hanyabualan

Tara Vikrama hampir lupa bagaimana rasanya mencintai wanita amat dalam hingga dia ingin memberikan yang terbaik di setiap temunya. Hampir lupa bagaimana rasanya memadu kasih dan membayangkan masa depan bersama-sama sembari menggenggam erat tangan sang puan, seolah menjadi janji tak terlisankan bahwa dia akan membantu mencapai masa depan itu.

Tara sudah melalui masa remaja dan dewasa awalnya dengan suka duka yang membentuk dirinya hari ini. Namun, saat bersama Zanitha Arshavina, perempuan yang terpaut 8 tahun lebih muda darinya, membuat Tara merasa kembali muda kala mendengar setiap cerita sang kekasih terkait rangkaian masa depan yang diidamkan. Tara hanya menjadi pendengar, sesekali merespons sesuai porsinya, menyimak apa pun yang disampaikan Zanitha tanpa membuat penilaian buruk di kepala.

Sembari berbaring berdampingan di atas kasur kamar tamu tempat Zanitha menginap di rumah sang duda—atas request Charity, putrinya—segala kisah di kepala tertuang melalui kata dan dipahami betul oleh pendengar yang tepat.

“Aku udah cerita banyak nih maunya apa setelah lulus kuliah, mulai dari yang realistis sampai nggak masuk akal juga aku ceritain,” Zanitha tertawa sebagai jeda, “sekarang giliran kamu, dong. Apa aja gitu,” pinta sang puan seraya berusaha menarik tangannya yang tidak berhenti dikecup Tara.

Pria itu diam sejenak, memilah apa yang perlu disampaikan untuk memuaskan keinginan kekasihnya. Jujur, ada banyak sekali keinginan Tara baik yang berusaha dia gapai sampai hanya dipendam. Maka tidak heran sekarang Tara bingung harus menceritakan yang mana.

Setelah menemukan cerita yang tepat, Tara baru menjawab, “Selain kerjaan, aku mau rawat Charity sebaik mungkin sampai dia dewasa dan dipinang orang yang tepat. Aku bakal ngasih yang terbaik buat Charity supaya dia nggak kekurangan apa pun. Bukan soal materi aja, tapi kasih sayang juga. Dia nggak pernah rasain kasih sayang ibu, makanya aku harus punya dua peran itu. Emang nggak bisa dibandingin karena rasanya jelas beda, tapi aku harap kekosongan itu bisa diisi dan Charity tetep ngerasa lengkap.”

Tara mengeratkan genggamannya pada tangan Zanitha, beralih menatap sang puan yang sedang menaruh atensi untuk menyimak ceritanya. Beberapa tahun lalu setiap menoleh, Tara tidak menemukan sosok yang bisa membuat debar jantungnya bekerja dua kali lebih cepat dari biasanya, atau menciptakan sensasi geli bagaikan ada yang menggelitik di perut. Lantas delapan bulan terakhir hingga di masa mendatang, sosok yang Tara cari telah ditemukan. Mengisi hatinya yang sempat hampa tanpa cinta.

“Sekarang aku seneng Charity kenal kamu. Dia jadi ngerasain gimana disayang ibu. Ini bukannya kode ngajak kamu nikah, tapi emang faktanya begitu. Charity kelihatan lebih lengkap berkat kamu. Walaupun anaknya malah main ke rumah mama aku setelah kamu nginep.”

Zanitha tertawa dan makin geli saat pagi ini Charity malah meminta ke rumah orang tua Tara, dengan alasan agar sang ayah dan kekasihnya bisa berduaan. Toh, semalam Charity tidur di samping Zanitha dan nyaman seakan tengah tidur bersama orang tuanya. Maka bagi Charity tidak masalah saat harus meninggalkan Tara dan Zanitha berdua di rumah.

“Kamu pernah ketemu perempuan lain yang kelihatan lebih siap nikah setelah sama aku?”

Pertanyaan tidak terduga itu menaikkan sebelah alis Tara kala mendengarnya. Cukup mengejutkan, tetapi tidak membuat sang pria heran mengingat Zanitha kadang masih ragu apakah dia layak untuk Tara.

Bersama ketenangan yang selalu Tara tunjukkan di setiap situasi, pria itu menjawab, “Pernah dan mereka udah punya pasangan.”

“Kalau yang belum punya pasangan?”

Tara bangkit dan menopang tubuhnya dengan siku, menatap Zanitha lebih intens hingga wanita itu bungkam tanpa berani bertanya. Ini bukan yang pertama, tetapi saat Tara meraih birai Zanitha dan memberi beberapa kecupan di sana, gadis itu hilang akal untuk beberapa saat hingga tangannya meremas kaus yang dikenakan prianya.

Dengan jarak tipis dan dahi yang saling beradu, Tara melontarkan kalimat yang menghilangkan sejuta keraguan di benak. Membuat Zanitha makin percaya bahwa pilihannya untuk bersama Tara adalah keputusan terbaik dalam hidupnya.

“Aku cuma fokus ke kamu sampai nggak lihat yang lain. Jadi, jangan tanya lagi. Aku cuma buat kamu.”

Ini belum melewati batas jam malam yang ditetapkan indekost, baik bagi penghuni maupun tamu yang datang untuk berkunjung. Namun, bagi Zanitha Arshavina yang tiba-tiba dihubungi bersama pengakuan mengejutkan dari pria berstatus duda, kunjungan pria itu tetap membuat debar jantungnya meletup karena harus bertemu di momen yang jauh dari bayangannya.

Zanitha yakin, percakapan mereka malam ini sangat serius sebab ditambah bumbu asmara yang kali ini Tara Vikrama layangkan secara frontal—lebih frontal dari yang biasa dia ketik melalui chat. Zanitha sampai harus diam di ruang tamu indekost demi mempersiapkan mentalnya untuk bertemu Tara yang telah menunggu di luar, tepatnya di mobil yang terparkir tidak jauh dari lokasi indekost.

Tara sengaja tidak memarkirkan mobilnya di depan gedung indekost karena nanti dia diharuskan masuk, sedang percakapannya bersama Zanitha sangat pribadi untuk dibicarakan di tempat lalu-lalang manusia. Maka dari itu, Tara memilih diam di dalam mobil yang berjarak beberapa meter dari indekost.

Bila boleh jujur, Zanitha tidak siap menemui Tara. Alasannya sederhana; takut Zanitha kehilangan kata-kata dan berakhir bungkam sepanjang berdua dengan Tara. Namun, dia tidak mungkin diam saja seperti orang tidak tahu adab padahal Zanitha sendiri setuju untuk diajak bertemu. Maka dengan nyali setengah-setengah dan tungkai yang tenaganya hanya secuil, Zanitha keluar dari indekost untuk menemui Tara yang sudah menunggu.

Tara sendiri sabar menunggu Zanitha di mobil sembari menatap foto gadis itu di ponselnya saat mereka jalan-jalan waktu itu. Terhitung hanya tiga kali pergi bersama—itu juga hanya makan bersama Charity serta dua kali menonton—dan foto Zanitha bisa dihitung jari, tapi sudah mampu menerbitkan senyum di bibir dan tidak jemu Tara memandangnya. Pekatnya langit malam saja berhasil dikalahkan oleh cerahnya senyum Tara.

Saat pintu mobil dibuka, Tara buru-buru mengunci ponselnya agar tidak tertangkap basah tengah menatap foto Zanitha yang diambil secara sukarela. Lantas kini dua insan itu sudah duduk berdampingan dengan lisan yang saling membisu, sedangkan otak mereka memilah himpunan kata apa yang perlu dilontarkan.

“Enggak masalah ‘kan saya ajak kamu ketemu malam-malam gini?”

Pertanyaan pembuka yang tepat sekali untuk diajukan. Mencairkan sedikit suasana tegang yang otomatis timbul begitu Zanitha masuk dan menyingkirkan rasa sepi Tara.

“Enggak masalah, Mas. Jam malamnya belum mulai, kok.”

Tara manggut-manggut lega karena kedatangannya tidak terlalu berat untuk diterima mengingat ini sudah pukul 20.15 dan waktu sibuk Zanitha telah usai. Untuk sesaat kembali hening sebab mereka masih menyeleksi kata lain sebagai lanjutan dari percakapan ke depan.

Sudah sepatutnya Tara bicara lebih banyak karena dia yang lebih dulu mengungkapkan rasa dan mengajak Zanitha berjumpa. Sayang, Tara pula yang kehilangan daya setelah berada di dekat pujaannya.

“Saya—”

“Kamu masih sayang sama mendiang istri?”

Tara tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Zanitha bicara lebih cepat darinya. Tara sampai menoleh dan mengerjap demi menangkap maksud pertanyaan Zanitha yang menatap lurus ke jalanan ramai.

Sadar sedang diperhatikan dengan tanda tanya di kepala, Zanitha kembali bertanya lebih pelan, “Kamu masih sayang sama mendiang istri?”

Bila boleh meminta, Zanitha ingin sekali kepalanya ditimpa benda keras karena lancang melontarkan pertanyaan itu. Sebagai orang yang pernah memadu kasih hingga menghasilkan anak semanis putrinya, jelas Tara menyayangi mendiang istrinya sepenuh hati. Pertanyaan impulsif itu disesali Zanitha dalam waktu beberapa detik, tetapi tidak bisa ditarik karena Tara sudah mendengarnya dengan jelas. Zanitha ingin lenyap saja!

“Setiap ditanya sayang, jelas iya,” jawab Tara yang tidak keberatan sama sekali saat pertanyaan itu diajukan. “Tapi itu masa lalu yang nggak bisa dibandingin sama masa sekarang. Mendiang istri saya cukup jadi kenangan sampai Charity lahir, selebihnya saya mau sama kamu.”

Jemari Zanitha bergetar mendengar rangkaian kalimat manis itu mengudara dan menelusup rungu hingga menggelitik perut. Sayang, itu saja tidak cukup untuk membuat Zanitha memberi jawaban sesuai keinginan hatinya dan Tara, karena jauh di dalam sanubari masih ada keraguan untuk memulai hubungan baru bersama sosok yang lebih dewasa.

“Saya nanya gitu bukannya raguin kamu, malah saya yang ragu, Mas. Soalnya saya nggak mau mulai hubungan sama orang yang masa lalunya belum selesai. Nanti saya yang rugi. Makanya mastiin dulu biar sama-sama enak.”

