hanyabualan

cw // mature content

Kemesraan Martin dan Martha berlanjut hingga ke ranjang. Tentu pada malam hari saat Julian sudah pulang dan Markus telah tidur lelap. Saling bersentuhan tanpa ada perca yang menghalangi, peluh bercucuran tanpa tahu siapa sang pemilik, serta desahan kenikmatan mengisi kesunyian malam yang menjadi saksi beradunya sejoli.

Martha pasrah di bawah kuasa Martin, biarkan sang raja mendominasi ratunya yang selalu gagal menandingi. Mata Martin mengagumi setiap detail kecil dari daksa istrinya, tidak menganggap perubahan Martha sebagai kekurangan yang perlu ditutupi. Jejak stretch mark yang mulai hilang bagaikan lukisan ajaib dari hasil perjuangan melawan hidup dan mati, padatnya tubuh Martha di beberapa titik menambah sensasi tersendiri ketika Martin sentuh dan remas tanpa henti.

Rasa kagum Martin tidak pernah berkurang, bahkan ketika pria itu melisankan segala sanjungan tepat di telinga Martha, itu adalah rangkaian kata tulus sebagai bentuk kekaguman akan ciptaan Tuhan yang selalu indah. Martin tarik Martha untuk bangkit, hingga berakhir di pangkuan sang pria yang membuat penyatuan mereka terasa lebih intim.

Martha kalungkan kedua lengannya di leher Martin, menengadah ketika pacuan di bawah sana membuat kesadaran sang puan makin direnggut oleh kenikmatan, memberi kesempatan bagi prianya untuk menjamah leher menggunakan bibirnya dan meredam desah agar tak mengganggu tidur sang tunggal. Di masa awal pernikahan yang langsung tinggal berpisah dari orang tua, Martin dan Martha bebas berekspresi melalui suara ataupun gerakan brutal demi mencapai puncak.

Setelah menikah, segalanya jadi terbatas, tetapi tidak menghalangi mereka untuk berbuat sesukanya. Hanya perlu hati-hati agar Markus tidak tiba-tiba bangun. Bisa saja mereka melakukan di tempat lain, hanya saja tidak bisa biarkan Markus seorang diri dan ujung-ujungnya kamar tetap jadi tempat terbaik untuk bersanggama.

“Martin …,” erang Martha seraya menunduk.

Mencari lawan yang wajahnya merah akibat kepanasan dan hampir mendekati pelepasan. Martha bergerak tidak tenang di atas Martin, sedangkan di bawah sana pun ikut mempercepat tempo saat ada yang ingin melesak keluar dan menyelesaikan ronde pertama.

God ….”

Rasanya tidak etis menyebut nama Tuhan ketika kenikmatan duniawi yang ingin dicapai, tetapi sungguh, Martin menggila karena tidak bisa menjerit puas ketika pelepasannya sampai tidak lama setelah Martha tiba lebih dulu. Martha terkulai lemas dalam dekapan Martin, sembunyikan wajahnya di balik pundak yang naik turun cepat berkat permainan hebat.

Martin raih rambut Martha yang menghalangi pandang, merapikannya, lalu menyelipkannya ke belakang agar bisa dia tatap sang lawan yang masih tidak berdaya. Perlahan Martin baringkan Martha untuk jeda sesaat dan mempersiapkan diri ke permainan selanjutnya, disusul oleh sang pria yang tergolek lemas di samping istrinya, tak lupa memeluk agar tidak berjauhan.

“Kamu jangan minta lagi,” tutur Martha dengan napas tersengal-sengal. “Aku masih capek.”

Martin yang energinya sudah kembali hanya tertawa, tidak berniat memaksa juga bila Martha ingin berhenti dan merasa cukup bermain sekali. Martin genggam tangan Martha, mengecup punggung tangannya yang lebih berisi dan menciptakan sensasi tersendiri ketika disentuh begini.

Kata orang, setelah melahirkan, syahwat perempuan biasanya menurun karena perubahan hormon dan lelah menjemput akibat mengurus anak. Martha pun merasakan hal sama. Dia masih bisa memberikan hak Martin, tapi jelas berbeda jika dibandingkan masa-masa bulan madu. Martha bisa kuat bermain lama, menandingi energi suaminya yang seperti tidak pernah habis.

Butuh lima belas menit sampai akhirnya Martha relaks, bisa merespons sentuhan-sentuhan kecil yang Martin bagi di dada dan perutnya. Saat Martha beralih untuk menyentuh kenikmatan suaminya, rengekan kecil terdengar dan lama-lama berubah lantang hingga membuat sejoli itu panik.

Secepat kilat Martha mengambil night robe di lemari untuk menutupi tubuh seadanya, sedangkan Martin lari terbirit-birit ke kamar mandi untuk mandi tanpa mendapat kesempatan ronde kedua.

“Enggak apa-apa Markus dititipin Julian dulu?” tanya Martha ketika dia dan Martin baru keluar dari rumah, mengambil satu langkah menjauhi kediaman dan menitipkan putra tunggal mereka pada orang yang minim pengalaman dalam mengurus bayi.

“Dia yang mau sendiri, kok,” jawab Martin santai seraya menggandeng tangan Martha, tidak akan melepasnya barang sesenti pun. “Sekarang kita jalan-jalan sore dulu.”

Ragu, tetapi Martha tetap memercayakan Julian karena yakin pria itu cukup piawai menjaga Markus. Tadi Martin sudah memberi tahu apa saja yang perlu dilakukan Julian selama mengurus putra mereka, camilan, serta kapan diberi susu jika sejoli itu belum kembali ke rumah dalam satu jam. Pasangan itu boleh hanya jalan-jalan di sekitar komplek yang cukup ramai karena ini weekend dan banyak yang melakukan olahraga ringan, tetapi pasti butuh waktu cukup lama bagi mereka untuk menghabiskan waktu berdua tanpa satu pun pengganggu.

Ada sekitar lima meter jauh dari rumah, Martin mempercepat langkah mereka hingga akhirnya berlari sedikit cepat sembari terus bergandeng tangan tanpa mau dipisahkan. Alih-alih lari seperti orang yang berolahraga, Martin dan Martha tampak seperti pasangan yang sedang melakukan kawin lari untuk menghindari keberatan orang-orang sekitar dan mau menghambat hubungan mereka.

Lama tidak berolahraga dan beban tubuhnya bertambah, Martha lebih cepat lelah dibanding saat masa gadisnya, tetapi tidak meminta Martin untuk memberi jeda istirahat sebelum tiba ke tempat tujuan—yang sebenarnya tidak tahu ke mana. Martha biarkan Martin membawanya sejauh mungkin, sebab dia yakin lari ini bukan untuk menyiksanya, melainkan untuk membantu wanita itu bergerak tanpa mengkhawatirkan Markus yang ada di tangan orang lain sejenak.

“Kamu masih kuat, ‘kan?” Martin bertanya dengan napas terengah, dijawab oleh anggukan kecil karena Martha tidak sanggup bersuara akibat laju lari mereka kian cepat.

Martin tersenyum samar, mengeratkan genggaman tangannya pada Martha agar semangatnya berlari tidak luntur. Martha tidak menghitung berapa lama dan berapa jauh mereka berlari sampai akhirnya tiba di lapangan basket komplek di blok lain.

Lapangan basket itu sepi tidak berpenghuni, hanya ada ring di dua sisinya, dibatasi oleh dinding kawat yang tinggi, serta terdapat bangku yang saling berseberangan berkapasitas tiga puluh orang tempat penonton bila ada pertandingan antar blok komplek—yang tentu jarang Martha tonton karena meski telah lama tinggal di kediaman Martin, dia tidak pernah menyisir seluruh komplek selain ke minimarket yang masih di blok sama.

Martin dan Martha berdiri bersama di tengah lapangan, sama-sama terengah dan berkeringat deras setelah berlari cukup jauh dengan tempo yang amat cepat. Martin bisa mengendalikan napasnya tanpa menemukan kesulitan. Lain dengan Martha yang sampai menunduk dan memegang kedua lututnya akibat lemas kehilangan daya, butuh waktu lama untuk menormalkan embusan napasnya lagi.

Martin mengeluarkan sebungkus kecil tisu dan sebotol air minum yang dia bawa dari rumah, diam-diam mempersiapkan dua hal itu untuk diberikan pada Martha yang lelah bukan main setelah olahraga dadakan. Martha berdiri tegak dan menerima botol itu, membuka tutupnya lalu menghabiskan setengah air di dalam botol dalam sekali teguk.

Martin seka peluh yang membasahi dahi dan pelipis Martha hingga bersih, kemudian suguhkan kecupan ringan di kedua pipi sebagai bentuk penghargaan karena istrinya sudah mau dibawa lari tanpa rencana lebih dulu. Martha pun tidak marah atau layangkan protes setelah napasnya lebih teratur, malah tersenyum cerah seraya membantu Martin menyeka peluhnya yang bercucuran tidak kalah banyak.

Senyum Martha begitu lebar, baru kali ini merasa bebas dari segala beban. Seakan dari lari hingga berpeluh deras itu malah membuat Martha jadi lebih segar dan menemukan semangat yang sempat hilang.

“Gimana?” Martin layangkan tanya setelah keduanya lebih relaks.

“Aku ngerasa lebih seger. Makasih.”

Bisa Martin lihat wajah Martha lebih cerah, seakan telah menemukan kembali setitik cahaya untuk menerangi hidupnya yang sempat suram.

