3500 kata. Enjoy ^^
Satu bulan setelah menikah, baru kali ini Natheo Linggar melihat Naura Rasendrya sibuk memeriksa naskah dari penulis yang akan terbit hingga menjelang tengah malam. Biasanya Naura akan menyelesaikan tugasnya sebelum jam sembilan malam, lalu istirahat sesuai waktunya setelah mengobrol singkat bersama Theo tentang aktivitas selama sehari. Akibatnya Theo merasa iba mendapati Naura yang waktu tidurnya berkurang, padahal besok pagi masih harus berangkat ke kantor.
Theo duduk manis di tepi kasur, setia mengawasi Naura di meja kerjanya yang menatap layar laptop dengan dahi mengerut serius. Naura akan mengetik sesuatu ketika kerutan di dahinya bertambah, membaca lagi, tidak lama mengetik untuk sekian kali ketika ada yang mengganjal dalam naskah itu. Awalnya Theo ingin membiarkan Naura bekerja sampai larut karena tidak ingin mengganggu kewajibannya.
Namun, ketika jam di atas nakas sudah hampir menunjukkan pukul dua belas, Theo tidak bisa diam saja. Pria yang mengenakan kaus hitam dan celana pendek itu bangkit, lantas mendekati Naura yang belum menyadari kehadiran sang suami meski kini telah berdiri di sampingnya. Theo elus pundak Naura, tidak ada reaksi apa-apa sebab netra istrinya tetap fokus menatap layar.
“Kapan selesainya, Aya?” tanya Theo, suaranya memelan akibat mengantuk. Jika tidak ada pekerjaan atau sesuatu yang perlu dilakukan, Theo biasanya tidur sesuai jadwal. Maka wajar matanya sudah lima watt dan butuh istirahat. “Udah mau jam dua belas. Enggak bisa ditunda besok, ya?”
Gerakan jemari Naura berhenti ketika melihat pewaktu di laptop dan benar saja sudah mendekati tengah malam. Naura yang terlalu fokus sampai tidak melirik waktu sedikit pun, bahkan baru merasakan punggungnya yang pegal akibat duduk terlalu lama dan melakukan peregangan kecil agar tidak tegang.
Naura lantas menatap Theo yang masih berdiri di sampingnya, mengelus tangan pria itu yang menggenggam pundaknya. “Sorry, aku agak dikejar deadline. Makanya harus begadang biar cepet.”
Theo menatap layar laptop, menaruh atensi pada naskah yang diberi banyak coretan merah dan menyertakan komentar terkait isinya. Theo tidak sempat membaca deretan komentar itu karena Naura keburu menyimpannya, mengirimnya melalui surel, lalu mematikan laptop setelah dirasa cukup memeriksa isi naskah yang menguras tenaganya.
“Enggak biasanya kamu sampai kayak gini walaupun dikejar deadline.”
Komentar itu membuat Naura mengangguk, sadar betul dia tidak biasa begadang sampai seperti ini meskipun sibuknya bukan main. “Penulisnya molor pas ngasih naskah,” Naura berdiri setelah menutup laptopnya, “terus udah mendekati jadwal terbit, makanya agak ngebut. Belum nanti ada proofreading, makanya harus dipercepat biar sesuai jadwal.”
Theo manggut-manggut, bisa terdengar betapa sibuknya setiap tim dalam penerbitan ketika ada naskah molor dan Naura jadi salah satu yang kerepotan sebagai editor. Seringnya Theo melihat Naura bekerja santai meski dikejar deadline dan sebenarnya sibuk dengan naskah.
Kini melihat Naura yang tenaganya terkuras akibat naskah molor itu, Theo jadi mengawasi setiap gerak-gerik istrinya—termasuk ke kamar mandi untuk mencuci muka—agar memastikan wanita berambut cokelat itu tidak kelimpungan atau butuh bantuan.
“Kamu kenapa nggak tidur duluan?” tanya Naura setelah mereka berdua keluar dari kamar mandi dan berjalan beriringan menuju kasur.
Theo sudah mematikan lampu utama dan membiarkan lampu tidur tetap menyala untuk beberapa menit ke depan. Setelah keduanya mendarat di kasur dan berada di posisi masing-masing, barulah Theo menjawab, “Aku harus ngawasin kamu, ngingetin waktu juga supaya nggak bablas sampai pagi.”
