Dari sisi Martha sendiri sebenarnya dia tidak mau selemah itu, susah payah sekali dia melangkah untuk menghampiri Wulan lagi setelah menidurkan Markus di kasurnya. Sayang, sepasang kaki yang selalu jadi tumpuan itu tidak mampu lagi menahan beban. Memaksa Martha untuk istirahat sejenak agar tidak memaksakan diri saat dayanya tidak lagi dimiliki.
Martha boleh saja terlihat biasa di hadapan Wulan, menghapus daftar menjaga jarak agar perannya sebagai menantu yang baik tetap mampu diberikan. Martha sudah bisa sedikit berdamai dengan Marni, sebab itu dia pikir bisa menghadapi Wulan dengan berani. Nyatanya berjam-jam ditinggalkan berdua dengan sang mertua tidak membuat kondisinya pulih.
Kata-kata Wulan terus menghantui, padahal mertuanya tidak banyak bicara selain bersama Markus, paling jauh hanya meminta dibuatkan minum seperti tadi. Namun, dampaknya tidak baik hingga Martha harus memberi jeda sejenak untuk mempersiapkan diri lagi.
Martha biarkan tubuhnya duduk di lantai, tidak keberatan air matanya terus tumpah meski secepat kilat dia seka, berusaha menormalkan setiap helaan dan embusan napas yang dia lakukan, serta meyakinkan diri bahwa kehadiran Wulan bukanlah apa-apa sekarang.
Selama ini Martha biarkan dua telinganya mendengar omongan buruk orang lain, sekarang giliran satu suara saja yang didengar oleh rungu—hanya suaranya—menumpahkan kata-kata positif, berharap itu berhasil menyembuhkan diri.
“Enggak apa-apa, nggak apa-apa. Aku pasti bisa. Jangan mau kalah, Martha. Sekali aja.”
Ya, sekali saja, Martha tidak mau kalah untuk hari ini dari Wulan. Martha tidak hanya menyiapkan diri untuk berhadapan dengan Wulan, tetapi juga untuk bicara empat mata seperti yang sempat dilakukan wanita itu bersama ibunya. Martha ingin tahu kenapa Wulan selalu senang mengomentari fisiknya, sebab dia cukup yakin selain karena perubahan yang terlalu nyata, pasti ada alasan lain sampai fisik selalu jadi nomor satu untuk disinggung.
Saat Martha masih gadis, Wulan begitu manis dan selalu membanggakan sang calon menantu—saat itu—yang dikenal sebagai selebgram. Awal-awal menikah pun tidak ada perubahan ke arah negatif, Wulan tetap mendukung dan dari situ Martha merasa beruntung memiliki mertua yang suportif.
Lantas kini, Wulan yang tiba-tiba berubah menimbulkan tanda tanya besar di benak. Apa mungkin Martha punya salah? Atau sebenarnya sifat manis Wulan hanya dusta belaka? Bisa saja sebenarnya Wulan tidak pernah merestui Martha untuk bersama Martin, jadi menggunakan kelemahan menantunya untuk menjatuhkan tanpa henti.
Setelah puas menangis yang ditahan agar tidak jadi jeritan pilu, Martha berdiri dan berjalan menuju lemari untuk bercermin sejenak, memastikan penampilannya tidak terlalu menyedihkan agar tidak dicurigai oleh Wulan. Martha rapikan rambutnya agar serapi tadi, seka sisa-sisa air mata di pipi, lalu menuntun diri untuk keluar menghampiri Wulan lagi yang sudah menanti.
Namun, siapa sangka yang dituju ternyata sudah ada di depan pintu kamar. Kala pintu dibuka, Martha otomatis mundur sebagai bentuk refleks akibat terkejut melihat Wulan yang tidak disangka langsung ada di hadapannya. Martha berharap wajahnya tidak terlalu berantakan akibat menangis. Pun Wulan tidak menunggu terlalu lama sampai menanti di depan pintu karena kesal dan ingin menegur Martha.
