hanyabualan

Martha beberapa kali mencoba membuka matanya yang terasa berat akibat pusing melandanya begitu hebat. Jemarinya mencoba menggapai apa pun, tetapi sama beratnya bahkan angin pun tidak sanggup dia raih. Saat kesadarannya mulai terkumpul, aroma asing menguar di hidung, yakin sekali dia tidak sedang di rumah, apalagi di kamar yang biasanya beraroma green tea dari reed diffuser.

Kala matanya sudah mulai mampu terbuka lebih lebar, perasaan asing timbul ketika menatap langit-langit yang tidak sama dengan kamarnya. Baru pula Martha sadari tempatnya berbaring tidak seempuk kasur yang biasa dia jadikan tempat istirahat. Nyaman, tapi asing di badan.

Mata Martha memindai ke sana kemari, mencari siapa saja yang bisa menjawab kebingungannya hari ini. Sampai ketika suara familier yang amat dekat di telinga menyapanya dengan penuh kelegaan, Martha yakin bahwa dirinya sudah kembali ke realitas.

“Martha,” desah Martin lega, lantas menarik kursi kecil untuk duduk di samping brankar Martha. “Sekarang kamu di rumah sakit. Tadinya mau di rumah aja, tapi aku milih bawa kamu ke sini biar dirawat intensif. Markus ada di rumah sama Bunda, jadi jangan khawatir. Besok atau lusa kamu udah bisa pulang setelah mendingan.”

Martin menjawab tanda tanya di kepala Martha tanpa perlu diberi tahu lebih dulu apa yang sedang dipikirkan istrinya. Martha yang kesadarannya sudah kembali pulih hanya mengangguk dengan lisan membisu, bisa memahami apa pun yang dikatakan Martin dengan baik.

Kondisi Martha kembali diperiksa oleh dokter, baru setelah tiga puluh menit bangun, wanita itu mampu duduk untuk makan dan tentunya dibantu agar tidak runtuh. Pusing di kepalanya masih luar biasa, tetapi bisa Martha atasi tanpa takut kembali jatuh. Martin duduk di tepi brankar selama menyuapinya, sengaja agar lebih dekat dengan Martha yang masih pucat.

“Tadi kerjaan kamu gimana? Lancar?” Suara Martha masih lemah, tetapi masih berusaha bicara agar keheningan tidak timbul terlalu lama di antara mereka.

“Aku langsung tinggalin pas Bunda kabarin kamu pingsan.”

“Kenapa gitu?”

“Jangan ngomongin kerjaan dulu, okay? Fokus sama kesehatan kamu. Kerjaan aku gampang, jadi nggak perlu dipikirin. Bolos kerja satu atau dua hari nggak akan bikin bangkrut, kok.”

Gemas sekali ketika Martin bicara, sebenarnya itu pengganti sumpah serapah yang dia tahan di kepala. Menyumpahi siapa? Tentu semua orang yang sudah membuat Martha begini. Diet adalah pilihan Martha, tetapi penyebab wanita itu bisa melakukan sesuatu yang instan disebabkan oleh ekspektasi orang.

Tentu Martin pun menyalahkan dirinya sendiri karena dia tidak memperhatikan Martha secara penuh, langsung memercayai istrinya saat mengatakan makannya teratur. Lantas ketika Martha tumbang, itu jadi bukti bahwa kondisinya tidak sebaik di lisan yang bicara dan jari yang mengetik.

Martha tahu Martin marah selama menyuapinya, terlihat dari rahangnya yang mengetat dan urat tangannya timbul jelas seakan bersiap meninju siapa pun yang mengusik sang istri. Martha segera raih tangan Martin sebelum mengudara kembali untuk menyuapinya, membelainya lembut untuk merelaksasikan segala ketegangan yang ada di tubuhnya.

“Maafin aku ya, Martin,” sesal Martha. “Aku bohongin kamu.”

Martin menarik tangannya dari genggaman lemah Martha, menyuapi istrinya lagi tanpa menghiraukan permintaan maafnya yang tidak perlu. Martha tidak menolak suapan itu, tetapi lisannya terus bicara mengungkapkan sesuatu yang disembunyikan di belakang Martin.

“Aku cuma makan sekali pas sarapan karena saat itu ada kamu,” ucap Martha setelah menelan makanan di mulutnya. “Terus pas siang, aku cuma makan satu buah sama minum susu.”

Martin membungkam Martha dengan suapannya lagi, lalu setelah dikunyah dan ditelan, Martha kembali bicara.

“Malamnya aku nggak makan apa-apa. Paling makan buah lagi, tapi seringnya nggak makan. Aku kira dengan pola kayak gitu bisa bagus, tapi ternyata—”

“Kamu begitu mau nyanjung siapa, sih?” tanya Martin sengit, tidak tahan bila harus menutup mulut dan menunggu Martha selesai bicara. “Kamu mau nyanjung Mami? Nyanjung Bunda? Atau nyanjung orang-orang yang ngomong jelek soal kamu?”

Martin berdiri untuk meletakkan makanan Martha di atas meja dekat sofa, lalu kembali mendekati Martha yang mengawasinya dengan ekspresi khawatir bila suaminya bisa meledak kapan saja.

“Aku begitu demi kamu, Martin.”

Martin berkacak pinggang dan menggeleng. “Itu badan kamu, berarti semuanya harus demi kamu. Bukan demi aku ataupun orang lain. Terus kamu diet karena aku? Dijamin bukan, karena kamu begitu supaya bikin orang-orang berhenti ngomongin hal jelek. Kalau itu demi kamu, kamu nggak akan pernah nyiksa diri sendiri. Terus kalau itu demi aku, berani sumpah, aku nggak akan biarin kamu diet saat kondisinya belum baik. Aku nggak akan biarin kamu kesiksa tanpa makan saat aku di tempat lain bisa makan enak.

“Kamu masih nyusuin, kamu butuh banyak asupan. Jadi, tolong jangan biarin diri sendiri kesiksa cuma buat nyenengin aku atau orang lain. Setelah lihat hasilnya gini, lebih baik kamu nggak usah diet lagi. Enggak perlu takut aku nyari orang lain, aku nerima kamu apa adanya, Martha. Aku nikahin kamu bukan karena fisik doang, tapi semuanya yang ada di kamu juga aku terima tanpa pilih-pilih. Pokoknya aku nggak akan izinin kamu diet lagi, okay? Aku nggak mau kamu kesiksa sampai kayak gini.”

Martin bicara menggebu-gebu, nyaris mengamuk bila pertahanan dirinya tidak bagus. Selama bicara matanya panas akibat menahan air mata, sedangkan kepalanya mendidih membayangkan sekuat apa siksaan yang Martha terima akibat ulahnya. Martin menyugar rambutnya dan membiarkannya berantakan, sekacau hatinya saat Martha menderita di luar jangkauannya.

Martha tidak menyalahkan, tetapi Martin merasa gagal melindungi wanitanya yang ingin berubah dengan dalih menyenangkan orang—khususnya dia. Atmosfer di kamar begitu tegang saat tidak ada lagi yang bicara. Martha takut ucapannya salah, sedangkan Martin sudah lelah untuk bersuara.

Sampai ketika tenaga Martin kian melemah dibawa emosi yang belum melunak, Martha menepuk sisi brankar yang sempat ditempati suaminya. Martin menurut dan berakhir duduk, lalu Martha membawa prianya ke dalam dekapan untuk merengkuh lara yang dirasa, menggantinya dengan kekuatan dibagi oleh daksa masing-masing yang saling mengasihi.

Tidak ada lagi lisan yang berkicau meluapkan amarah, tidak ada lagi dada bergemuruh akibat bersalah, tidak ada lagi isi kepala yang mendidih akibat menanggung banyak beban pikiran. Berkat satu pelukan, daya yang sempat hilang berhasil kembali untuk menguatkan. Kali ini sama-sama menyadari kesalahan, sembari berjanji di hati masing-masing tidak akan mengulangi untuk kali kedua.

Percayalah bahwa Martin tidak ingin Martha berubah demi dirinya. Martin ingin Martha berubah karena dirinya sendiri. Orang lain boleh bicara apa, tetapi yang memiliki hak atas tubuhnya adalah Martha seorang.

Saat kabar Martha jatuh pingsan di rumahnya sampai ke telinga Martin, pria itu meninggalkan seluruh pekerjaannya tanpa berpamitan pada Julian dan tim lain yang masih makan siang. Martin lupakan segala kesibukan dan menaruh segenap perhatian pada istrinya.

Begitu tiba di rumah, Martha masih belum sadar di tempat tidur kamar mereka, tengah diperiksa keadaannya oleh dokter yang dipanggil Marni ke rumah. Markus ada di tangan Marni, anteng tanpa tahu bahwa ibunya sedang dalam kondisi tidak sadar. Mendapati Martha dalam kondisi mengenaskan dengan wajah pucat pasi jelas menimbulkan tanya di benak Martin.

Tadi saat ke studio istrinya tampak bugar sembari menggendong Martin bersamanya, lantas apa yang terjadi hingga Martha bisa terkapar tidak berdaya?

Begitu dokter selesai memeriksa dan memasang selang infus untuk Martha dan Marni memberi tahu soal putrinya yang tengah diet, barulah semua terjawab bahwa sang istri kekurangan nutrisi akibat diet yang dijalaninya selama hampir dua minggu ini.

Martin tidak tahu bagaimana caranya Martha diet di luar sepengetahuannya hingga drop seperti itu, tetapi kebutuhan kalori hariannya tidak tercapai dan tubuhnya tidak sanggup menyerap energi tanpa masuknya makanan yang cukup. Akibatnya Martha lemas dan jatuh pingsan karena tidak memiliki daya lagi untuk sadar.

Satu jam setelah Martin tiba dan Wulan datang untuk menjenguk berkat diberi kabar oleh Marni, Martha belum sadarkan diri dan wajahnya yang pucat pasi membuat sang suami meringis. Martin duduk di tepi kasur seraya menggenggam tangan Martha yang bebas dari jarum infus, dadanya berdenyut ngilu melihat kondisi istrinya yang menyedihkan akibat usaha untuk menyenangkan orang lain.

Jika Martha sampai seperti ini, Martin bersumpah dia tidak akan mengizinkan wanitanya kembali menurunkan badan, membiarkan kondisi istrinya tetap seperti sedia kala asalkan dia sehat.

“Pasti Martha salah diet, tuh.” Suara Wulan menginterupsi ketenangan Martin yang masih setia menjaga sang istri. “Gimana coba dietnya sampai kayak gitu? Gagal deh bisa balikin berat badannya kayak dulu.”

Ingin sekali Martin diam karena kondisi Martha lebih krusial dari omongan tetangga. Namun, terlalu banyak diam tidak akan menyelesaikan ulah Wulan yang sudah berlebihan, jadi Martin rela melawan orang yang telah melahirkannya demi menyadarkan sang ibu bahwa tindakannya juga salah.

“Ikut aku, Mi,” titah Martin seraya berdiri dan keluar dari kamar.

Wulan menaikkan sebelah alisnya bingung, sedangkan tungkainya membawa dia untuk mengikuti Martin ke tempat yang sedikit jauh dari kamar. Sempat melewati Marni di ruang keluarga yang tengah menidurkan Markus, sampai akhirnya ibu dan sang tunggal itu tiba di studio mini Martin tempat dia biasa mengawasi kanal YouTube-nya.

Martin tutup rapat studio itu, menghalau segala suara yang bisa mengusik percakapannya dengan Wulan yang akan dimulai. Pun menghalau pertikaian mereka sampai ke telinga Marni dan Martha.

“Mi, bisa berhenti nekan istri aku? Dia lagi sakit, lho.”

Wulan berdecak lidah, tersinggung seakan dia yang jadi tersangka. “Mami juga nggak ngapa-ngapain kali.”

“Tapi omongan Mami itu udah salah. Gara-gara Mami nyinggung berat badan dia terus, nyinggung dia buat diet, sekarang keadaan Martha jadi kayak gini.”

“Bukan salah Mami, dong,” sambar Wulan, tidak terima dengan berbagai tuduhan yang Martin layangkan untuknya. “Mami cuma ngomongin fakta. Pilihan diet ada di tangan dia. Terus keadaan dia sekarang juga karena ulahnya, bukan Mami. Emang Mami ngasih makanan yang aneh? Mami ngasih tips jelek? Enggak, Martin. Cara dia diet itu perbuatannya sendiri, jadi kamu nggak berhak nyalahin orang lain, apalagi Mami.”

“Kalau gitu Mami hargain kondisi Martha sekarang!”

Intonasi bicara Martin meninggi, seakan tidak peduli lawan bicaranya saat ini adalah Wulan yang sudah merawatnya sejak dari perut hingga dewasa. Martin rela dicap jadi anak yang buruk jika itu demi membela Martha dari ulah berlebihan Wulan. Makin tidak terima, Wulan ikut meninggikan suara.

“Kenapa kamu ngomongnya gitu? Ini Mami! Kamu nggak mau hargain Mami?”

Pandangan Martin sedikit mengabur akibat genangan air yang berusaha dia bendung. Bohong bila Martin tidak merasa bersalah sudah bicara cukup kasar pada Wulan, tetapi pembelaannya untuk Martha tidak akan berhenti sampai orang yang menyakiti istrinya sadar, termasuk orang tuanya sendiri. Martin yang biasa menjadi penurut, kali ini rela membangkang pada Wulan jika itu bisa melindungi Martha dari segala gunjingan yang dia terima.