Naura tertawa pelan, suaranya memelan akibat lelah mulai melanda. “Aku tetep ingat waktu kok, Theo. Kalau udah cukup pasti berhenti.”
“Aku nggak yakin, soalnya kamu fokus banget. Pasti tadi nggak denger aku manggil beberapa kali.”
Naura tersenyum kecil dan merapatkan posisinya agar lebih dekat dengan Theo. Wanita itu menggapai tubuh Theo, merengkuhnya lembut untuk mencari ketenangan setelah daya di daksa tidak mampu terkumpul kembali. Theo balas dekapan itu, tidak lupa menarik selimut untuk membungkus tubuh mereka dari udara malam yang dingin.
“Kalau tadi aku nggak ingetin, kira-kira kamu beneran bakal bablas sampai pagi nggak?”
Naura bergumam pelan, “Mungkin. Pastinya nggak akan selesai sekarang.”
Volume suara Naura kian padam ketika matanya terpejam ditarik alam mimpi. Theo sedikit menurunkan tubuhnya agar wajahnya bisa saling bertautan dengan Naura. Dipandangnya lekat rupa sang istri yang tidak bosan untuk ditatap. Kian menawan tiap kali Theo amati dalam posisi dekat, menambah tiap sanjung untuk pria itu gumamkan.
Napas Naura mulai teratur, mengalun lembut membuat Theo lega akhirnya sang istri bisa terlelap setelah menguras waktu istirahatnya. Theo elus surai Naura, memastikan tidurnya telah nyenyak dan tidak akan terbangun oleh gangguan apa pun.
Setelah yakin Naura masuk ke alam mimpi, Theo mematikan lampu tidur, lalu menyusul wanitanya ke dalam tidur panjang untuk mengisi energi sebelum memulai kembali rutinitas.
“Sekarang naskah kamu dalam proses layout dan promosinya udah dimulai. Kira-kira kamu mau konten kayak gimana lagi? Boleh kasih usul beberapa konten yang sekiranya bagus. Nanti kirim ke aku idenya, biar aku kasih ke tim dan dibuat kontennya. Pas publish ke sosmed bakal aku kasih tahu, disesuaikan juga sama waktu yang kamu mau.”
Sarapan di Minggu pagi ini tidak terlalu sedap karena Naura malah fokus dengan ponselnya, sedang menghubungi salah satu penulis yang naskahnya dia urus via telepon. Obrolannya terdengar serius, jadi Theo tidak ingin mengganggu meski seharusnya ini bukan waktu Naura untuk bekerja.
Theo tidak berkomentar atau menegur, tetapi tetap mengawasi dan sengaja menunda sarapannya untuk menunggu Naura sampai selesai. Saking niatnya bekerja di tanggal merah begini, Naura sampai membawa buku catatannya ke ruang makan dan mencatat setiap ide yang disampaikan oleh sang penulis untuk promosi bukunya.
“Ada lagi?” tanya Naura setelah selesai mencatat, sengaja agar tidak perlu mengulang kalau ternyata penulis di seberang sana masih perlu sesuatu untuk dibicarakan.
Theo tidak mendengar apa yang dikatakan oleh penulis itu, tetapi tak lama kemudian Naura membubuhkan beberapa hal di bukunya sembari manggut-manggut pertanda paham apa yang diinginkan.
“Kami nggak batasin berapa konten karena selama masa PO kontennya bakal terus jalan. Jadi, kalau mau lebih banyak boleh banget.”
Sepanjang bicara di telepon, Naura tidak menatap Theo sedikit pun. Kalau saja dia melirik sedikit, Naura akan menemukan Theo yang mendesah bosan karena istrinya tidak kunjung mengakhiri panggilan. Namun, sekali lagi, Theo tidak mau terang-terangan mengusik pekerjaan sang istri yang jauh lebih sibuk dari biasanya. Jadi Theo yang harus sabar dan mengalah sampai urusan Naura di Minggu pagi ini selesai.
“Oke, makasih juga udah ngajak telepon, ya. Nanti kirim lewat email aja buat konten yang lain.” Naura tertawa, lalu tak lama kembali berkata, “Santai aja. Have a nice day.”
