
Rumah di Kota Hujan menjadi lokasi diadakannya acara ulang tahun Markus yang pertama. Rumah yang dibeli sebagai tempat tinggal baru bersama istri dan anak itu sengaja dijadikan tempat berpesta, agar Martha dan Markus bisa mudah beradaptasi sebelum pindah.
Rumah dua lantai dengan empat kamar tidur dan tiga kamar mandi itu dilengkapi area barbeque di rooftop, sehingga acara diadakan di sana agar bisa melihat pemandangan asri sekitar yang dihiasi pepohonan rindang. Martin, Martha, dan Markus sudah tiba di rumah itu sejak H-1 dan baru pulang H+1 setelah acara, sengaja untuk melakukan persiapan dan memastikan keadaan rumah dalam keadaan rapi ketika ditinggalkan sebelum jadi tempat berteduh sepenuhnya.
Acara ulang tahun dihadiri oleh orang-orang inti saja seperti keluarga Martin dan Martha, tidak mau mengadakan pesta besar karena selama ini wajah Markus sendiri sering dirahasiakan dari publik. Selain menghindari fotonya disebar secara sembarang dan digunakan untuk yang tidak-tidak, Markus dan Martha merasa wajah Markus adalah privasi yang tidak boleh ditunjukkan pada banyak orang.
Kalaupun ada rencana, dan sudah dilakukan, wajah Markus tidak ditunjukkan secara keseluruhan, yang penting tahu anak tunggal itu lebih mirip siapa dan bagaimana perkembangannya sekarang. Bila biasanya ulang tahun anak dipenuhi anak-anak sebaya atau minimal tidak jauh dari usia Markus, maka pesta kali ini lain karena mayoritas yang datang adalah orang dewasa.
Pasalnya teman Martha dan Martin belum ada yang menikah, kerabat mereka pun tidak memiliki anak kecil sepantar Markus yang bisa diajak bermain bersama. Alhasil Markus dikelilingi orang tua, berlimpahan doa dan kado yang sangat bermanfaat untuk sang tunggal.
Acara dimeriahkan pula oleh seluruh anggota tim podcast yang sudah lama tidak syuting. Sebagai ganti podcast yang sedang krisis karena satu pembawa acaranya masih enggan kembali, Julian meminta izin pada Martin untuk merekam pesta ulang tahun Markus dan diunggah ke kanal mereka sebagai vlog—dengan catatan wajah Markus wajib disensor.
Tidak ada hiasan meriah, tetapi makanan yang disiapkan tidak sedikit agar bisa dinikmati sepanjang hari. Mulai dari kudapan ringan hingga yang berat, minuman tawar dan minuman manis.
Dari semua tamu yang hadir, Wulan dan Marni paling lesu, hanya mampu tersenyum ketika diajak bicara dan memangku Markus bergantian, sebab ketika tahu Martin dan Martha akan pindah ke rumah tersebut, mereka masih keberatan.
“Martha kelihatan sehat, tuh,” tutur Julian mendapati Martha yang ceria ketika berbincang bersama kedua adik dan mertuanya—ayah Martin. “Terakhir ketemu pas sama Dalia itu.”
Martin ikut menatap ke arah Martha berada, turut senang melihat kondisi istrinya yang telah membaik. Bila orang luar yang melihat, tentu akan berpikir Martha tidak merasa kesulitan sedikit pun dalam hidupnya. Padahal untuk sampai ke titik ini—tentu masih perlu melangkah tanpa henti sampai sepenuhnya pulih—Martha harus merasakan ketakutan yang menghantui, memiliki masalah rasa percaya pada orang lain, mudah terguncang hingga emosinya naik turun, dan entah sudah berapa banyak air mata yang tumpah akibat tumpukan beban di tubuh.
“Itu juga masih harus diawasin,” balas Martin seraya kembali menatap Julian.
“Berarti lo nggak akan balik kerja dulu sampai Martha bener-bener sehat?”
Martin menambahkan, “Sampai dia udah berani ketemu orang banyak. Soalnya dia masih gampang keguncang kalau di tempat umum.”
Julian mengangguk paham, apalagi keadaan itu terjadi akibat ulah Dalia di pestanya juga. Sudah berlalu cukup lama bagi orang-orang yang menyaksikan, tidak ada yang membahasnya juga, tetapi dampaknya masih luar biasa bagi Martha sebagai korban.
“Kan lo mau tinggal di sini,” kata Julian seraya memindai sekeliling rooptof, “nanti pas udah balik, mau kerja apa? Podcast lagi, yuk.”
Pria bertubuh jangkung itu masih giat membujuk Martin untuk kembali mengadakan podcast. Ditambah akun media sosial Julian, Martin, dan akun resmi podcast mereka pun dibanjiri pertanyaan kapan pria satu anak itu akan kembali mengisi ruang obrolan yang sepi tanpa konten. Bila sebelumnya Martin langsung menolak dengan ekspresi sinis, maka kali ini dia tersenyum yang membuat Julian seakan diberi harapan.
“Martha beberapa kali nyuruh gue balik podcast lagi sama lo.” Informasi itu membuat Julian merasa diangkat tinggi-tinggi karena masih ada harapan untuk memulihkan kanal YouTube mereka. “Tapi gue tetep nggak mau, Jul,” tolak Martin, langsung menjatuhkan Julian hingga senyum di wajahnya sirna. “Kemungkinan gue buka YouTube sendiri kalau mau. Masih tetep nerima endorse, apalagi udah banyak DM masuk buat kerja sama. Terus gue juga ditawarin buat jadi BA salah satu produk skincare, bareng Martha pula.”
