan itu bikin Mami sama Bunda keberatan.”

“Tapi ‘kan kita nggak pergi jauh, Tin. Aku juga udah maafin mereka.”

Martin elus dahi Markus, merapikan poni putranya yang sedikit berantakan dan perlu dipotong agar lebih pendek setelah tiba Ibu Kota nanti. “Ini kamu nggak akan berubah pikiran dan akhirnya nggak jadi pindah, ‘kan?”

Martha menggeleng, jelas tidak akan berubah pikiran karena sejak awal Martin mengajaknya untuk pindah, dia sudah meniatkan untuk ikut bersama suaminya. “Cuma kepikiran Bunda sama Mami, Martin.”

Tangan Martin kini terulur untuk membelai pipi Martha, hati-hati agar tidak mengenai bagian tubuh mana pun dari putranya yang tidur tenang. “Kalau gitu jangan ngerasa bersalah juga, ya. I know, kita kesannya kabur. Tapi ini demi kebaikan kamu supaya nemu lingkungan baru yang nggak toxic.”

Martin benar. Beberapa bulan ini Martha tidak merasa aman di tanah kelahiran sendiri. Sebab itu Martha tidak pernah keberatan ketika diajak pindah, ingin mencari zona nyaman baru selama belajar mendamaikan jiwanya.

“Jadi mau cium, tapi susah.”

Martha tertawa pelan mendengar keluhan Martin yang tidak bebas selama Markus berada di antara mereka. Dengan jail Martha malah memejamkan mata, berusaha tidur saat Martin belum mendapatkan yang diinginkan.

“Yaudah, di Jakarta aku cium sampai puas. Jangan nolak, ya.”

Yah, bagaimana mau menolak kalau tiap malam Martin akan lebih manja dibandingkan putranya sendiri? Belum memiliki anak kedua, tetapi Martha sudah merasa seperti mengurus dua anak.

tw // body shaming

Selama berusaha berdamai dengan keadaan dan perkara hukum berlangsung sengit, Martin selalu menutupi siapa dalang utama yang sudah membuat Martha terpuruk di dunianya. Martha tahu Dalia berulah di ulang tahun Julian, mempermalukannya di depan banyak orang padahal bukan dia yang menang. Namun, Martha tidak menyangka bahwa Dalia—adik rekan suaminya—pelaku yang paling parah karena menyebar fitnah terkait Martha di media sosial.

Fitnah yang membuat Martha ketakutan untuk membuka media sosial, mendapatkan ratusan cacian baik dari Twitter dan Instagram, sampai dia mempertanyakan apakah selama ini hidupnya selalu salah di mata orang dan tidak diizinkan untuk hidup tenang. Martha tidak mengenal Dalia secara dekat selain tahu dia sering memuji Martin setiap bekerja, pernah ditegur dua kali melalui pesan dan secara langsung, tapi tetap tidak menyangka bila gadis muda itu bisa berbuat brutal dengan menjatuhkannya.

Saat diminta untuk bertemu Dalia yang merupakan tersangka, Martha berpikir cukup lama karena dia akan berhadapan dengan orang yang membuat mental jatuh. Persiapan harus dilakukan, jangan sampai Martha bereaksi sama seperti ketika berjumpa dengan Marni dan Wulan. Martha harus kuat, meski akhirnya pasti dia akan jatuh juga. Setelah menerima dan bersiap diri, diberi wanti-wanti oleh Martin yang tidak akan melepaskan istrinya secuil pandang pun, Martha akhirnya bersua dengan Dalia yang tampak lesu tetapi ditutup oleh ego dan gengsi di wajah.

Sesuai rencana, mereka bertemu di kediaman keluarga Julian, dijaga ketat oleh kepolisian di luar, dan diawasi oleh Martin serta pemilik rumah agar langsung menarik masing-masing perempuan bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Di ruang tamu yang biasanya terdapat sofa marun, kini digantikan oleh dua kursi hitam saling berhadapan bersama meja berwarna senada yang berada di antaranya, memisahkan Martha dan Dalia yang bungkam dan begitu tegang.