“Aku bakal lebih hargain Mami kalau Mami bisa hargain Martha juga.” Suara Martin memelan, tetapi amarahnya tetap nyata. “Aku masih punya kewajiban buat hormat sama Mami, tapi kalau tindakan Mami bikin aku ogah buat hormat, jangan harap aku tunduk sama orang yang nggak bisa jaga perasaan istri aku.”

Martin putar balik untuk keluar dari studio, menyudahi percakapan mereka sebelum amarahnya kian menanjak hingga tidak mampu diredam. Saat jemari jenjang Martin sudah memegang kenop pintu, dia kembali bicara sebagai final dari percakapan sengitnya bersama Wulan.

“Sampai akhir, aku emang tetep anak Mami. Tapi Mami harus ingat aku punya dunia baru yang mau aku jaga. Jadi, jangan bikin orang yang aku jaga sakit hati, karena itu juga bikin aku sedih.”

tw // body shaming

Dari semua makanan yang ada, bagi Martin makanan yang dibuat oleh Martha jadi paling nikmat. Baik itu makanan yang kompleks dan pengerjaan cukup panjang, atau yang sederhana telur mata sapi, rasanya seperti masakan kelas atas. Entah bumbu apa yang Martha masukan di dalamnya, mungkin saja karena Martin terlalu cinta, jadi semua yang diciptakan oleh tangan istrinya terasa luar biasa.

Bila bagi mayoritas orang masakan ibu adalah yang terbaik, tidak bagi Martin karena Wulan kurang pandai memasak jadi tidak pernah melakukannya. Maka untuk konsumsi sehari-hari ketika Martin masih bujang dan belum tinggal di rumahnya sendiri, ada ART yang mengurusnya.

Saking nikmatnya makan siang yang dibuat oleh Martha, Martin selalu memakannya sendiri agar karyawan yang lain tidak memintanya. Di studio ada dua tempat makan. Satu pantry, satunya lagi ruang makan berkapasitas delapan orang di lantai atas studio yang digunakan untuk makan bersama.

Di pantry sendiri ada meja makan berkapasitas tiga orang dengan meja bundar dan Martin memilih makan di sana, memisahkan diri agar tidak ada yang meminta masakan Martha karena sebelumnya pernah jadi bahan rebutan hingga Martin tidak kebagian.

Sekarang Martin bisa damai menikmati setiap suapannya, memuji melalui netra yang membeliak senang, sampai makanan itu habis tidak tersisa. Selesai makan siang dan merapikan alat makannya yang telah dicuci bersih, Martin berencana untuk naik ke lantai dua dan bergabung bersama yang lain demi menikmat hidangan penutup sebelum memulai syuting.

Baru saja menginjak anak tangga terakhir, pintu kaca ruang makan yang dibuka lebar membuat Martin bisa mendengar percakapan Julian bersama karyawan lain secara jelas.

Bila saja itu percakapan yang biasa, Martin akan ikut bergabung tanpa repot-repot menguping. Namun, karena yang dibicarakan adalah Martha, pria itu justru menyimak dengan dada yang pedih dihantam oleh setiap kata terlontar dari lidah mereka.

“Menurut kalian, Martha bakal sukses diet dalam waktu cepet nggak?” tanya Julian, pendahulu percakapan.

“Menurut gue sih bisa-bisa aja. Toh, dia badannya pernah langsing banget sebelum nikah. Harusnya nggak susah,” balas Sigit, si jangkung yang posisinya sebagai editor video.

Tak setuju dengan ucapan Sigit, perempuan yang bekerja sebagai pembuat pertanyaan dan pencari topik podcast bernama Selly menanggapi, “Menurut gue malah bakal susah dan lama banget. Soalnya dia begitu dari pas hamil, terus setelah lahiran kelihatannya makin gede aja, tuh. Kalau berbulan-bulan nggak ngurus badan, pasti susah banget.”

Julian manggut-manggut karena ucapan Selly ada benarnya. “Gue juga mikir kayak Selly, soalnya diet dengan badan sebesar itu bakal susah sambil ngurus anak. Bagus sih Martha diet, tapi si Martin kayaknya bodo amat istrinya begitu. Gue sih ogah kalau lihat istri badannya berubah gitu.”

“Masa sih Martin gitu?” Seorang karyawan baru dan adik Julian yang bekerja sebagai penghubung dengan narasumber, Dalia, merespons karena tertarik dengan ucapan kakaknya.

“Iya,” jawab Julian semangat, memprovokasi para karyawan yang masih makan untuk ikut bereaksi heboh. “Mungkin dia udah bucin sampai buta sama penampilan istri. Tapi kalau tiba-tiba sadar dan nyari yang lain, gue nggak kaget, deh.”

“Kemungkinan besar bakal nyari lagi buat ilangin bosen,” sahut Yanuar, seorang kameramen yang biasanya pendiam, tetapi sekalinya bicara seperti orang tahu segala.

“Padahal istrinya cantik gitu, tapi nggak sayang sama badan, ya. Menurut gue walaupun gendut masih cantik, tapi emang beda dari pas masih langsing.” Dalia mendesah pelan, bicara seakan menaruh simpati tinggi pada Martha. “Sayang banget, ya, udah nggak ideal. Padahal pas pacarannya kayak couple goals banget sama Martin. Gue aja iri banget kalau lihat mereka lagi posting apa-apa di IG. Semoga bisa lihat yang begitu lagi.”

“Iya, kalau Martha udah kurus,” gurau Julian, mengundang tawa semua yang ada di ruang makan, seakan itu lelucon paling lucu yang layak menang di ajang tahunan.

Martin tidak tahan lagi, dia harus menegur secara terang-terangan meski akan berdampak pada pekerjaan yang bisa saja kacau. Biarkan Martin meluapkannya sekarang karena ucapan mereka sudah berlebihan. Sayang, ketika Martin akan melanjutkan langkah dan masuk ke ruang makan untuk melampiaskan amarah di ubun-ubun, ada panggilan masuk di ponselnya yang tertinggal di pantry.

Martin lantas turun untuk tahu siapa yang menghubunginya di waktu istirahat, tidak bisa diabaikan karena mungkin saja itu dari Martha. Saat ponsel sudah di tangan dan nama Bunda Martha tertera di layar, Martin segera menjawab panggilan dari mertuanya yang jarang menghubunginya begini.

“Martin, kamu lagi sibuk?” Suara Marni bergetar ketika akhirnya bisa bicara dengan Martin.

“Baru selesai makan siang. Kenapa Bunda?”

“Ini.” Suara Marni makin tidak keruan, membuat Martin yakin ada sesuatu yang salah hingga sang mertua butuh bantuannya. “Bunda lagi di rumah kamu dan sekarang Martha pingsan. Boleh tolong … pulang?”

tw // body shaming

Melakukan live Instagram sudah menjadi kebiasaan Martin selama berprofesi sebagai influencer di media sosial. Tugasnya untuk menyapa para pengikut agar bertahan di akunnya akan sangat menguntungkan, karena ketika dia sedang endorse ada audience yang akan membuat produk endorse-nya bisa laris.

Tentu keberadaan pengikutnya pun sangat menyenangkan, terlebih ketika ada DM random menanyakan kabar atau minta ditunjukkan wajah Markus—putranya. Pun ketika Martin mengunggah sesuatu di Insta Story atau unggahan biasa, pasti ada komentar menggelitik yang membuatnya betah membaca ketika waktu luang. Intinya bagi Martin, keberadaan pengikut di akunnya bukan sekadar kosumen untuk melakukan endorse, bukan sekadar audience agar kanal YouTube-nya naik, tetapi juga sebagai penghibur menyenangkan berkat komentar-komentar lucu yang menggelitik perut.

Bila biasanya Martin melakukan live Instagram di studio bersama Julian, maka hari ini dia melakukannya di rumah, tepatnya di ruang keluarga sembari memangku Markus yang memunggungi kamera, jadi penonton tetap tidak dapat melihat rupanya. Ponsel dibiarkan disimpan pada tripod, lalu Martin bercakap-cakap dan sesekali menjawab pertanyaan menarik yang tertera di layar.

“Kalau boleh jujur, aku syuting podcast setiap hari bareng Julian. Makanya hari ini milih buat libur sehari supaya kami ada istirahat. Aku juga butuh waktu sama keluarga. Kalau kalian ngapain waktu ada waktu senggang?”

Pertanyaan di akhir cerita Martin dijawab dengan antusias tinggi oleh penonton di kolom komentar, dibacakan satu per satu oleh Martin dan sesekali direspons ketika membaca yang paling menarik.

“Kak, tolong lihatin mukanya Markus. Aku pengen lihat.”

Martin tersenyum jail membaca komentar itu dengan cukup lantang, lantas mengecup dahi Markus yang sedang meremas ujung kausnya dan tidak menuruti permintaan sang pemberi komentar karena baginya itu privasi yang perlu dijaga.

“Mukanya Markus masih rahasia, Guys,” jawab Martin seraya mengelus rambut Markus yang mulai lebat. “Mungkin nanti kalau dia udah umur setahun, baru aku sama Martha bakal lihatin mukanya.”

Berbagai komentar kembali masuk. Ada yang tidak sabar, ada yang sedikit marah, ada pula yang menduga-duga Markus mirip seperti siapa.

“Martha kabarnya gimana? Kapan aktif Instagram lagi?”

Markus kembali membaca satu komentar yang menarik, lalu menatap ke arah lain di mana Martha sedang sibuk di dapur untuk memasak makan malam. Meski jarak mereka terpisah di tempat berbeda, Martha masih mendengar pertanyaan itu dengan jelas.

“Masih belum tahu,” jawab Martha.

“Tuh, denger nggak?” Martin kembali menatap layar ponsel. “Martha belum tahu kapan bakal balik aktif IG, tapi nanti pasti muncul, kok. Tunggu aja, Guys.”

Lagi, berbagai respons bermunculan karena tidak sabar menunggu kembalinya Martha ke Instagram dan mengunggah foto yang selalu banyak disukai orang. Martha sendiri pernah menceritakan keinginannya untuk kembali ke Instagram tanpa tahu kapan pastinya. Cerita itu hanya diucapkan satu kali dan setelahnya Martha tidak pernah membicarakan soal keinginan untuk kembali.

Saat masih asyik membacakan komentar, Markus tiba-tiba menangis dan sedikit menyentak Martin yang sedang asyik dengan dunianya. Martha dengan sigap meninggalkan aktivitasnya sejenak untuk mendekati Martin ke ruang keluarga, lalu meraih Markus untuk ditenangkan dan diberi ASI agar tidak mengganggu kegiatan sang ayah yang tengah berinteraksi bersama para pengikutnya.

Setelah memastikan Markus aman di pangkuan Martha yang mulai memberinya ASI, Martin kembali menatap layar untuk memulai interaksinya lagi dengan para pengikut. Bukannya semangat, dada Martin rasanya teriris ketika membaca komentar buruk tentang istrinya.

Ternyata kehadiran Martha sempat terekam di kamera, sebab itu banyak komentar negatif terkait penampilannya yang baru muncul di publik tanpa disengaja. Rahang Martin mengetat membaca komentar menyakitkan itu, tetapi dia tidak berhenti menatapnya saat kata-kata buruk terus bermunculan.

Gendut, gembrot, gentong, gajah, jelek, seperti babon, dan cemoohan lain tertera jelas di layar. Kata-kata itu tidak terjangkau mata Martha, tetapi rasa sakitnya sampai pada Martin yang tidak rela ketika sang istri jadi bahan ledekan ribuan orang yang menonton live -nya. Demi menghalau pembicaraan panjang, Martin memilih menyelesaikan siaran langsungnya lebih cepat dari rencana, masih mencoba berakting manis dengan tersenyum ketika berpamitan.

Martin melepas ponselnya dari tripod setelah live-nya ditutup, memasukkan ponselnya ke saku celana dan melontarkan sumpah serapah di kepala untuk semua orang yang telah mencemooh Martha. Bisa saja Martin membalas ucapan itu dengan pedas, tetapi dia tidak ingin Martha tahu tengah jadi korban gunjingan.

Alhasil Martin memilih diam dan mendekati Martha yang duduk di ruang makan, masih menyusui Markus. Dalam diamnya itu, Martin menghibur Martha agar segala pikiran buruk terkait diri sang istri bisa luruh.

cw // kiss

Martin tersenyum girang ketika Martha mengenakan daster merah selutut berbahan satin yang baru kali ini dia lihat, sekaligus heran karena saat istrinya berkata dia akan mengenakan pakaian berwarna merah, bukan pakaian seperti itu yang ada dalam ekspektasinya, melainkan lingerie merah Martha yang sering digunakan saat bulan madu dan ingin sekali Martin lihat lagi.

Martha yang biasanya percaya diri, kini malah jalan malu-malu ke kasur dan mulai berbaring di samping Martin yang masih terjaga menantinya. Martin tentu suka apa pun yang Martha kenakan asalkan istrinya senang dan itu atas kemauannya, hanya ini di luar bayangan, jadi pria itu perlu beradaptasi untuk terbiasa.

“Kenapa?” tanya Martha, bingung mendapati Martin yang memandanginya dengan intensitas tinggi.