Theo mendesah lega ketika panggilan Naura selesai, berhasil ditangkap oleh sang istri dan membuatnya sedikit bersalah.
“Sorry, ya,” Naura letakkan ponselnya di atas meja, “penulis yang naskahnya aku urus lagi kejar deadline buat promosi bukunya. Karena aku editornya dan paling tahu isi ceritanya, aku juga ngurus bagian promosi dan sering-sering komunikasi sama dia mau promosi kayak gimana. Belum lagi dia minta telepon hari Minggu karena cuma hari itu dia nggak sibuk. Aku kaget sih dia telepon pagi-pagi, tapi nggak bisa nolak juga karena tim lain udah minta laporannya buat besok.”
Alih-alih marah, Theo justru tersenyum mendengar Naura yang bicara panjang lebar, menyadari sesuatu yang baru timbul hari ini. “Aku jadi tahu hal baru.”
Naura mengerjap, ucapan Theo sedikit di luar dugaan. “Maksudnya?”
“Selain pas seneng, kamu juga banyak ngomong kalau lagi sibuk gini. Padahal aku nggak ngomong apa-apa, tapi kamu jelasinnya panjang lebar.”
Entah itu pujian atau sindiran, tetapi berhasil membuat Naura salah tingkah. “Aku ‘kan nggak mau kamu marah, Theo. Makanya aku jelasin agak panjang biar kamu ngerti.”
“Marah, sih,” aku Theo jujur dan perlahan meraih ponsel Naura untuk dijauhkan dari pemiliknya. Naura tidak sempat merenggut ponsel itu karena sudah lebih dulu di tangan Theo, bahkan dimasukkan ke saku celananya. “Asalkan kamu nggak fokus ke handphone atau ke laptop hari Minggu ini, aku nggak akan marah.”
Baiklah, Naura memilih angkat tangan dan membiarkan ponselnya dalam genggaman Theo asalkan hari Minggu ini damai. Baru saja sarapan akan dimulai, ponsel Naura berdering pertanda telepon masuk. Theo mengeluarkan ponsel itu dan Naura menagihnya agar menjawab untuk terakhir kali. Bukannya menurut, Theo malah menjawab panggilan itu tanpa menyerahkan ponselnya pada sang pemilik dan jelas membuat Naura panik.
“Halo,” sapa Theo terdengar ramah, menatap Naura yang harap-harap cemas jika suaminya bicara aneh-aneh.
“Ada Mbak Naura?” tanya sang penulis yang baru Theo tahu ternyata seorang laki-laki.
“Ada apa nyari istri saya?”
“Saya mau ngobrol sedikit lagi soal promosi buat buku. Soalnya saya baru keinget sesuatu dan pengen ngomongin sekarang sama Mbak Naura.”
Theo tidak langsung menjawab, malah menatap lurus istrinya yang makin penasaran dengan percakapan Theo bersama penulisnya. Tentu Naura berharap ponselnya akan diserahkan dan dia yang bicara karena pasti masih seputar pekerjaan. Namun, Theo tidak membiarkan itu. Bukannya tidak mengizinkan Naura bekerja, tetapi karena ini hari Minggu dan belakangan istrinya sudah sibuk selama hari kerja, Theo tidak mau dia makin tersiksa di waktu istirahat.
“Maaf, Mas, istri saya lagi nggak bisa jawab telepon sampai besok. Tapi kalau emang ada ide baru buat promosi, bisa chat aja, nanti istri saya bakal catat dan kasih laporannya hari Senin, kok.”
Naura menepuk dahinya karena ulah Theo tidak bisa dia cegah. Bukannya merasa bersalah, Theo malah tersenyum mengejek saat rungunya mendengar sang penulis bicara singkat.
“Iya, Mas. Makasih atas pengertiannya,” final Theo saat sang penulis tidak keberatan dengan keadaan yang ada.
Percakapan singkat itu berakhir dan Theo belum menyerahkan ponsel di tangannya pada sang pemilik. Alasannya tentu agar Naura tidak segera membaca pesan dari penulisnya dan bisa mengganggu hari Minggu yang harusnya dijadikan waktu santai.