Dalia menatap nyalang Martha, sedangkan yang ditatap tangannya mulai gemetar kecil di bawah meja. Martha tidak mau goyah, jadi dia berusaha sembunyikan perasaan sesungguhnya demi bisa menyelesaikan pertemuan tanpa ada lagi beban. Martin dan Julian berdiri di dekat pintu, mengawasi gerak-gerik Dalia yang kedua tangannya diborgol agar tidak melakukan pemberontakan.

Setelah tragedi penyerangan itu, Dalia jadi sering melempar berbagai barang di kamarnya, melampiaskan kemarahan karena merasa tidak layak diperlakukan seperti orang terhina. Jadi untuk menghindari kejadian mengerikan di mana Martha diserang oleh Dalia yang emosinya naik turun cepat, baiknya sang pelaku ditawan asalkan percakapan mereka bisa berakhir tanpa kekerasan.

“Kamu kelihatan sehat,” Martha berkata demikian sebagai pembuka setelah hampir sepuluh menit bungkam untuk mencari topik pertama yang bisa dibicarakan.

Dalia menyeringai dan mengangkat dagunya tinggi-tinggi, tampak angkuh dan memandang Martha rendah. “Lo nggak lihat gue menderita?” Dalia menyerang balik. “Justru lo yang kelihatan sehat kayak orang paling bahagia. Enak, ya, hidup sama Martin? Disemangatin terus tiap hari, padahal lo nggak layak sama sekali buat bersanding sama dia. Lo dulu cantik, gue akuin itu. Tapi lihat sekarang,” Dalia angkat kedua tangannya yang diborgol dan tersenyum mengejek, “udah kayak apaan tahu. Masih untung Martin baik. Tapi lo jaga-jaga, siapa tahu Martin ninggalin karena udah bosen lihat penampilan lo yang kayak badut itu.”

Martin sudah ingin menyerang Dalia, beruntungnya berhasil ditahan oleh Julian agar rekannya tidak ikut campur sampai percakapan Martha dan Dalia tuntas. Julian juga geram, tetapi tidak mau mengusik selama Martha masih bisa duduk tegak tanpa ada yang tahu getar di tangan dan kakinya kian parah.

Martha kira, Dalia tidak akan membawa fisiknya lagi, hanya ingin bicara terkait penyerangan tempo hari yang mengguncangnya cukup hebat. Rupanya perkiraan itu salah, karena makin Dalia runtuh, makin dia ingin membawa Martha untuk ikut.

“Kenapa kamu nggak suka banget sama aku?”

Dalia tertawa nyaring, menggeleng pelan mendengar pertanyaan jenaka yang dilayangkan begitu enteng. “Jelas karena gue nggak suka Martin nikah sama lo. Gue nggak mau lihat idola gue sama orang lain. Kalau gue nggak bahagia lihat idola gue, berarti lo nggak boleh bahagia juga. Untungnya ada yang bisa gue pake buat jatuhin lo, jadi nggak usah mikir berkali-kali harus ngapain.”

“Jadi, siapa pun orangnya, kamu nggak akan suka lihat Martin punya istri?”

Dalia mengangguk, membenarkan asumsi itu. “Yes, siapa pun itu.”

“Terus kamu maunya apa dari aku? Kamu mau aku sama Martin pisah?”

Kata pisah yang diucapkan Martha menggetarkan Martin di tempatnya, takut bila sang istri bicara serius dan meminta bercerai di hadapan Dalia serta Julian. Oke, itu hanya pikiran buruk yang tidak mungkin terjadi. Namun, tetap saja Martin panik.

Dalia menengadah sejenak seraya bersandar pada sandaran kursinya. Semenit kemudian, Dalia labuhkan pandang lagi pada Martha yang tidak mampu menunjukkan ekspresi apa-apa karena sebenarnya dia takut berhadapan dengan sumber lukanya.