Martin yang masih duduk manis mengusap lembut puncak kepala Martha. “Cuma kaget,” aku Martin, “soalnya aku kira kamu mau pake merah yang satu lagi. Udah lama aku nggak lihat.”

Sudah Martha duga suaminya akan menaruh ekspektasi lain, jadi dia sendiri tidak heran bila Martin kurang senang dengan penampilannya yang jauh dari perkiraan.

Sorry, yang itu nggak cukup. Berat badan aku naik hampir dua kali lipat kalau kamu lupa. Nanti aku beli lagi deh yang ukuran baru. Tapi jangan ngeledek kalau aku pake itu.”

Martha masih mencoba menyenangkan, sedangkan Martin sesungguhnya tidak masalah dengan penampilan apa pun yang ditunjukkan sang istri untuknya.

“Kamu pake ini aja udah seksi,” tutur Martin seraya membelai pipi Martha yang kini jadi favoritnya karena terasa empuk kala dicubit. “Jangan maksain, ya. Mending beli semodel sama ini yang banyak, aku juga suka, kok.”

Martin tidak pernah bicara omong kosong, jelas sekali di mata bahwa pujian itu nyata, bukan sekadar menyenangkan hati yang gundah. Jadi ketika sanjungan demi sanjungan terluapkan dari belah bibir Martin, Martha akan senang meski untuk sementara.

“Ayo, rebahan. Aku mau tidur,” titah Martha.

Martin menatap sejenak ke arah ranjang bayi yang berjarak tidak jauh dari kasur mereka karena ingin hati-hati, khawatir Markus bangun. Setelah yakin situasi aman, Martin lantas berbaring dan menciumi wajah Martha tanpa aba-aba hingga membuat istrinya salah tingkah.

Ketika akhirnya bibir Martin berakhir di birai Martha, memangut dan menggoda yang bisa diraih birai sang pria, Martha tahu tidur malam kali ini tidak akan langsung terjadi karena ada hal lain yang perlu dipuaskan setelah sekian lama Martin tahan.

Oh, Martha hanya berharap penampilannya yang jadi buruk tidak membuat gairah Martin turun, lalu mengurungkan niatnya karena tidak lagi bernafsu.

Kedatangan Wulan Atmajaya, mami Martin, dan Marni Andarin, bunda Martha, ke rumah merupakan momen yang paling mendebarkan karena saat itulah sosok Martha secara tidak langsung akan dinilai sebagai seorang istri. Apalagi kedatangan mereka sangat mendadak, jadi Martha tidak sempat menyiapkan diri dengan baik.

Alhasil penampilan Martha ketika bertemu Wulan dan Marni terbilang sederhana, hanya menggunakan daster hitam polos yang jadi andalannya kala di rumah, tetapi untungnya dia masih sempat merias diri sedikit agar wajahnya tidak pucat. Lebih beruntung lagi mereka datang menuju makan siang dan saat Markus tengah tidur, jadi penilaian mereka untuk Martha selama mengurus putranya tidak akan dilaksanakan secara langsung untuk sementara.

“Maaf, ya, kami ke sini nggak bilang-bilang,” ucap Marni ketika Martha menyuguhkan dua cangkir teh jasmine dan satu toples cookies cokelat yang Martin bawa tempo hari.

Belum Martha habiskan karena terlalu banyak, lantas memilih disajikan untuk dua tamu di hadapannya yang langsung mengamatinya penuh perhitungan. Martha sudah mendaratkan tubuhnya di sofa saat dua pasang mata itu masih melakukan evaluasi dalam diamnya.

“Enggak apa-apa, Bunda,” balas Martha santai, tidak mau bereaksi berlebihan atau itu akan jadi celah Wulan dan Marni untuk berkomentar. “Tapi maaf banget belum bisa ketemu Markus. Dia lagi tidur.”

“Ah, nggak apa-apa.” Wulan meraih cangkir tehnya, menyeruputnya sedikit demi sedikit, lalu kembali diletakkan di atas meja. “Jam segini bayi baiknya tidur. Biar kita aja yang kumpul. Udah lama Mami sama bunda kamu nggak ke sini.”

“Iya, Nak. Kamu juga biar agak santai. Enggak repot ‘kan ngurus Markus tanpa babysitter?”

Martha tersenyum kikuk atas pertanyaan Marni di akhir. “Repot waktu ngurus bayi wajar, Bunda. Apalagi Markus udah bisa makan, terus tidurnya udah nggak bisa diam, jadi pasti repot.”

Ada keluhan di sana yang berharap bisa dimaknai dengan baik oleh dua orang di hadapannya. Bagaimanapun Wulan dan Marni sudah lebih berpengalaman dalam mengurus anak dari bayi hingga dewasa, pasti bisa memberi nasihat berguna untuk Martha yang masih butuh bimbingan di sepanjang perkembangan putranya.

“Tapi serepot-repotnya coba deh perhatiin penampilan kamu.” Komentar Marni menohok Martha yang masih mengharapkan hal lain untuk dikomentari, bukan penampilannya yang sering membuat wanita itu tidak percaya diri.

Wulan yang baru saja menghabiskan setengah cangkir tehnya ikut menyahut, “Iya, Martha. Kamu masih muda, cantik juga, masa penampilannya kayak ibu-ibu umur 40? Malah ibu-ibu umur segitu aja masih modis banget. Kamu ‘kan Selebgram, wajib banget jaga badan biar ideal lagi. Nanti Mami kasih tips deh caranya olahraga sambil jagain Markus. Dulu Mami bisa lho turun dalam waktu sebentar setelah lahiran, padahal lagi repot-repotnya ngurus Martin pas masih bayi.”

Marni manggut-manggut menanggapi besannya. “Bener tuh, Martha. Bunda juga bisa turun berat badan setelah lahirin kamu. Malah ngurus bayi bikin kita banyak gerak, jadi harusnya bisa kejaga tuh berat badan.”

“Sama baiknya jangan terlalu banyak makan manis,” tambah Wulan sembari menunjuk cookies cokelat menggunakan dagunya. “Itu bikin kamu susah nurunin berat badan. Biar nggak gendut terus, Martha. Nanti kalau Martin tiba-tiba lirik perempuan lain karena kamu nggak menarik bisa gawat, lho. Banyak kejadian kayak gitu.”

Marni merinding membayangkan kejadian buruk itu bisa saja mengacaukan pernikahan putrinya. “Tuh, Nak. Turunin tuh berat badan biar nggak gendut terus, ya. Pas anak tidur jangan leha-leha, tapi dimanfaatin buat olahraga.”

Enteng sekali ketika Wulan dan Marni bicara bergantian, tanpa sadar bahwa komentar itu sudah menyakiti Martha yang selalu memiliki niat tinggi untuk menurunkan berat badannya, tetapi waktu tidak pernah berpihak. Martha menatap punggung tangannya yang membesar karena terbawa perubahan, sangat berbeda dengan kondisinya saat masih gadis yang jarinya saja begitu ramping dan lentik.

Teringat lagi bagaimana Julian mengomentari bentuk tubuh Martha saat datang ke studio, lalu ditanggapi oleh tawa dari karyawan di sana karena bagi mereka komentar Julian sangat lucu. Di situ Martha hanya tersenyum sembari menahan pilu, tetapi senyum itu jadi pancingan untuk yang lain ikut berkomentar terkait bentuk tubuhnya, bersembunyi di balik kata bercanda agar Martha tidak tersinggung.

“Mbak, mau saya ajak diet nggak?”

“Mbak Martha, kapan akun IG-nya aktif lagi? Mau lihat foto Mbak Martha yang cakep lagi, nih.”

“Berarti nunggu Mbak Martha body goals lagi kalau mau aktif. Iya nggak?”

Masih ada beberapa kalimat menyinggung yang kembali naik ke permukaan, padahal sudah mati-matian berusaha Martha lupakan. Beruntung berbagai ledekan itu berhenti setelah Martin akhirnya muncul dan menegur agar tidak bicara aneh-aneh soal Martha.

Saat itu Martin menjadi pahlawan yang membelanya dan berhasil membuat orang-orang bungkam. Namun, saat ini hanya ada Martha yang harus membela diri, meski sayang usahanya tetap gagal.

“Badan Martha emang nggak kayak dulu, tapi tetep sehat, kok,” ucap Martha setelah beberapa saat membisu. “Bukannya itu bagus? Berarti ‘kan Martha bahagia selama nikah sama Martin.”

“Badan gendut itu nggak sehat,” balas Wulan tanpa simpati saat Martha berusaha menaikkan kembali harga dirinya. “Gendut juga bukan tanda bahagia, Nak,” lanjut Wulan tenang dan pedas, “itu malah tanda kamu nggak peduli sama pernikahan atau pandangan Martin. Jangan dibiasain. Awal-awal Martin pasti biasa aja, tapi nanti kalau nuntut atau nyari pengganti, kamu nggak mau, ‘kan?”

Martha gigit bibir bawahnya, menahan sekuat mungkin lelehan kata tidak pantas agar tidak keluar sembarangan, enggan dicap sebagai anak durhaka. Well, Wulan dan Marni bisa bicara seenteng itu karena harus diakui penampilan mereka masih modis meski sudah jauh dari kata muda. Wulan bahkan mewarnai rambutnya menjadi cokelat dan merah bergaya peek a boo, sedangkan Marni sampai sulam alis dan bibir agar penampilannya lebih prima.

Jelas kontras dengan kondisi Martha yang lebih muda, tetapi penampilannya tidak sesuai dengan usia. Namun, bukan berarti mereka berhak berkomentar tanpa memikirkan bagaimana perasaan Martha kala mendengarnya. Mereka yang paling tahu kondisi perempuan pasca bersalin, tetapi bicara seakan-akan tak peduli dengan perubahan yang hadir.

Saat Martha sudah tidak bisa membalas, ada sedikit harapan Marni mau membela putrinya. Martha bukan ahli membaca ekspresi, tetapi dari gelagat Marni yang diam saja ketika putrinya dikomentari begitu oleh mertuanya, mengartikan bahwa sang bunda lebih mendukung Wulan dan membenarkan setiap katanya.

3500 kata. Enjoy ^^

Satu bulan setelah menikah, baru kali ini Natheo Linggar melihat Naura Rasendrya sibuk memeriksa naskah dari penulis yang akan terbit hingga menjelang tengah malam. Biasanya Naura akan menyelesaikan tugasnya sebelum jam sembilan malam, lalu istirahat sesuai waktunya setelah mengobrol singkat bersama Theo tentang aktivitas selama sehari. Akibatnya Theo merasa iba mendapati Naura yang waktu tidurnya berkurang, padahal besok pagi masih harus berangkat ke kantor.

Theo duduk manis di tepi kasur, setia mengawasi Naura di meja kerjanya yang menatap layar laptop dengan dahi mengerut serius. Naura akan mengetik sesuatu ketika kerutan di dahinya bertambah, membaca lagi, tidak lama mengetik untuk sekian kali ketika ada yang mengganjal dalam naskah itu. Awalnya Theo ingin membiarkan Naura bekerja sampai larut karena tidak ingin mengganggu kewajibannya.

Namun, ketika jam di atas nakas sudah hampir menunjukkan pukul dua belas, Theo tidak bisa diam saja. Pria yang mengenakan kaus hitam dan celana pendek itu bangkit, lantas mendekati Naura yang belum menyadari kehadiran sang suami meski kini telah berdiri di sampingnya. Theo elus pundak Naura, tidak ada reaksi apa-apa sebab netra istrinya tetap fokus menatap layar.

“Kapan selesainya, Aya?” tanya Theo, suaranya memelan akibat mengantuk. Jika tidak ada pekerjaan atau sesuatu yang perlu dilakukan, Theo biasanya tidur sesuai jadwal. Maka wajar matanya sudah lima watt dan butuh istirahat. “Udah mau jam dua belas. Enggak bisa ditunda besok, ya?”

Gerakan jemari Naura berhenti ketika melihat pewaktu di laptop dan benar saja sudah mendekati tengah malam. Naura yang terlalu fokus sampai tidak melirik waktu sedikit pun, bahkan baru merasakan punggungnya yang pegal akibat duduk terlalu lama dan melakukan peregangan kecil agar tidak tegang.

Naura lantas menatap Theo yang masih berdiri di sampingnya, mengelus tangan pria itu yang menggenggam pundaknya. “Sorry, aku agak dikejar deadline. Makanya harus begadang biar cepet.”

Theo menatap layar laptop, menaruh atensi pada naskah yang diberi banyak coretan merah dan menyertakan komentar terkait isinya. Theo tidak sempat membaca deretan komentar itu karena Naura keburu menyimpannya, mengirimnya melalui surel, lalu mematikan laptop setelah dirasa cukup memeriksa isi naskah yang menguras tenaganya.

“Enggak biasanya kamu sampai kayak gini walaupun dikejar deadline.”

Komentar itu membuat Naura mengangguk, sadar betul dia tidak biasa begadang sampai seperti ini meskipun sibuknya bukan main. “Penulisnya molor pas ngasih naskah,” Naura berdiri setelah menutup laptopnya, “terus udah mendekati jadwal terbit, makanya agak ngebut. Belum nanti ada proofreading, makanya harus dipercepat biar sesuai jadwal.”