“Aku harus nahan kamu dulu,” ucap Theo seraya berjalan mengitari meja makan, lalu berakhir duduk di samping kanan Naura. Tak lupa merangkul pinggang sang istri dan menahannya agar tetap di posisi. “Sekarang makan. Udah nggak ada yang ganggu kita lagi.”
Naura meraih sendoknya untuk memulai santapan pagi yang sudah dingin akibat tertunda beberapa kali. “Aku nggak tahu kamu bisa setegas itu.”
“Aku bakal tegas kalau perlu kayak tadi.” Theo menyeka sudut bibir Naura dengan ibu jarinya ketika melihat ada sebiji nasi di sana. “Aku bukannya larang kamu kerja, Aya, tapi ini Minggu dan kamu butuh istirahat setelah capek berhari-hari. Penulis laki-laki itu bisa chat daripada nelepon di luar hari kerja. Soalnya kamu kalau udah kerja susah berhenti.”
“Kenapa harus negasin penulis laki-lakinya, sih?” tanya Naura, bingung dan geli. “Kamu cemburu?”
“Kamu nggak bilang penulisnya laki-laki, jadi jelas aku kaget.”
Benar juga. Selain Dery Rasendrya—adik Naura yang juga seorang penulis dan wanita itu berperan sebagai editornya—Theo tidak tahu bila ada penulis laki-laki lain yang naskahnya Naura bedah. Naura juga tidak memberi tahu karena biasanya Theo tidak memusingkan siapa yang bekerja dengan istrinya, lebih menjadi pendukung tanpa ada prasangka yang bisa merusak konsentrasi sang istri.
“Kaget sama cemburu itu beda, Theo.”
Theo meletakkan sendoknya dan membalas tatapan Naura yang berusaha memancingnya agar lebih jujur. “Aku kaget, bukan cemburu. Terus nggak suka kalau ada laki-laki nelepon istri orang di hari Minggu walaupun itu urusan kerjaan.”
“Berarti itu namanya cemburu, Theo,” geram Naura karena Theo tidak mengaku bahwa sebenarnya dia cemburu.
“Daripada mikirin aku cemburu atau nggak, mending sekarang kamu makan, Aya.”
Sejak menikah, rumah Theo tidak hanya dipenuhi oleh koleksi lukisan baik buatannya dan pelukis lain, kini ada satu rak penuh novel milik Naura yang sengaja dibawa agar ada bacaan di kediaman barunya. Theo jarang membaca novel, kecuali novel milik adik Naura, Dery yang memiliki nama pena CrownHen, yang betah dia baca sampai berulang kali.
Selain ceritanya yang bagi Theo realistis, akhir dari kisah fiksi tersebut menggambarkan kisah pria itu di masa lampau—kandas akibat kebodohannya dan pernah gagal move on selama bertahun-tahun.
Theo pandangi rak berisi novel Naura yang berdiri kokoh di ruang keluarga, mengamati setiap judul yang mungkin bisa menarik untuk dibaca saat senggang. Ada lima menit Theo membaca setiap judul novel dengan berbagai warna sampul yang menarik, tetapi belum ada yang berhasil mengangkat minat bacanya karena takut isinya tidak sesuai selera.
Di sana ada novel milik Dery yang tergoda ingin Theo ambil. Akan tetapi harus Theo urungkan karena butuh bacaan lain agar ada variasi.
“Mau aku rekomen buku yang bagus nggak?” tawar Naura yang tiba-tiba muncul, gerah melihat Theo hanya berdiri dan mengusik ketenangannya yang sedang menonton di ruang keluarga. “Kalau bingung, baca aja bukunya Dery lagi.”
Usul itu malah menimbulkan desah pasrah di belah bibir Theo. “Tadinya aku juga mikir gitu, tapi masa iya bukunya Dery terus? Entar ketahuan aku nggak pernah baca novel.”
Naura tertawa sembari mengambil salah satu buku yang ada di rak paling atas setebal tiga ratus halaman. Sampulnya berwarna merah marun, bertajuk Desire dengan nama penulis yang tidak Theo kenal.
“Gimana kalau aku bacain buku aja?” tanya Naura. “Dulu aku suka banget bacain buku buat Dery. Kayaknya karena itu dia bisa jadi penulis.”