Tara tersenyum yang sayangnya tidak terlalu jelas dilihat sebab disembunyikan pekatnya langit malam. Meski begitu, Zanitha masih bisa merasakan jelas betapa manisnya Tara menaruh tatap, seakan gadis itu adalah eksplanasi indah yang mampu dinikmati dalam kegelapan.

“Saya paham.” Tara menegakkan posisi duduknya dan melanjutkan, “Satu hal yang perlu kamu tahu, saya nggak akan deketin perempuan lain kalau belum move on dari yang lama. Jauh sebelum ketemu kamu, saya udah ikhlas sama kepergian mendiang istri dan nyiapin hati kalau Tuhan ngasih saya kesempatan buat ketemu orang baru. Udah nggak kehitung berapa perempuan yang saya kenal, tapi semuanya sebatas rekan profesional. Enggak ada yang bikin saya ngerasa pengen lebih deket. Baru kamu yang bikin saya pengen ngisi hati lagi dan sekarang saya di sini, mau ngajak kamu jadi pasangan saya.”

Dua pertanyaan yang terlintas di benak Zanitha; apa banyak duda pandai bertutur kata semanis Tara? Atau Tara ini spesial yang mampu memikat wanita dengan himpunan kata indah hingga membuat kaum hawa melayang?

Sungguh, Zanitha mengalami hal itu. Malah jauh sebelum Tara mengajak bertemu dan membicarakan soal perasaan secara serius, pria itu sudah membius Zanitha hingga nyaris tidak berdaya membaca rangkaian kata yang sering dituangkan melalui pesan singkat.

Sekarang ketika bertemu langsung, Tara membuat pertahanan Zanitha runtuh sampai kehilangan deretan kalimat sebagai reaksi untuk berbagai percakapan mendatang. Berurusan dengan laki-laki sungguhlah tidak baik, terlebih bila macamnya seperti Tara yang pandai membuai.

“Saya masih terlalu muda, Mas. Kamu yakin mau sama saya? Maksudnya … saya tahu kamu nggak akan ngajak nikah—setidaknya sekarang. Cuma tetep aja status dan perbedaan umur kita lumayan jauh. Bukannya saya takut nggak direstuin orang tua masing-masing, cuma khawatir baru jalanin beberapa hari aja udah nggak cocok buat jadi pasangan. Saya nggak mau bikin Mas kecewa karena nggak sesuai ekspektasi.”

Jawaban Zanitha cukup masuk akal dan membuat Tara mempertimbangkan pilihannya lagi sebelum memberikan respons. Tara pejamkan mata demi berpikir tenang, membiarkan kesunyian menjadi pembatas antara dua insan yang masih di ambang ketidakpastian; ingin bersama atau mengucap pisah tanpa memulai. Hanya butuh satu menit, Tara kembali membuka mata dan menabur pandang pada sang lawan yang menanti jawaban.

“Kamu suka sama saya?”

Zanitha ingin menulikan rungu saat pertanyaan itu mengudara dan makin menggelitik perut. Jawaban sudah di ujung lidah, tetapi Zanitha belum sanggup melisankannya secara utuh. Ada jeda lagi yang cukup menyiksa, sampai akhirnya gadis itu mau menatap Tara yang sabar menghadapinya.

“Saya suka kamu.”

Jawaban itu melebarkan senyum yang tidak kunjung luntur dari birai Tara. “Saya nggak permasalahin umur, kok. Lagi pula umur kamu udah masuk usia dewasa, udah cocok sama saya. Soal status juga nggak perlu dipusingin. Selama ini kita cocok aja ngobrol. Kalau kamu takut kita beda selera, itu hal biasa dan saya bisa menyesuaikan diri sama kamu. Selama kita saling suka, nyaman, dan sama-sama mau, perbedaan itu bukan masalah.”

Binar lampu jalanan yang menyelinap ke dalam mobil boleh hanya secuil, tetapi Zanitha menangkap jelas ketulusan Tara mulai dari kalimat hingga ekspresi yang dia tunjukkan. Waktu berjalan lebih lambat dari biasanya, seakan sengaja memberikan Zanitha waktu untuk mengudarakan jawaban yang sudah di ujung lidah. Kala waktu kembali berjalan normal, Zanitha malah melontarkan hal lain karena masih mengalami pertarungan batin tanpa tahu kapan berakhir.

“Orang tua kita belum tentu ngasih restu.”

“Orang tua saya setuju pas tahu kita lagi deket. Apalagi mereka tahu kamu temennya Darren, jadi nggak perlu lama-lama saling kenal sama orang baru.”

Tara menyalakan lampu kabin, sengaja agar cahaya di sekitar mereka lebih terang. Momen ini tidak boleh disia-siakan tanpa cahaya yang cukup, sebab Tara ingin melihat lebih jelas bagaimana ekspresi Zanitha kala mendengar jawabannya.

“Terus diam-diam saya udah minta izin ke orang tua kamu dan mereka ngasih restu dengan syarat, saya sama kamu baru boleh pacaran, belum buat nikah.”

Sesuai ekspektasi, saat Tara membongkar rahasia yang selama ini dia jaga sampai waktunya tiba—yaitu hari ini—Zanitha terkejut hingga matanya membulat sempurna.

“Apa?!”

Bacanya pelan-pelan biar nikmatin alurnya. Enjoy ^^

Jibran Dava Adelard turun dari van yang membawanya menuju stasiun televisi tempat dia akan menghadiri sebuah talk show secara live. Begitu turun, Jibran langsung diserbu oleh wartawan dan penggemar yang telah menantikan kehadirannya. Wartawan yang ingin tahu bagaimana kabar Jibran yang sudah dua bulan menikah, serta penggemar yang ingin menonton secara gratis aktor kesukaan mereka sebelum memulai jadwal kerja.

Seperti biasa, Jibran ditemani oleh manajer dan kakak iparnya, Trian, yang harus bisa menghalau wartawan agar tidak mengerubuni Jibran bagaikan gula dan mereka sebagai semutnya. Di tengah usaha Trian, Jibran tetap profesional di depan kamera yang merekamnya. Toh, pertanyaan yang mengudara di telinganya masih ramah; menanyakan seputar pernikahannya dan mengapa sang istri tidak pernah dibawa setiap Jibran memiliki jadwal.

“Jibran, ada rencana bulan madu?” tanya salah satu wartawan yang mengajukan pertanyaan berbeda dari wartawan lain.

Pertanyaan itu dijawab antusias oleh Jibran, “Buat sekarang masih belum ada, jadi kami enjoy aja di rumah.”

“Terus rencananya mau punya berapa momongan?”

Satu lagi pertanyaan menarik yang jarang ditanyakan oleh wartawan, menambah antusiasme Jibran saat memberikan jawaban, “Itu gimana maunya istri saya dan dikasihnya.”

Jibran lambaikan tangannya pada para penggemar yang tidak berhenti menyorakkan namanya. Menebar senyum manis pada mereka yang selalu ada mendukung Jibran meski telah menjadi suami orang.

“Boleh tahu kenapa istrinya nggak pernah dibawa setiap kamu ada schedule gini?”

Jibran menahan tungkainya setibanya di depan gedung stasiun televisi, menatap satu wartawan perempuan yang mengajukan pertanyaan, baru menatap yang lain bergantian.

“Istri saya juga punya kerjaan, jadi nggak mungkin dia nemenin saya tiap ada schedule. Dia baru punya pegawai beberapa bulan terakhir di tokonya, tapi tetep masih harus ngawasin karena semuanya masih tahap belajar buat sesuai sama keinginan dia. Udah ya, Semua. Makasih udah mau ketemu.”

Jibran melambaikan tangannya untuk terakhir kali, lalu segera masuk ke gedung stasiun televisi yang segera dihalau oleh penjaga sebelum ada wartawan atau penggemar tidak diundang menyusup.

Jibran diarahkan ke lantai tiga tempat studio talk show diadakan sekitar satu jam lagi, lalu masuk ke ruang tunggu untuk guest star di mana sudah ada make up artist yang akan meriasnya sedikit sebelum direkam oleh kamera. Masih ada waktu yang cukup panjang sebelum talk show dimulai, jadi Jibran menyempatkan diri untuk menghubungi sang istri di tokonya saat dia tengah dirias.

“Pasti kamu udah nyampe,” ucap Eila setelah panggilan telepon tersambung. “Makanya hubungin aku.”

Jibran tertawa pelan sembari menatap pantulan dirinya di cermin. “Aku lagi dirias. Karena masih lama, jadi aku nyempetin telepon kamu.”

“See? Aku udah bilang kamu bakal nyampe cepet banget. Sekarang nunggunya jadi lama, deh.”

It’s okay. Mendingan nunggu daripada ditunggu. Apalagi ini live, jadi nggak boleh sampai telat.”

“Kalau gitu jangan lama-lama teleponnya, biar kamu nggak lupa waktu.”

Jibran terbahak, membuat MUA perempuan yang tengah meriasnya sedikit tersentak. “Maaf, Mbak,” ucap Jibran karena sudah mengejutkannya.

Di seberang sana giliran Eila yang tertawa mendengar permintaan maaf suaminya. “Cieee, siapa, tuh?” goda Eila.

“MUA. Aku nggak sengaja ngagetin mbaknya.”

“Kan! Mending udahan dulu, ya. Aku juga harus urus order lagi. Karyawan sini kalau nggak diawasin takutnya salah masukin orderan.”

Jibran manggut-manggut dan menuruti usul Eila dengan enggan karena tidak ingin mengganggu. Ditambah Jibran pun takut dia jadi lupa waktu kalau sudah mengobrol dengan istrinya di sela-sela bekerja begini. Bisa-bisa tanpa sadar sudah menuju 10 menit live dimulai.

“Semangat kerjanya ya, Sayang. Di sini aku semangat live, di sana kamu semangat bikin croffle. Tolong sisain buat aku di rumah, ya.” Eila terkekeh di seberang sana.

“Iya, Sayang. Nanti aku siapin buat kamu. Bye, I love you.”

“I love you too. Muah!”

Panggilan telepon diputus dan secara bersamaan MUA yang merias Jibran menyelesaikan tugasnya, lalu keluar dari ruangan sang aktor hingga tersisa Trian sebagai pendamping. Trian yang sejak tadi menguping sembari memainkan ponselnya lantas berdiri setelah cukup lama duduk di belakang, perlahan-lahan mendekati Jibran yang tidak berhenti tersenyum sembari menatap foto-fotonya dengan Eila di ponsel.