Theo manggut-manggut, bisa terdengar betapa sibuknya setiap tim dalam penerbitan ketika ada naskah molor dan Naura jadi salah satu yang kerepotan sebagai editor. Seringnya Theo melihat Naura bekerja santai meski dikejar deadline dan sebenarnya sibuk dengan naskah.

Kini melihat Naura yang tenaganya terkuras akibat naskah molor itu, Theo jadi mengawasi setiap gerak-gerik istrinya—termasuk ke kamar mandi untuk mencuci muka—agar memastikan wanita berambut cokelat itu tidak kelimpungan atau butuh bantuan.

“Kamu kenapa nggak tidur duluan?” tanya Naura setelah mereka berdua keluar dari kamar mandi dan berjalan beriringan menuju kasur.

Theo sudah mematikan lampu utama dan membiarkan lampu tidur tetap menyala untuk beberapa menit ke depan. Setelah keduanya mendarat di kasur dan berada di posisi masing-masing, barulah Theo menjawab, “Aku harus ngawasin kamu, ngingetin waktu juga supaya nggak bablas sampai pagi.”

Naura tertawa pelan, suaranya memelan akibat lelah mulai melanda. “Aku tetep ingat waktu kok, Theo. Kalau udah cukup pasti berhenti.”

“Aku nggak yakin, soalnya kamu fokus banget. Pasti tadi nggak denger aku manggil beberapa kali.”

Naura tersenyum kecil dan merapatkan posisinya agar lebih dekat dengan Theo. Wanita itu menggapai tubuh Theo, merengkuhnya lembut untuk mencari ketenangan setelah daya di daksa tidak mampu terkumpul kembali. Theo balas dekapan itu, tidak lupa menarik selimut untuk membungkus tubuh mereka dari udara malam yang dingin.

“Kalau tadi aku nggak ingetin, kira-kira kamu beneran bakal bablas sampai pagi nggak?”

Naura bergumam pelan, “Mungkin. Pastinya nggak akan selesai sekarang.”

Volume suara Naura kian padam ketika matanya terpejam ditarik alam mimpi. Theo sedikit menurunkan tubuhnya agar wajahnya bisa saling bertautan dengan Naura. Dipandangnya lekat rupa sang istri yang tidak bosan untuk ditatap. Kian menawan tiap kali Theo amati dalam posisi dekat, menambah tiap sanjung untuk pria itu gumamkan.

Napas Naura mulai teratur, mengalun lembut membuat Theo lega akhirnya sang istri bisa terlelap setelah menguras waktu istirahatnya. Theo elus surai Naura, memastikan tidurnya telah nyenyak dan tidak akan terbangun oleh gangguan apa pun.

Setelah yakin Naura masuk ke alam mimpi, Theo mematikan lampu tidur, lalu menyusul wanitanya ke dalam tidur panjang untuk mengisi energi sebelum memulai kembali rutinitas.


“Sekarang naskah kamu dalam proses layout dan promosinya udah dimulai. Kira-kira kamu mau konten kayak gimana lagi? Boleh kasih usul beberapa konten yang sekiranya bagus. Nanti kirim ke aku idenya, biar aku kasih ke tim dan dibuat kontennya. Pas publish ke sosmed bakal aku kasih tahu, disesuaikan juga sama waktu yang kamu mau.”

Sarapan di Minggu pagi ini tidak terlalu sedap karena Naura malah fokus dengan ponselnya, sedang menghubungi salah satu penulis yang naskahnya dia urus via telepon. Obrolannya terdengar serius, jadi Theo tidak ingin mengganggu meski seharusnya ini bukan waktu Naura untuk bekerja.

Theo tidak berkomentar atau menegur, tetapi tetap mengawasi dan sengaja menunda sarapannya untuk menunggu Naura sampai selesai. Saking niatnya bekerja di tanggal merah begini, Naura sampai membawa buku catatannya ke ruang makan dan mencatat setiap ide yang disampaikan oleh sang penulis untuk promosi bukunya.

“Ada lagi?” tanya Naura setelah selesai mencatat, sengaja agar tidak perlu mengulang kalau ternyata penulis di seberang sana masih perlu sesuatu untuk dibicarakan.

Theo tidak mendengar apa yang dikatakan oleh penulis itu, tetapi tak lama kemudian Naura membubuhkan beberapa hal di bukunya sembari manggut-manggut pertanda paham apa yang diinginkan.

“Kami nggak batasin berapa konten karena selama masa PO kontennya bakal terus jalan. Jadi, kalau mau lebih banyak boleh banget.”

Sepanjang bicara di telepon, Naura tidak menatap Theo sedikit pun. Kalau saja dia melirik sedikit, Naura akan menemukan Theo yang mendesah bosan karena istrinya tidak kunjung mengakhiri panggilan. Namun, sekali lagi, Theo tidak mau terang-terangan mengusik pekerjaan sang istri yang jauh lebih sibuk dari biasanya. Jadi Theo yang harus sabar dan mengalah sampai urusan Naura di Minggu pagi ini selesai.

“Oke, makasih juga udah ngajak telepon, ya. Nanti kirim lewat email aja buat konten yang lain.” Naura tertawa, lalu tak lama kembali berkata, “Santai aja. Have a nice day.”

Theo mendesah lega ketika panggilan Naura selesai, berhasil ditangkap oleh sang istri dan membuatnya sedikit bersalah.

Sorry, ya,” Naura letakkan ponselnya di atas meja, “penulis yang naskahnya aku urus lagi kejar deadline buat promosi bukunya. Karena aku editornya dan paling tahu isi ceritanya, aku juga ngurus bagian promosi dan sering-sering komunikasi sama dia mau promosi kayak gimana. Belum lagi dia minta telepon hari Minggu karena cuma hari itu dia nggak sibuk. Aku kaget sih dia telepon pagi-pagi, tapi nggak bisa nolak juga karena tim lain udah minta laporannya buat besok.”

Alih-alih marah, Theo justru tersenyum mendengar Naura yang bicara panjang lebar, menyadari sesuatu yang baru timbul hari ini. “Aku jadi tahu hal baru.”

Naura mengerjap, ucapan Theo sedikit di luar dugaan. “Maksudnya?”

“Selain pas seneng, kamu juga banyak ngomong kalau lagi sibuk gini. Padahal aku nggak ngomong apa-apa, tapi kamu jelasinnya panjang lebar.”

Entah itu pujian atau sindiran, tetapi berhasil membuat Naura salah tingkah. “Aku ‘kan nggak mau kamu marah, Theo. Makanya aku jelasin agak panjang biar kamu ngerti.”

“Marah, sih,” aku Theo jujur dan perlahan meraih ponsel Naura untuk dijauhkan dari pemiliknya. Naura tidak sempat merenggut ponsel itu karena sudah lebih dulu di tangan Theo, bahkan dimasukkan ke saku celananya. “Asalkan kamu nggak fokus ke handphone atau ke laptop hari Minggu ini, aku nggak akan marah.”

Baiklah, Naura memilih angkat tangan dan membiarkan ponselnya dalam genggaman Theo asalkan hari Minggu ini damai. Baru saja sarapan akan dimulai, ponsel Naura berdering pertanda telepon masuk. Theo mengeluarkan ponsel itu dan Naura menagihnya agar menjawab untuk terakhir kali. Bukannya menurut, Theo malah menjawab panggilan itu tanpa menyerahkan ponselnya pada sang pemilik dan jelas membuat Naura panik.

“Halo,” sapa Theo terdengar ramah, menatap Naura yang harap-harap cemas jika suaminya bicara aneh-aneh.

“Ada Mbak Naura?” tanya sang penulis yang baru Theo tahu ternyata seorang laki-laki.

“Ada apa nyari istri saya?”

“Saya mau ngobrol sedikit lagi soal promosi buat buku. Soalnya saya baru keinget sesuatu dan pengen ngomongin sekarang sama Mbak Naura.”

Theo tidak langsung menjawab, malah menatap lurus istrinya yang makin penasaran dengan percakapan Theo bersama penulisnya. Tentu Naura berharap ponselnya akan diserahkan dan dia yang bicara karena pasti masih seputar pekerjaan. Namun, Theo tidak membiarkan itu. Bukannya tidak mengizinkan Naura bekerja, tetapi karena ini hari Minggu dan belakangan istrinya sudah sibuk selama hari kerja, Theo tidak mau dia makin tersiksa di waktu istirahat.

“Maaf, Mas, istri saya lagi nggak bisa jawab telepon sampai besok. Tapi kalau emang ada ide baru buat promosi, bisa chat aja, nanti istri saya bakal catat dan kasih laporannya hari Senin, kok.”

Naura menepuk dahinya karena ulah Theo tidak bisa dia cegah. Bukannya merasa bersalah, Theo malah tersenyum mengejek saat rungunya mendengar sang penulis bicara singkat.

“Iya, Mas. Makasih atas pengertiannya,” final Theo saat sang penulis tidak keberatan dengan keadaan yang ada.

Percakapan singkat itu berakhir dan Theo belum menyerahkan ponsel di tangannya pada sang pemilik. Alasannya tentu agar Naura tidak segera membaca pesan dari penulisnya dan bisa mengganggu hari Minggu yang harusnya dijadikan waktu santai.

“Aku harus nahan kamu dulu,” ucap Theo seraya berjalan mengitari meja makan, lalu berakhir duduk di samping kanan Naura. Tak lupa merangkul pinggang sang istri dan menahannya agar tetap di posisi. “Sekarang makan. Udah nggak ada yang ganggu kita lagi.”

Naura meraih sendoknya untuk memulai santapan pagi yang sudah dingin akibat tertunda beberapa kali. “Aku nggak tahu kamu bisa setegas itu.”

“Aku bakal tegas kalau perlu kayak tadi.” Theo menyeka sudut bibir Naura dengan ibu jarinya ketika melihat ada sebiji nasi di sana. “Aku bukannya larang kamu kerja, Aya, tapi ini Minggu dan kamu butuh istirahat setelah capek berhari-hari. Penulis laki-laki itu bisa chat daripada nelepon di luar hari kerja. Soalnya kamu kalau udah kerja susah berhenti.”

“Kenapa harus negasin penulis laki-lakinya, sih?” tanya Naura, bingung dan geli. “Kamu cemburu?”

“Kamu nggak bilang penulisnya laki-laki, jadi jelas aku kaget.”

Benar juga. Selain Dery Rasendrya—adik Naura yang juga seorang penulis dan wanita itu berperan sebagai editornya—Theo tidak tahu bila ada penulis laki-laki lain yang naskahnya Naura bedah. Naura juga tidak memberi tahu karena biasanya Theo tidak memusingkan siapa yang bekerja dengan istrinya, lebih menjadi pendukung tanpa ada prasangka yang bisa merusak konsentrasi sang istri.

“Kaget sama cemburu itu beda, Theo.”

Theo meletakkan sendoknya dan membalas tatapan Naura yang berusaha memancingnya agar lebih jujur. “Aku kaget, bukan cemburu. Terus nggak suka kalau ada laki-laki nelepon istri orang di hari Minggu walaupun itu urusan kerjaan.”

“Berarti itu namanya cemburu, Theo,” geram Naura karena Theo tidak mengaku bahwa sebenarnya dia cemburu.

“Daripada mikirin aku cemburu atau nggak, mending sekarang kamu makan, Aya.”


Sejak menikah, rumah Theo tidak hanya dipenuhi oleh koleksi lukisan baik buatannya dan pelukis lain, kini ada satu rak penuh novel milik Naura yang sengaja dibawa agar ada bacaan di kediaman barunya. Theo jarang membaca novel, kecuali novel milik adik Naura, Dery yang memiliki nama pena CrownHen, yang betah dia baca sampai berulang kali.

Selain ceritanya yang bagi Theo realistis, akhir dari kisah fiksi tersebut menggambarkan kisah pria itu di masa lampau—kandas akibat kebodohannya dan pernah gagal move on selama bertahun-tahun.

Theo pandangi rak berisi novel Naura yang berdiri kokoh di ruang keluarga, mengamati setiap judul yang mungkin bisa menarik untuk dibaca saat senggang. Ada lima menit Theo membaca setiap judul novel dengan berbagai warna sampul yang menarik, tetapi belum ada yang berhasil mengangkat minat bacanya karena takut isinya tidak sesuai selera.

Di sana ada novel milik Dery yang tergoda ingin Theo ambil. Akan tetapi harus Theo urungkan karena butuh bacaan lain agar ada variasi.

“Mau aku rekomen buku yang bagus nggak?” tawar Naura yang tiba-tiba muncul, gerah melihat Theo hanya berdiri dan mengusik ketenangannya yang sedang menonton di ruang keluarga. “Kalau bingung, baca aja bukunya Dery lagi.”

Usul itu malah menimbulkan desah pasrah di belah bibir Theo. “Tadinya aku juga mikir gitu, tapi masa iya bukunya Dery terus? Entar ketahuan aku nggak pernah baca novel.”

Naura tertawa sembari mengambil salah satu buku yang ada di rak paling atas setebal tiga ratus halaman. Sampulnya berwarna merah marun, bertajuk Desire dengan nama penulis yang tidak Theo kenal.

“Gimana kalau aku bacain buku aja?” tanya Naura. “Dulu aku suka banget bacain buku buat Dery. Kayaknya karena itu dia bisa jadi penulis.”