“Aku sempet kaget pas kamu bawa lari, tapi malah nikmatin. Kayak kabur sebentar dari masalah buat nyari hal lain sebagai pengalihan.”

Martin amat lega mendengar Martha yang tidak keberatan dibawa lari cukup jauh, padahal sudah siap bila istrinya mengeluh dan menolak untuk dibawa lagi karena menghindari lelahnya berlari. Martin tangkup kedua pipi Martha, merapikan anak rambut sang istri yang berantakan akibat berlari dan tertiup angin sore, menyejukkan tubuh yang masih kepanasan karena mereka sama-sama mengenakan jaket cukup tebal.

Martin cium dahi Martha, turun ke sepasang kelopak mata yang terpejam, kedua pipi, lalu berakhir di bibir tanpa ragu untuk dilumat habis karena yakin tidak ada saksi yang mengintip. Martha lingkarkan lengannya di pinggang Martin, menyambut ciuman itu sebagai bentuk relaksasi setelah menghabiskan cukup banyak energi.

Semilir angin menambah kemesraan sejoli, meniupkan rambut tebal mereka yang berayun mengikuti lajunya tawang. Bibir Martin turun ke leher Martha, hanya sebentar sebelum akhirnya menyatukan dahi mereka tanpa ingin mengakhiri kenikmatan asmara yang hanya berlabuh pada satu orang.

Pasangan itu saling melempar senyum, memberi semangat satu sama lain atas masalah yang sedang dilalui bersama. Membagikan kekuatan yang dibutuhkan untuk terhindari dari kata menyerah.

“Kita pindah rumah, ya, Martha,” ucap Martin sekonyong-konyong, mengejutkan Martha yang masih berada di ambang kenikmatan ciuman mereka. “Enggak jauh-jauh, yang penting kita tinggal di lingkungan baru tanpa ikut campur orang lain. Enggak sekarang, kok. Kita baru pindah setelah perkaranya selesai. Di sana kita mulai lagi bertiga aja, kita sewa babysitter juga supaya kamu lebih santai. Biar kamu gampang lupa sama masalah di sini.”

Pindah, ya ….

Sebesar apa pun masalah yang menimpa selama beberapa bulan terakhir, Martha tidak pernah membayangkan untuk mencari tempat tinggal baru yang lebih nyaman demi menghindari orang-orang toxic. Namun, berkat tawaran yang tidak bisa dibantah itu, pindah ke tempat baru bagaikan godaan besar yang tidak mampu Martha tolak.

Kendati demikian, Martha tetap mempertimbangkan banyak hal karena pindah ke tempat baru—mau itu jauh atau dekat—tetap butuh persiapan panjang demi memulai semuanya dari nol.

“Aku belum bisa balik lagi kayak dulu, jadi mungkin nggak langsung kerja,” kata Martha, paling memikirkan soal dana karena itu adalah bagian krusial dalam pernikahan.

“Kamu nggak usah mikirin itu, biar aku aja yang kerja.”

“Emang mau kerja apa? Masih tetep jadi influencer?”

“Itu bisa dipikirin nanti,” jawab Martin enteng. “Yang penting kamu mau dulu buat pindah, ya. Walaupun masalahnya udah selesai dan kamu damai sama orang tua, tapi kamu harus bebas dari itu semua tanpa kepikiran lagi yang dulu-dulu.”

Tentu, sebesar apa pun keinginan, Martha harus membuat pertimbangan dan mempersiapkan segalanya dari sekarang meski masih rancangan di kepala. Pindah rumah, apalagi pindah ke kota baru, adalah langkah besar yang tidak bisa main-main dan tindakan impulsif semata. Jangan sampai setelah pindah, sejoli itu malah tidak menemukan kenyamanan sedikit pun seperti yang selalu dicari.

Sebab itu Martha belum bisa menjawab ‘ya’ meski hatinya ingin, tidak mau gegabah sebelum persiapan matang dilakukan agar keputusan mereka tidak disesali akibat merasa salah langkah. Sebagai gantinya, Martha peluk Martin erat, tanda bahwa dia menerima tawaran tersebut dan akan mengikuti ke mana pun suaminya pergi selama itu jadi yang terbaik.

Paham, Martin balas pelukan Martha, sama eratnya. Yakin keputusan Martin untuk membawa keluarganya pindah sangat tepat, karena itu dia tidak mau menarik kata-katanya.

“Aku bakal ikut sejauh apa pun kamu pergi, Martin.”

“Kalaupun kamu nggak mau, aku juga bakal terima di mana aja asalkan kamu seneng dan kita sama-sama, Martha.”

Wulan tiba di kediaman Martin dan Martha pada pukul sembilan pagi, tidak lama setelah keluarga kecil itu menyelesaikan sarapan dan putra tunggalnya akan pergi untuk menemui Julian. Saat pertemuan antara mertua dan menantunya terjadi, Martin paling waswas karena dia perlu mengawasi dua orang yang diam-diam saling berselisih. Martin berusaha netral, setidaknya selama Wulan tidak bertindak gegabah, khususnya mengomentari Martha tentang apa yang beliau lihat pada menantunya.

Sudah cukup Martha ketakutan ketika bertemu Marni, jangan sampai momen itu terulang kembali. Ditambah Martin pun harus pergi dan tidak bisa mengawasi sepanjang hari, jadi jangan sampai ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi selama dia tidak hadir.

Berdasarkan pengamatan Wulan, tidak ada yang aneh dari Martha. Menantunya bisa menyambut dengan baik, tampak sehat secara fisik, tidak menunjukkan ketakutan atau getaran apa pun yang sering disebut-sebut oleh Marni dan Martin. Martha juga tidak menunjukkan penolakan atau berusaha menjauh, bahkan ketika Martin pergi dan memercayakan sang istri pada Wulan, menantunya itu tidak masalah ketika harus berdekatan dengan mertuanya yang berusaha menahan diri untuk tidak berkomentar berlebihan.

Buktinya sekarang Martha bisa duduk manis berdampingan dengan Wulan yang memangku Markus, mengajak cucu tunggalnya bermain tanpa pengawasan ketat dari sang ibu. Martha juga sesekali tersenyum, tetapi fokusnya lebih tertuju pada televisi yang menyala riuh. Sengaja agar pikiran Martha beralih dari hal buruk berisikan pesan lain berupa info yang didapat melalui televisi, agar kepalanya tidak berisik karena hadirnya Wulan tidak memberi dampak baik—yang tentu tidak disadari oleh Wulan sendiri.

“Mami haus,” kata Wulan sekonyong-konyong, menyentak Martha yang sedang menikmati berita di televisi. “Bikinin minum, dong. Apa aja yang hangat.”

Perintah itu langsung disanggupi oleh Martha yang bergegas ke dapur untuk membuat secangkir teh tanpa banyak basa-basi. Tersentaknya Martha tadi luput dari tangkapan Wulan, itu sebabnya beliau merasa bebas memerintah karena mengira menantunya baik-baik saja. Tak lama Martha kembali membawakan secangkir teh yang kepulan asapnya bergoyang tertiup angin dan menghilang di udara.

Kali ini Wulan menangkap jelas tangan Martha yang bergetar ketika mendekati beliau bersama cangkir terisi penuh di tangan, merisikan pandang dan mulai dikomentari secara sinis ketika secangkir tehnya sudah di meja.

“Kamu kayak anak kecil aja bawa cangkir sampai gemeteran,” ucap Wulan, membiarkan tehnya untuk beberapa saat sampai sedikit hangat. “Nanti kalau jatuh bahaya.”

Martha yang gentar tidak langsung duduk, justru berdiri tegak di samping sofa dan menjawab, “Maaf, Mi. Tadi … agak panas,” kilah Martha, sembunyikan perasaan sebenarnya yang ingin kabur sesegera mungkin dari samping Wulan.

“Makanya pegang gelas yang bener,” balas Wulan, masih dengan nada sinis.

Martha tidak kembali merespons, memilih duduk dengan tegangan tinggi di tubuh yang mati-matian dia sembunyikan agar tidak dikomentari lagi oleh Wulan. Reaksi tubuhnya tidak boleh dianggap berlebihan oleh Wulan, sebab itu Martha memaksakan diri untuk terus di samping mertuanya agar tidak dianggap durhaka karena menghindar.

Bermenit-menit lamanya Martha dan Wulan membisu. Wulan hanya bicara ketika mengajak ngobrol Markus yang mengoceh tanpa henti, sedangkan fokus Martha hanya pada televisi yang telah gagal mengisi pikiran dengan hal lain. Secangkir teh yang Martha buat sudah habis tanpa sisa, tidak lama Markus pun tidur di pangkuan Wulan setelah lelah mengoceh.

“Markus tidurin di kasurnya, nih.” Wulan serahkan Markus pada Martha. “Hati-hati, jangan sampai cucu saya jatuh gara-gara tangan kamu gemeteran.”

Martha tersenyum samar ketika mengambil alih Markus hingga ke pangkuannya, lalu pergi ke kamar tanpa merespons peringatan dari Wulan dan berusaha hati-hati saat getar di tangannya kian hebat. Ada sepuluh menit menanti, Martha tidak kunjung kembali ke ruang keluarga untuk menemani. Wanita itu seakan sengaja memanfaatkan Markus agar diam di kamar dalam waktu lama dan itu membuat Wulan sedikit geram.