“Gue mau lihat lo menderita, itu aja. Nanti juga Martin capek sama keadaan lo dan minta pisah,” sahut Dalia enteng, tanpa beban sekali di lidahnya.

Entah apa layak Martha merasakan itu, tetapi dia bersyukur bukan orang lain yang menerima ujaran kebencian dari Dalia hanya karena bisa bersanding dengan Martin. Bukannya Martha sok kuat—karena dia sendiri sudah sering jatuh di tempat—hanya khawatir jika orang lain yang menerima belum tentu bisa setangguh itu, berada dalam kondisi yang lebih parah, tapi tentu akan jauh lebih baik bila orang lain itu sangat kuat dibandingkan Martha.

Martha kira dia tidak akan terpengaruh lagi oleh omongan seseorang terkait fisik. Nyatanya ucapan Dalia tetap menyakitkan ketika didengar langsung tepat di muka, menciptakan nyeri di tubuh Martha hingga tidak sanggup bergerak barang sesenti pun. Martha gigit bibirnya, memaksakan diri sedikit lagi selama pertemuan ini masih berjalan. Begitu usai, Martha bersumpah dia tidak akan mau bertemu Dalia, apalagi peduli tentang kabarnya.

Bukannya Martha tidak mau bersimpati atas apa yang menimpa Dalia, hanya saja dia tidak siap jika yang dibahas selalu sama dan berakhir di jurang dalam untuk sekian kalinya.

“Jadi, kamu minta ketemu sama aku cuma buat ngatain soal fisik?”

Dalia angkat sebelah alis. “Dan gue mau minta dibebasin,” katanya tanpa merasa bersalah. “Ada banyak orang yang nggak suka sama lo, Martha. Sekarang beberapa udah ditangkap kayak gue, tapi gue nggak ngerasa layak dapat perlakuan gini. Makanya gue mau dibebasin sekarang juga. Lo udah tahu gue diserang kayak apa, jadi harusnya ngerti juga rasanya gimana.”

Benar. Lidah tidak bertulang.

Saking lenturnya, manusia bisa berkata semaunya tanpa memikirkan kesalahan lalu atau perasaan orang. Dalia seakan jadi manusia paling tidak berdosa setelah mengalami penyerangan, merasa layak dapat kebebasan dan hukuman diganti pada orang yang telah menjatuhkannya beberapa hari lalu. Martin dan Julian mengelus dada di posisinya, baru kali ini bertemu manusia paling tidak tahu diri yang seenaknya meminta kebebasan dari korban ulahnya sendiri.

Martha menautkan jari, menahan getaran agar tidak merusak konsentrasinya. Ini akan selesai sebentar lagi, jadi Martha harus bertahan sampai segalanya usai.

“Tadinya,” ucap Martha, “aku mau minta Martin cabut laporan kamu karena berpikir udah ngerasain diserang dan yakin kamu bakal ngerti perasaan orang yang disakitin gitu. Tapi karena omongan kamu tadi, aku nggak mau kamu bebas gitu aja. Aku nggak membenarkan pihak yang udah nyerang kamu, tapi karena kamu sekeras ini dan tetap rendahin martabat aku seakan kamu yang paling benar, baiknya kamu—”

“Gue nggak mau!” hardik Dalia seraya berdiri dan menggebrak meja dengan kedua kepalan tangannya.

Martha terkesiap hingga membeliak, mendongak menatap Dalia yang wajahnya merah seperti orang kesetanan akibat tidak mau mengalah.

“Gue harus bebas, Martha! Lo yang harusnya menderita aja!”

Dalia hampir saja naik ke meja, tetapi segera ditahan oleh Julian dan Martha dibawa mundur oleh Martin sebelum penyerangan terjadi. Napas Dalia memburu, berusaha berontak dari kurungan lengan kakaknya yang membatasi gerak.