Selagi tangannya menarik kursi di samping sang aktor, Trian menyindir, “I love you too. Muah!” Begitu yang dilakukannya sampai bokong Trian telah menduduki kursi rias, tidak lupa dengan ekspresi menggelikan yang sedikit berlebihan. “Awal-awal nikah masih sayang-sayangan, muah-muah terus tiap telepon. Tunggu aja pas udah setahun atau dua tahun, pasti mau bilang I love you di mana-mana males. Apalagi di depan MUA yang jelas-jelas naksir kamu. Pasti sekarang dia gosipin kamu sama rekanan yang lain.”

Jibran tidak tersinggung dengan sindiran dan teguran Trian, malah tertawa dan meletakkan ponselnya di atas meja rias agar lebih nyaman saat mengobrol bersama manajernya.

“Kayaknya dia bakal bagi-bagiin kabar ke media soal aku yang bucin dan gimana kebiasaan tiap telepon istri pas lagi kerja,” ucap Jibran santai, sudah terbiasa dengan hal-hal kecil tentang dirinya yang diberitakan oleh media. “Malah harusnya bersyukur adik kamu nikah sama aku yang … apa sebutannya? Bucin? Ya, sebucin ini sama istrinya. Dijamin adik kamu selalu bahagia saat sama aku.”

“Aku nggak raguin itu. Eila tiap pacaran tipe bucin yang sayangnya jarang dapat pasangan bucin balik ke dia. Makanya Eila cocok sama kamu, karena sama-sama bucin. But, please … geli banget tiap kali kalian teleponan deket aku. Dasar pengantin baru.”

Sebutan pengantin baru selalu menyenangkan kala menyelinap di indra pendengaran Jibran. Sebuah status yang tidak pernah dia pikirkan sepanjang karier, tapi kini menjadi bagian yang paling dia banggakan dalam hidupnya—terlebih kala mengingat siapa yang menjadi istrinya.

Baiklah, Jibran tahu masih terlalu awal untuk mengatakan pada banyak orang bahwa dia menyukai pernikahan yang masih seumur jagung, sedangkan masih banyak tahun untuk diarungi Jibran bersama Eila dan akan menemukan fase-fase baru yang belum tentu menyenangkan; masalah pelik, pertikaian, kebiasaan-kebiasaan jelek yang terungkap, sampai mungkin ada fase di mana rasa yang menggebu-gebu berubah datar.

Namun, Jibran sangat yakin dia dan Eila bisa mengatasi masa-masa itu, sama seperti orang tua sang aktor yang sudah menikah selama puluhan tahun dan masih tetap mesra.

“Trian, selama kamu nikah sama Thalia, apa aja masalah yang pernah ada?” tanya Jibran yang kini berubah serius. “Aku nanya gini biar sekalian belajar. Kalau nggak mau jawab juga nggak apa-apa.”

Trian cukup takjub mendapati Jibran yang tertarik dengan permasalahan rumah tangga yang tidak selalu indah—bahkan kadang yang baru menikah saja sudah merasakan peliknya rumah tangga. Trian kira Jibran ingin tahu enaknya saja tanpa mempersiapkan diri untuk masalah yang akan datang. Well, sesiap apa pun, terkadang itu percuma.

Sembari menyandarkan posisi duduknya, Trian mulai menjelaskan, “Pernikahan itu mystery box yang isinya nggak akan pernah kita tahu, Jibran. Kadang isinya baik dan bagus, tapi bisa juga nggak sesuai harapan. Pernikahan juga bisa dipelajari secara teori, tapi yang ada di lapangan pasti beda jauh dan kadang teori nggak bisa bantu banyak. Siap fisik sama finansial aja nggak cukup, karena dalam pernikahan yang paling diuji itu mental. Awal-awal nikah masih indah, tapi beberapa tahun bisa aja ada nggak mulusnya, sama kayak pas kalian pacaran.

“Aku sama Thalia udah ngerasain berantem kecil sampai gede. Terus yang bikin susahnya waktu sama-sama mentingin ego karena maunya menang. Kami pernah nggak ngerasa cocok setelah lima tahun nikah, tapi dari situ kami belajar buat lebih memahami lagi dan bisa bertahan sampai sekarang. Belum seberapa kalau dibandingin orang tua kamu, tapi usahanya tetep lumayan. Makanya coba deh tanya Om Jagad sama Tante Mia, biar belajarnya lebih banyak sama yang berpengalaman.”

Penjelasan yang sangat baik dan omong-omong, Jibran sudah pernah bertanya pada orang tuanya bagaimana dunia pernikahan itu berjalan. Mereka menjawab yang kurang lebih sama dengan penjelasan Trian, hanya saja lebih detail karena diikuti dengan cerita masa lalu yang diiringi tawa, padahal yang diceritakan adalah masalah cukup besar dan hampir membuat mereka berpisah.

Namun, dari situ Jibran menyimpulkan bahwa sepelik apa pun masalah yang pernah dihadapi orang tuanya, setelah mereka bisa berdamai dengan masa lalu dan meneruskan kehidupan tanpa mengungkit semuanya dengan beban serupa, masalah-masalah itu jadi bagian komedi kehidupan yang mereka tertawakan. Jibran ingin rumah tangganya seperti orang tuanya—kecuali bagian yang hampir berpisah—bisa bertahan lama hingga sekarang dan selalu bahagia meski hanya tinggal berdua.

“Makasih, Trian,” balas Jibran setelah mencerna seluruh penjelasan kakak iparnya. “Ternyata kamu bisa diajak ngobrol serius juga, ya. Kayak bukan kamu banget.”

Trian berdecak lidah dan memutar bola matanya malas mendengar respons Jibran yang setengah meledeknya. “Serius salah, nggak serius lebih salah. Aku marah-marah bakalan makin salah. Emang adik ipar ini suka nggak tahu diri, ya.”

Alih-alih meminta maaf, Jibran malah fokus pada kata adik ipar seakan itu pujian untuknya. Saat masih pacaran dengan Eila, Trian sering sekali labil antara memberi restu dan tidak. Trian baru serius atas restunya setelah ada rencana pernikahan dan pertemuan keluarga untuk membicarakannya dengan lebih matang.

Sekarang setelah menikah, Trian sering menyebut Jibran adik ipar, meski dengan nada bicara yang kurang ramah kala didengar. Yah, tidak apa-apa. Trian yang marah-marah sudah tabiatnya dan sulit dibetulkan.

“Pokoknya jangan macem-macem sama adik aku, ya. Kalau macem-macem, aku nggak ragu buat ninju kamu.”

Jibran mengangguk dengan senyum jail yang belakangan ini sering sekali ditunjukkan di hadapan Trian. “Tenang aja. Aku nggak akan pernah nyakitin Eila.”


Ardania Eila Mahadarsa menyeka air matanya saat menonton adegan terakhir film baru keluaran Netflix bertajuk Don’t Look Up yang yang dibintangi Leonardo Dicaprio dan Jennifer Lawrence, menganggap scene makan malam bersama saat komet mulai menabrak bumi dan perlahan-lahan menghancurkan seisinya tanpa tersisa menjadi bagian paling emosional. Padahal scene itu dibalut dengan santai bersama senyum untuk menyembunyikan ketakutan sebenarnya, ditampilkan secara apik oleh para pemain yang sudah menerima takdir mereka.

Jibran yang menonton di samping sang istri juga merasakan emosi serupa, tapi gagal menangis karena sibuk menenangkan Eila agar tidak terlalu berduka akibat film semata. Film diakhiri dengan karma orang-orang kaya dan serakah yang dibawa ke planet baru untuk melanjutkan hidup, tapi malah menjadi santapan hewan-hewan di sana. Scene itu membuat Eila puas karena bisa melihat orang-orang yang berkuasa ikut menderita setelah merugikan banyak orang.

“Filmnya bagus banget,” puji Eila setelah film selesai dan lampu ruang menonton di rumah Jibran dinyalakan menggunakan remot. “Kamu ngajak aku nonton film ini karena yang main Jennifer Lawrence atau emang udah yakin bakal bagus?”

Jibran yang menarik Eila agar duduk di pangkuannya tertawa pelan saat sang istri menyinggung soal aktris kesukaannya. “Filmnya Jennifer Lawrence emang bagus-bagus, Sayang,” jawabnya setelah Eila duduk nyaman di atas pangkuannya. “Tapi kalau nontonnya sama kamu jadi lebih seru.”

Eila menyentil hidung Jibran karena dibuat tersipu. “Gombal.”

Dalam diamnya Jibran akui bahwa dia sudah lebih piawai dalam menggombal, baik secara lisan maupun aksinya; sentuhan yang dia lakukan untuk memuji istrinya. Jadi, Jibran tidak membantah tiap kalau dibilang tukang gombal.

“Tadi aku nonton talk show-nya.”

Jibran menarik seulas senyum. “Oh, ya?”

“Aku nonton bareng karyawan di toko, terus mereka godain aku gara-gara dibahas terus pas talk show. Itu emang nggak ada topik atau aku yang jadi topiknya?”

Sudah Jibran duga Eila akan menanyakan mengapa dia menjadi salah satu topik utama saat sang suami diundang ke talk show. Pasalnya dengan durasi satu jam kehadirannya, ada 15 menit Jibran ditanyakan perihal Eila yang menjadi topik menarik untuk dibahas. Bahkan ketika topik sudah berganti, kadang-kadang host kembali menyinggung Eila yang beruntung tidak membahas hal sensitif.

Jibran santai saja karena dia sudah menyiapkan diri dengan segala hal yang akan ditanyakan media terkait istrinya. Namun, Eila bukan selebritas yang terbiasa diberi banyak atensi meski presensinya tidak ada.

“Lain kali aku bakal request buat nggak nanyain kamu terus kalau tampil di talk show lagi.”

Eila segera menggeleng saat ucapannya malah ditangkap secara salah oleh Jibran. “Aku bukannya nggak nyaman. Toh, aku udah nebak pasti bakal diungkit-ungkit terus sama banyak orang setelah nikah sama kamu. Cuma kepo aja apa aku beneran jadi salah satu topik atau saat itu kehabisan topik.”

“Kamu salah satu topiknya, Eila.”

“Wow! Aku udah kayak artis, dong?”

Jibran terkekeh melihat Eila yang malah membanggakan diri setelah jadi salah satu topik dalam talk show. “Kamu nggak apa-apa jadi bahan omongan terus?”

Wanita itu menggeleng santai dan mengelus leher Jibran dengan jemarinya. “Itu udah jadi risiko aku setelah nikah sama kamu,” Eila cium kedua pipi Jibran dan lanjut berbisik, “asalkan privasi kita nggak dibahas.”