Baginya tidak etis mengabaikan mertua, jadi Wulan memutuskan untuk ke kamar sejoli yang keramat untuk dimasuki orang lain demi membawa Martha kembali agar tidak menghindar. Pintu berwarna putih itu tidak ditutup terlalu rapat, menyisakan sedikit spasi dan bisa diintip oleh Wulan untuk tahu apa yang sedang dilakukan menantunya.

Hati-hati Wulan mendekat, sampai matanya berhasil mengintip dari celah pintu. Awalnya Wulan tidak menemukan apa-apa, sampai dia melihat Martha tengah duduk di lantai membelakangi tempat tidurnya, berkali-kali menyeka air mata dan menggigit bibirnya untuk menahan isakan yang mungkin keluar, serta tubuhnya bergetar hebat seakan sudah melihat penampakan paling menyeramkan dan membuatnya syok dalam waktu cukup lama.

Netra Wulan tidak lepas memandang, jelas sekali ketika Martha berusaha menetralkan laju napasnya yang tidak beraturan—berat dan cepat, menimbulkan ngilu bagi siapa pun yang merasakannya juga. Wulan hampir teperdaya oleh air mata itu, menganggapnya sebagai drama yang sengaja dibuat Martha untuk membuat beliau luluh. Wulan memilih mundur untuk kembali ke ruang keluarga, mengambil ponselnya yang tergeletak di atas sofa dan mengirim pesan pada Martin karena jujur beliau tidak tahu harus berbuat apa ketika melihat Martha menangis.

Dari sisi Martha sendiri sebenarnya dia tidak mau selemah itu, susah payah sekali dia melangkah untuk menghampiri Wulan lagi setelah menidurkan Markus di kasurnya. Sayang, sepasang kaki yang selalu jadi tumpuan itu tidak mampu lagi menahan beban. Memaksa Martha untuk istirahat sejenak agar tidak memaksakan diri saat dayanya tidak lagi dimiliki.

Martha boleh saja terlihat biasa di hadapan Wulan, menghapus daftar menjaga jarak agar perannya sebagai menantu yang baik tetap mampu diberikan. Martha sudah bisa sedikit berdamai dengan Marni, sebab itu dia pikir bisa menghadapi Wulan dengan berani. Nyatanya berjam-jam ditinggalkan berdua dengan sang mertua tidak membuat kondisinya pulih.

Kata-kata Wulan terus menghantui, padahal mertuanya tidak banyak bicara selain bersama Markus, paling jauh hanya meminta dibuatkan minum seperti tadi. Namun, dampaknya tidak baik hingga Martha harus memberi jeda sejenak untuk mempersiapkan diri lagi.

Martha biarkan tubuhnya duduk di lantai, tidak keberatan air matanya terus tumpah meski secepat kilat dia seka, berusaha menormalkan setiap helaan dan embusan napas yang dia lakukan, serta meyakinkan diri bahwa kehadiran Wulan bukanlah apa-apa sekarang.

Selama ini Martha biarkan dua telinganya mendengar omongan buruk orang lain, sekarang giliran satu suara saja yang didengar oleh rungu—hanya suaranya—menumpahkan kata-kata positif, berharap itu berhasil menyembuhkan diri.

“Enggak apa-apa, nggak apa-apa. Aku pasti bisa. Jangan mau kalah, Martha. Sekali aja.”

Ya, sekali saja, Martha tidak mau kalah untuk hari ini dari Wulan. Martha tidak hanya menyiapkan diri untuk berhadapan dengan Wulan, tetapi juga untuk bicara empat mata seperti yang sempat dilakukan wanita itu bersama ibunya. Martha ingin tahu kenapa Wulan selalu senang mengomentari fisiknya, sebab dia cukup yakin selain karena perubahan yang terlalu nyata, pasti ada alasan lain sampai fisik selalu jadi nomor satu untuk disinggung.

Saat Martha masih gadis, Wulan begitu manis dan selalu membanggakan sang calon menantu—saat itu—yang dikenal sebagai selebgram. Awal-awal menikah pun tidak ada perubahan ke arah negatif, Wulan tetap mendukung dan dari situ Martha merasa beruntung memiliki mertua yang suportif.

Lantas kini, Wulan yang tiba-tiba berubah menimbulkan tanda tanya besar di benak. Apa mungkin Martha punya salah? Atau sebenarnya sifat manis Wulan hanya dusta belaka? Bisa saja sebenarnya Wulan tidak pernah merestui Martha untuk bersama Martin, jadi menggunakan kelemahan menantunya untuk menjatuhkan tanpa henti.

Setelah puas menangis yang ditahan agar tidak jadi jeritan pilu, Martha berdiri dan berjalan menuju lemari untuk bercermin sejenak, memastikan penampilannya tidak terlalu menyedihkan agar tidak dicurigai oleh Wulan. Martha rapikan rambutnya agar serapi tadi, seka sisa-sisa air mata di pipi, lalu menuntun diri untuk keluar menghampiri Wulan lagi yang sudah menanti.

Namun, siapa sangka yang dituju ternyata sudah ada di depan pintu kamar. Kala pintu dibuka, Martha otomatis mundur sebagai bentuk refleks akibat terkejut melihat Wulan yang tidak disangka langsung ada di hadapannya. Martha berharap wajahnya tidak terlalu berantakan akibat menangis. Pun Wulan tidak menunggu terlalu lama sampai menanti di depan pintu karena kesal dan ingin menegur Martha.

Martha paksakan senyum, berusaha ramah meski tubuhnya bereaksi lain ketika senyum itu muncul.

“Mami nyamperin karena kamu lama di kamar,” ucap Wulan to the point.

“Maaf, Mi. Tadi aku … mastiin Markus tidur sampai nyenyak, soalnya dia suka gampang kebangun.”

“Kamu nggak usah bohong,” sambung Wulan yang membuat Martha tersentak. “Mami udah nyamperin kamu dua kali. Kebetulan pas nyamperin yang pertama pintunya nggak ditutup rapat, jadi Mami sempat lihat kamu nangis sampai gemeteran gitu. Mami chat Martin buat tahu kapan pulang soalnya nggak tahu harus ngapain lihat kamu nangis. Terus sekarang Mami nyamperin lagi buat nenangin walaupun nggak tahu mau kayak gimana,” Wulan memberi jeda untuk melihat penampilan Martha dari atas hingga bawah, “kamu kelihatan udah mendingan,” lanjutnya.

Martha gelagapan. Rangkaian kebohongan yang sudah disiapkan telah lebih dulu diketahui oleh Wulan. Martha sudah siap jika ulahnya akan dikomentari secara buruk oleh Wulan, tetapi tak disangka mertuanya malah mengatakan hal lain yang sangat di luar tebakan.

“Kamu nangis gara-gara omongan Mami?” tanya Wulan yang sebenarnya sudah tahu jawabannya, tetapi ingin mendengar langsung dari mulut Martha. “Omongan yang mana sampai kamu bisa nangis kayak gitu?”

Hampir Martha takjub karena berpikir Wulan sudah peduli pada kondisinya. Rupanya tidak, karena Wulan tidak menyadari apa saja kesalahan yang sudah beliau ciptakan sampai menantunya jatuh dan sulit digapai. Martha maju selangkah dan kini membelakangi pintu kamar yang terbuka lebar. Sudah memantapkan hati untuk bicara empat mata, jadi dia tidak bisa mundur dan mengurungkan niatnya.

Jikalau perbincangan hari ini akan menambah masalah lain, Martha akan berusaha siap, asalkan dia tidak lagi memendam.

“Banyak,” jawab Martha dengan suara pelan. “Khususnya tiap Mami bawa-bawa fisik aku yang sekarang, nyuruh aku diet, bahkan nggak ada simpatinya waktu aku drop karena diet ekstrem.” Martha mengabsen hal-hal penting yang sering Wulan ucapkan padanya, paling menyakitinya, paling merendahkan. “Aku tahu nggak kayak dulu lagi, tapi cara Mami ngomong itu nyakitin banget. Sering aku berusaha buat nggak mikirin omongan Mami secara berlebihan, tapi nggak bisa karena suara Mami tiap ledekin aku selalu muncul di kepala aku.

“Tadi aku nangis karena takut Mami bakal ngomong hal-hal nggak baik kayak sebelumnya lagi, nggak bisa aku tahan karena itu reaksi dari badan sendiri setelah maksain buat duduk manis di deket Mami. Aku coba ngumpulin nyali selama nangis supaya bisa ngobrol kayak gini. Jadi, sekarang aku mau tanya, kenapa Mami nggak suka sama aku dan selalu ledekin aku? Padahal sebelumnya Mami baik banget sampai aku ngerasa beruntung punya mertua kayak Mami. Sekarang boro-boro beruntung, aku jadi kayak lakuin kesalahan besar, Mi.”

Sekali lagi, diamnya Martha amat ngeri sekaligus memilukan, sedangkan beraksinya Martha jauh lebih menakutkan karena dia berhasil menciutkan lawan bicaranya. Wulan ingin kabur untuk menghindari pertanyaan yang ditujukan padanya, merasa sudah kalah telak karena titik lemah Martha tidak bisa digunakan ketika dia mampu bicara lantang. Satu-satunya cara agar selamat hanyalah jujur tentang yang dirasa, meski alasannya … ya, mungkin tidak dapat diterima.

“Martin anak tunggal,” balas Wulan, “jadi Mami pengen yang terbaik buat dia, termasuk soal pasangan. Mami nggak mau dia punya pasangan dengan kekurangan, karena Mami ngedidik dia supaya jadi laki-laki berkualitas dan nggak asal milih perempuan buat dinikahin. Waktu dia ngenalin kamu, Mami yakin kamu yang terbaik, anggapan itu nggak hilang sampai kalian nikah. Baru setelah kamu lahiran dan fisiknya berubah, di situ kurangnya kamu kelihatan dan Mami nggak suka.