Theo meraih buku yang ada di tangan Naura dan membaca blurb di bagian belakang. Hanya ada sepenggal dialog yang menurutnya sedikit sensual, lalu di pojok kanan bawah buku tertera jelas bahwa itu adalah cerita dewasa.

Theo menyeringai seraya menyerahkan kembali novel itu pada sang pemilik, lantas berkata, “Kalau mau bacain novel itu harus di kamar.”

Paham maksudnya, Naura pun membalas, “Kenapa harus di kamar kalau bisa di sini?”

Astaga! Ini masih siang, belum lama Theo dan Naura menyelesaikan makan siang mereka, tetapi sudah ada godaan baru yang hampir membangkitkan sesuatu padahal belum dimulai. Naura menarik Theo untuk duduk di sofa. Naura duduk sembari bersandar di dada Theo, sedangkan lengan pria itu merengkuh sekitar pinggang sang puan seraya mengendus aroma shampo yang menguar ke indra penciumannya.

Televisi sengaja dimatikan agar suara Naura jadi satu-satunya sumber hiburan bagi Theo yang ingin menikmati cerita fiksi baru. Naura berdeham setelah halaman pertama dibuka, lalu mulai membaca tiap kata dalam narasi dan dialog yang tercatat di sana. Begitu sabar Naura membaca, intonasinya menyesuaikan dialog yang tertuang. Sedikit membuat Theo mengantuk karena tersihir oleh kenikmatan suara halus yang menenangkan, kendati demikian dia tetap terjaga menyimak lantunan kata yang menggelitik pendengaran.

Theo kira Naura hanya akan membaca bab pertama, nyatanya dia membaca hingga bab tiga dan di situlah suasana mulai berubah. Adegan erotis Naura bacakan dalam intonasi yang pelan, meresapi setiap narasi dan dialog ketika dua tokoh utama mulai saling bersentuhan satu sama lain.

Seakan terpancing, tangan Theo naik turun di sekitar pinggang Naura, terus merangkak naik hingga berakhir ke pundak yang dibalut kaus lengan pendek. Tak puas, telunjuk Theo menelusuri sekitar tengkuk dan leher Naura, menciptakan desir hangat dan setitik desah dari belah bibir sang istri yang masih berusaha fokus kala membaca.

Saat Naura membaca adegan dua tokoh utama saling melucuti perca di daksa, Theo melakukan hal yang hampir serupa. Tangan pria itu menaikkan ujung rok Naura hingga sebatas paha dan mengelus titik sensitif sang istri dalam tempo pelan. Ketika dua tokoh utama dalam buku saling memberi cumbuan, bibir Theo mengecup leher Naura dan membuat wanita itu mencengkeram erat buku akibat tidak mampu menahan gairah yang mulai bangkit.

Naura sudah tidak sanggup membaca bukunya lagi, tetapi membiarkan buku itu terus terbuka ketika jari dan bibir Theo tidak berhenti membuai. Tangan Theo masuk ke kaus yang Naura kenakan, menggoda sekitar dada yang masih ditutup rapat oleh benda keramat pencipta kenikmatan.

“Theo …,” erang Naura ketika jemari prianya menyelinap di antara tungkai dan mengelus pusat tubuhnya.

Ini terlalu sensual meski baru permulaan, hingga buku di tangan Naura terjatuh akibat daya yang hilang diserap oleh kenikmatan. Naura menengadah saat sentuhan bibir Theo makin mengikis kewarasan, matanya sampai terpejam sedangkan tangannya meremas ujung kemeja yang dikenakan suaminya.

Kalau boleh jujur, Naura lebih suka menuju ke bagian utama dalam waktu cepat, daripada harus menggila akibat godaan yang mempermainkan gairah. Jemari Theo bekerja liar di pusat tubuh istrinya, menimbulkan desah penuh syahwat yang tidak mampu Naura bendung.

Nama Theo terus dierangkan oleh bilah bibir Naura, antara terlalu nikmat dan ingin meminta jeda saat ada yang keluar. Namun, jemari itu tidak berhenti bergerak, hingga akhirnya Naura menemukan puncak kenikmatan pertama saat permainan inti belum dimulai.

Napas Naura terengah sedangkan kepalanya masih menengadah menikmati sisa-sisa pelepasan. Theo malah tertawa setelah berhasil menciptakan desir hebat saat pusat tubuhnya pun telah bangkit meminta keluar dari sangkar. Setelah lebih relaks, Naura yang semula duduk bersandar perlahan menegakkan tubuhnya agar menjauh dari Theo dan menatap pria di sampingnya nyalang.

“Baca bukunya jadi nggak selesai,” keluh Naura, bersama rona merah di pipi pertanda kepanasan dan jengah.

Naura membetulkan kondisi kaus dan roknya yang tersingkap cukup tinggi oleh Theo, menutupi lagi tubuhnya setelah terekspos bebas akibat ulah suaminya yang sudah bermain dengan gairah. Naura raih bukunya yang tergeletak di lantai, lantas berdiri untuk meletakkannya di rak.

Belum juga mengambil langkah ketiga, Theo tiba-tiba menarik tangan Naura hingga mendarat di pangkuannya. Lagi, buku yang Naura genggam jatuh ke lantai tanpa sempat kembali ke ‘rumah’.

“Aku mau nyimpen bukunya.”

Naura berasaha menyingkir, tetapi tenaga Theo yang kepalang kuat tidak membiarkan sang istri ke mana-mana. Theo tahan pinggang Naura agar berhenti berontak, lalu mengubah posisi wanitanya agar duduk lebih nyaman di pangkuan, tepatnya saling berhadapan dengan posisi Naura yang jadi lebih tinggi dari Theo.

Satu desah tertahan nyaris mengudara kembali ketika jemari Theo menggoda titik Naura tanpa aba-aba. Naura sampai remas pundak Theo agar tidak hilang keseimbangan, tak ragu untuk memasang ekspresi kecut karena sang pria sudah keterlaluan dalam mempermainkannya.

“Theo, bisa … ihh! Bisa langsung aja nggak, sih?”

Theo terbahak melihat Naura yang frustrasi akibat ingin menuntaskan lagi dengan yang lebih panas, bahkan sang puan sudah mulai membuka kancing kemeja Theo dengan terburu-buru.

“Aya, kamu agresif banget,” goda Theo yang pasrah satu perca teratasnya ditanggalkan.

“Gara-gara kamu.” Suara Naura pelan akibat dibalut oleh nafsu, terlebih ketika belah bibirnya mulai menjelajah leher jenjang Theo yang menguarkan aroma fruity dari parfumnya.

Tak ingin diam, tangan Theo menyelinap di balik kaus yang Naura kenakan, membuka kaitan bra tanpa belas kasih, lalu menanggalkan seluruh perca bagian atas dan mengekspos daksa pujaannya yang makin membangkitkan gairah di bawah sana.

Naura menganga dan terpejam kala Theo mengecup tulang selangka, turun ke belahan dada, dan mencecapi setiap inci kulit yang bibirnya telusuri. Beberapa bercak merah sengaja tertinggal di sana, seakan kulit Naura adalah kanvas dan bibir Theo merupakan kuas paling ahli untuk menciptakan lukisan terbaik yang hanya diciptakan untuk sang istri.

Naura sudah tidak mau menahan diri apalagi malu-malu seperti pertama kali memadu kasih. Wanita itu memaksa lepas dari cumbuan sang ahli dan berdiri untuk melepaskan apa pun yang tersisa pada tubuhnya. Theo tidak mau kalah, dia pun membebaskan gairah dari sangkarnya, kemudian menarik Naura agar duduk di pangkuan dan berada dalam kendalinya lagi. Mereka tidak berpikir soal kamar karena apa yang dimulai harus dituntaskan segera.

“Aya, jangan,” erang Theo ketika gairahnya dimainkan dengan lihai, menyambut senyum Naura yang bangga bisa membuat suaminya merasa dipermainkan tanpa daya.

“Jangan apa?” bisik Naura tepat di daun telinga Theo.

Jelas pria di bawahnya tidak mampu menjawab, malah menengadah dan membiarkan kepalanya bersandar pada sandaran kursi untuk menopang tubuhnya yang menggila akibat godaan besar. Tidak. Theo tidak mau menuntaskannya hanya menggunakan tangan. Dalam sisa kenikmatan yang Naura berikan, Theo menyingkirkan tangan sang istri yang masih memainkan gairahnya.

Tanpa perlu kehilangan terlalu lama, gairah keduanya bertemu bersama lantunan nyanyian nikmat yang disiarkan di penjuru rumah. Hanya ada Theo dan Naura yang berusaha mencapai kenikmatan, jadi suara apa pun tidak akan mengusik ketenangan orang lain yang tidak sengaja mendengar. Theo pandangi paras Naura yang kian menawan kala peluh bercucuran dari pelipisnya.

Pria itu raih birai sang istri, mencumbunya perlahan demi meresapi tiap kali gairah mereka bergerak teratur. Naura meminta dipercepat di sela-sela ciuman mereka, dituruti tanpa negosiasi oleh Theo yang betah berlama-lama dalam posisi itu. Naura jauhkan wajahnya, menengadah dan menatap langit-langit ruang keluarga yang mengabur.

Tidak ada kenikmatan yang gagal setiap kali mereka melakukannya setelah pengalaman pertama, selalu berhasil menghantarkan Theo dan Naura menuju puncak tertinggi yang tidak cukup sekali untuk diraih.

Theo kembali bekerja sebagai kuas, mencecap kanvasnya yang bergerak naik turun selama penyatuan. Peluh mereka bercucuran deras, sebagai bukti nyata bahwa nikmat duniawi yang rutin keduanya lakukan selalu berhasil menihilkan akal sehat. Hanya puncak yang mereka tuju, bersama dua daksa yang terus berbaur, tidak akan berhenti hingga mencapai puncak nafsu.

“Aya ….”

Nama pujaannya tak henti Theo desahkan ketika desakan untuk keluar makin dekat. Naura pun sama liarnya, sampai meremas surai legam Theo sebagai pelampiasan. Ketika sang puan akhirnya melolong lantang bersama tubuh yang melenting puas, tak lama disusul oleh sentakan keras dari Theo dengan erangan kencang sebagai tanda ronde pertama telah tuntas.

Napas mereka memburu akibat lelah, panas di ruang keluarga tidak membuat Theo dan Naura merasa kepanasan. Justru Naura biarkan tubuhnya terkulai lemas dalam dekapan, masih sembari menentramkan raga yang akhirnya mencapai puncak. Theo kecup bahu Naura yang naik turun dalam tempo cepat, membisikkan kata-kata pujian untuk sang yang selalu menggetarkan jiwa. Netra pasangan itu saling beradu tatap, melahirkan seulas senyum sebagai penutup bagian pertama.

Setelah tenaganya pulih, Theo angkat tubuh Naura dan membopongnya ke kamar tanpa merasakan beban. Mereka harus melanjutkannya karena tidak cukup sekali untuk menuntaskan gairah. Theo rebahkan Naura di permukaan kasur dengan hati-hati, lalu pria itu berkuasa dan menahan tubuh menggunakan sikunya agar tidak menindih wanitanya yang masih dibalut syahwat.

Dapat dijamin ini akan menjadi hari yang panjang, sebab ketika Naura Rasendrya melebarkan tungkai dan menyambut untuk memulai ronde kedua, Natheo Linggar tidak mampu menahan dirinya.

Theo suguhkan kecupan di sekitar wajah Naura yang merona ditawan gelora bersanggama, berakhir di bibir dan beradu cukup lama sebagai pelampiasan kata yang tidak sanggup mereka ucapkan. Ini terlalu nikmat untuk didefinisikan melalui aksara, jadi Theo dan Naura bicara melalui sentuhan tiada dua.

Theo menyudahi ciumannya, menyatukan dahinya dengan Naura hingga mereka saling menatap lekat. Saling beberkan senyum penuh damba saat mereka bisa begitu erat. Naura, bunganya, cahayanya, sumber inspirasinya, mendesah pasrah ketika peraduan kembali dimulai. Di sela-sela permainan kedua mereka, Theo berbisik mesra, tidak mau menunggu lama untuk lampiaskan rasa.

“Aku sayang kamu …, Aya.”


Jangan lupa tinggalkan jejaknya <3

Kata orang, fisik seorang istri itu bisa menjadi tolak ukur bagaimana suami memperlakukannya. Bila tampak tidak sehat, maka ada kemungkinan sang suami tidak memperlakukan istrinya dengan baik. Bila istri tampil sehat, artinya kehidupan rumah tangga mereka pun sangat makmur. Dari situ dapat disimpulkan bahwa kesuksesan seorang suami dilihat dari fisik sang istri.

Di sisi lain, fisik pun bisa menjadi bentuk penilaian bagi seorang istri dalam mempertahankan hubungan yang lengket bersama suami. Katanya bila istri cantik dan pandai merawat diri, suami akan setia dan tidak mungkin melirik perempuan lain karena pasti kalah menarik.

Lain halnya bila istri tidak bisa menjaga penampilan agar tetap prima, jangan heran bila mata suami jelalatan mencari mangsa untuk digoda. Setidaknya begitu kata orang yang sering menyalahkan pihak istri bila suaminya selingkuh, menganggap itu kesalahan satu pihak yang disebabkan hal sederhana tetapi krusial. Padahal nyatanya bila salah satu pasangan sudah punya tabiat mendua, penampilan menarik dan kemakmuran pasangan tidak menjadi tolak ukur untuk setia.