“Gue mau bebas, Martha. Bebasin gue atau lo menderita! Kalau gue nggak bebas, artinya lo sama jahatnya kayak gue. Lo nggak mau ‘kan dicap jahat setelah dikenal berhati malaikat?” serang Dalia sembari menunjukkan seringai mengerikan di wajahnya.

“Jangan dengerin,” ucap Martin sebelum Martha jadi berubah pikiran akibat terpengaruh ucapan Dalia. “Dia pantes dihukum.”

Dalia yang mendengar itu merasa tidak menerima. Dia makin berontak hingga menendang kursi dan meja di dekatnya. “Gue nggak pantes, Martin. Yang pantes itu Martha! Lo juga bakal bosen sama dia!”

Mendengar keributan dari dalam mengundang dua polisi untuk masuk dan ikut menahan Dalia agar tidak berbuat macam-macam. Julian memberi kode pada Martin yang langsung dipahami, membawa Martha keluar yang merinding ngeri melihat pemberontakan gila Dalia akibat gagal mendapat keinginan.

Sungguh, bila saja Dalia meminta secara tulus, menyadari kesalahannya setelah tahu bagaimana rasanya di posisi korban, Martha sudah berencana meminta Martin untuk mencabut laporan—termasuk pelaku lain yang lebih pasrah dibanding Dalia.

Namun, jika begini caranya, Martha tidak mau Dalia menghirup udara bebas dengan mudah. Bukan karena dia ikut menjadi jahat, tetapi Martha tidak mau ada orang lain bernasib sama hanya karena Dalia ingin mengajak agar tidak bahagia.

Di akhir temu, Dalia tetap orang yang sama. Dia dalang utama yang tidak bisa dimaafkan dan buta oleh kebencian. Satu-satunya cara untuk menghilangkan jejak adalah dengan menahannya, menjauhkan Dalia dari dunia luar agar tidak mencari korban lagi untuk melampiaskan dendam.

Mobil Martin berhenti di rumah kerabatnya untuk menjemput Markus yang dititipkan selama orang tua sang tunggal menemui Dalia. Mesin sudah dimatikan, tetapi sejoli itu belum keluar dari sana karena Martha masih berada di dunianya—melamunkan perkara tadi yang membuatnya syok. Tangannya tidak lagi bergetar, tetapi sorot mata Martha tidak berbohong menyiratkan luka.

Martin melepas seatbelt-nya dan seatbelt Martha, lalu menarik wanita itu ke dalam dekapan untuk berbagi beban yang ada di kepala. “Jangan takut. Dalia nggak akan bebas,” tutur Martin. “Kamu juga nggak akan nyuruh aku cabut laporan, ‘kan? Soalnya Dalia berhak dapetin itu.”

Martha tidak menjawab, tetapi diamnya diartikan setuju karena bagaimanapun Dalia tidak menunjukkan rasa kapok dan tetap menyerangnya melalui kata—bahkan hampir membuat serangan fisik. Martin kecup dahi Martha beberapa kali, mencoba menghapus segala kekhawatiran di kepala yang terlalu menumpuk. Jika Dalia tidak mencicipi bui, gadis itu tidak akan berubah dan terus mencari mangsa—mungkin Martha akan tetap jadi mangsanya.

“Gimana kalau kita siapin ulang tahun Markus aja?” Martin mengalihkan topik pada yang lebih penting dan menyenangkan. Berhasil mengundang senyum Martha meski belum hilangkan beban yang tetap menumpuk di kepala.

“Kamu nggak apa-apa, Martin?” tanya Martha seraya membebaskan diri dari pelukan suaminya. “Aku udah niat diet setelah Markus bisa jalan, tapi pasti nggak cepet turun. Kamu nggak apa-apa punya istri begini sampai balik kayak dulu?”

Setiap kali fisiknya disinggung, pertanyaan itu akan terus muncul dari belah bibir sang puan. Bukannya ingin meminta validasi bahwa dia tetap cantik, hanya ingin Martin yakin pandangannya terhadap Martha tidak akan berubah.