“Mami nggak mau Martin punya istri yang bikin malu tiap dibawa ke mana-mana, istri yang bikin kualitasnya turun, istri yang bikin Martin diledek temen-temennya dan dianggap gagal jadi suami. Makanya Mami sering bahas fisik kamu supaya sadar dan mau berubah, nggak gini-gini aja dan bikin Martin makin malu.”

Sekarang Martha sudah punya anak, jadi tentu dia pun ingin yang terbaik untuk Markus di masa depan—meski masih jauh jika harus membahas pernikahan. Karenanya Martha bisa mengerti alasan Wulan, serta membentuk anggapan baru bahwa mertuanya hanya menilai perempuan melalui fisik.

Jika fisiknya tidak sesuai dengan kriterianya lagi, maka kebaikannya sirna, seperti yang dilakukan Wulan pada Martha belakangan. Martha gigit bibir bawahnya, tidak ingin menangis lagi setelah mengetahui kenyataan. Wulan dan Marni membeberkan fakta yang sulit diterima, tetapi harus mampu Martha hadapi karena dialah korban utama yang kini tidak mau diam.

“Apa aku harus … pisah sama Martin dan biarin dia nikah sama perempuan lain yang lebih ideal, supaya Mami juga bangga punya menantu idaman? Apa harus begitu, Mi?”

Tentu pertanyaan yang menghunus dada Wulan itu tidak diniatkan secara serius, tetapi selalu terlintas setiap Martha sedang dalam kondisi tak menentu. Melihat Wulan yang bungkam dengan ekspresi kecutnya memberikan beberapa makna; Wulan setuju, Wulan keberatan, Wulan takut, dan Wulan hanya ingin kabur.

Tidak kunjung mendapatkan jawaban, Martha kembali bicara, “Aku beberapa kali mikir gitu karena mungkin itu bisa jadi solusi. Soalnya aku makin nggak kuat denger omongan Mami dan baru berhenti kalau aku kayak dulu, bahkan belum ada jaminan aku bisa kurus lagi. Makanya … apa kami harus pisah dulu biar Martin nggak ngerasa malu, terus Mami punya menantu idalam lain yang sepadan sama Martin?”

Wulan tercekat, berhasil disudutkan padahal biasanya beliau yang menyerang. Martha sudah berani menantangnya, menyentil ego Wulan untuk terus bangkit karena tidak mau mengalah dari menantunya. Jika Martin ada, pasti dia syok mendengar percakapan sengit antara Wulan dan Martha, harus susah payah untuk jadi penengah antara mereka yang tidak mau mengalah; Martha yang sedang menjunjung harga diri, sedangkan Wulan yang mengedepankan ego tinggi.

Nihilnya jawaban menurunkan sedikit gengsi Martha, meredakan emosinya sebelum memuncak untuk menghindari pertikaian mengerikan yang bisa terjadi nantinya.

“Aku udah niat buat serius diet setelah Markus bisa jalan. Jadi, Mami nggak usah khawatir—kalau bisa. Maafin aku juga udah nyinggung Mami,” sesal Martha, sedikit lemas setelah bicara banyak dengan sedikit jeda.

“Kalau gitu giliran Mami yang nanya,” balas Wulan tegas, dinanti harap-harap cemas oleh Martha. “Tadi kamu nanya apa harus pisah sama Martin supaya dia nggak ngerasa malu. Sekarang kalau Mami suruh kamu pisah sama Martin, kamu siap?”

“Tadi ngobrol apa aja sama Mami?” tanya Martin di sela-sela makan malam, mengamati ekspresi Martha sedetail mungkin agar tahu bila istrinya sedang menutupi sesuatu.

Martha yang tampak segar dengan rambut basahnya—habis keramas biasa, bukan mandi wajib setelah berbuat—tidak langsung menjawab karena sibuk menyuapi Markus. Martin duduk tidak tenang, sampai sendok di tangannya berhenti mengudara dan menunda makan menanti jawaban Martha.

Pesan Wulan tadi sangat ganjil, jadi Martin yakin ada obrolan tidak menyenangkan dan dia harus tahu apa agar tenang. Setelah menyuapi Markus hingga habis setengah mangkuk, Martha meletakkan alat makan putranya dan mulai menjelaskan sedikit demi sedikit soal yang terjadi di belakang Martin—khususnya menjawab pertanyaan yang masih dinanti oleh sang suami.

“Tadi pas ditinggal, aku sama Mami nggak ngobrol banyak. Kami duduk bareng sambil nonton, ada Markus juga ikut main. Sama kayak pas bareng Bunda, aku juga gemeteran di deket Mami, tapi ditahan-tahan biar nggak kelihatan jelas. Terus waktu aku mindahin Markus ke kamar dan mau balik lagi nyamperin Mami, tiba-tiba badan aku lemes dan berakhir nangis. Enggak usah ditanya segemeteran apa ya pas itu, ini aja aku masih agak lemes.

“Pas nangis, aku coba buat nyiapin nyali supaya bisa ngobrol sama Mami. Setelah siap, yaudah, kami ngobrol dengan suasana yang nggak enak. Di situ aku tanya kenapa Mami suka ledekin fisik aku, terus Mami jawab beliau pengen kamu punya istri yang sepadan sama kamu. Makanya pas aku jadi gini,” Martha merentangkan sedikit tangannya yang membesar, “Mami nggak suka karena takut bikin kamu malu. Mami juga nggak mau kamu diledek gara-gara dianggap gagal jadi suami lihat istrinya kayak aku.”

Astaga! Martin bisa bayangkan betapa susahnya Martha bicara dalam kondisi yang naik turun tanpa ada pegangan untuk membantu, tetapi dia bangga karena istrinya bisa menghadapi momen itu secara tuntas dan bisa menceritakan ulang dalam keadaan santai.

“Ada lagi?” Martin bertanya untuk kedua kali, yakin masih ada hal lain yang belum tuntas.

Martha mengangguk dan segera menjawab, “Pas Mami jelasin gitu, aku tanya apa harus pisah dari kamu supaya kamu nikah sama orang lain yang lebih ideal. Terus Mami nanya aku siap atau nggak kalau disuruh pisah. Jelas aku nggak siap,” Martha sedikit menggebu, “walaupun nggak berani jawab langsung karena Mami kelihatan serius banget mau nyuruh kita pisah.”

Sekarang Martin mengerti maksud pesan Wulan. Napasnya tiba-tiba terengah tak menentu, tidak bisa membayangkan jika dia mendengar langsung Martha bertanya begitu dan Wulan pun meladeni dengan serius.

Demi Tuhan! Nafsu makan Martin langsung sirna dan sendok di tangannya terlepas begitu saja, saking tidak terima dengan pertanyaan yang menciutkan dirinya.

“Kamu jangan nanya sembarangan gitu, ya,” kata Martin, panik sampai dia meraih tangan Martha agar tidak pergi ke mana-mana. “Mami nggak serius nyuruh kita pisah, ‘kan? Kamu juga nggak serius mau kita pisah, ‘kan?”

“Beberapa kali kepikiran, tapi aku nggak serius, kok.”

Martin sedikit lega, masih belum membayangkan bagaimana jadinya bila Martha benar-benar ingin menggugat cerai atas desakan Wulan. Saking takutnya, Martin sampai berdiri, lalu berakhir duduk di samping Martha agar tidak berjauhan dari istrinya. Martin sampai memeluknya erat, tidak akan membiarkan Martha pergi sedikit pun dari genggamannya.

Sekarang Martha boleh belum membaik, tetapi tidak akan dibiarkan menghilang sepenuhnya dari jangkauan. Markus yang menunggu disuapi menatap orang tuanya bingung. Keterbatasan komunikasi membuat Markus tidak bisa menegur, hanya mampu memukul kecil meja di high chair-nya agar Martha ingat untuk memberinya makan.

“Pokoknya kamu nggak boleh ke mana-mana, jangan kepikiran aneh-aneh juga, oke?” Martin belai puncak kepala Martha, memantrainya melalui belaian itu agar pikiran buruk yang sering menghampiri istrinya bisa terhapus. “Aku sama kamu terus, jadi jangan ngira aku mau aja ninggalin, ya.”

Layaknya anak kecil yang merengek, Martin sampai sembunyikan wajah di balik leher Martha untuk membatasi pergerakannya. Tak tega, Martha elus punggung Martin agar pria itu pun berhenti khawatir.

Seserius apa pun perbincangan bersama Wulan, sesering apa pun pikiran untuk berpisah terlintas, Martha tidak mungkin menyerah akan cintanya.

“Aku juga nggak ke mana-mana. Kamu juga nggak boleh ke mana-mana, ya, Martin.”

Bila boleh sedikit kembali ke momen di mana Martha dan Marni akhirnya bisa bicara empat mata, sebelum sang ibunda mengirim pesan pada menantunya kapan dia akan kembali dari jalan-jalan bersama Markus, ibu dan anak itu memiliki kesempatan untuk membuat percakapan dari hati ke hati di ruang keluarga, berharap bisa kembali mengeratkan ikatan kekeluargaan.