Jibran kontan memejamkan mata saat Eila mencium telinganya, menimbulkan semburat merah baik di sisi kiri dan kanan akibat malu serta membangkitkan hasrat. Eila tahu itu titik sensitif Jibran, maka bibir wanita itu bermain di sana untuk menggodanya. Jibran sampai menyandarkan punggungnya pada sofa bed sebab tenaganya terserap godaan yang tidak kunjung berhenti dilakukan sang istri.

Setitik desah mengudara dari birai sang adam, merasa melayang hanya dengan tiup dan usapan pada telinga. Sungguh, godaan terbesar setelah menikah adalah saat sentuhan fisik ini berjalan terlalu dalam hingga Jibran lupa dengan dunia. Jibran ingin larut dalam surga kenikmatan yang membuatnya teradiksi berat.

Jibran menahan Eila hingga godaannya berhenti, menatap sang puan yang jadi terlihat seksi dengan balutan piamanya. “Jangan godain aku terus, Eila,” bisik Jibran seduktif.

“Terus kamu maunya gimana?” Eila malah bertanya sembari kembali menelusuri leher Jibran dengan telunjuknya, lagi-lagi mengeksplor area sensitif prianya yang dirasa telah bangkit hanya melalui sentuhan.

Sudah cukup Eila mendominasi, giliran Jibran mengambil aksi. Jibran raih birai sang istri yang sejak tadi bermain, menciumnya untuk mengedarkan hasrat serupa pada Eila. Birai mereka beradu dengan lihai, sudah sering dilakukan sejak masa pacaran, tapi setelah menikah euforianya jauh berbeda seakan ada yang memantik api untuk melakukan hal lebih.

Kala birai mereka masih saling mengait dan menyampaikan kasih, tangan Jibran dan Eila bekerja di bagian masing-masing. Jibran yang membuka piama Eila. Pun Eila menanggalkan piama Jibran hingga tidak ada sehelai benang di sana.

Ciuman Jibran turun ke leher Eila yang menengadah untuk memberinya akses luas agar bermain lebih dalam, sedangkan tangan sang puan meremas biceps prianya, tepat pada bekas luka bakar yang belum kunjung hilang. Jika orang awam melihat pasti akan jijik, lain dengan Eila yang saat melihatnya untuk pertama kali malah tertarik untuk tahu dari mana luka Jibran berasal.

Sedangkan kini, setelah mereka saling mengenal tubuh masing-masing dan pernah memegang kendali satu sama lain, Eila anggap bekas luka itu jadi bagian seksi yang memainkan rasa laparnya akan sentuhan.

AC ruangan menonton langsung menusuk kulit kala kain terakhir pada tubuh bagian atas Eila ikut diloloskan oleh Jibran, mengantarkan birai prianya pada bagian favorit dari tubuh sang puan. Permainan bibir dan lidah Jibran pada dada sang lawan menimbulkan lenguhan nikmat dari Eila yang tidak henti menengadah. Tubuhnya bahkan menegang akibat terlalu nikmat, sampai tangan Jibran harus menahan Eila agar tidak jatuh karena belum dia biarkan.

Jibran menarik bibirnya dan memandang wajah Eila yang dahinya mengerut, dadanya naik turun tidak teratur, peluh telah membasahi rambut dan pelipis hingga pipi, bibirnya sedikit terbuka untuk menyuarakan lagi lenguhan yang masih ditahan, sedangkan sebelah tangannya mengepal akibat tidak tahan dengan setiap belaian.

“How?”

Eila menunduk agar bisa memandang Jibran yang menunda permainan, seakan ingin tahu apa yang dirasakan istrinya lewat lisan setelah puas melihatnya lewat ekspresi tubuh.

“I … want more,” jawab Eila terbata-bata. Syahwatnya sedang tinggi dan Jibran tidak boleh berhenti di tengah jalan sebelum mereka berdua menyelesaikannya.

“Here.” Eila mencegat saat Jibran akan membawanya pergi ke kamar. “Jangan di kamar.”

Bukan fantasi yang liar, tapi melakukannya selain di kamar adalah hal asing yang makin meninggikan gelora untuk bercinta tanpa bisa menunggu jeda. Jibran kabulkan permintaan Eila, dengan hati-hati membaringkannya di sofa bed yang kali ini jadi tempat mereka menghabiskan malam panas. Jibran kecup telapak tangan kanan Eila setelah dia berbaring nyaman, menghirup aroma body mist varian bubble gum yang rajin dia gunakan setiap malam.

“You’re heavenly beautiful.”

Pujian itu mengantarkan Eila untuk menarik Jibran agar mendekat, kembali beradu birai untuk mengisi kekosongan yang tidak betah tanpa lawan. Saat peraduan itu terjalin, kain terakhir pada tubuh mereka saling dilepas oleh tangan yang tidak bisa diam. Tidak sampai situ, jemari Jibran mengisi bagian dalam tungkai sang hawa, mengekspos titik nafsu wanita yang paling dominan di tubuhnya.

Permainan itu membuat sekujur tubuh Eila beraksi, hingga jemari kakinya melengking bagaikan terkena sengatan listrik yang menghantarkan nikmat surgawi. Jibran hanya tersenyum saat dia berhasil berkuasa, tapi tetap membiarkan Eila aktif dengan merabanya di bagian yang bisa dijangkau. Dada Eila membusung dan memekik pelan saat mendapatkan pencapaian pertamanya, membuat Jibran menarik kembali jemarinya, lalu mengecup dahi sang istri yang masih mengerut saat menikmati sisa-sisa pelepasannya.

Jibran berbaring di samping Eila, dengan sabar menanti sang istri untuk kembali menaikkan hasrat setelah semua kenikmatan pertama dituntaskan. Eila menyembunyikan wajahnya di balik ceruk Jibran, memeluk sang adam yang makin cakap dalam sesi percintaan.

“Masih mau di sini atau pindah?” tanya Jibran saat tangan Eila mulai meraba milik sang pria yang belum melunak. “Di sini.”

Suara Eila lirih, tapi masih terdengar jelas di telinga. Jibran kembali membaringkan Eila di posisi sebelumnya, mengecup setiap bagian wajah merahnya akibat hasrat yang kembali naik. Jibran lebarkan tungkai Eila saat dirasa istrinya sudah siap untuk menemui miliknya. Rintihan kecil mengudara larena Eila masih belum terbiasa saat Jibran mencoba memenuhi bagian dirinya, tapi itu hanya sementara saat dia sudah mampu beradaptasi lebih cepat daripada awal bermain.

Begitu permainan inti dimulai, Eila tidak ragu melatunkan desah yang menjadi nyanyian merdu di telinga Jibran. Netra mereka saling menatap lekat, kulit mereka saling bersentuhan yang membagikan peluh yang bercucuran.

Tiap kali Eila melantunkan nyanyian favoritnya, Jibran merasa dirinya telah diterima karena berhasil mengisi suasana hati sang lawan hingga mendapatkan kenikmatan terbesar pada tubuhnya. Kala Eila melantunkan namanya, gelora cinta Jibran naik hingga dia menambah tekanan pada akvitias mereka yang memabukkan. Jibran merasa sempurna, karena lantunan desah itu bagaikan pujian tertinggi atas petualangan asmara yang mereka bangun di atas daksa yang bertumbuk.

Sedangkan bagi Eila, peluh dan gurat kenikmatan di setiap sudut tubuh Jibran menjadi keberhasilan, sebab dia telah memberikan yang terbaik untuk suaminya nikmati. Di tengah tubuh yang saling memacu untuk mencapai puncak, Jibran dan Eila masih bisa membagikan senyum sebagai wakil untuk lisan yang tidak sanggup mendeskripsikan kesenangan.

Aktivitas seksual mereka mungkin melelahkan, tapi menjadi penghilang penat. Lebih besar lagi saat mereka bisa membagikan segenap cinta lewat sentuhan, membuat Jibran dan Eila merasa makin intim tanpa ada penghalang.

Milik Eila mengetat, dahinya kembali mengerut, sedangkan tangannya meremas pundak Jibran sebagai pelampiasan saat dia akan mencapai puncak. Jibran mempercepat pacuannya untuk memberikan nirwana lebih dulu pada sang puan, hingga lolongan panjang berhasil mengudara dan melepaskan segala beban di kepala, bertransformasi menjadi kepuasan maha dahsyat yang hanya bisa dia rasakan bersama lawan yang tepat.

Jibran tidak lama menyusul, memberikan segala yang dia punya pada Eila, berharap bisa segera tumbuh menjadi bagian dari mereka.

Jibran suguhkan ciuman terakhir saat mereka masih menikmati sisa-sisa percintaan yang luar biasa, lalu terkulai lemas di samping Eila dan mendekap sang istri yang masih terengah. Tidak ada kalimat yang mampu mendeskripsikan betapa dahsyatnya bercinta, jadi cukup diwakilkan oleh peluh yang tidak henti membanjiri daksa, serta pasokan oksigen menipis yang kembali mereka isi.


“Kita harus coba siang-siang.”

Jibran mengernyit terkejut akibat paham ke mana arah maksud ajakan Eila. “Itu fantasi terliar kamu?”

“Siapa tahu kamu mau siang-siang, biar malamnya nggak capek.”

“Sekalian aja di tempat lain setelah berani nyoba di sini, biar nggak bosen di kamar terus.”

Jibran tidak serius, tapi tidak bagi Eila yang fantasi liarnya sedang berkeliaran tiada henti. “Aku cari tempat yang enak dulu di rumah biar kita bisa coba.”

Jibran tergelak dan mencubit pipi Eila dengan gemas. “Jangan bikin aku nyerang kamu lagi, Sayang. Apalagi kita belum pake baju.”

Eila menunduk beberapa detik dan baru sadar bahwa mereka berpelukan tanpa sehelai benang yang membalut. Eila tidak merasa dingin, padahal AC ruang menonton sudah diatur paling maksimal. Harus diakui pelukan Jibran sangat ajaib karena bisa menjadi selimut sebagai penghangat tubuh.

“Kamu cantik banget. Aku sampai naksir berkali-kali. Kayaknya nggak akan berhenti sampai kapan pun.”

“Tunggu pas aku udah hamil, lahiran, dan ngurus anak. Katanya masa-masa itu penampilan istri bakal berubah drastis. Lihat aja, apa kamu masih bisa muji aku cantik sampai naksir berkali-kali atau udah males duluan.”