Well, bila boleh kembali ke topik soal penampilan, Martha yang saat ini tengah berdiri di depan cermin dan melihat bayangan diri, merasa tidak beruntung dengan kondisinya sekarang. Pasalnya sejak hamil, melahirkan, hingga usia putranya memasuki enam bulan, berat badan Martha meningkat dan sulit turun. Jeans dan kemeja yang dulu menjadi andalannya sudah tidak bisa dipakai, Martha hanya bisa puas dengan celana kulot, rok, daster, dan pakaian longgar lainnya yang bisa menyembunyikan bentuk tubuh.

Untuk warna pun Martha cari yang tidak cerah demi menyamarkan besar tubuhnya. Pagi ini saja Martha harus merasa cukup diri dengan daster cokelat bermotif bunga sebagai pelindung tubuh yang membuatnya sedikit percaya diri.

Ya, sejak melahirkan, waktu Martha untuk bergerak aktif hampir tidak ada karena sibuk mengurus anak dan suami. Di internet ada banyak saran mix and match pakaian untuk tubuh berisi sepertinya, tetapi Martha tidak percaya diri untuk melakukan hal itu. Alhasil Martha harus bersyukur dengan penampilan dia seadanya, meski tetap khawatir perubahan wanita itu akan berdampak pada hubungannya.

“Mana ya mamanya?”

Suara Martin dari luar kamar menginterupsi Martha yang berusaha baik-baik saja di hadapan suaminya. Tak lama kemudian Martin masuk ke kamar sembari memangku Markus yang tertawa menanggapi ocehan sang ayah.

“Ini dia mamanya,” ucap Martin dengan suara yang cukup nyaring. “Mama kenapa nggak keluar dari tadi? Markus laper, Mama.” Martin bicara sembari menirukan suara anak kecil, seakan-akan Markus yang bicara.

“Iya, iya. Ini mau keluar,” balas Martha seraya mengambil alih Markus dari gendongan Martin.

Ketiganya keluar dari kamar untuk memulai sarapan di ruang makan. Martin dan Martha duduk berdampingan, sedangkan Markus duduk di pangkuan sang ayah agar ibunya bisa leluasa ketika menyuapi makan. Meja makan berkapasitas enam orang itu hanya diisi oleh tiga orang, tetapi begitu meriah sebab Markus beberapa kali menolak makan dan rewel sampai Martha sedikit kewalahan.

“Aku aja yang suapin,” kata Martin sembari berusaha mengambil alih sendok dari tangan Martha untuk menyuapi Markus. “Biar kamu makan juga. Soalnya kamu suka makan belakangan, udah gitu sedikit.”

It’s okay.”

Martha menyeka bibir Markus yang belepotan menggunakan tisu, tidak menyerahkan sendok pada Martin agar tetap fokus pada sarapannya sendiri.

“Berarti porsinya harus dibanyakin. Soalnya kamu ngurus Markus sendiri, jadi asupannya juga harus pas. Sini, makannya biar aku suapin sampai habis.”

Dengan sebelah tangan terbebas sedangkan sebelahnya lagi menahan Markus agar tetap di pangkuan, Martin menuangkan nasi dan ayam goreng mentega ke piring sang istri yang porsi makannya berkurang belakangan ini. Piringnya masih penuh dan baru sedikit disentuh, tetapi seperti orang yang sudah menghabiskan setengah porsi karena bagi Martin istrinya makan terlalu sedikit. Martha tidak sempat menahan karena piring putihnya sudah diisi ulang.

“Nanti aku makin gemuk baru tahu rasa,” ancam Martha, tentunya setengah bergurau.

Martin terkekeh pelan dan mulai menyuapi Martha yang sibuk dengan Markus—sekarang sudah tidak rewel, tetapi masih membuat Martha kewalahan karena putranya enggan membuka mulut. “Kamu nggak akan gemuk, yang ada makin gemesin,” komentar Martin setelah menyuapi Martha sebanyak tiga sendok.

“Iya, di mata kamu doang aku kelihatan gemes.”

“Bagus, dong. Berarti kamunya juga buat aku sama Markus doang, nggak boleh buat orang lain.”

Martin selalu pandai membangkitkan rasa percaya diri Martha yang menipis, meski itu untuk sementara. Setidaknya ketika di depan sang suami, Martha tidak boleh tampil kecut hanya akibat kekurangannya saat ini. Sesi sarapan berakhir lebih lama karena usaha menyuapi Markus menguras waktu paling banyak. Alhasil Martin terlambat pergi ke studio untuk memulai syutingnya.

Sebagai influencer di media sosial dan pemilik podcast di YouTube yang dikelola bersama temannya, setiap hari Martin perlu ke studio karena ada banyak endorse yang datang, belum lagi syuting untuk podcast bersama bintang tamu; terdiri dari selebritas atau orang berpengaruh lainnya menyesuaikan topik yang akan diangkat.

Martin memiliki karier yang cemerlang sejak mereka masih pacaran, jadi Martha berusaha memahami situasi suaminya yang terlampau sibuk setiap harinya.

“Hari ini makan siangnya tolong bawa ke studio, ya. Kalau kamu nggak repot,” pinta Martin kala berdiri di depan pintu untuk pamitan pada keluarganya.

Permintaan itu membuat Martha yang menggendong Markus ragu, pasalnya datang ke studio adalah hal yang dia hindari setelah melahirkan. Bukan karena lelah, melainkan akibat rasa percaya dirinya yang tiada. Ditambah lagi di sana ada banyak orang yang terdiri dari rekan dan tim Martin, kepercayaan diri Martha makin runtuh padahal belum menginjakkan kaki. Namun, karena tidak mau mengecewakan, Martha menyanggupi permintaan itu dan berharap Martin tidak akan memintanya datang lagi.

“Oke, nanti aku ke sana pas mau jam makan siang, ya. Tapi aku masaknya buat kamu doang, bukan buat yang lain.”

“Iya, yang lain beli aja. Enggak boleh minta masakan kamu.”

Martin tidak langsung pamit pergi, malah memindai setiap sudut wajah sang istri yang mengalami perubahan setiap harinya. Bukan karena makin chubby—yang jujur bagi Martin malah membuat istrinya menggemaskan—Martha terlihat kurang segar dan kelelahan dengan lingkar hitam di bawah mata yang kian jelas. Martha boleh tersenyum, tetapi tidak menutupi keluhan pada fisik yang berusaha disembunyikan di hadapan Martin.

Dari pagi hingga malam, Martha hanya sendiri di rumah mengurus Markus yang sedang aktif, maka wajar bila tenaga istrinya kian hari makin menipis.

“Nanti aku cari babysitter yang oke buat kamu, ya. Biar nggak kecapekan gini. Dijamin profesional dan nggak nakutin kayak yang ada di teve.”

Martha gelagapan. “Itu … ngapain? Aku bisa kok ngurus Markus sendiri. Apalagi sekarang di rumah doang ngurus kamu sama anak.”

Martin manggut-manggut dan mengelus pundak Martha. “Aku tahu kamu bisa, tapi aku nggak mau kamu terlalu capek. Kalau ada babysitter, kamu bisa lebih santai pas lagi ngerjain yang lain. Nanti aku minta rekomendasi orang di studio deh biar babysitter-nya terjamin.”

Martin jelas tidak menerima penolakan untuk yang satu itu, karena dia menyewa jasa seseorang untuk kebaikan Martha dan sadar bahwa pria 27 tahun itu tidak bisa setiap saat bersama istrinya. Tanpa berdebat panjang, Martha akhirnya menyetujui rencana itu bersama harapan tugasnya mengurus Markus bisa terbantu dengan adanya babysitter.

Martin turut senang, lantas mencium kedua pipi Martha dan Markus yang masih di gendongan sang istri. “Minggu depan kamu udah nggak terlalu capek lagi. Aku jamin,” final Martin, menatap lekat Martha yang berubah drastis sejak persalinan pertamanya, tetapi tak mengubah pandangan pria itu terhadap istrinya.

Baginya, Martha tetap sama seperti awal mereka berjumpa, tetap sama seperti saat masih berkencan. Kalaupun ada perubahan nyata, Martin hanya melihat perubahan baik yang menambah bahagianya. Martin akhirnya pergi tanpa lupa untuk melambai pada keluarga kecilnya, meninggalkan Martha dan Markus berdua tanpa melepaskan pandang pada kepergian sang kepala keluarga meski jejaknya telah berlalu jauh.

Tak lama setelah kepergian Martin, rengek kecil Markus menginterupsi Martha untuk segera menutup pintu, memerintahkan wanita itu untuk menanggapi semua keinginan putranya yang hanya mampu menyampaikan segala hal melalui tangis. Satu lagi hari yang melelahkan dimulai dan harus Martha lalui sendirian.

Cantik dan tampannya fisik itu relatif, maka tidak semuanya memiliki anggapan cantik dan tampan yang sama. Setiap orang pun memiliki tipe idealnya masing-masing dan tidak bisa dibandingkan satu sama lain.

Bagi saya, Martha adalah definisi cantik yang tidak akan pernah bosan untuk saya sanjung. Matanya bundar, rambutnya hitam pekat dan panjang, jemarinya mungil sampai bisa tersembunyi di balik kepalan tangan saya. Senyumnya jangan ditanya. Saya jamin paras cantik yang pernah orang lihat akan jadi biasa saja kala Martha sudah melukiskan senyum di birainya. Itu adalah poin plus yang membuat saya jatuh tanpa memiliki daya untuk bangkit ke realitas.

Martha sudah menyihir saya untuk terus terkurung dalam belenggu asmara, menahan saya agar tidak bebas dari rantai yang menyatukan hati kami agar tetap bersama, serta memanah jiwa saya untuk terus mencintai dia dan menjadi miliknya seorang.

Kata orang, usia saya masih muda, tetapi saya tidak keberatan ketika melepas masa muda untuk hidup bersama satu orang sampai bertemu kekekalan. Saya tidak menyesal ketika mengucap janji suci hingga sah di mata Tuhan dan negara menjadi suami Martha.

Indahnya kehidupan pernikahan kami nikmati penuh sukacita, perdebatan kecil kami alami tanpa takut terpisahkan, serta rencana beberapa tahun ke depan sudah kami susun dan mulai berjalan. Tidak dapat dipungkiri alasan pertama saya bisa jatuh cinta pada Martha karena fisiknya yang sedap dipandang. Pun tidak bisa mengelak bahwa perubahan fisik ketika masa pernikahan berjalan akan ada waktunya tiba.

Sejak melahirkan dan sibuk merawat anak kami, Martha selalu bertanya apakah penampilannya sudah tidak menarik pada saya. Pertanyaan itu selalu saya jawab, “Kamu selalu cantik. Percaya sama aku, deh.”

Untuk sesaat, Martha akan terhibur dan rasa percaya dirinya muncul. Namun, di momen berikutnya Martha akan bercermin dalam waktu lama bersama ketakutan yang pernah dia ungkapkan secara gamblang; bahwa suatu saat saya akan meninggalkan Martha hanya karena dia sudah tidak cantik lagi; bahwa saya akan meninggalkan Martha karena sudah tidak pantas diajak bersanding.

Padahal perubahan yang dialami Martha tidak mengurangi minat saya terhadapnya, tidak mengikis cinta saya untuknya, tidak melunturkan keinginan saya untuk bersamanya. Bagi saya, Martha tetap definisi cantik yang selalu saya puja. Martha tetap menawan tanpa perlu berusaha keras untuk menunjukkan pada dunia bahwa dia juaranya. Cukup menjadi juara di hati saya, dengan itu Martha sudah memiliki dunianya.

Sayang, himpunan aksara manis tidak akan pernah cukup bagi Martha yang terus kehilangan kepercayaan diri. Martha tetap merasa kurang, padahal bagi saya dia sudah memiliki segala yang saya butuhkan.

Martha, bila bertanya lagi soal fisik yang bagimu tidak sempurna, percayalah bahwa itu bukan masalah. Penilaian orang lain hanya ucapan sesaat yang tidak patut kamu ingat lama. Sedangkan anggapan saya adalah penilaian sepanjang masa yang tidak akan pernah berubah. Martha, kamu sudah jadi segalanya. Sebab tanpa kamu sadar, hadirmu membuat saya merasa lengkap.

WAJIB DIBACA

Supaya gak bingung, cerita ini ada di Cherish versi Wattpad, di mana Tara dan Zanitha gak jadi pisah, terus mereka nonton konser Kevin. Kevin itu penyanyi dan klien Tara. Bagi yang baca Cherish di Twitter aja, pasti bakal nemu perbedaan karena bagian ini maupun Kevin gak ada di thread-nya. Bagi yang mau baca Cherish di Wattpad boleh banget untuk tahu apa aja bedanya dengan Cherish di Twitter. Bagi yang gak baca Cherish di Twitter maupun Wattpad dan takutnya bingung kenapa di awal tokoh utamanya ngomong formal. Tara sama Zanitha ini di awal pernikahan ngomongnya pake saya-kamu. Setelah baikan, mau itu di Twitter dan Wattpad, mereka baru pake aku-kamu.