Martha duduk tegak di sisi kiri, memangku tangan di atas paha dan memainkan buku jarinya untuk menghilangkan rasa gugup. Marni di sisi kanan sesekali melirik ke arah sang putri yang sudah lebih relaks dan jejak air mata di pipinya telah sirna, tetapi getaran di kedua tangannya masih tampak jelas seakan jadi tanda bahwa putrinya masih belum mampu berlama-lama berdua bersama beliau.

Marni tidak mau memaksa, jadi beliau memilih bungkam untuk waktu yang cukup lama, sampai akhirnya Martha membuka suara lebih dulu, mengudarakan satu pertanyaan yang membuat Marni merasa diburu.

“Bunda,” panggil Martha tanpa melirik Marni, malah mencari pengalihan dengan menatap lantai beralaskan karpet cokelat. “Aku nggak maksud nyalahin Mami, tapi kenapa setiap Mami nyudutin aku, Bunda selalu setuju dan ikut-ikutan? Apa omongan Bunda jujur atau karena kebawa Mami aja?”

Diamnya Martha amat ngeri sekaligus memilukan. Beraksinya Martha justru jauh lebih menakutkan, sebab ucapannya tidak ragu untuk menciutkan nyali seseorang ketika mendengarnya, termasuk Marni yang telah menyadari banyak kata dari bibirnya terlampau menyakiti sang putri hingga berada di titik ini.

Sudah waktunya mereka bicara dengan tenang tanpa ada setetes air mata yang membasahi lisan, jadi Marni tidak mau bungkam terlalu lama agar tidak menggantungkan Martha yang membutuhkan eksplanasi atas perbuatannya.

“Jauh sebelum Bunda nikah, nenek kamu bilang kalau suatu saat nanti Bunda punya besan dari pihak laki-laki, usahain untuk punya hubungan sebaik mungkin karena ada kalanya mereka lebih angkuh dari besan pihak perempuan. Soalnya perdebatan sedikit aja sama besan, itu bisa berpengaruh sama rumah tangga anak. Setelah kamu nikah, Bunda coba untuk setuju sama yang diomongin Mbak Wulan karena nggak mau ada perdebatan apa pun supaya rumah tangga kamu juga aman.”

Marni tertunduk lesu, jawabannya terkesan konyol tetapi itulah fakta yang terjadi mengapa beliau seringnya berada di pihak Wulan. Tentu bukan salah Wulan hanya karena beliau selalu jadi pendahulu, tetapi salah Marni yang dibutakan oleh hormat dengan dalih menjaga keutuhan rumah tangga anaknya tanpa memikirkan perasaan dulu.

“Selain itu, Bunda setuju sama Mbak Wulan karena nggak mau perubahan fisik kamu jadi kekurangan dalam rumah tangga. Bunda nggak mau kamu ditinggalin Martin karena penampilannya jadi jauh beda. Bunda terus mikir gitu dan setuju sama Mbak Wulan tanpa lihat fakta kalau Martin selalu nerima kamu apa adanya. Sekarang Bunda ngaku salah karena nggak pernah mikirin perasaan kamu dulu sebelum ngomong, nggak mikirin Martin juga yang setia sama kamu. Bukannya belain anak sendiri, Bunda malah bikin kamu makin jatuh.”

Jadi begitu, ya ….

Faktanya sungguh menyedihkan. Marni berbuat begitu demi menghindari pertikaian, padahal perbuatannya berdampak fatal pada kesehatan putrinya, menyebabkan pertikaian lain yang mungkin hadir di masa mendatang bersama Wulan sebagai salah satu pelaku utama. Marni melindungi pernikahan Martin dan Martha melalui relasinya bersama besan, tanpa mempertimbangkan lebih jauh lagi apa yang harus dan tidak harus beliau lakukan saat menjaga relasi itu agar tetap aman.

Sekarang ketika faktanya sudah terbongkar, Martha telanjur hilang arah tujuan. Memaafkan orang tuanya adalah kewajiban, karena bagaimanapun kesalahan Marni tidak akan mengubah darah menjadi air dan menyudahi status dari lahir. Namun, mengawali segalanya dari garis start lagi harus susah payah untuk terlaksana, sebab Martha sudah dibawa jauh ke jalan yang salah akibat berbagai komentar—khususnya yang berasal dari keluarga.

“Maafin Bunda, ya …,” ucap Marni tulus, suaranya pelan akibat tidak sanggup menatap Martha yang runtuh. “Maafin Bunda ya, Nak. Kamu mau apa? Bunda bakal kasih asal kamu bisa balik lagi kayak dulu.”

Martha tidak mampu menjawab karena semua yang dimilikinya sudah lengkap, satu-satunya kekurangan hanyalah diri sendiri yang mati-matian untuk merangkak lagi. Melawan sumber deritanya dengan keberanian yang nihil, memaksa untuk tampil meski sesungguhnya membatin.

Hati-hati, Marni menarik Martha untuk mendekat, tak sekadar membawanya ke dekapan, tetapi membiarkan pahanya menjadi bantal untuk putrinya berbaring dan melupakan sejenak masalah yang tidak henti-hentinya menyerang. Martha tak menolak, biarkan dimonopoli sejenak oleh Marni yang berusaha menebus kesalahan meski caranya tidak tuntas.

Marni raih tangan Martha yang masih bergetar tiap mereka berdekatan, mengecup bagian punggungnya sambil berurai air mata. Marni elus puncak kepala putrinya, berusaha menghapus ingatan buruk yang sering hinggap di sana dan memberi siksaan lahir batin tanpa ampun. Kata maaf tidak berhenti, terus Marni lontarkan tiap semenit sekali.

Marni berusaha ambil hati lagi, sebab penolakan dari sang putri adalah ketakutan bagi mayoritas ibu yang tidak mau putrinya tersakiti. Marni harus mau susah payah, karena jatuhnya Martha sudah jauh melebihi batas.

Cara apa pun akan Marni lakukan asal Martha mau melihat beliau seperti dahulu lagi, menerima rangkulannya sebagai pelindung diri, tanpa takut lagi akan disakiti.

“Julian! Kamu harus bebasin aku!” hardik Dalia ketika Julian tiba di tempat adiknya sedang diperiksa, diberikan beberapa pertanyaan terkait laporan yang ditujukan padanya.

Tidak hanya Dalia, ada beberapa orang lain yang ikut dilaporkan atas kasus serupa dan tampak terguncang ketika melaksanakan pemeriksaan. Berbeda dengan yang lain dan memilih tunduk pasrah, Dalia dengan angkuhnya menolak dituduh yang tidak-tidak karena tidak merasa bersalah sedikit pun.

Akibat beberapa kali berontak dan meminta pulang, Dalia sampai ditahan oleh petugas lain agar tidak kabur selama pemeriksaan. Kehadiran Julian makin membuat Dalia histeris, pasalnya gadis itu terus meminta bantuan agar dibebaskan dari segala tuduhan.

“Aku tuh nggak bersalah,” ucap Dalia setelah Julian berdiri di hadapannya. “Kalau ini soal pesta kamu, harusnya kamu juga ikut dilaporin, dong. Kan kamu yang bikin pestanya,” dalih sang gadis yang masih berusaha membela diri.

Sebelum menjawab, Julian amati penampilan adiknya yang sedikit berantakan. Antara dia tidak siap ketika dibawa atau itu terjadi karena Dalia terus berontak. “Ini bukan yang pesta,” balas Julian, “tapi lo udah fitnah Martha di sosmed pake akun Marina itu. Buktinya udah gue kumpulin dan dikasih setelah bikin laporan. Gue sama Martin juga udah ngumpulin saksi. Intinya nggak ada laporan berdasar, semuanya udah kebongkar, jadi lo nggak usah nyari alasan.”

Dalia yang emosinya memuncak beberapa kali mengerjap, syok mendengar nama Martin yang disinggung dalam penjelasan kakaknya. “Kenapa bawa-bawa Kak Martin?”

“Karena gue bikin laporan atas perintah dia, termasuk laporin lo,” tegas Julian, menampar Dalia telak yang terus membantah.

Sudut bibir Dalia berkedut ngilu, tak menyangka idolanya akan berlaku seperti itu dan berniat menjebloskannya ke tempat paling menyeramkan yang tidak berani dia bayangkan. Dalia tidak mampu bergerak kabur, tetapi duduk saja tidak sudi dia lakukan. Dalia mengetatkan rahangnya, kecewa pada Julian dan Martin, tetapi gadis itu malah menyalahkan orang lain yang sudah paling dirugikan.

“Martha emang pantes digituin,” sahut Dalia sekonyong-konyong, mengejutkan Julian sebab dia kira adiknya tidak akan mengoceh lagi. “Dia udah rebut Kak Martin, ya. Dia nggak berhak sama Kak Martin.”

“Siapa lo ngatur berhak dan nggak berhak?” Julian makin gemas, tetapi berusaha tenang mengingat dia sedang di tempat ‘keramat’. “Nge-fans yang wajar aja, Dek. Terima dong Martin itu bukan punya lo atau penggemarnya yang lain. Dia punya Martha, mau jagain Martha. Jadi, lo jangan macem-macem atas dasar jadi fans doang.”

“Lo sok suci banget,” cibir Dalia yang suaranya mulai bergetar. “Lo juga suka ngeledek Martha, tuh.”

Julian mengangguk, mengakui hal tersebut tanpa ragu. “Iya, tapi gue tobat setelah akun Marina muncur dan ujaran kebencian yang dikasih ke Martha udah berlebihan. Lo salah satu biangnya, ya. Kalau akun itu nggak ada, semuanya nggak akan separah ini.”