“Bagi aku fisik itu bonus,” kata Jibran sok bijak dan membeberkan fakta atas apa yang dia rasakan terhadap Eila. “Perasaan aku juga nggak sedangkal itu sampai bisa berubah cuma karena fisik, Eila. I promise.”

Eila mencium bibir Jibran setelah pria itu menyelesaikan kalimatnya, lalu giliran dia yang berkata, “Udah aku cap janjinya. Jadi, harus ditepatin.”

Jibran tersenyum jail dan ikut mencium bibir Eila yang menjadi kesukaannya sejak lama. “Aku cap lagi, biar janjinya makin kuat.”


Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa tinggalkan jejaknya supaya tahu gimana ceritanya ^^

Jibran Dava Adelard Ardania Eila Mahadarsa

“Ini apa?”

Jibran kelewat bingung ketika di piring ada satu porsi ayam, lengkap dengan sambel dan lalapan seperti daun kemangi, timun, dan satu lagi yang asing di mata. Sedangkan di piring satunya lagi ada satu porsi nasi dengan taburan bawang goreng di atasnya. Eila ikut bingung saat Jibran mempertanyakan makanan yang dia beli akibat tidak sempat masak setelah menyiapkan adonan croffle, seakan-akan pria itu tidak pernah melihat bentuk makanan yang cukup bersahabat di kantong dan sering mangkal di pinggir jalan.

“Ini pecel ayam. Jangan bilang kamu nggak pernah tahu apa itu pecel ayam.”

Jawaban Eila menambah kernyitan di dahi Jibran karena dia baru tahu ada nama makanan seperti itu. “Bukannya pecel itu dari sayur, ya?”

“Enggak salah, tapi ini versi ayamnya. Dimakan pake nasi uduk anget sama lalapan,” jelas Eila sembari menarik kursi dan duduk di hadapan Jibran.

“Terus ini apa?” Jibran menunjuk pada makanan yang baru pertama kali dilihatnya.

“Ini kol goreng,” jawab Eila semangat. “Emang nggak sehat, tapi makan pecel ayam ditambah kol goreng jadi makin nikmat.”

Jibran menganga takjub karena dia baru tahu kol yang biasanya ada di sup bisa digoreng. Bentuknya aneh, tapi kalau boleh jujur memang berhasil meningkatkan nafsu makannya.

“Tunggu.” Jibran menginterupsi saat Eila akan mulai makan. “Pecel ayam ini yang suka ada di pinggir jalan?”

Eila menepuk tangannya sekali. “Bingo. Syukur kamu tahu. Soalnya aku hampir ngira kamu dari planet lain kalau sampai nggak tahu. Walaupun tetep aneh karena kamu belum pernah makan. Jangan sampai mi instan juga belum pernah makan, soalnya lebih aneh.”

Jibran menggigit bibirnya dan menggeleng tanpa rasa bersalah. Eila yang paham maksud reaksi itu dibuat menganga.

“Kamu beneran nggak makan mi?” seru Eila tidak percaya.

“Aku pernah makan ramen sama udon,” jawab Jibran polos.

No, bukan kayak gitu. Mi instan, Indomie, yang suka ada di warung-warung, minimarket, bahkan supermaket. Di sekolah dulu juga ada kantin yang jualan mi, kok.”

Kantin, ya. Jibran tidak ingat bagaimana isi kantin di sekolahnya. Jarang sekali Jibran jajan, karena dia lebih sering dibawakan bekal oleh Mia agar putranya tidak makan sembarangan. “Emangnya enak?”

Rasanya ingin sekali menertawakan Jibran yang tingkahnya seperti orang dari planet lain karena dia tidak tahu mi instan sampai pecel ayam. Namun, Eila mengurungkan tawanya karena orang seperti Jibran bukan satu atau dua di Indonesia. Lingkungannya tidak pernah memperkenalkan dia pada makanan yang merakyat, jadi wajar Jibran tidak tahu.

Tidak ingin memperpanjang perdebatan, makan malam akhirnya dimulai dengan Eila sebagai pendahulu. Jibran mencotek gaya makan Eila yang sudah habis tiga suapan. Bukannya Jibran tidak terbiasa makan tanpa alat bantu seperti sendok dan garpu, tapi karena ini pertama kalinya dia makan pecel ayam dengan lalapannya, Jibran harus memastikan cara makannya tidak salah.

Setelah makan malam selesai, Jibran duduk di ruang keluarga sembari membaca kontrak kerja bersama Kick Entertainment yang menawarkan dia untuk bergabung. Kontrak selama lima tahun itu tinggal Jibran tanda tangan setelah adanya perbincangan bersama perwakilan dari sana, bahkan berdiskusi dengan Timon yang mengenal Kick Entertainment, dan tidak lupa meminta pendapat orang tuanya. Jibran juga dipersilakan mengajak Trian untuk kembali menjadi manajernya setelah resmi keluar dari Punch, yang syukurnya pria itu bersedia untuk mengurusnya lagi.

Namun, pertimbangannya jauh lebih panjang dibandingkan saat ia menandatangani kontrak dengan Punch Entertainment. Jibran sudah mencecap manis, asin, dan pahitnya gemerlap dunia hiburan. Puncaknya di film terakhir yang harus mengorbankan Eila. Jibran tidak mau lagi hal seperti itu terjadi di hidupnya, tapi jauh dalam sanubarinya, keinginan untuk kembali pun tetap ada.

“Kamu udah mutusin mau gabung Kick, Jibran?” tanya Eila sembari meletakkan dua cangkir teh di atas meja, lalu duduk di samping Jibran.

“Belum. Aku masih bingung.”

Paham apa yang menjadi dilema prianya, Eila membantu menenangkan pikirannya agar tidak kacau. “Apa pun keputusan kamu, itu udah yang terbaik. Kamu udah punya rancangan masa depan, jadi tanpa balik berkarier sebagai aktor pun semuanya udah pasti. Tapi kalau kamu masih mau berkarier lagi, silakan jalanin, aku sama yang lain selalu ada buat dukung kamu.”

Thanks, Eila.”

“Sama-sama. Plus Kak Trian juga nggak mau lama nganggur.”

Jibran tergelak mengingat betapa frustrasinya Trian saat dia harus melepas pekerjaannya, padahal sebelumnya membanggakan diri menjadi pengangguran dengan uang yang masih berlimpah. Namun, harus diakui, yang dirasakan oleh Trian ikut menular pada Jibran.

Pria itu ingin beraksi lagi di depan layar, masih ingin mengeksplorasi aktingnya agar tidak begitu saja, bermain dengan aktor-aktor hebat sebagai lawannya, serta menghibur penggemar yang masih ingin melihatnya berlaga.

“Kick kasih aku waktu enam bulan buat tanda tangan kontrak. Mereka juga terima syarat aku yang cuma mau main film sekali setahun. Terus aku juga bilang butuh personal assistant di luar yang Kick kasih dan orangnya Natta, dia udah setuju pas aku ajak.”

“Bagus, dong. Mereka kasih banyak kelonggaran buat kamu. Terus waktu yang dikasih juga panjang supaya kamu lebih mikir matang. Aku dukung banget.”

“Tapi kayaknya kita harus ngomongin kontrak yang lain dulu.” Jibran meletakkan kontrak dari Kick di atas meja, lalu memandang Eila serius untuk membicarakan sesuatu yang lebih penting daripada kontrak kerja.

“Kamu mau ngomongin kontrak apa?”

“Kontrak nikah.”

“Gimana?” Eila mendengar jelas apa yang dikatakan Jibran, hanya saja dia perlu memastikan pria itu tidak salah bicara karena menjawab pertanyaannya tanpa basa-basi.

“Aku nggak sempet bikin kontraknya, jadi lewat lisan aja. Enggak apa-apa, ‘kan?”

Eila tidak mampu menjawab karena pikirannya blank saat kata nikah dilontarkan tanpa hambatan. Wanita itu baru kembali ke realitas kala Jibran menggenggam erat tangannya, menatapnya dalam, bahkan tersenyum manis dan penuh pujaan. Eila yakin semburat merah muncul di pipinya kala debar jantungnya bekerja amat cepat. Eila berharap ekspresinya tidak memalukan di momen-momen penting yang tidak terduga ini.

“Aku nggak ngajak buru-buru, tapi minimal kita ada rencana buat ke depannya. Kamu udah tahu kurangnya aku dan kamu nerima itu. Aku juga selalu nerima kamu apa adanya. Kamu selalu dukung setiap jalan baik yang aku tempuh, jadi aku yakin kamu bakal ingetin aku kalau ke depannya ambil jalan yang salah. Dari zaman sekolah sampai detik ini, cuma kamu yang paling aku cinta. Sampai di masa depan pun, kamu satu-satunya.” Jibran menjeda dan meralat, “Kecuali saat kita udah punya anak, pasti prioritas kita saling dibagi buat anak. Tapi percaya, kamu jadi orang kedua setelah mama aku yang megang takhta tertinggi. Makanya aku nawarin kontrak seumur hidup dengan hubungan baru. Hubungan yang resmi, hubungan yang sah di mata Tuhan, dan hubungan yang nggak akan misahin kita kecuali ajal. Kamu mau nikah sama aku, Eila …?”

Puncak akhirnya dituju, menjemput Eila untuk memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Matanya telah merah akibat rasa bahagia yang terlampau menggebu, tapi masih belum memberi jawaban yang Jibran mau.

“Kalau sama aku, nanti makannya bisa mi, bubur, sama pecel ayam. Kamu mau?”

Jibran tertawa pelan, sampai satu jawaban dia layangkan, “Aku mau.”

“Terus aku suruh kamu gulung adonan croissant tiap pagi. Kamu mau juga?”

“Aku selalu mau, Eila. Asalkan kamu juga mau nama kamu jadi muncul di publik setelah kita nikah, apalagi kalau nanti aku jadi balik akting lagi. Tapi jangan khawatir, aku pasti jagain kamu terus. Kamu siap?”

Sejak beberapa bulan terakhir, namanya sering dikaitkan dengan Jibran, bahkan beberapa kali muncul di televisi tiap pacarnya ditanya soal presensi Eila yang masih misterius. Awalnya risi, tapi lama-lama terbiasa dan sudah menjadi risikonya menjadi kekasih dari aktor besar. Maka dengan modal itu, Eila siap untuk melangkah lebih jauh dengan sosoknya yang akan dipublikasi di depan publik.

“Aku selalu siap, Jibran.”

“Berarti kamu mau nikah sama aku?”