Theo meraih buku yang ada di tangan Naura dan membaca blurb di bagian belakang. Hanya ada sepenggal dialog yang menurutnya sedikit sensual, lalu di pojok kanan bawah buku tertera jelas bahwa itu adalah cerita dewasa.
Theo menyeringai seraya menyerahkan kembali novel itu pada sang pemilik, lantas berkata, “Kalau mau bacain novel itu harus di kamar.”
Paham maksudnya, Naura pun membalas, “Kenapa harus di kamar kalau bisa di sini?”
Astaga! Ini masih siang, belum lama Theo dan Naura menyelesaikan makan siang mereka, tetapi sudah ada godaan baru yang hampir membangkitkan sesuatu padahal belum dimulai. Naura menarik Theo untuk duduk di sofa. Naura duduk sembari bersandar di dada Theo, sedangkan lengan pria itu merengkuh sekitar pinggang sang puan seraya mengendus aroma shampo yang menguar ke indra penciumannya.
Televisi sengaja dimatikan agar suara Naura jadi satu-satunya sumber hiburan bagi Theo yang ingin menikmati cerita fiksi baru. Naura berdeham setelah halaman pertama dibuka, lalu mulai membaca tiap kata dalam narasi dan dialog yang tercatat di sana. Begitu sabar Naura membaca, intonasinya menyesuaikan dialog yang tertuang. Sedikit membuat Theo mengantuk karena tersihir oleh kenikmatan suara halus yang menenangkan, kendati demikian dia tetap terjaga menyimak lantunan kata yang menggelitik pendengaran.
Theo kira Naura hanya akan membaca bab pertama, nyatanya dia membaca hingga bab tiga dan di situlah suasana mulai berubah. Adegan erotis Naura bacakan dalam intonasi yang pelan, meresapi setiap narasi dan dialog ketika dua tokoh utama mulai saling bersentuhan satu sama lain.
Seakan terpancing, tangan Theo naik turun di sekitar pinggang Naura, terus merangkak naik hingga berakhir ke pundak yang dibalut kaus lengan pendek. Tak puas, telunjuk Theo menelusuri sekitar tengkuk dan leher Naura, menciptakan desir hangat dan setitik desah dari belah bibir sang istri yang masih berusaha fokus kala membaca.
Saat Naura membaca adegan dua tokoh utama saling melucuti perca di daksa, Theo melakukan hal yang hampir serupa. Tangan pria itu menaikkan ujung rok Naura hingga sebatas paha dan mengelus titik sensitif sang istri dalam tempo pelan. Ketika dua tokoh utama dalam buku saling memberi cumbuan, bibir Theo mengecup leher Naura dan membuat wanita itu mencengkeram erat buku akibat tidak mampu menahan gairah yang mulai bangkit.
Naura sudah tidak sanggup membaca bukunya lagi, tetapi membiarkan buku itu terus terbuka ketika jari dan bibir Theo tidak berhenti membuai. Tangan Theo masuk ke kaus yang Naura kenakan, menggoda sekitar dada yang masih ditutup rapat oleh benda keramat pencipta kenikmatan.
“Theo …,” erang Naura ketika jemari prianya menyelinap di antara tungkai dan mengelus pusat tubuhnya.
Ini terlalu sensual meski baru permulaan, hingga buku di tangan Naura terjatuh akibat daya yang hilang diserap oleh kenikmatan. Naura menengadah saat sentuhan bibir Theo makin mengikis kewarasan, matanya sampai terpejam sedangkan tangannya meremas ujung kemeja yang dikenakan suaminya.
Kalau boleh jujur, Naura lebih suka menuju ke bagian utama dalam waktu cepat, daripada harus menggila akibat godaan yang mempermainkan gairah. Jemari Theo bekerja liar di pusat tubuh istrinya, menimbulkan desah penuh syahwat yang tidak mampu Naura bendung.
Nama Theo terus dierangkan oleh bilah bibir Naura, antara terlalu nikmat dan ingin meminta jeda saat ada yang keluar. Namun, jemari itu tidak berhenti bergerak, hingga akhirnya Naura menemukan puncak kenikmatan pertama saat permainan inti belum dimulai.