Julian menganga lebar, takjub atas pencapaian sejoli yang belakangan ini lebih banyak diam dan menghindari media sosial. Tidak ada iri, justru bangga karena karier temannya tetap melejit sampai dipercaya menjadi brand ambassador yang belum disebut apa nama produknya.
“Gile! Diam sembunyi, bergerak jadi BA,” gumam Julian kagum. “Martha terima?”
“Gue udah ngomong, tapi dia malu. Katanya belum balik kayak dulu. Kalau dari pihak sana sih nggak peduli sama penampilan istri gue, tapi Martha masih belum siap, makanya nggak langsung kerja bareng. Malah pihak sana nanyain lo mau juga atau nggak. Makanya gue ngomong gini sekalian nawarin juga. Kalau Martha mau, kita jadi BA bertiga. Kalau nggak, gue berdua aja sama—”
“Jelas mau,” sambar Julian sambil mengangkat gelas berisi sodanya setinggi telinga sebagai bentuk selebrasi atas tawaran tersebut. “Oke. Kapan ketemu sama pihak sana? Gue siap.”
Martin tertawa, sudah bisa menebak Julian pasti tidak mau melewatkan tawaran satu itu—sama seperti Martin, tetapi dia masih menunggu keputusan Martha.
“Minggu depan. Bisa nggak?”
“Bisa banget,” jawab Julian tanpa pikir panjang. “Gue ngurusin adek doang karena podcast belum jalan. Jadi banyak waktu free.”
Ah, benar. Sebentar lagi sidang pertama dimulai, jadi pasti Julian akan sangat sibuk mengurus Dalia. Dalam sidang pertama pun Martin dan Martha diharuskan datang, jadi pria itu sama sibuknya untuk mempersiapkan sang istri berada di depan publik lagi untuk menyelesaikan perkara yang ada. Saat asyik berbincang berdua bersama Julian, sedangkan tamu lain asyik juga di beberapa spot berbeda untuk menikmati kudapan, Martin melihat Martha dibawa oleh Wulan dan Marni ke lantai bawah entah untuk apa.
Penasaran, Martin meminta izin pada Julian, lalu menyusul karena tidak mau membiarkan istrinya sendiri.
Di lantai satu, jauh dari riuhnya orang-orang di atas, Markus juga berada dalam penjagaan kakeknya, tiga wanita kumpul di ruang tamu yang diisi tiga sofa hitam dan meja kayu bundar di tengah-tengahnya, lengkap dengan pajangan bunga artificial di samping sofa. Martin muncul sebelum Wulan dan Marni sempat bersuara, tentu mengejutkan mereka berdua tetapi membiarkan pria itu untuk bergabung.
“Kenapa ini?” Martin waswas.
Wulan yang menyarankan untuk bicara beraksi lebih dulu. Sebagai orang yang paling merasa bersalah, Wulan tidak mau membuang waktu dan makin dicurigai bahwa beliau akan melakukan hal buruk pada menantunya.
“Mami mau minta Martha supaya kalian nggak jadi pindah, Martin,” jawab Wulan lesu.
“Bunda juga nggak mau kalian pindah. Masalahnya udah selesai. Apa nggak bisa kalian tetap di rumah lama?”
Martin dan Martha saling bertegur pandang, tidak tega melihat permintaan penuh harap dari Wulan dan Marni yang tampak keberatan akibat kepindahan sejoli itu. Bukan sebatas tidak terima, Wulan dan Marni merasa jadi lebih buruk karena sadar diri masing-masing menjadi alasan putra putri itu mencari hunian baru—di kota yang berbeda pula.
Wulan tiba-tiba berlutut di hadapan Martha, spontan membuat wanita itu mundur selangkah akibat terkejut dan merasa tidak layak mendapatkan perlakuan seperti itu dari mertuanya.
“Maafin Mami, Martha. Mami janji nggak akan ngulang kesalahan yang dulu. Mami nggak akan ngomong jelek ke kamu lagi. Mami nggak akan bikin kamu takut lagi, Martha.”
Belum sempat Martha meraih Wulan untuk berdiri, Marni ikut berlutut dan berurai air mata demi memohon ampunan yang sama sebagai wanita paling besalah karena telah menyakiti putrinya sendiri.
“Bunda juga nggak akan gitu lagi, Nak,” isak Marni susah payah. “Jangan pindah buat ngehindarin kami. Tolong ya, Nak. Bunda bakal ngomong banyak hal baik ke kamu.”
Martha ikut berlutut dan berusaha meraih kedua orang tua itu yang susah payah diajak berdiri. Tidak mau goyah sampai permintaan keduanya terkabul, Wulan dan Marni tetap di posisi yang sama dengan air mata tak kunjung reda. Wulan dan Marni bukan mengais ampun semata, tetapi tidak mau dirundung rasa bersalah karena kepergian Martin dan Martha disebabkan oleh mereka.
“Udah, ya. Jangan gini,” pinta Martha, ikut menangis karena tidak mau terlihat seperti anak durhaka melihat orang tua berada jauh di bawah. “Kalian masih bisa ke sini, kok. Rumahnya nggak jauh dari Jakarta.”
Tidak cukup dibujuk begitu, Wulan dan Marni tetap tidak luluh. Martha lantas memeluk mereka untuk menenangkan keduanya agar tidak makin histeris saat kepindahan sejoli tidak bisa diganggu gugat.
Martin turut berlutut, merangkul Wulan yang putus asa selama menahan putra dan menantunya agar tetap berada dalam jangkauan. Sayang, sebanyak apa pun air mata yang dikeluarkan di hari bahagia, keputusan Martha dan Martin sudah bulat.