Cantik itu relatif, tetapi bagi Martin, cantiknya Martha adalah mutlak. Termasuk perasaan yang telah tertanam sejak awal mereka berjumpa. Tidak akan luntur semudah itu hanya karena perubahan sementara dan disebabkan oleh Martin juga.

“Mau berapa kali nanya pun, pandangan aku ke kamu nggak akan pernah berubah, Martha. Kamu istri aku yang paling cantik dan itu mutlak.”

Menjadi tahanan rumah selama proses penyidikan berlangsung tidak membuat Dalia senang, tetapi setidaknya dia masih bisa bernapas bebas di kediaman sendiri, tentunya diawasi oleh orang tua dan kepolisian yang bergantian bertugas.

Sebagai perempuan muda yang sering berkeliaran hingga larut malam, Dalia tentu merasa terpenjara, tetapi jika dia masih bisa merasakan sedikit fasilitas yang bagus di rumah dan menikmati makanan sedap, itu tidak masalah baginya asalkan bisa bebas dari segala tuntutan.

Tiga hal yang paling memberatkan Dalia selama menjadi tahanan adalah dia tidak diizinkan menggunakan ponsel, televisi dan internet tidak menyala, jadi tidak tahu bagaimana perkembangan di luar sana, gosip-gosip terkini dari selebritas, komunikasi yang terputus bersama teman, apalagi mengetahui kabar Martin yang sering sekali update—dan sebelumnya bisa Dalia lihat dari dekat saat masih bekerja dengan sang idola serta kakaknya.

Setelah kejadian di ulang tahun Julian, bahkan sejak menyebarkan fitnah di media sosial, Dalia tidak menyesali perbuatannya sedikit pun. Baginya bila dia tidak bisa bahagia melihat sang idola bersama orang lain, maka orang lain yang bersama idolanya pun tidak boleh bahagia.

Dalia tetap pada pendirian bahwa Martha layak mendapatkan siksaan itu, apalagi sosoknya yang tidak seperti dulu dan berakhir mendapat banyak komentar buruk, membuat gadis itu bisa puas menari di atas derita korbannya. Lagi pula Dalia tidak sendiri. Ada banyak juga yang tidak menyukai Martha dan sangat vocal menyuarakan rasa itu, meski banyaknya berakhir dilaporkan oleh Martin dan Julian atas cyber bullying.

Saat ini Dalia sedang berbaring santai di kamarnya yang luas, lengkap dengan kamar mandi dalam, kasur yang empuk, dan pendingin ruangan yang bekerja dengan baik. Sebelumnya jauh lebih lengkap dengan adanya laptop dan Wi-Fi pribadi. Sekarang dua benda kesayangan itu disita dan membuat Dalia harus betah tanpa internet selama berhari-hari.

Awalnya frustrasi, tetapi itu lebih baik daripada harus berakhir di bui. Ketika tubuhnya berbaring telentang dan matanya terpejam, ketukan pintu di luar kamar mengganggu ketenangan Dalia. Tak lama seseorang masuk dan muncullah Julian yang rapi dengan kemeja abu-abunya. Sekarang melihat Julian membuat Dalia muak, sebab kakaknya yang membuat dia berada dalam kondisi seperti itu.

“Ayo, siap-siap. Lo harus diperiksa lagi,” titah Julian mendekati Dalia dan berdiri di sisi kasur.

“Diperiksa apa lagi, sih?” erang Dalia kesal. Daya magnet kasur telanjur membuatnya betah.

“Ayo, Dek. Lo jangan kelamaan. Polisi udah nunggu tuh di luar.”

Dalia berdecak kesal, gerah karena polisi yang disebut-sebut paling mengganggu ketenangannya. Mau tidak mau Dalia berdiri dan mendorong Julian keluar agar dia mempersiapkan badan untuk pergi. Julian tidak menolak dan setia menunggu adiknya di luar pintu kamar yang ditutup rapat.

Lima menit kemudian, Dalia keluar dengan pakaian yang tadi dia kenakan—kaus oblong dan celana kulot hitam—ditambah sling bag untuk membawa beberapa riasan seperti lip balm, sunscreen, dan bedak agar wajahnya tidak kusam.