Napas Naura terengah sedangkan kepalanya masih menengadah menikmati sisa-sisa pelepasan. Theo malah tertawa setelah berhasil menciptakan desir hebat saat pusat tubuhnya pun telah bangkit meminta keluar dari sangkar. Setelah lebih relaks, Naura yang semula duduk bersandar perlahan menegakkan tubuhnya agar menjauh dari Theo dan menatap pria di sampingnya nyalang.
“Baca bukunya jadi nggak selesai,” keluh Naura, bersama rona merah di pipi pertanda kepanasan dan jengah.
Naura membetulkan kondisi kaus dan roknya yang tersingkap cukup tinggi oleh Theo, menutupi lagi tubuhnya setelah terekspos bebas akibat ulah suaminya yang sudah bermain dengan gairah. Naura raih bukunya yang tergeletak di lantai, lantas berdiri untuk meletakkannya di rak.
Belum juga mengambil langkah ketiga, Theo tiba-tiba menarik tangan Naura hingga mendarat di pangkuannya. Lagi, buku yang Naura genggam jatuh ke lantai tanpa sempat kembali ke ‘rumah’.
“Aku mau nyimpen bukunya.”
Naura berasaha menyingkir, tetapi tenaga Theo yang kepalang kuat tidak membiarkan sang istri ke mana-mana. Theo tahan pinggang Naura agar berhenti berontak, lalu mengubah posisi wanitanya agar duduk lebih nyaman di pangkuan, tepatnya saling berhadapan dengan posisi Naura yang jadi lebih tinggi dari Theo.
Satu desah tertahan nyaris mengudara kembali ketika jemari Theo menggoda titik Naura tanpa aba-aba. Naura sampai remas pundak Theo agar tidak hilang keseimbangan, tak ragu untuk memasang ekspresi kecut karena sang pria sudah keterlaluan dalam mempermainkannya.
“Theo, bisa … ihh! Bisa langsung aja nggak, sih?”
Theo terbahak melihat Naura yang frustrasi akibat ingin menuntaskan lagi dengan yang lebih panas, bahkan sang puan sudah mulai membuka kancing kemeja Theo dengan terburu-buru.
“Aya, kamu agresif banget,” goda Theo yang pasrah satu perca teratasnya ditanggalkan.
“Gara-gara kamu.” Suara Naura pelan akibat dibalut oleh nafsu, terlebih ketika belah bibirnya mulai menjelajah leher jenjang Theo yang menguarkan aroma fruity dari parfumnya.
Tak ingin diam, tangan Theo menyelinap di balik kaus yang Naura kenakan, membuka kaitan bra tanpa belas kasih, lalu menanggalkan seluruh perca bagian atas dan mengekspos daksa pujaannya yang makin membangkitkan gairah di bawah sana.
Naura menganga dan terpejam kala Theo mengecup tulang selangka, turun ke belahan dada, dan mencecapi setiap inci kulit yang bibirnya telusuri. Beberapa bercak merah sengaja tertinggal di sana, seakan kulit Naura adalah kanvas dan bibir Theo merupakan kuas paling ahli untuk menciptakan lukisan terbaik yang hanya diciptakan untuk sang istri.
Naura sudah tidak mau menahan diri apalagi malu-malu seperti pertama kali memadu kasih. Wanita itu memaksa lepas dari cumbuan sang ahli dan berdiri untuk melepaskan apa pun yang tersisa pada tubuhnya. Theo tidak mau kalah, dia pun membebaskan gairah dari sangkarnya, kemudian menarik Naura agar duduk di pangkuan dan berada dalam kendalinya lagi. Mereka tidak berpikir soal kamar karena apa yang dimulai harus dituntaskan segera.
“Aya, jangan,” erang Theo ketika gairahnya dimainkan dengan lihai, menyambut senyum Naura yang bangga bisa membuat suaminya merasa dipermainkan tanpa daya.
“Jangan apa?” bisik Naura tepat di daun telinga Theo.
Jelas pria di bawahnya tidak mampu menjawab, malah menengadah dan membiarkan kepalanya bersandar pada sandaran kursi untuk menopang tubuhnya yang menggila akibat godaan besar. Tidak. Theo tidak mau menuntaskannya hanya menggunakan tangan. Dalam sisa kenikmatan yang Naura berikan, Theo menyingkirkan tangan sang istri yang masih memainkan gairahnya.