Eila mengangguk, melafalkan satu kata yang menyebarkan kelegaan dalam diri Jibran kala mendengarnya. “Mau.”

Akhirnya Jibran bisa bernapas lega mendengar jawaban yang paling dia nantikan sepanjang hubungannya dengan Eila berjalan. Jibran kecup punggung tangan Eila, meraih bibir sang puan dan menciumnya sebagai selebrasi atas lamarannya yang telah diterima.

“Sekarang tinggal tanda tangan kontrak,” ucap Jibran setelah melepaskan ciumannya.

“Tanda tangan gi—” Eila menggantungkan kalimatnya kala Jibran mengeluarkan sebuah cincin bermatakan berlian dari saku celananya.

Jibran sematkan cincin itu di jari manis Eila hingga mempercantik penampilan sang kekasih yang akan selalu menjadi miliknya. Sungguh, kejutan ini amat tidak terduga sebab Eila kira lamaran Jibran hanya cukup dengan lisan. Rupanya pria itu sudah menyiapkan bagian paling penting dari sebuah lamaran, melengkapkan kasih yang Jibran tunjukkan untuk Eila.

“Sekarang kamu udah resmi jadi calon istri aku, Eila.”

Jibran menautkan dahinya dengan dahi Eila yang tiba-tiba berurai air mata, terlalu melankolis mendapatkan siraman kasih sayang sebanyak ini dari pria yang menjadi bagian perjalanan cintanya. Jibran seka tirta yang merenggut senyum kekasihnya, menggantikannya dengan kupu-kupu yang beterbangan di perut melalui ciumannya.

Dengan cincin yang telah melingkar dan keinginan untuk sama-sama mengikrarkan janji suci pernikahan, Jibran Dava Adelard dan Ardania Eila Mahadarsa siap memulai hidup baru yang telah menunggu di depan mata.


Natta menutup pintu rumahnya hati-hati setelah menyaksikan pemandangan yang sudah sering dia temukan, tapi tidak pernah terbiasa sebab rasa iri menambah kuat status jomlonya. Hal itu disaksikan oleh Trian yang mengantar adiknya pulang, membuat sang sulung bingung karena Natta malah kembali keluar.

“Kenapa, Dek? Kok mukanya asem gitu?”

“Kita belum bisa masuk, Kak,” jawab Natta dengan tubuhnya yang mendadak lemas.

“Rumah berantakan? Eila pasti nggak beresin,” terka Trian yang sudah siap mengomel adiknya.

Natta menahan Trian yang akan masuk ke rumah. “Jangan dulu, Kak. Itu Kak Jibran sama Kak Eila lagi sibuk ciuman.”

Trian syok, sampai suara lantangnya menggemparkan gelapnya malam yang seharusnya tenang. “Lagi?! Jibran, Eila, aku nikahin mereka malam ini juga!”


Behind His First Act resmi selesai.

“Jibran ada tanda-tanda mau balik lagi ke dunia hiburan?” Pertanyaan itu dihadiahkan oleh Mia pada Eila yang sedang minum teh bersamanya di rooftop kediaman Adelard. “Tante nggak keberatan dia balik lagi, tapi ada sedikit khawatir. Kamu pasti ngerti maksud Tante.”

Eila manggut-manggut saat dia bisa satu pemikiran dengan Mia. “Selama ini Jibran nggak ngomong apa-apa soal karier, Tante. Setelah promosi filmnya selesai minggu lalu, Jibran enjoy aja sama hidupnya. Dia malah beberapa kali bilang ke saya mau buka usaha kafe, tapi belum ada rencana matang.”

Fakta satu itu tidak Mia ketahui sama sekali, padahal biasanya apa pun yang ingin Jibran rencankan pasti akan dia diskusikan dengan orang tuanya, terlebih Mia.

“Jibran beneran udah cinta banget sama kamu, ya. Sampai yang begini aja nggak bilang ke Tante,” keluh Mia dengan nada bergurau.

Eila tertawa pelan, beruntung tidak tersinggung karena paham Mia tidak bermaksud menyindirnya. “Jibran pasti cerita kalau rencananya udah matang, Tante. Ini ‘kan baru omongan sekilas. Kalau udah fix, pasti Jibran cerita semuanya buat minta saran Tante sama Om Jagad.”

Bila boleh jujur, Mia sangat ingin memiliki anak perempuan setelah melahirkan Jibran. Sayangnya beliau tidak diizinkan hamil untuk kedua kali sebab Jagad takut istrinya kembali menderita saat melahirkan. Jadi setelah mengenal Eila yang memiliki pikiran positif, membuat Mia betah berlama-lama mengobrol dengannya, menganggapnya sebagai putrinya sendiri.

“Kamu sama Jibran ada rencana nikah?”

Eila tersedak dan segera meletakkan cangkir tehnya di atas meja mendengar pertanyaan tidak terduga itu. Mia yang duduk di samping Eila lantas membantunya agar dia bisa tenang. Astaga! Baru pertama kali ada yang bertanya soal rencana pernikahan, jadi wajar bila reaksi Eila sangat tidak pantas dan malah memalukan.

“Maaf ya, Tante.”

“Enggak perlu minta maaf. Tante yang nggak enak bikin kamu kaget gini.”

Eila merasa matanya perih akibat tersedak, tapi beruntung dia bisa tenang lebih cepat dan mampu menjawab pertanyaan Mia agar beliau tidak merasa bersalah. “Belum ada rencana, Tante. Doain aja.”

Jawaban yang klise, tapi efektif bagi Mia yang tidak mau mendesak Jibran dan Eila untuk cepat-cepat menikah. Beliau sangat paham anak muda zaman sekarang banyak yang tidak ingin buru-buru mengikatkan hubungan dalam janji suci pernikahan. Jadi jawaban Eila sudah cukup memuaskannya.

“Tante sih terserah kalian mau nikah kapan,” balas Mia yang ikut santai. “Asalkan pacarannya nggak bablas.”

Eila yang paham maksud Mia seketika tersipu malu, sebab secara tidak langsung menyinggung gaya pacarannya bersama Jibran yang sangat gemar melakukan kontak fisik. Beruntung masih bisa terkendali, jadi tidak bablas seperti yang dilarang Mia.

“Tenang aja, Tante. Saya sama Jibran masih dalam batas wajar.”

Good. Kalau ketahuan bablas, Tante nikahin kalian hari itu juga.”

Masih dengan nada gurauan, tapi tetap terdengar menyeramkan di rungu karena Eila yakin Mia tidak main-main dengan ucapannya. Namun, Eila tidak merasa sepenuhnya khawatir, sebab dia dan Jibran masih memiliki batas sejauh apa hubungan terjalin. Jika ingin melakukan di luar batas itu, mereka harus terikat dan sampai saat ini rencananya belum pasti.

Jika memperbaiki keadaan semudah membalikkan telapak tangan seperti meminta uang atau mendapatkan uang, maka seharusnya para tersangka bisa bebas dengan suapan yang mereka berikan pada pihak-pihak berwenang.

Well, sebenarnya niat itu ada, negosiasi juga sempat dilakukan Rakha agar dia, dua anaknya, dan orang-orangnya bisa bebas dari segala tuduhan sebelum ketuk palu dilaksanakan. Namun, negosiasi berhasil digagalkan oleh Jibran dan Timon yang sudah lebih dulu beraksi agar pihak berwenang tidak terbuai dengan segala suapan, tidak lupa dibantu oleh para korban yang sudah mengembalikan uang suapan Rakha.

Sebagai orang yang pernah curang, langkah Rakha dan orang-orangnya sudah terbaca sejak dini. Maka dengan cara cepat pula Jibran usahakan semua keadaan tetap berjalan menuju penghakiman tanpa ada kebebasan sebelum waktunya. Jibran yakin Rakha dan dua anaknya bisa mendekam di sel sebentar saja, mungkin satu atau dua tahun lebih cepat dari seharusnya.

Namun, itu jauh lebih baik dibandingkan tidak sama sekali. Setidaknya meninggalkan gemerlapnya dunia hiburan membuat Rakha, Aiden, dan Kalani bisa introspeksi diri—itu pun bila mereka akhirnya sadar dengan kesalahan, tidak digelapkan oleh gengsi dan kekuasaan.

Enam bulan berlalu dan kekuasaan yang Rakha miliki runtuh setelah resmi memasuki Hotel Borneo bersama kedua anak dan orang-orangnya. Di saat bersamaan pula, film Perfect Wife bisa kembali ditayangkan berkat usaha Timon dan petisi dari para penggemar yang tetap ingin menonton film tersebut. Tentu dengan konsekuensi film itu tidak akan masuk ke jajaran nominasi penghargaan apa pun dengan segala kontroversinya, serta hanya diizinkan tayang selama 2 minggu.

Meski begitu, izin tayang tetap menjadi bayaran setimpal untuk penantian penonton yang sangat ingin melihat aksi Jibran dengan karakternya yang berbeda. Maka di sinilah Jibran sekarang, di bioskop sebuah mal bersama para pemain lain untuk melakukan roadshow dan nonton bersama sebagai bagian dari kejutan.

Menjelang film dimulai dan penonton telah duduk di kursi masing-masing, Jibran masuk dan mengejutkan seluruh penonton yang heboh karena tidak menyangka akan didatangi oleh jajaran pemain film Perfect Wife.

“Halo,” sapa Jibran seraya melambaikan tangannya yang dibalas dengan heboh, khususnya para kaum hawa yang telah menyiapkan ponsel untuk mengabadikan momen langka tersebut. “Gimana kabar kalian hari ini?”

“Baik!”

Good. Aku seneng banget karena semuanya dalam keadaan baik dan makasih banget udah nyempetin waktu buat nonton film Perfect Wife, ya. Sebelumnya aku dan jajaran pemain lain minta maaf atas keterlambatan penayangan filmnya karena masalah yang terjadi, tapi kami berharap banget kalian bisa enjoy dengan cerita yang dikasih.”

“Pasti enjoy!”

“Aku udah nggak sabar, Kak.”

“Kak Jibran ganteng banget, ya ampun!”

“Kak, please marry me.”

“Filmnya pasti bagus!”

Beragam respons dari para penonton memecah kesunyian teater, berusaha mencuri perhatian sang aktor utama yang jadi pusat perhatian dengan visual dan pesona ajaibnya yang memikat. Saat jajaran pemain lain bicara pun responsnya tidak kalah heboh, tapi tidak dapat dipungkiri atensi yang Jibran terima jauh lebih banyak.