Julian elus pundak Dalia, lalu membantunya duduk di hadapan penyidik untuk melanjutkan proses pemeriksaan yang sempat tertunda akibat keributan kecil. Julian tentu iba karena Dalia tetap adiknya. Namun, kesalahan fatalnya tidak bisa dibiarkan. Jika terus begitu, tidak akan membuat Dalia kapok dan mungkin ke depannya bermunculan Dalia lain yang tak kalah brutal.

“Gue udah siapin pengacara, tapi gue nggak bisa bantu lo buat bebas, kecuali Martin punya hati nurani buat cabut laporan lo sama yang lain.”

Saya ingat ketika masa-masa kehamilan Martha yang jadi momen paling berharga kami karena akan segera mendapatkan peran baru sebagai orang tua, saat itu dia selalu mengaku gugup tiap kali mengingat akan melakukan persalinan yang bagi beberapa calon ibu adalah momok menakutkan. Jauh sebelum persalinan, Martha juga seringkali gugup tiap akan melakukan sesuatu sebab harus hati-hati dengan kehamilan pertamanya.

Martha tidak mau membuat banyak orang kecewa jika dia gagal menjaga kehidupan yang dititipkan padanya, karena itu dia memilih rehat sejenak dari media sosial sebagai selebgram demi fokus pada kehamilan pertama. Mendekati persalinan, sering sekali Martha mendapat mimpi buruk tentang nyawanya yang pupus saat proses pesalinan selesai atau anak kami tidak selamat meninggalkan luka mendalam.

Setiap tengah malam trimester tiga, pasti saya akan sibuk menenangkan Martha bahwa semua ketakutan itu tidak mungkin terjadi, semua akan baik-baik saja, dan saya akan selalu di sampingnya. Sampai ketika persalinan tiba, saya meninggalkan seluruh pekerjaan, mengacaukan syuting untuk sehari—dan hari-hari berikutnya—demi menemani Martha di setiap masa pembukaan yang tampak menyiksa.

Martha berusaha relaks, mengatur napas sesuai instruksi bidan di rumah sakit yang mendampingi dokter, tetapi saya tahu sebesar apa rasa sakit yang istri saya alami selama bukaan berlangsung. Berbagai upaya dilakukan, tetapi tidak ada yang mampu meringankan sakitnya seluruh tubuh saat masa persalinan mendekat. Cengkeraman tangan Martha pada tangan saya tiap kali kontraksi itu muncul memberi petunjuk bahwa siksaannya saat persalinan bukan main, sampai tangan saya mati rasa akibat dicengkeram tiada henti dan biarkan Martha melakukan semaunya demi lampiaskan sakit.

Begitu proses bersalin dimulai, itu adalah momen paling mendebarkan dan menakutkan yang menghunus dada saya tidak terkira melihat Martha menjerit, mengatur napas, menjerit lagi, sebagai bentuk perjuangannya mengeluarkan anak kami dari jalan lahir. Pertama kalinya saya melihat wanita melahirkan dan itu jadi hari paling mendebarkan dalam hidup saya. Bukan karena saya takut darah, tetapi takut akan kehilangan seperti mimpi buruk Martha yang sering muncul tiap malam.

Sampai ketika bayi dengan berat tiga kilogram itu berhasil keluar tanpa ada kekurangan sedikit pun, Martha menangis menjadi-jadi karena lega telah melalui salah satu masa paling sulit ketika akan menjadi seorang ibu. Kala bayi itu sudah ada di gendongan saya, jujur, tangan saya bergetar melihatnya menangis seakan sudah melukai, padahal itu adalah hal alami ketika seorang bayi yang kami namakan Markus lahir.

Saat Markus berakhir di dada Martha untuk diberi asi pertama kali, istri saya berada di ambang kesadaran akibat lemas tak berdaya setelah proses persalinan panjang yang terbaya lunas. Hari itu saya lafalkan banyak doa, tumpahkan banyak cinta, berikan segenap penghargaan melalui kecupan di sekitar wajah dan tangan, serta mengukir sumpah akan menjaga Martha dan Markus dengan segenap jiwa.

Selama hampir setahun Markus mengisi hari-hari kami, ada banyak duka yang menghampiri dan itu berasal dari orang terdekat maupun jauh, menjadikan Martha korban dan berdampak parah pada kesehatan jiwa raganya. Janji untuk menjaga Martha tidak pernah runtuh, tetapi ketika istri saya berada di titik paling lemah sampai meminta bantuan pun nyaris tidak sanggup akibat rasa percaya yang sempat sirna, saya sadar peran menjaga itu belum dilakukan secara maksimal.

Saya belum mengenal Martha sebaik yang dikira, sebab dia luput dari perhatian saya yang kurang dan masih buta dengan keadaan sesungguhnya. Kini setelah tahu Martha tidak dalam keadaan stabil, emosinya mudah naik turun—dari senang tiba-tiba sedih, tawa berubah tangis—saya tinggalkan dunia yang membutakan dari kehidupan sesungguhnya di mana nama Martha dan Markus terukir di sana.

Kata-kata manis tidak lagi ampuh untuk mengobati, sebab hadirnya saya adalah bagian penting dalam kehidupan Martha agar kembali damai. Saya sudah bersumpah menjaganya dalam suka dan duka, menerimanya dalam keadaan terbaik dan terburuk, membimbingnya dalam jatuh dan bangun, serta mencintainya tanpa memandang rupa. Intinya, saya mencintai dia tanpa syarat. Maka jika saya tidak memerankan sosok suami secara maksimal, sumpah itu terasa percuma.

Sekarang ini di sela-sela menanti jam makan siang, Martha mengurung diri di kamar. Bila sebelum vakum dia di kamar untuk membuat konten baik foto dan video lalu diunggah ke Instagram, kini Martha betah di kamar untuk menghindari dunia luar, termasuk Bunda Marni yang sudah satu minggu lebih ini tinggal di rumah kami. Alasannya tentu demi menjaga Martha, tetapi yang dijaga masih ketakutan ketika mengobrol dan sang ibunda, membuat saya harus siaga jika sewaktu-waktu Martha runtuh kala bicara dengan Bunda Marni yang ingin meraih putrinya lagi.

Saya hampiri Martha yang duduk bersandar di kasur, duduk di hadapannya dan meraih tangannya yang bergetar setelah tadi berinteraksi dengan Bunda Marni. Padahal sudah berlalu satu jam, tetapi dampaknya masih terasa hingga sekarang. Saat saya genggam erat tangan itu demi meredakan getaran, Martha tersenyum—sedikit memaksakan, saya tahu itu. Sebab dalam kondisi seperti ini, jangankan tersenyum, menunjukkan secuil ekspresi saja susah payah Martha lakukan demi menyenangkan saya.

“Bunda repot nggak ya ngurus Markus sendiri?” tanya Martha, teringat pada putra kami yang sedang diasuh oleh Bunda Marni di ruang keluarga.

“Bunda malah seneng, kok. Kan jarang banget ketemu sama Markus. Malah tadi minta izin supaya Markus tidur sama Bunda.”

Martha tertawa kecil, sedikit memilukan kala didengar. “Berarti Markus baik banget ya di depan Bunda. Aku seneng.”

“Markus baik di depan siapa aja, apalagi di depan orang tuanya,” balas saya memberi semangat tersirat.

“Tapi kayaknya udah ngerti kalau di depan aku, soalnya aku beberapa kali nangis deket dia.”

Pengakuan kecil itu mencubit relung hati saya karena tidak pernah ada di saat Martha membutuhkan presensi saya. Di masa-masa sulit, di mana Martha masih bisa digapai dengan mudah, bukan saja di masa sekarang saat untuk bangkit saja masih susah payah. Janji menjaga tidak pernah padam, tetapi saya tetap ingkar dan itu fatal.

“Gimana proses laporannya?”

Di luar dugaan Martha menanyakan soal laporan terhadap orang-orang yang sudah melukainya, padahal saya sudah khawatir dia tidak setuju dan memaksa saya mencabut laporan—yang tidak akan pernah saya lakukan sampai tuntas.

“Lancar banget. Julian bantu urus semuanya, dia yang sering bolak-balik dan ngabarin. Kalau aku sih ngawasin dari sini aja sama kamu. Perginya kalau ada kabar penting dan kebetulan sekarang belum ada.”

Tanpa aba-aba, Martha menarik saya untuk masuk ke dekap hangatnya yang membuat saya betah berlama-lama di sana. Selain hangat, saya pun merasakan ikatan kuat antara kami yang sempat goyah. Sungguh, berdebat dengan Martha adalah momok mengerikan yang tidak boleh terulang untuk sekian kali. Cukup salah paham sekali, setelah itu saya harus lebih wawas diri.

“Jangan terlalu capek ngurusinnya, ya,” ucap Martha seraya menepuk punggung saya pelan. “Bilang juga ke Julian jangan terlalu diforsir. Kalau capek istirahat aja dulu sekali. Mereka nggak akan kabur, kok.”

Manis membekas pahit. Begitu yang saya rasakan ketika Martha masih mampu menyemangati saya dan Julian, padahal dia yang lebih berhak mendapatkannya dari banyak orang.

“Maaf, ya, aku jadi repotin. Tapi aku janji deh bakal sembuh dan sehat lagi. Doain aja, ya, semoga aku nggak gemeteran mulu tiap ngobrol sama Bunda, biar berani pas ketemu banyak orang.”