Sekian dari aku. Enjoy ^^


Konser sudah berjalan selama satu jam dan Zanitha Arshavina tidak kehilangan semangat kala melihat Kevin—penyanyi idolanya—tampil di panggung. Mulai dari lagu ballad, hingga lagu yang membangkitkan energi, Kevin nyanyikan begitu syahdu dan membuat semua penonton terhipnotis dengan penampilannya.

Lain Zanitha, lain pula Tara Vikrama yang tidak terlalu mengenal Kevin sebagai sosok penyanyi karena selama ini hanya memandangnya sebagai klien. Pria pemilik rahang tajam itu takjub dengan kemampuan bernyanyi kliennya, bersinar di panggung dan membuat Tara paham mengapa istrinya sekarang hanya fokus pada Kevin tanpa mengalihkan pandang sedikit pun. Terlebih mereka duduk di barisan depan bersama jajaran tamu penting, jadi Zanitha bisa menonton dengan nyaman dalam jarak yang sangat dekat.

Tidak lupa Zanitha angkat pen lightstick warna jingga yang dibeli di luar venue, mewarnai seisi tempat konser bersama para penggemar lain yang ikut bernyanyi dengan Kevin. Begitu paruh pertama konser selesai, Zanitha mematikan lightstick-nya untuk menghemat baterai.

Memanfaatkan waktu kosong sambil menunggu Kevin kembali ke panggung dengan mengirim pesan pada teman-temannya di group chat yang duduk di bagian tengah. Dari percakapan itu, Zanitha bisa merasakan antusias yang sama, termasuk dari Darren dan Deril yang awalnya biasa saja saat menonton konser Kevin mengingat penyanyi itu bukan idola mereka.

“Saya harus banyak-banyak terima kasih sama Kevin,” ucap Tara saat Zanitha memasukkan ponselnya kembali ke tas.

“Saya setuju. Kalau nggak dikasih tiket gratis, kita nggak akan duduk di depan gini.”

Tara tertawa pelan dan menjelaskan maksudnya, “Saya ucapin makasih bukan karena kita duduk di depan, tapi karena berhasil bikin kamu banyak senyum dan nikmatin konsernya.”

Zanitha kontan menunduk, terlalu malu menatap Tara yang baru saja menggodanya saat ada banyak orang meski tidak menjadi saksi langsung. Ini tidak baik, pasalnya debaran cepat yang telah lama tidak Zanitha rasakan untuk Tara kembali timbul. Diam-diam Zanitha elus dadanya yang bergemuruh tidak tenang, seakan ada sesuatu yang ditahan dan perlu disampaikan hingga tuntas.

Zanitha mengangkat wajahnya, lalu menatap Tara hingga bertemu pandang dengan pria yang membuat perasaannya kacau dalam satu malam. Kali ini kacaunya karena hal baik yang Zanitha harap tidak akan terkikis.

“Tapi kayaknya saya harus minta maaf sama Kevin.”

Tara mengangkat sebelah alisnya dan menarik seulas senyum penuh tanya. “Kenapa kamu harus minta maaf?”

Di saat yang sama, lampu sorot menyala ke arah panggung untuk menyambut konser yang sebentar lagi akan dilanjutkan.

Sebelum musik mulai berkumandang dan Kevin memasuki panggung untuk tampil di hadapan ribuan penonton yang tidak sabar melihatnya beraksi, Zanitha memberikan jawaban pada pusat dunianya yang kembali bangkit, “Karena saya seneng bukan berkat dia aja, tapi berkat kamu juga.”


Konser berakhir pukul sembilan malam dengan durasi dua jam. Setelah menonton, Tara, Zanitha, dan teman-teman istrinya pergi makan malam di restoran fast food 24 jam yang tidak jauh dari lokasi konser. Tidak hanya makan, mereka pun saling berbagi kesan saat menonton pertunjukan Kevin secara live, terlebih kaum hawa yang hebohnya bukan main dan jelas visual Kevin ikut dibahas sebagai poin plus atas penampilannya.

Malam minggu yang manis dan tidak akan pernah mereka lupakan. Tara dan Zanitha tiba di hotel sekitar tengah malam bersamaan dengan daksa yang lelah, tetapi perasaan mereka puas.

Zanitha lebih dulu mandi dengan air hangat agar tidak diserang dinginnya udara malam yang menusuk setelah dari luar, disusul Tara setelah istrinya keluar dari kamar mandi dengan piama lengkap dan rambutnya yang digerai.

Sekitar lima belas menit mendekam di kamar mandi, Tara akhirnya keluar hanya menggunakan bathrobe yang membalut dan menemukan istrinya tengah berdiri di dekat jendela sembari menatap ponselnya serius. Tara hampiri Zanitha, takut terjadi sesuatu yang mungkin secara tidak sengaja disebabkan olehnya.

Wajar Tara mudah panik ketika Zanitha tiba-tiba berubah dari semangat jadi lesu, mengingat pria itu pernah membuat kesalahan besar yang membuat mereka hampir berpisah. Kalau sampai perubahan Zanitha sekarang juga disebabkan olehnya, Tara yakin dia akan kesulitan meraih hati sang istri untuk kedua kali.

“Kenapa?” tanya Tara mendapati ekspresi cemas Zanitha tanpa melepaskan pandang dari ponsel.

“Saya nunggu kabar Chaca dari Darren. Kalau nanya Mama pasti udah tidur.”

Tara akhirnya bisa bernapas lega karena rupanya Zanitha mencemaskan Charity, bukan sakit hati akibat ulahnya. “Chaca jam segini udah tidur. Jadi, nggak apa-apa.”

“Iya, tapi saya tetep kha—”

Kalimat Zanitha menggantung saat pesan yang dia nantikan akhirnya tiba. Berdasarkan pesan yang dikirim Darren, Charity sempat terbangun untuk meminta minum saat dia baru tiba di rumah. Setelah itu Charity kembali ke kamar yang biasa dia tempati setiap menginap di rumah orang tua Tara.

Pesan tersebut membuat Zanitha dan Tara yang membacanya di belakang sang istri sama-sama lega putri mereka baik-baik saja, jadi mereka pun bisa tidur lelap. Zanitha mengunci kembali ponselnya dan bergegas untuk mengisi daya yang sudah menipis.

Saat dia berbalik untuk ke kasur, Zanitha langsung berhadapan dengan Tara yang masih bergeming di posisinya tanpa berniat pergi meski tahu istrinya ingin segera menyingkir. Diamnya Tara membuat Zanitha gelagapan harus berbuat apa, sebab kondisi sang suami yang hanya dibalut bathrobe membuatnya nyaris hilang akal.

Malam yang cerah diterangi rembulan bersama dampingan bintang, menciptakan suasana romantis yang mengikat dua insan untuk tetap merekat. Netra mereka saling menatap lekat, sama-sama tenggelam dalam gelora asmara yang sempat sirna. Perlahan-lahan menghancurkan dinding yang dibangun di antara mereka, menciptakan koneksi hebat untuk kembali menyatu dalam perasaan yang sama. Padahal mereka hanya saling menatap, tetapi seperti ada yang memantik api hingga membuat mereka kepanasan.

Tara mengambil satu langkah mendekat, seakan tidak puas meski sudah amat erat. Dua insan itu menipiskan spasi yang sempat memisahkan, merasakan terpaan napas masing-masing yang tidak sabar untuk mengalir dalam raga. Birai Tara sedikit terbuka, mengundang Zanitha untuk menajamkan rungu dan mendengar apa yang ingin prianya katakan.

Masih dengan tatapan yang beradu, Tara berkata lirih, “Zanitha, maaf, tapi boleh saya cium kamu?”

Zanitha menggenggam kuat ponselnya sebagai pelampiasan atas rasa yang bergejolak di dadanya. Lisannya tidak mampu menjawab, bukan karena tidak ingin, tetapi sulit bicara pasti. Baru ditanya, pipi Zanitha sudah merah padam. Ronanya menjadi tanda bahwa Tara diberi izin untuk menautkan bibir mereka yang sudah lama hampa.

Tanpa bertanya untuk yang kedua kali, Tara menangkup kedua pipi Zanitha yang makin merona, lalu meraih bibir sang hawa dan memberi kelembutan yang telah lama sang adam damba. Awalnya hanya beberapa kecupan kecil yang Tara beri dalam jeda singkat. Sampai ketika Zanitha mengalungkan lengannya ke leher Tara, kecupan itu berubah jadi ciuman lembut yang penuh cinta.

Mata pasangan yang sedang memekarkan kembali rasa itu saling terpejam, menikmati sapuan birai yang terasa basah dan menimbulkan sengatan di setiap geraknya. Saat dirasa pasokan oksigen mereka menipis, tautan itu terpaksa lepas tanpa memutus ikatan pandang yang mulai dibalut gairah.

Jemari Zanitha turun mengelus sepanjang leher Tara, menimbulkan satu desah yang menjadi mula untuk segalanya. Perlahan jemari itu kian turun dan membuka tali bathrobe Tara, menanggalkannya tanpa sisa hingga sang puan bisa melihat apa yang sejak awal telah menjadi miliknya. Tidak ada pahatan yang terbilang sempurna di tubuh Tara, tetapi sumpah, memirsa daksa sedikit basah dengan pusat tubuh yang telah bangkit sejak ciuman pertama membuat akal sehat Zanitha lenyap.

Tidak ingin diam, Tara raih ponsel yang Zanitha genggam erat sebagai pelampiasan ke atas meja kecil yang ada di samping mereka. Tak lama setelahnya Tara lepas satu per satu kancing yang mengait di piama sang istri, menanggalkan perca pertama dan menunjukkan bagian yang paling dia suka dari Zanitha.

Tara menunduk sembari menyingkirkan tali bra yang mengait di pundak, mengecup tulang selangka dan menimbulkan sengatan kecil hingga Zanitha sedikit tersentak saat bibir basah itu menggoda imannya. Mata Zanitha terbuka dan terpejam, menikmati sapuan bibir Tara selagi tangannya membuka seluruh pengampu dada tanpa sisa.

Ketika dua tubuh tanpa penghalang bagian atas itu bersua, Zanitha sudah tidak peduli lagi dengan akal dan budi atau apa pun yang harus segera menghentikan kegiatan itu sebelum benar dimulai. Tidak bisa. Tidak mau. Zanitha inginkan segalanya lagi, menghantarkannya pada nirwana tertinggi dan satu-satunya pria yang boleh membawanya sejauh itu hanya Tara Vikrama.

Panas, bergairah, dan penuh desah. Tiga hal yang menggambarkan situasi Tara dan Zanitha begitu mereka saling beradu di atas kasur. Mulai dari ciuman, tiba-tiba jadi lumatan, beralih menjadi cumbuan, hingga kini tidak ada sehelai benang yang menutupi tubuh mereka. Segalanya terjalin secara perlahan tanpa paksaan, bahkan berkali-kali Tara bertanya apakah Zanitha ingin melanjutkan atau menyudahi semuanya sebelum pria itu hilang kendali daksa.

Satu jawaban yang selalu meluncur; ya, Zanitha sangat menginginkannya. Sebagai pria dominan dan paling piawai, Tara memegang kendali atas tubuh Zanitha yang pasrah di bawahnya. Tara mencumbu setiap lekuk tubuh sang istri mulai dari leher, turun ke tulang selangka, dada, perut, hingga berakhir di antara tungkai bagian dalam yang membuat Zanitha mengerang tidak tertahan.

Zanitha meremas bantal yang menjadi tumpuan kepala, memejamkan mata untuk meresapi setiap sentuhan yang Tara bagi pada tubuhnya. Sudah lama tidak merasakan kenikmatan duniawi, Zanitha nyaris menggila saat pusat tubuhnya dipuja begitu dalam oleh sang pria. Gelombang itu datang tanpa mampu Zanitha tahan, tangannya refleks meremas surai Tara yang masih berada di antara tungkainya.

Zanitha menjerit kala pelepasan pertama dia dapatkan, lalu terengah hingga dadanya naik turun tidak teratur dan kepalanya pening bukan main akibat kenikmatan itu. Tara merangkak naik dan kini berbaring di samping Zanitha yang masih menikmati sisa-sisa pelepasannya, memandangi paras menawan saat ditawan gairah.

“Kamu bener masih mau lanjut?” tanya Tara untuk sekian kalinya malam ini. Hampir membuat Zanitha muak, tetapi dia bisa memakluminya.

“Lanjutin aja,” balas Zanitha yang terengah.

Saat kesadarannya masih setengah, Zanitha meraih birai sang pria dan menciumnya seakan tidak betah jika tanpa lawan. Bibir mereka kembali beradu, menyecap apa pun untuk menghilangkan haus akan hasrat. Sayang, apa yang mereka lakukan justru makin menambah syahwat untuk segera menyatu dalam belenggu kenikmatan setelah sekian lama menahan.

Tara yang unggul dan Zanitha masih pemula, mencari satu hal serupa pada dini hari dalam gairah yang dibalut asmara; puncak tertinggi dalam cinta. Tara kembali mendominasi di atas, meraba pinggang Zanitha yang bergerak tiada henti akibat senggolan kulit menaikkan andrenalin.

Bibir mereka berhenti bertaut, giliran netra yang saling menatap akur, sedangkan bagian bawah Tara berusaha mengisi bagian kosong terdalam Zanitha hingga penuh. Lama sekali tidak ada yang menyentuh, Zanitha mengernyit perih hingga sedikit meringis karena sakitnya kembali muncul seperti pertama dan kedua kali beradu. Tara ikut tersiksa, sebab istrinya terasa makin ketat hingga miliknya harus berusaha cukup keras agar bisa memenuhi Zanitha yang tengah menyakar pundaknya.