Sesi foto dilakukan bersama para penonton, lalu dilanjutkan dengan menonton bersama. Jajaran pemain duduk di row G sambil harap-harap cemas karena ini hari pertama film Perfect Wife ditayangkan. Beruntung kecemasan itu luntur berkat reaksi penonton yang tidak dilebih-lebihkan di tiap adegannya, sebab secara alami para penonton memuji dalam diam dari segi alur dan akting.

Tentu ada yang ogah melihat wajah Kalani, apalagi di adegan ciuman yang dinanti, tapi semua ditutup oleh rasa puas setelah film selesai dan para penonton berhamburan keluar. Jajaran pemain yang ikut keluar dari bioskop sangat senang dengan reaksi yang mereka dapatkan, tapi kesenangan itu diganti oleh sedikit kericuhan karena kedatangan teman-teman media yang langsung menyerbu mereka untuk diwawancara secara terpisah.

“Jibran, gimana perasaannya pas tahu film Perfect Wife bisa tayang?” tanya salah satu wartawan dan menyerahkan micnya pada sang aktor utama.

“Jelas seneng, ya. Secara filmnya udah ditunggu sama banyak penggemar, sampai-sampai ada petisi juga dari mereka. Terus ceritanya pun bagus dan layak untuk ditonton.”

“Tapi sedih nggak saat tahu filmnya nggak bisa masuk nominasi apa pun dan cuma tayang sebentar?”

“Aku nggak ngerasa sedih, secara itu udah konsekuensi yang harus diambil. Selama penonton bisa enjoy sama filmnya, semua staf dan pemain udah seneng,” jawab Jibran tenang, padahal nyatanya dia gugup karena sudah lama tidak berada di depan kamera dan akan dipublikasi di televisi sampai media online.

“Kalau boleh tahu, keadaannya Eila gimana, Jibran?”

“Iya, gosipnya dia pacar kamu. Boleh kami tahu?”

“Katanya dia punya usaha croffle. Apa itu bener, Jibran?”

Berawal dari satu wartawan, sekarang jadi semua wartawan yang mengelilinginya menanyakan hal serupa. Gara-gara cocoklogi dari penggemar—yang tidak salah juga—Jibran harus siap dihadapkan dengan segala pertanyaan terkait pacarnya yang dia tutup dari publik.

“Dia baik banget, kok. Makasih ya udah tanya.” Dari jawaban itu, secara tidak langsung Jibran mengonfirmasi banyaknya pertanyaan yang dilayangkan untuknya. Meski begitu, masih banyak wartawan yang tidak puas dan saling berebut untuk memberikan pertanyaan terkait Eila.

“Apa sekarang dia di sini, Jibran?”

Dari sekian banyaknya pertanyaan, mempertanyakan keberadaan Eila rasanya seperti tebak-tebak berhadiah karena wanita itu memang ada di sini. Hanya saja jauh dari kerumunan agar kekasihnya tidak terlalu kelelahan.

Berusaha tetap tenang menghadapi segala pertanyaan agar tidak dijebak oleh pertanyaan lain, Jibran akhirnya menjawab, “Ada atau nggak itu bisa diatur, ya. Makasih, temen-temen. Have a great day.”

Jibran bergegas pergi dari kerumunan yang masih mencoba bertanya terkait Eila, tapi beruntung pria itu bisa bebas berkat bantuan Natta yang menjadi asistennya sepanjang roadshow mendatang. Jibran dan Natta bergegas pergi ke area parkir, lalu masuk ke van hitam yang sudah dinanti oleh dua orang di sana; Trian dan Eila.

“Aduh, kayaknya capek banget di dalam, ya,” ucap Eila sembari membantu menyeka keringat di dahi Jibran menggunakan tisu, lalu menyerahkan sebotol air mineral pada kekasihnya dan Natta yang duduk di depan.

Trian yang menyetir bertanya, “Gimana di dalam?”

“Seru banget. Orang-orang suka sama filmnya. Banyak komentar bagus, jadi aku seneng banget bisa nobar gini,” jawab Jibran dengan napas sedikit terengah, tapi cukup lega karena akhirnya dia bisa pulang.

“Tadi Kak Eila ditanyain wartawan mulu, tuh,” adu Natta yang gatal ingin cerita. “Tapi Kak Jibran jawabnya cuma sedikit, takut keceplosan dan bilang ikut kayaknya.”

Eila tertawa antusias mendengar cerita itu. “Oh, ya?”

Jibran mengangguk membenarkan. “Makanya aku keringetan, Eila. Bukan karena nonton, tapi karena wartawan ngejar-ngejar. Ini aja tadi agak lari. Hasil wawancaranya nanti kamu lihat aja di TV atau sosmed, pasti ada.”

Trian terbahak mendengar cerita yang tidak familier di telinganya itu. “Baru kali ini kamu lari dari wartawan. Udah nggak biasa, ya?”

“Banget. Entah aku yang nambah tua atau aku udah nggak cocok lagi di tempat rame.”

Eila terkekeh pelan saat Jibran menyinggung usianya yang sebenarnya masih muda, apalagi dengan penampilannya yang masih cocok berperan sebagai anak kuliahan. “Kamu nggak tua, Jibran.”

Jibran manggut-manggut dan mencium kedua pipi Eila tanpa peduli dua orang di depan. “Iya, kalau di deket kamu rasanya muda terus.”

“Woy! Jangan bermesraan di dalam mobil, ya. Mau aku turunin?” tegur Trian setengah mengancam.

Lain sekali dengan Natta yang malah tersenyum gembira bisa melihat kemesraan sejoli dari dekat. Tentu dia juga geli, tapi jauh lebih senang karena Jibran dan Eila bisa bersama kembali.

“Jibran.”

Sang aktris yang memanggil menghamburkan dirinya dalam pelukan Jibran dengan keadaan tangannya diborgol agar tidak ke mana-mana. Kalani Ningrum Rakha, mencari bantuan dari pria yang sudah sangat dia harapkan kunjungannya. Jibran menepuk pundak Kalani seadanya, lalu membawanya duduk berhadapan di ruang interogasi tempat mereka berjumpa dan diawasi oleh penyidik di luar.

Setelah mereka berhadapan, Jibran amati paras Kalani untuk tahu bagaimana keadaannya selama ditahan dan menunggu diadili. Wanita itu terlihat sehat, masih bisa memoles sedikit riasan di wajah, bahkan tadi rambutnya pun wangi seperti tidak luput dari perawatan. Kalani tidak seperti sedang ditahan, bahkan borgol di tangannya itu bagaikan aksesoris biasa untuk mempercantik penampilan.

“Aku bakal keluar dari sini.”

Belum ada lima menit bertemu, rasa percaya diri Kalani yang diceritakan oleh Trian dan Timon sudah muncul, seakan sengaja ingin menunjukkannya secara langsung di depan Jibran.

“Aku bakal berkarier lagi, nggak masalah walaupun cuma peran kecil di sinetron atau FTV. Toh, nanti karier aku bakal besar lagi dan bisa main di project yang bagus. Aku juga bisa dapat tawaran jadi BA sana-sini, jadi semuanya bakal aman.”

“Kalani, belum tentu kamu bakal bebas dalam satu atau dua tahun. Kalau bisa pun, semuanya bakal beda.”

Senyum yang terpatri di wajah Kalani perlahan memudar, digantikan oleh mimik sinis menyeramkan dengan semangat negatif yang menggebu. “Aku bakal balik lagi ke industri hiburan dan nggak ada yang bisa berhentiin aku sekarang. Enggak peduli pake cara baik atau buruk, aku bakal muncul lagi di depan publik.”

Ketegasan Kalani membuat Jibran miris karena kegigihan sang aktris, tanpa peduli meskipun dengan cara kotor. Jibran mengira Kalani akan bertaubat dan introspeksi atas perbuatannya, tapi rupanya wanita itu makin digelapkan oleh popularitas yang tidak seindah di dalam kamera.

“Seandainya kamu nggak lakuin itu ke Eila, kamu nggak akan ada di sini untuk nanggung kesalahan sendiri.”

Saat nama itu meluncur dari birai Jibran, Kalani makin digelapkan dendam sebab masih menganggap Eila telah merebut pasangannya. “Dia pantes dapetin itu, Jibran,” ucap Kalani sinis. “Dia udah rebut kamu dari aku, ngerasa sok cantik dan hebat, jadi harusnya dia nggak pernah bangun supaya kalian nggak sama-sama.”

Jibran mengetatkan rahangnya mendengar cacian yang Kalani layangkan untuk Eila, membuat mood-nya jadi buruk dan tujuannya datang secara baik-baik harus hancur akibat ulah Kalani. Jibran menunduk sejenak, menatap meja hitam yang tampak kelam, lalu kembali memusatkan pandang pada Kalani yang belum melunak.

Dari situlah Jibran memilih menyudahi pertemuan lebih cepat, memutuskan segala ikatan dan komunikasi yang masih ingin dia jalin dengan baik, dan berdoa agar Kalani serta keluarganya mau sadar setelah mendekam di penjara. Jibran berdiri tanpa menaruh minat lagi untuk menjadi baik-baik, sebab semuanya sudah harus selesai.

“Aku ke sini mau tahu gimana kabar kamu, Kalani,” katanya menutup pertemuan pertama dan terakhirnya dengan Kalani secara pribadi. “Aku pikir kamu bakal berubah, tapi ternyata makin parah. Semoga kamu berhenti berharap aku bakal balik ke kamu, Kalani, karena sampai kapan pun nggak akan begitu. Aku cuma mau sama Eila. Makasih, Kalani. Sehat-sehat di sini.”

Tungkai sang pria melangkah keluar ruang interogasi, meninggalkan Kalani dengan sejuta emosi yang menumpuk hingg wajahnya merah padam. Alih-alih jadi menyadari kesalahannya, Kalani tetap dengan kegigihan yang sama; namanya akan bersinar di industri hiburan.

“Om Jibran nggak boleh gangguin Tante Eila! Nanti sakit lagi!” Gilang, putra sulung Trian, menarik tangan Jibran agar menjauh dari Eila yang sedang sibuk menyiapkan teh.

Sebenarnya Jibran tidak mengganggu, hanya memastikan Eila mampu berdiri tegak dan membantunya berjalan agar tidak terjadi sesuatu yang buruk. Namun, dasarnya Gilang ini berlebihan seperti Trian—bahkan ikut sensitif tiap kali melihat Jibran—jadi menganggap sang aktor tengah mengganggu tantenya.