Sedetik saya tertegun, detik selanjutnya saya eratkan pelukan ketika Martha menyadari kesehatannya menurun. Ini adalah momen menakutkan lain. Bukan karena Martha bisa saja menyerah dalam hidup—dan saya tidak mau itu terjadi—melainkan bila jiwa Martha makin terbang jauh tanpa mampu saya raih. Itulah sebabnya saya peluk Martha seerat mungkin, mencegah jiwanya pergi agar tetap dalam genggaman.

Saya mengurai sedikit dekapan demi mengecup seluruh bagian wajah yang sedikit demi sedikit kehilangan cahayanya, berusaha menyalakan lagi api semangat yang kini padam.

“Kamu selalu sehat,” ucap saya seraya elus kedua pipinya. “Kamu jangan ngerasa sendirian, ya. Sekarang aku ada 24 jam buat kamu.”

Martha tertawa lagi, kali ini sedikit lebih lantang. “Kayak McD aja, ya.”

Saya mengangguk cepat ketika diibaratkan seperti restoran fast food populer. “Iya, aku McD pribadinya Martha yang siap melayani kapan pun kamu butuh.”

Tawanya kembali mengisi kesunyian kamar, membuat saya senang karena berhasil menghibur yang disayang. Saya suguhkan lagi satu ciuman di bibirnya yang sedikit terbuka, menyatukan dua benda lunak itu untuk memadu kasih dan meninggalkan jejak yang lama. Meski harus saya sudahi sebelum hilang akal dan inginkan lebih, penyatuan singkat itu berhasil mengembalikan sedikit Martha yang penuh cinta dan kasih.

Saya tidak pandai memberi pesan karena belum becus juga menjaga istri ketika butuh. Namun, dari kejadian ini saya belajar bahwa masa-masa pemulihan pasca melahirkan adalah momen krusial bagi seorang istri. Dia tidak boleh sendiri, harus bisa ditemani khususnya oleh suami. Saya tidak bisa 24 jam hadir, tetapi bodohnya saya pun tidak mengoptimalkan presensi yang sedikit. Semoga saja tidak ada saya versi bodoh yang lain. Pun tidak ada Martha terluka yang lain.

Sebagai seorang janda tiga anak yang semuanya telah memasuki usia matang, Marni tidak merasa berat ketika harus meninggalkan rumah karena dua anaknya—laki-laki dan perempuan—yang masih lajang sudah mampu memenuhi kebutuhan sendiri tanpa ibundanya. Kala Marni meminta izin untuk merawat Martha yang membutuhkan bantuan, dua anaknya itu langsung memberi lampu hijau sebab tahu kakaknya yang mengalami perkara sulit sedang butuh banyak bantuan.

Marni tidak berekspektasi apa-apa terkait respons yang sekiranya akan diberikan sang putri ketika beliau datang, apalagi Martin sudah mewanti-wanti bila nantinya Martha kurang memberi respons baik akibat pengalaman buruknya. Namun, siapa yang menyangka bila respons Martha rupanya seburuk itu.

Tidak ada makian seperti saat Marni dan Wulan diusir secara kasar, putrinya bukan hanya menolak, tetapi juga takut untuk sekadar menatap. Dua reaksi itu yang paling menyakiti Marni, tetapi beliau sadar hal itu terjadi merupakan dampak dari ulahnya yang keterlaluan pada Martha.

Rangkaian kata ‘manis’ Marni menghunus kalbu, tertanam sempurna meski tidak diberi pupuk. Sekarang ulahnya membuahkan hasil yang setimpal; Martha tidak lagi memandang ibunya secara sama. Jangankan berdekatan, mendengar suaranya saja menimbulkan getar hebat di tubuh Martha yang tampak jelas di mata.

Tadi saat sarapan, Marni sengaja tidak menimbulkan satu suara pun agar Martha bisa lebih santai ketika menyuapi Markus dan bercakap-cakap dengan Martin. Marni yang duduk di hadapan Martha hanya mengawasi sebaik mungkin, ingin tahu sebesar apa rasa sakit yang timbul dan efek lain dari derita itu.

Martin sendiri tidak mengajak Marni mengobrol selama sarapan berlangsung, bukan karena dia sengaja mengabaikan, melainkan sang mertua sudah memberi tahu sebelumnya agar mereka berkomunikasi lewat pandang saja agar Marni bisa bungkam sampai sarapan selesai.

Sekarang di kediaman keluarga kecil yang tengah berjuang mengembalikan tawa agar senantiasa meramaikan suasana secara tulus, hanya ada Marni dan Martha di tempat terpisah. Martin sengaja keluar membawa Markus jalan-jalan berkeliling komplek menggunakan stroller.

Setelah percakapan semalam, Martin yakin sang istri dan ibunya butuh waktu berdua saja untuk bicara dari hati ke hati agar menuntaskan segala perkara tanpa membatin lagi. Kalaupun gagal, Martin akan mencari cara lain agar Martha dan Marni berdamai, baru setelah itu menyelesaikan persoalan dengan Wulan yang masih belum diperbolehkan datang.

Diam-diam selama Martin pergi—kira-kira sudah sepuluh menit—Martha yang berada di kamar mencoba menyiapkan diri untuk bisa bicara dengan Marni. Suaminya tidak menyebutkan niat secara terang-terangan soal kenapa dia mengajak Markus pergi, kendati begitu Martha tahu niat tersembunyi Martin dan sekarang sedang dimanfaatkan sebaik mungkin karena tidak ingin mengecewakan siapa-siapa lagi—termasuk dirinya sendiri.

Martha bercermin, menepuk pipi gembilnya agar bangkit dari keterpurukan yang tidak kunjung pergi. Langkah pertama yang wajib Martha lakukan adalah bicara dengan Marni, karena bagaimanapun beliau adalah salah satu alasan mengapa wanita itu dalam kondisi begini. Bila langkah pertama berhasil, Martha yakin langkah berikutnya pun tidak akan sulit untuk dilalui.

Martha menghela napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Di balik takut itu, Martha sadar egonya pun tinggi. Maka dari itu dia berusaha menurunkan egonya sedikit demi sedikit demi menemukan jati diri. Jika tidak dimulai darinya—apalagi Martin diam-diam berharap lebih—Martha akan makin jauh dari sosoknya yang asli. Sudah cukup bersembunyi dan menghindar dari sumber rasa sakit, kali ini biarkan Martha menghadapinya seorang diri.

Setelah mengumpulkan nyali sebanyak yang dia bisa, Martha keluar dari kamar dan sayup-sayup mendengar suara televisi yang volumenya sengaja dikecilkan agar dia tidak terganggu selama di kamar. Akhirnya Martha tiba di samping Marni yang duduk di sofa dan matanya lurus menatap televisi, tetapi pandangannya kosong tanpa ada yang diberi atensi. Nyalanya televisi hanyalah panjangan untuk memecah keheningan sekitar, meski sesungguhnya gagal sebab yang diinginkan Marni adalah hadirnya Martha dan mau menggapai uluran tangan.

“Bunda,” panggil Martha, tiba-tiba menggigil nyeri saat satu kata itu susah payah mengudara dari belah bibirnya. “Mau makan siang pake apa? Nanti … biar Martha pesenin.”

Marni awalnya tidak bereaksi ketika namanya dipanggil, mengira suara Martha hanyalah ilusi. Sampai ketika kalimat lain mengiringi, Marni menoleh ke sebelah kiri dan menemukan Martha yang setia berdiri. Marni sampai menganga kecil, takjub ketika Martha akhirnya mau menghampiri meski tahu keadaannya jadi tidak baik. Marni lantas sejajarkan tinggi, lalu tersenyum penuh haru menghargai sang putri yang berusaha mendekatkan diri.

“Biar Bunda yang masak kayak pas sarapan, ya. Kamu istirahat aja.”

Martha mengangguk patuh, lalu menunduk akibat tidak sanggup beradu pandang bersama Marni di hadapannya. Sebesar apa pun nyalinya, belum mampu mengalahkan ketakutannya. Kendati demikian, Martha tidak langsung pergi. Sepasang tungkainya seolah membeku di tempat agar tidak ke mana-mana dan mau satu langkah lebih maju melalui Marni.

Menyadari sang putri yang membutuhkan uluran nyata, Marni mengangkat kedua tangannya hati-hati, terulur menuju wajah Martha yang ditekuk takut. Marni tangkup kedua pipi Martha, menimbulkan efek samping tidak baik karena getar pada tubuh sang putri kian terasa melukai. Namun, Marni tidak mau mundur begitu saja. Beliau mengangkat wajah Martha dan disambut oleh tatapan penuh pilu yang paling menyakitkan diterima oleh sang ibu. Pilu yang berasal dari takut, rendah diri, hilang arah, dan tidak tahu cara untuk kembali utuh.

Tak pernah sekalipun Marni berkata kasar pada anak-anaknya sejak mereka kecil hingga dewasa. Semarah apa pun, haram hukumnya bagi Marni memaki anak-anak yang butuh dibimbing dengan baik dan diberi teguran secara benar. Tutur kata Marni sejak dulu selalu manis. Namun, siapa sangka bila tutur manis itu bisa membunuh mental seseorang yang tidak lain adalah putrinya sendiri.

“Jangan takut,” isak Marni saat Martha berusaha menghindari pandang. “Bunda nggak akan ngomong gitu lagi ke kamu, Nak. Maafin Bunda, ya. Bunda … janji bakal lebih baik sama kamu.”