Satu lenguhan lega dari Tara mengudara bebas setelah berhasil mendapatkannya, sedangkan Zanitha masih harus membiasakan diri dengan sesuatu yang baru bersarang dalam dirinya.

Tara tidak ingin egois, maka dia menanti Zanitha untuk siap. Dia kecup dahi sang istri untuk mengurangi kerutan di sana, menghilangkan ketegangan pada tubuhnya agar sedia untuk kegiatan selanjutnya. Zanitha elus pipi Tara yang merona sepertinya, tampak puas bisa kembali menyatu bersamanya tanpa paksaan dari salah satu pihak.

Satu-satunya pria yang boleh menguasainya berpeluh deras, sialnya amat menggoda hingga Zanitha ingin merekam setiap sudut rupa itu agar tidak dia lupakan setelah semua ini usai. Mungkin ada yang berpikir mereka hanya dikuasai nafsu untuk memuaskan rakus, padahal kenyataannya mereka tengah membagikan cinta yang kali ini tidak ingin ditutup-tutupi. Tidak apa-apa lisan mereka terkunci rapat, tetapi saat dua daksa saling merindu itu berusaha menyatu tanpa terburu-buru akibat ego, saling mengasihi dan menikmati setiap detik momen bagaikan imaji semata, saat itulah Tara dan Zanitha menyampaikan gelora cinta yang membelenggu mereka.

Dirasa siap, Tara mulai bergerak. Rintihan syahdu mengisi kesunyian malam yang iri melihat sejoli sudah mampu saling mengisi setelah sekian lama mengganjilkan diri, menguarkan aroma khas percintaan hingga menambah gelora yang sudah lama terkubur dalam-dalam karena lebih mementingkan kesembuhan luka. Kini luka itu telah sepenuhnya sirna, menghantarkan Tara dan Zanitha pada gelombang asmara yang penuh damba sebagai dua insan yang haus akan kasih sayang.

Tara berikan segenap rasa cintanya melalui gerakan yang imbang, tidak egois dan penuh kepuasan. Sedangkan Zanitha memberikan apa yang menjadi hak sang suami, menerima segala perlakuan terbaik hingga kepalanya pening tak terkira. Sesekali Tara menyanjung Zanitha lewat lisan tentang bagaimana rasa yang dia dapatkan, serta betapa cantiknya wanita yang dia cinta.

Aktivitas seksual bukan sesuatu yang asing karena banyak orang pasti telah melakukannya baik dengan ikatan resmi seperti mereka atau sekadar main-main saja. Bedanya, saat kegiatan ranjang ini dilakukan dalam balutan cinta, maka momennya tidak hanya dinikmati kala mereka menyatu dalam libido, tapi juga sebelum dan sesudah semua itu berakhir, menciptakan koneksi ajaib yang makin menyatukan mereka untuk bergandengan.

Tubuh Zanitha bergetar, merasakan sesuatu yang ingin melesak keluar dari pusat tubuhnya dan dipahami betul oleh Tara. Pria itu mempercepat temponya agar mereka bisa mencapai puncak tertinggi cinta, menatap lekat pada sang pujaan yang tidak henti melantunkan melodi desah, amat merdu di rungu kala volumenya menanjak.

“Aku sayang kamu, Zanitha …,” lirih Tara saat pusatnya masih bekerja demi sama-sama menghantarkan mereka ke nirwana.

Zanitha tersenyum di bawah cucuran keringat yang harmonis menyatu bersama milik Tara, melingkarkan kedua lengannya di leher sang adam dan membisikkan satu kalimat sebelum gelombang dahsyat itu datang, “Aku juga sayang kamu, Mas ….”

Puncak itu Zanitha dapatkan lebih dulu, disusul oleh Tara dengan geraman panjang sebagai bentuk kepuasan setelah gairahnya dituntaskan bersama yang paling dia damba. Tara kecup dahi sang istri yang terengah, lalu tergolek lemas di sampingnya dengan lengan yang tidak mau lepas dari sang hawa. Zanitha menatap langit-langit hotel yang sedikit megabur, merasa luar biasa setelah tubuhnya dijajah kenikmatan yang dia kira tidak akan pernah datang.

Saat masih dikuasai oleh gelombang syahwat, Zanitha merasakan tangan Tara merabanya sebagai bentuk penghargaan, memberinya kecupan di pipi dan sama-sama berakhir dalam gulungan selimut. Nikmat sanggama menghadirkan lagi debar jantung akibat cinta yang syarat akan suka, membuang segala duka seakan tidak pernah hadir dalam hidup mereka.

Zanitha beradu pandang dengan Tara yang sudah lebih relaks, lantas bersembunyi di balik dada sang pria akibat malu dengan percintaan mereka. Tara tertawa pelan dan memeluk Zanitha erat, menutup percintaan mereka dengan manis dan tidak terlupakan.


Sang surya telah terbit dan perlahan menyinari hari dengan cahayanya yang terik. Menyambut hari yang baik untuk memulai aktivitas lagi di hari Minggu ini. Mayoritas memanfaatkan Minggu pagi untuk tidur dan bergelung dalam selimut selama mungkin sembari melupakan kegiatan mereka setelah enam hari tiada henti.

Zanitha adalah salah satu orang yang tidak ingin diganggu waktu tidurnya di hari Minggu ini, terlebih setelah malamnya lelah menonton konser dan bersanggama bersama prianya hingga membuat perempuan berambut legam itu tidak mampu untuk sekadar membuka mata. Ditambah tidak ada Charity—putri sambungnya—yang perlu dia urus untuk satu hari ini, jadi Zanitha bisa memiliki waktu santai lebih banyak sebelum memulai harinya lagi.

Sayang, tidurnya gagal kembali nyenyak saat merasakan sepasang bibir mengecup pipinya kala dia berbaring telentang dengan selimut menutupi tubuh seadanya. Zanitha tetap memaksakan mata terpejam kala merasakan tangan seorang pria mengelus pipinya, lalu selimutnya ditarik untuk membungkus tubuh perempuan itu yang tidak dibalut apa pun.

Saat tangannya jadi sasaran empuk sang pemilik bibir, Zanitha tidak bisa pura-pura terlelap lagi akibat godaan sang pria berhasil membangkitkan sedikit semangatnya. Zanitha perlahan membuka mata, mengerjap beberapa kali saat matanya silau karena cahaya matahari dari jendela yang dibuka menyelinap masuk. Setelah pandangannya lebih jelas, Zanitha menemukan Tara yang duduk di sampingnya, tengah tersenyum untuk menyambut sang istri bangun.

“Minum?” tawar Tara yang sudah memegang sebotol air mineral dari hotel untuk dia berikan pada Zanitha.

Dengan nyawa yang berusaha dikumpulkan, Zanitha bangkit dari posisinya dan menerima air mineral yang tutupnya telah dibuka oleh Tara. Dia habiskan hingga setengah botol dan memberikannya lagi pada Tara yang tidak berhenti menatap paras sang istri di pagi hari. Jika orang-orang menghindari wajah kusut yang belum dibasuh air setelah berjam-jam terlelap, maka Tara lain sebab dia betah memandangi Zanitha sebagai orang pertama yang melihatnya bangun.

“Ini jam berapa?” tanya Zanitha dengan suaranya yang sedikit serak.

“Baru jam tujuh,” jawab Tara seraya merapikan rambut panjang Zanitha yang menutupi sebagian wajahnya. Pria itu tidak ingin melewatkan satu sisi pun untuk dipandang. “Tidur aja lagi kalau masih capek. Nanti sarapannya aku minta dibawain ke sini.”

Zanitha kontan mengerang saat Tara paham kondisi tubuhnya yang jadi tidak fit. “Kamu sendiri nggak capek? Tadi bangunnya jam berapa coba?” Zanitha tatap lekat suaminya yang sudah rapi dengan celana training dan kaus putihnya. Rambutnya pun basah, begitu wangi menyegarkan indra penciumannya. “Aku masih berantakan, kamunya udah rapi banget.”

“Aku bangun jam enam, terus mandi lagi soalnya semalam bersih-bersih biasa. Acaranya siang, kok. Jadi, kita bisa bareng dulu di sini.”

Ah, benar. Zanitha baru ingat alasan mereka menginap di hotel karena ada acara yang harus Tara hadiri di tempat mereka menginap itu. “Aku nggak boleh ikut?”

“Satu undangan buat satu orang. Lagian kamu pasti bosen dengerin arsitek ngomong. Acaranya juga nggak ada hiburan aneh-aneh. Mendingan kamu rebahan aja di sini, atau pulang kalau kangen Chaca.”

Jelas Zanitha sudah merindukan Charity, tetapi keinginan untuk segera pulang tidak hinggap dalam dirinya. Justru Zanitha ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan Tara yang tidak mendesak untuk bertahan lama bersamanya.

“Aku sama kamu aja, Mas. Chaca juga yang nyuruh kita seneng-seneng pas bilang mau pergi dua hari.”

Hanya jawaban sederhana, tetapi melambungkan Tara ke nirwana seperti semalam. Zanitha sudah menerimanya sepenuh hati, bersedia menetap berdua dan jauh dari jangkauan orang-orang yang bisa saja mengganggunya, bahkan mereka sudah mengobrol santai secara alami. Tara harus banyak mengucapkan terima kasih pada Kevin jika mereka bertemu lagi, sebab berkat bantuannya, hubungan sejoli itu kian membaik hanya dalam satu malam.

Tara meletakkan botol air mineral di atas nakas, lalu merangkak mendekati Zanitha dan membawanya berbaring lagi untuk menikmati waktu pagi yang kali ini lebih manis. Mereka berpautan dalam selimut, saling membagikan kehangatan lewat dekapan untuk mencairkan seluruh es yang pernah membekukan keadaan dalam waktu lama.

“Aku bantu kamu tidur lagi.”

Tara mengusap puncak kepala Zanitha yang telah memejamkan matanya, menikmati segala kasih sayang yang diberikan suaminya.

“Bangunin aku satu jam lagi, ya. Biar sarapan bareng.”

Hanya anggukan yang Tara suguhkan, sebab dia tidak mau memancing Zanitha untuk bersuara lagi agar kembali tidur setelah diganggu cukup lama. Tidak ada lagi kata saya-kamu seperti biasa. Tidak ada lagi bahasa formal yang Tara dan Zanitha gunakan saat percakapan berlangsung.

Setiap himpunan kata yang mengalir selalu diimbangi senyum layaknya sejoli kasmaran. Aksi yang dibagikan tidak sebatas momen tertentu, sebab kini mereka tidak lagi malu untuk menunjukkan afeksi kuat di segala situasi yang mendukung keduanya untuk memadu kasih.


Satu jam kemudian, Zanitha benar dibangunkan Tara dari tidur singkatnya untuk melakukan aktivitas lain sebelum pria itu pergi. Sekarang Zanitha sudah di kamar mandi, berendam di bathtub menikmati air hangat yang merelakskan tubuhnya. Sembari bersandar pada pinggiran bathtub, Zanitha memejamkan mata dan betah berlama-lama di sana sampai tenaganya kembali pulih setelah terkuras sejak semalam.

Well, apa yang terjadi semalam tidak merugikan. Zanitha sangat menikmatinya. Baik konser Kevin dan percintaan panas dengan suaminya. Ketika menikmati waktu sendiri, Zanitha mendengar gemericik air dan kaki yang ikut masuk ke bathtub.

Mau tidak mau Zanitha membuka matanya, lalu menemukan Tara dengan raga tanpa satu pun perca sudah duduk di hadapannya sembari tersenyum tak berdosa.

Zanitha menyeringai. “Kamu ‘kan udah mandi.”

Alih-alih menjawab, Tara malah menarik Zanitha perlahan dan menghipnotis wanita itu untuk mendekat tanpa paksaan. Zanitha telah mendarat di pangkuan Tara, meremas lembut surai legam sang suami yang jadi basah akibat ulah tangannya.

“Enggak ada salahnya mandi lagi sama istri kesayangan,” jawab Tara selagi jemarinya bergerak nain turun di punggung halus Zanitha. “Ditambah lagi kita belum coba main di kamar mandi.”

Zanitha menepuk pelan bibir Tara yang sudah bicara sembarangan, tetapi tidak berhasil mencegah sang pujangga untuk memberi godaan dahsyat di tiap titik sensitif pujaannya. Tara terlalu andal untuk dihentikan, sampai Zanitha harus rela waktu mandinya terkuras demi memulai kembali percintaan yang tidak puas dilakukan semalam.

Detik selanjutnya Zanitha biarkan Tara merajai ratunya, meninggalkan jejak di setiap jengkal jangkauan, menciptakan lagi desah tanda kenikmatan. Dua insan itu seakan lupa pernah hampir dipisahkan oleh kenyataan. Alhasil kini mereka menyibukkan diri untuk terus menyatu dalam ikatan takdir yang nyata.

Biarkan yang dulu jadi masa lalu. Mulai hari ini, Tara dan Zanitha ingin saling bersemayam di relung hati masing-masing sembari berbagi kasih tanpa ada yang menyakiti.


Jangan lupa tinggalkan komentar kalian untuk ceritanya ^^