Martha paksakan senyum, berusaha ramah meski tubuhnya bereaksi lain ketika senyum itu muncul.
“Mami nyamperin karena kamu lama di kamar,” ucap Wulan to the point.
“Maaf, Mi. Tadi aku … mastiin Markus tidur sampai nyenyak, soalnya dia suka gampang kebangun.”
“Kamu nggak usah bohong,” sambung Wulan yang membuat Martha tersentak. “Mami udah nyamperin kamu dua kali. Kebetulan pas nyamperin yang pertama pintunya nggak ditutup rapat, jadi Mami sempat lihat kamu nangis sampai gemeteran gitu. Mami chat Martin buat tahu kapan pulang soalnya nggak tahu harus ngapain lihat kamu nangis. Terus sekarang Mami nyamperin lagi buat nenangin walaupun nggak tahu mau kayak gimana,” Wulan memberi jeda untuk melihat penampilan Martha dari atas hingga bawah, “kamu kelihatan udah mendingan,” lanjutnya.
Martha gelagapan. Rangkaian kebohongan yang sudah disiapkan telah lebih dulu diketahui oleh Wulan. Martha sudah siap jika ulahnya akan dikomentari secara buruk oleh Wulan, tetapi tak disangka mertuanya malah mengatakan hal lain yang sangat di luar tebakan.
“Kamu nangis gara-gara omongan Mami?” tanya Wulan yang sebenarnya sudah tahu jawabannya, tetapi ingin mendengar langsung dari mulut Martha. “Omongan yang mana sampai kamu bisa nangis kayak gitu?”
Hampir Martha takjub karena berpikir Wulan sudah peduli pada kondisinya. Rupanya tidak, karena Wulan tidak menyadari apa saja kesalahan yang sudah beliau ciptakan sampai menantunya jatuh dan sulit digapai. Martha maju selangkah dan kini membelakangi pintu kamar yang terbuka lebar. Sudah memantapkan hati untuk bicara empat mata, jadi dia tidak bisa mundur dan mengurungkan niatnya.
Jikalau perbincangan hari ini akan menambah masalah lain, Martha akan berusaha siap, asalkan dia tidak lagi memendam.
“Banyak,” jawab Martha dengan suara pelan. “Khususnya tiap Mami bawa-bawa fisik aku yang sekarang, nyuruh aku diet, bahkan nggak ada simpatinya waktu aku drop karena diet ekstrem.” Martha mengabsen hal-hal penting yang sering Wulan ucapkan padanya, paling menyakitinya, paling merendahkan. “Aku tahu nggak kayak dulu lagi, tapi cara Mami ngomong itu nyakitin banget. Sering aku berusaha buat nggak mikirin omongan Mami secara berlebihan, tapi nggak bisa karena suara Mami tiap ledekin aku selalu muncul di kepala aku.
“Tadi aku nangis karena takut Mami bakal ngomong hal-hal nggak baik kayak sebelumnya lagi, nggak bisa aku tahan karena itu reaksi dari badan sendiri setelah maksain buat duduk manis di deket Mami. Aku coba ngumpulin nyali selama nangis supaya bisa ngobrol kayak gini. Jadi, sekarang aku mau tanya, kenapa Mami nggak suka sama aku dan selalu ledekin aku? Padahal sebelumnya Mami baik banget sampai aku ngerasa beruntung punya mertua kayak Mami. Sekarang boro-boro beruntung, aku jadi kayak lakuin kesalahan besar, Mi.”
Sekali lagi, diamnya Martha amat ngeri sekaligus memilukan, sedangkan beraksinya Martha jauh lebih menakutkan karena dia berhasil menciutkan lawan bicaranya. Wulan ingin kabur untuk menghindari pertanyaan yang ditujukan padanya, merasa sudah kalah telak karena titik lemah Martha tidak bisa digunakan ketika dia mampu bicara lantang. Satu-satunya cara agar selamat hanyalah jujur tentang yang dirasa, meski alasannya … ya, mungkin tidak dapat diterima.