Tanpa perlu kehilangan terlalu lama, gairah keduanya bertemu bersama lantunan nyanyian nikmat yang disiarkan di penjuru rumah. Hanya ada Theo dan Naura yang berusaha mencapai kenikmatan, jadi suara apa pun tidak akan mengusik ketenangan orang lain yang tidak sengaja mendengar. Theo pandangi paras Naura yang kian menawan kala peluh bercucuran dari pelipisnya.
Pria itu raih birai sang istri, mencumbunya perlahan demi meresapi tiap kali gairah mereka bergerak teratur. Naura meminta dipercepat di sela-sela ciuman mereka, dituruti tanpa negosiasi oleh Theo yang betah berlama-lama dalam posisi itu. Naura jauhkan wajahnya, menengadah dan menatap langit-langit ruang keluarga yang mengabur.
Tidak ada kenikmatan yang gagal setiap kali mereka melakukannya setelah pengalaman pertama, selalu berhasil menghantarkan Theo dan Naura menuju puncak tertinggi yang tidak cukup sekali untuk diraih.
Theo kembali bekerja sebagai kuas, mencecap kanvasnya yang bergerak naik turun selama penyatuan. Peluh mereka bercucuran deras, sebagai bukti nyata bahwa nikmat duniawi yang rutin keduanya lakukan selalu berhasil menihilkan akal sehat. Hanya puncak yang mereka tuju, bersama dua daksa yang terus berbaur, tidak akan berhenti hingga mencapai puncak nafsu.
“Aya ….”
Nama pujaannya tak henti Theo desahkan ketika desakan untuk keluar makin dekat. Naura pun sama liarnya, sampai meremas surai legam Theo sebagai pelampiasan. Ketika sang puan akhirnya melolong lantang bersama tubuh yang melenting puas, tak lama disusul oleh sentakan keras dari Theo dengan erangan kencang sebagai tanda ronde pertama telah tuntas.
Napas mereka memburu akibat lelah, panas di ruang keluarga tidak membuat Theo dan Naura merasa kepanasan. Justru Naura biarkan tubuhnya terkulai lemas dalam dekapan, masih sembari menentramkan raga yang akhirnya mencapai puncak. Theo kecup bahu Naura yang naik turun dalam tempo cepat, membisikkan kata-kata pujian untuk sang yang selalu menggetarkan jiwa. Netra pasangan itu saling beradu tatap, melahirkan seulas senyum sebagai penutup bagian pertama.
Setelah tenaganya pulih, Theo angkat tubuh Naura dan membopongnya ke kamar tanpa merasakan beban. Mereka harus melanjutkannya karena tidak cukup sekali untuk menuntaskan gairah. Theo rebahkan Naura di permukaan kasur dengan hati-hati, lalu pria itu berkuasa dan menahan tubuh menggunakan sikunya agar tidak menindih wanitanya yang masih dibalut syahwat.
Dapat dijamin ini akan menjadi hari yang panjang, sebab ketika Naura Rasendrya melebarkan tungkai dan menyambut untuk memulai ronde kedua, Natheo Linggar tidak mampu menahan dirinya.
Theo suguhkan kecupan di sekitar wajah Naura yang merona ditawan gelora bersanggama, berakhir di bibir dan beradu cukup lama sebagai pelampiasan kata yang tidak sanggup mereka ucapkan. Ini terlalu nikmat untuk didefinisikan melalui aksara, jadi Theo dan Naura bicara melalui sentuhan tiada dua.
Theo menyudahi ciumannya, menyatukan dahinya dengan Naura hingga mereka saling menatap lekat. Saling beberkan senyum penuh damba saat mereka bisa begitu erat. Naura, bunganya, cahayanya, sumber inspirasinya, mendesah pasrah ketika peraduan kembali dimulai. Di sela-sela permainan kedua mereka, Theo berbisik mesra, tidak mau menunggu lama untuk lampiaskan rasa.
“Aku sayang kamu …, Aya.”
Jangan lupa tinggalkan jejaknya <3