Seperti sebuah rutinitas, Dalia harus mau sibuk selama proses penyidikan berlangsung. Gadis itu masih yakin bisa bebas. Kalaupun tidak, orang tuanya pasti mengajukan banding karena tidak mungkin mereka tega melihat Dalia tinggal di bui dalam waktu lama.

Dalia dibawa di mobil petugas, sedangkan Julian mengikuti menggunakan mobilnya seorang diri. Tidak ada pikiran macam-macam sepanjang perjalanan menuju tempat pemeriksaan, Dalia hanya perlu melakukan semua sesuai anjuran pengacara yang sudah menunggu di sana.

Ketika tiba di lokasi pun semuanya tampak aman dan Dalia keluar bebas dari mobil bersama penjagaan ketat dari pihak berwajib yang sedia mengawasi. Baru ketika Dalia melangkah menjauhi mobil, tiba-tiba segerombolan orang datang dari gerbang masuk dan mengejar gadis itu hingga menghalangi jalan.

Dalia tidak menghitung ada berapa, tetapi yang pasti menyulitkan petugas untuk menyingkirkan mereka agar memberi jalan. Julian yang baru tiba pun gagal melindungi sang adik, sebab jalannya ditutup rapat oleh orang-orang yang mengerubuni Dalia.

“Sialan lo! Udah fitnah Martha!”

“Jadi cewek jahat banget sih lo!”

“Enggak punya empati!”

“Penyebar fitnah!”

“Semoga lo lama di penjara, ya!”

“Julian malu punya adik kayak lo!”

Get well soon, deh.”

“Betah ya di penjara.”

Berbagai makian, celaan, hinaan, terus Dalia terima selama dia berusaha dibawa masuk oleh petugas agar terbebas dari kerumunan. Dalia yang awalnya santai seketika syok menerima berbagai ujaran kebencian atas ulahnya yang terlampau parah. Tubuhnya sampai lemas karena tenaganya menipis dan berbagai kata buruk terus ditangkap jelas oleh rungunya, memengaruhi Dalia yang terguncang sepanjang dibawa untuk melewati kerumunan.

Tidak cukup melalui lisan, ada beberapa orang yang tidak terlihat presensinya melempar Dalia menggunakan bola kertas beberapa kali, sebagai hukuman kecil atas ulahnya yang tidak bisa dimaafkan. Lebih ekstrem lagi ketika dua telur mendarat tepat di kepala Dalia dan mengotori rambut hingga tercium bau anyir.

Tubuh Dalia bergetar, pandangan matanya kosong menyiratkan ketakutan, baginya ini berlebihan untuk diterima dalam satu kali kejadian. Dalia sampai terjatuh karena tidak berdaya, segera diangkat oleh petugas yang akhirnya bisa menyingkirkan kerumunan berkat dibantu oleh petugas lain.

Setelah situasi lebih kondusif, Julian menghampiri Dalia yang dibantu oleh petugas untuk berdiri. Julian memeluk adiknya, mengabaikan bau anyir dari tubuh Dalia dan melindungi gadis itu dari berbagai serangan yang mungkin akan datang untuk kedua kali.

Cukup satu kali serangan, berhasil menjatuhkan Dalia ke jurang yang masih dangkal. Setidaknya itu membuka mata Dalia bahwa ada ganjaran atas kelakuannya, serta memberi tahu bahwa yang dialami Martha akibat ulahnya jauh lebih parah.

Sekarang Dalia tahu bagaimana rasanya dijatuhkan oleh aksi orang-orang, tahu bagaimana jadinya ketika karma datang tanpa mengenal waktu.

Hari ini, esok, beberapa hari ke depan, Dalia pasti akan mendapatkan ganjaran yang tepat. Tinggal melihat hasil apakah ganjaran itu menyadarkan Dalia atau menimbulkan dendam untuk balik menyerang.