Marni seka air mata Martha yang telah lebih dulu tumpah, lalu ditariknya sang putri ke dalam dekapan hangat yang selalu dibutuhkan saat berada di titik terendah. Martha sembunyikan wajah di balik pundak Marni, membasahi blouse yang dikenakan sang bunda tetapi tak jadi masalah asal duka yang dirasakan putrinya tuntas.

“Bunda jahat ya sama kamu? Bunda nggak baik ya sama kamu?”

Pertanyaan itu tidak sanggup dijawabkan melalui lisan, tetapi tirta Martha yang tumpah ruah dengan bebas sudah cukup menjelaskan banyak hal terpendam.

“Maafin Bunda ya, Nak. Maafin Bunda yang nggak baik ini, ya. Kamu boleh marah, tapi jangan takut sama Bunda, ya. Bunda lebih sedih kalau kamu menghindar.”

Lisan Martha tetap bungkam, tetapi getar tubuhnya yang makin tak terkendali jadi jawaban paling mengerikan, sebab di situlah Marni tahu putrinya masih jauh dari jangkauan.

“Anak Bunda paling cantik, paling baik, jangan gini lagi, ya. Bunda sayang kamu, Nak. Bunda sayang banget sama kamu, Martha. Beneran.”

Berkali-kali Marni berikan sanjungan, tetapi gagal memperdaya Martha akibat kata-kata buruk sang ibunda yang terlalu melekat. Marni belai rambut Martha yang terurai bebas, menangis bersama dengan akibat berbeda; Marni yang merasa bersalah dan duka Martha yang tak kunjung mereda.

Untuk saat ini, belum ada penyelesaian sempurna meski Martha telah memberanikan diri untuk saling berhadapan dengan luka. Kendati setidaknya perasaan ibu dan anak itu tersalurkan dengan cukup baik, membuat Martha dan Marni tahu harus berlakon seperti apa untuk ke depannya. Tidak ada lagi yang mengulang kesalahan dan mau menghadapi pahitnya realitas tanpa takut menghadapi kritikan.

Tidak semua perempuan haus akan pujian, tetapi tidak berhak pula untuk dihina.

Martha

“Apa Mami juga bakal ke sini?”

Suara lirih itu mengudarakan seulas tanya ketika Martin baru saja selesai mandi, sedang menggunakan pelembap wajah sembari berdiri di hadapan cermin yang menempel di lemari. Martin berikan atensi pada Martha yang duduk bermuram durja di tepi kasur. Masih dengan tubuh yang hanya dililit handuk, Martin mendekat dan berlutut di hadapan Martha yang sangat terpukul—antara bersalah sudah menolak Marni dan masih ketakutan dengan hadirnya sang bunda yang menggerogoti batin.

Tadi selepas pertemuan yang penuh duka, Marni menyarankan Martin untuk membawa Martha ke kamarnya sebab beliau sadar kehadirannya tidak menyenangkan untuk putrinya.

Saat makan malam pun, Martha keluar sebagai formalitas belaka untuk mengawasi Markus makan, lalu tidak lama kembali ke kamar tanpa makan sesuap nasi dan lauk yang tersaji di meja makan. Nafsu makannya sirna, tak sanggup berdekatan terlalu lama dengan wanita yang telah melahirkannya.

Dada Martha bergemuruh tidak menentu, sebab itu dia menghindar untuk sementara waktu akibat tidak siap menghadapi sang ibu. Omong-omong, sekarang Markus sedang bersama Marni, sengaja diasuh oleh sang nenek agar malam Martha bisa lebih relaks.

“Mungkin, tapi Mami nggak akan dateng bareng sama Bunda.”

Tidak lega sedikit pun, justru kelesah membayangkan akan seperti apa kedatangan Wulan yang lebih menakutkan dibanding Marni. Martin angkat tangannya, menangkup pipi Martha dan membelainya lembut. Berusaha mengikis kekhawatiran yang mendominasi tubuh.

“Tenang, Sayang. Aku yakin Mami nggak akan ngomong aneh-aneh lagi soal kamu. Soalnya ada aku, jadi kalaupun Mami masih nyebelin, pasti nggak berani macem-macem.”

Martha tatap suaminya yang berusaha menghibur, lalu tersenyum samar akibat patah semangat yang tidak kunjung menyatu. “Berarti kalau nggak ada kamu bakal macem-macem, ya. Bunda juga gitu.”

Martin mengatupkan bibirnya rapat, sadar dia salah bicara padahal berniat untuk memberi semangat. Disadarkan pula sebesar apa pun usahanya menyemangati Martha sebelum akhirnya berada di titik paling rendah, Martin tetap tidak berhasil menyelamatkan sang istri dan malah makin menguburnya hingga terlambat untuk digali keberadaannya.

Martin selalu berucap manis, menyemangati dengan berbagai kata yang baik—kontradiktif dengan yang orang lain bagi, tetapi itu saja tidak cukup untuk membuat Martha yakin bahwa dirinya yang terbaik, sebab Martin tahu hadirnya lah yang paling berarti.

“Mereka nggak akan ngomong yang bikin kamu sedih lagi, Martha. Aku jamin. Bukan karena ada aku aja, tapi mereka sadar udah nyakitin kamu. Bunda ke sini juga bukan buat aneh-aneh, tapi mau jagain kamu juga biar lebih enakan. Kalau ada Bunda, siapa tahu kamu bisa lebih seneng karena ada temen ngobrol sesama perempuan.”

Sesama perempuan, ya ….

Sesama perempuan yang paling menyakitkan, sesama perempuan yang paling menjatuhkan, sesama perempuan yang saling meruntuhkan, sesama perempuan yang jauh dari kata mengerti keadaan. Women support women adalah kata yang tidak berlaku lagi di kamus Martha, sebab buktinya dua wanita yang sepatutnya paling mengerti malah merasa superior tanpa membagikan dukungan setimpal. Maka dari itu sesama perempuan tidak selalu sepaham, malah seringnya jadi yang paling juara dalam merendahkan martabat.

Martha makin lesu, merasa dibatasi gerak-geriknya karena Marni ada di rumah. Wanita yang pernah jadi segalanya, kini jadi takut untuk dianggap ada oleh Martha.

“Aku udah nggak marah sama mereka,” gumam Martha, “cuma … aku nggak ngerasa aman di deket Bunda sama Mami. Makanya tadi takut banget karena udah kepikiran jelek-jelek pas lihat Bunda dateng. Aku tahu tadi itu reaksi yang salah, tapi berusaha buat lihat Bunda aja rasanya nggak sanggup banget, Martin. Apalagi kalau nanti Mami juga datang, pasti lebih susah buat dipaksain.”

“Berarti jangan maksain, Sayang.” Martin genggam erat kedua tangan Martha yang kembali bergetar, seakan seluruh saraf di sana tidak bekerja semestinya. “Kamu boleh jujur nggak bisa ketemu mereka dulu, pasti mereka ngerti, kok. Buktinya tadi Bunda juga yang nyuruh kamu ke kamar dan nggak maksa buat ngobrol, soalnya Bunda tahu kamu butuh waktu. Mami juga kalau ke sini bakal ngerti banget. Tapi di sini pun bukan berarti ngurung diri, siapin nyali juga supaya bisa sedikit nyapa Bunda sama Mami biar nggak bergantung sama cara menghindar.”

Bergantung sama cara menghindar. Empat kata itu membuka mata Martha, sadar bahwa selama ini cara dia menyelesaikan masalah adalah dengan menghindari sumber lukanya. Menjauhkan diri dari yang banyak merugikan. Untuk orang-orang di media sosial, itu adalah tindakan yang benar karena menerima banyak ujaran kebencian tidaklah berhak untuk dibiarkan.

Sedangkan menghindari sumber luka nyata tidak jadi penyelesaian yang tepat, sebab buktinya Martha jadi ingin menghindar terus-menerus tanpa tahu pasti kapan siap menghadapi.

Martha sudah pernah bicara di depan banyak orang yang tertawa di atas deritanya, meski memberikan efek samping yang buruk, setidaknya dia telah mampu bangkit untuk mengembalikan martabat yang dijunjung tinggi. Martha menyunggingkan senyum, kali ini lebih tulus.

“Makasih, Martin. Nanti aku coba ngobrol sama Bunda.”

Ketulusan itu menghapus segala kesangsian yang Martin terima jikalau dia salah bicara untuk sekian kalinya. Dari situ pun Martin paham bahwa Martha butuh didengarkan agar mau mendengarkan, bukan menerima omongan pahit yang jadi komplikasi.

“Lihat kamu senyum gini ‘kan jadi makin cantik,” puji Martin, tidak dibuat-buat, sepenuhnya tulus dia sampaikan ketika lengkung sempurna di bibir Martha terbentuk indah meski ada beban yang masih tampak.

“Sekarang kamu pake baju dulu, deh. Dari tadi aku gagal fokus,” titah Martha seraya menarik Martin untuk berdiri. Martin terkekeh geli.

“Tanggung. Sekalian aja nggak usah, deh. Mandi dua kali bukan masalah buat aku.”

Martha mendelik saat paham maksud Martin, lantas mendorong kecil perut suaminya agar menjauh dan kembali ke lemari tempat pakaiannya berada. Martin kembali tertawa, kali ini lebih lantang. Selain karena tindakan Martha yang menggemaskan, dia pun ingin menghibur sang puan berusaha kembali menemukan relaksasi.

Martha, kali ini aku nggak akan ke mana-mana. Jadi, jangan ngerasa sendirian, ya.