“Martin anak tunggal,” balas Wulan, “jadi Mami pengen yang terbaik buat dia, termasuk soal pasangan. Mami nggak mau dia punya pasangan dengan kekurangan, karena Mami ngedidik dia supaya jadi laki-laki berkualitas dan nggak asal milih perempuan buat dinikahin. Waktu dia ngenalin kamu, Mami yakin kamu yang terbaik, anggapan itu nggak hilang sampai kalian nikah. Baru setelah kamu lahiran dan fisiknya berubah, di situ kurangnya kamu kelihatan dan Mami nggak suka.
“Mami nggak mau Martin punya istri yang bikin malu tiap dibawa ke mana-mana, istri yang bikin kualitasnya turun, istri yang bikin Martin diledek temen-temennya dan dianggap gagal jadi suami. Makanya Mami sering bahas fisik kamu supaya sadar dan mau berubah, nggak gini-gini aja dan bikin Martin makin malu.”
Sekarang Martha sudah punya anak, jadi tentu dia pun ingin yang terbaik untuk Markus di masa depan—meski masih jauh jika harus membahas pernikahan. Karenanya Martha bisa mengerti alasan Wulan, serta membentuk anggapan baru bahwa mertuanya hanya menilai perempuan melalui fisik.
Jika fisiknya tidak sesuai dengan kriterianya lagi, maka kebaikannya sirna, seperti yang dilakukan Wulan pada Martha belakangan. Martha gigit bibir bawahnya, tidak ingin menangis lagi setelah mengetahui kenyataan. Wulan dan Marni membeberkan fakta yang sulit diterima, tetapi harus mampu Martha hadapi karena dialah korban utama yang kini tidak mau diam.
“Apa aku harus … pisah sama Martin dan biarin dia nikah sama perempuan lain yang lebih ideal, supaya Mami juga bangga punya menantu idaman? Apa harus begitu, Mi?”
Tentu pertanyaan yang menghunus dada Wulan itu tidak diniatkan secara serius, tetapi selalu terlintas setiap Martha sedang dalam kondisi tak menentu. Melihat Wulan yang bungkam dengan ekspresi kecutnya memberikan beberapa makna; Wulan setuju, Wulan keberatan, Wulan takut, dan Wulan hanya ingin kabur.
Tidak kunjung mendapatkan jawaban, Martha kembali bicara, “Aku beberapa kali mikir gitu karena mungkin itu bisa jadi solusi. Soalnya aku makin nggak kuat denger omongan Mami dan baru berhenti kalau aku kayak dulu, bahkan belum ada jaminan aku bisa kurus lagi. Makanya … apa kami harus pisah dulu biar Martin nggak ngerasa malu, terus Mami punya menantu idalam lain yang sepadan sama Martin?”
Wulan tercekat, berhasil disudutkan padahal biasanya beliau yang menyerang. Martha sudah berani menantangnya, menyentil ego Wulan untuk terus bangkit karena tidak mau mengalah dari menantunya. Jika Martin ada, pasti dia syok mendengar percakapan sengit antara Wulan dan Martha, harus susah payah untuk jadi penengah antara mereka yang tidak mau mengalah; Martha yang sedang menjunjung harga diri, sedangkan Wulan yang mengedepankan ego tinggi.
Nihilnya jawaban menurunkan sedikit gengsi Martha, meredakan emosinya sebelum memuncak untuk menghindari pertikaian mengerikan yang bisa terjadi nantinya.
“Aku udah niat buat serius diet setelah Markus bisa jalan. Jadi, Mami nggak usah khawatir—kalau bisa. Maafin aku juga udah nyinggung Mami,” sesal Martha, sedikit lemas setelah bicara banyak dengan sedikit jeda.
“Kalau gitu giliran Mami yang nanya,” balas Wulan tegas, dinanti harap-harap cemas oleh Martha. “Tadi kamu nanya apa harus pisah sama Martin supaya dia nggak ngerasa malu. Sekarang kalau Mami suruh kamu pisah sama Martin, kamu siap?”