“Anak kecil, jangan aneh-aneh. Om cuma jagain pacar kesayangan biar nggak kenapa-napa,” balas Jibran yang tangannya tidak berhenti ditarik saat dia enggan menyingkir.

“Aku nggak ngerti pacar apa, tapi aku nggak mau Tante Eila dideketin Om Jibran jelek.”

Bukannya menghentikan perdebatan antara pria dewasa dan anak kecil di dekatnya, Eila malah tertawa sembari mengaduk gula agar larut dalam tehnya. “Kalian lucu banget. Udah cocok jadi temen.”

“Enggak mau!”

Eila tersentak mendengar Jibran dan Gilang berseru bersamaan sebagai penolakan menjadi kawan. Matanya sampai mengerjap beberapa kali sembari menatap dua orang di dekatnya secara bergantian. Bukannya tersinggung, Eila malah makin gemas, khususnya pada Jibran yang menunjukkan sisi lainnya saat di dekat Gilang.

Teringat waktu itu Gilang mengaku sebal pada Jibran, sekarang ucapannya terbukti benar dan terlihat juga Jibran kurang menyukai anak dari manajernya yang sedikit menyebalkan kala bicara. Anehnya, sama seperti sang aktor dan manajer, Jibran dan Gilang juga menjadi kombinasi yang pas ketika disatukan.

“Tante, awas jatuh. Om Jibran nggak bisa bantuin Tante, tuh,” ucap Gilang menjadi provokator saat Eila berjalan menuju ruang keluarga sembari membawa secangkir teh yang tidak lupa dibantu Jibran.

“Kamu yang jangan ngalangin jalan, Gil.”

“Om aja, tuh. Aku bantuin Tante Eila,” balas Gilang tidak mau mengalah, yang sebenarnya hanya berjalan di samping Eila demi memastikan tantenya berjalan dengan baik.

Begitu tiba di ruang keluarga, Thalia—istri Trian—muncul sembari menggendong bayinya dan menghampiri sang putra agar tidak mengganggu sejoli yang terlihat tidak sabar berduaan. “Nak, kita pulang. Taksinya udah nungguin di depan rumah.”

“Oh?” Eila otomatis mendekati Thalia yang sejak kemarin menginap di rumah untuk menjaganya bersama Trian—Jibran tidak masuk hitungan karena sejak hari pertama Eila pulang, pria itu sudah di rumahnya. “Mbak, nggak apa-apa naik taksi online? Tadi Jibran udah mau anterin.”

Jibran menyahut saat namanya disinggung, “Iya, Mbak. Biar aman kalau sama saya.”

Thalia menggeleng sembari menyalami adik iparnya. “Enggak usah, Eila. Sayang taksinya kalau di-cancel. Kamu nggak bisa ditinggal sendiri kalau Jibran anter aku sama anak-anak. Jadi, mending kalian berduaan aja sampai Natta pulang.”

Eila yang paham lantas mengangguk karena tidak bisa mendesak Thalia untuk menerima bantuan Jibran. Tanpa mau basa-basi lebih lama, Jibran dan Eila mengantarkan Thalia serta kedua anaknya hingga ke depan rumah yang telah dinanti oleh taksi online pesanannya.

“Tante Eila, awas Om Jibran ganggu.” Peringatan itu disampaikan oleh Gilang sebelum masuk ke mobil, hanya dibalas anggukan oleh Eila dan juluran lidah jail dari Jibran yang merasa menang.

Sekarang Jibran dan Eila telah duduk berdampingan di ruang keluarga, menikmati waktu sore berdua sembari menunggu Natta pulang kuliah. Saat keheningan terjalin khidmat dengan Eila yang menikmati tehnya dan Jibran memandangi serius wanita kesayangannya, salah satu dari mereka memecah keheningan menjadi obrolan serius untuk pertama kalinya dalam hari ini.

“Orang yang nusuk kamu udah ditangkap, Eila. Dia udah ngaku sebagai pelaku yang disewa sama Kalani.”

Informasi baik itu diterima dengan rungu yang tajam oleh Eila selaku korban. “Terus kasusnya udah berjalan sejauh apa?” tanya Eila yang ingin mengorek lebih dalam, padahal sebelumnya dia tidak ingin memusingkan masalah ini selama masa penyembuhan.

“Kalani udah jelas dengan kasus rencana pembunuhan, terus Pak Rakha sama Aiden dengan kasus penyuapan dan ancaman. Semua saksi, termasuk aku, udah bicara soal mereka. Orang CelebStat juga ikut andil walaupun skandal soal aku nggak dirilis sama sekali. Terus kamu tahu portal berita Neo News? Karena ada bukti Aiden bayar mereka untuk bikin berita soal aku sama Kalani, mereka mengakui tapi tetep aktif kayak nggak ada apa-apa dan banyak orang masih percaya. Untuk Mister Timon sendiri lebih banyak andil sama perjodohan yang bukan poin masalah ini, jadi beliau aman. Terus inti dari semuanya, mereka nggak akan bisa bebas karena udah nggak ada yang mau percaya mereka lagi.”

Pemaparan itu membuat Eila lega karena kasus yang berlanjut akan memberikan hukuman jera pada tiap pelaku. “Terus keadaan mereka gimana selama ditahan?”

“Aku pikir Kalani bakal mohon-mohon atau minta dikasihani, tapi dia malah makin sombong kayak papa sama kakaknya. Sombongnya kayak yang yakin dia bakal cepet-cepet bebas, terus dia bisa punya karier yang bagus lagi, bahkan percaya diri banget bisa sama aku lagi.”

Eila tertawa sembari mengernyitkan dahi. “Dia begitu?”

Jibran mengangguk. “Trian sama Mister Timon saksinya.”

Baiklah, ini sangat jauh dari ekspektasi Eila, sebab dia mengira Kalani dan keluarganya akan bertobat setelah perbuatannya diketahui publik. Sayangnya perkiraan itu salah karena Kalani masih menjadi orang yang paling percaya diri dibandingkan siapa pun, tapi Eila bisa mengerti sebab watak seseorang yang angkuh dan gengsian pasti sulit menerima kenyataan saat persembunyiannya terbongkar.

Namun, seangkuh apa pun, jika sudah kalah maka watak itulah yang tersisa untuk mereka tanpa mampu memberi penyelamatan. Menolak membicarakan masalah yang pelik lagi, Eila memilih membuka topik lain yang tidak kalah penting.

“Aku nggak ada maksud apa-apa, tapi mau ingetin kita belum balikan.”

Jibran yang sibuk mencium pipi Eila kontan menjauh saat disadarkan oleh fakta satu itu. “Terus? Kayaknya tanpa ada kata balikan, kita udah balikan. Kita saling cinta, saling sayang, bahkan saling kangen.”

Eila tidak membantah yang satu itu, tapi dia pun punya alasan kuat untuk argumennya. “Iya, tapi kalau orang-orang nanya hubungan kita apa, takutnya bikin kamu bingung. Kamu pasti butuh kejelasan.”

Jibran membetulkan posisi duduknya agar lebih berjarak dengan Eila. “Oke, kalau gitu kita perjelas. Kamu mau jadi pacar aku lagi ‘kan, Eila? Atau jadi istri aja, gimana?”

Eila terbahak sembari memegang bekas lukanya yang masih sedikit ngilu kala dia tertawa. “Kamu semangat banget, Jibran.”

“Jelas semangat, soalnya orang tua aku udah restuin kita, Eila.”

“Tapi Trian belum restuin kita, Jibran. Dia bakal marah-marah lihat kita bareng terus.”

Jibran mendesah berat mendengar nama manajernya yang sering labil; ada masa setuju, tapi lebih banyak masa tidak setuju. “Itu bisa diatur. Sekarang yang pentingnya kamu mau atau mau?”

Eila lagi-lagi tertawa, lalu berhenti untuk menyuguhkan satu kecupan di bibir Jibran yang sudah gemas menginginkan kepastian saat dibahas. “Aku punya bekas luka yang jelek banget. Pasti laki-laki ilfeel lihatnya. Kamu bakal terima?”

“Kamu tetep cantik dengan kacamata yang tepat, Eila,” Jibran rapikan anak rambut Eila yang menutupi sisi wajahnya, “dan aku kacamatanya.”

Gombalan yang aneh, tapi lebih aneh lagi saat Eila malah salah tingkah dibuatnya. Jibran kembali merapatkan posisi, meraih bibir Eila yang tadi sudah menggodanya. Sebenarnya tanpa validasi masing-masing, Jibran dan Eila sudah mengikrarkan janji untuk kembali. Namun, dengan adanya kepastian, hubungan mereka jadi jauh lebih abadi.

Di sela-sela ciumannya Jibran berkata, “I love you, My Perfect Wife.”

Eila menahan dada Jibran hingga ciuman mereka terlepas. “Belum, Jibran.”

“Tapi hampir. Kamu mau jadi istri aku yang punya bekas luka jelek dan susah hilang, ‘kan?”

Tangan Eila mengelus biceps Jibran yang ditutup oleh kaus lengan panjangnya. “Kamu selalu sempurna bagi banyak kacamata yang tepat,” Eila kecup dahi sang pria lalu melanjutkan, “dan aku salah satu kacamatanya.”

“Kamu semalaman di sini?”

Ada sepuluh menit Jibran memeluk Eila sampai puas, kini mereka sudah berada di posisi masing-masing sambil berpegangan erat.

Jibran menggeleng dan menjawab pertanyaan Eila, “Aku dilarang masuk karena udah bukan jam besuk, jadi nunggu di mobil sampai jam besuk dibuka. Sekarang aku gantian sama mama yang ternyata hampir tiap hari jagain kamu.”

Eila tersenyum membenarkan. “Tante Mia sama Om Jagad gantian dan bilang wakilin kamu, makanya mereka sering ke sini buat jagain aku. Mereka juga ngabarin gimana perkembangan rencana kamu sama Mister Timon. Makanya sekarang aku mau diceritain gimana kejadian semalam.”

“Semuanya lancar berkat bantuan kamu, Eila. Kemungkinan Pak Rakha, Kalani, sama Aiden lolos itu sedikit karena udah ada saksi. Itu aja yang bisa aku ceritain.”

“Sisanya?” Eila masih belum puas.

Jibran mengecup punggung tangan Eila dan menambahkan, “Sisanya aku mau berduaan sama kamu tanpa mikirin yang jelek-jelek. Boleh?”

Tanpa bersuara, Eila menyanggupi keinginan Jibran karena pria itu butuh istirahat setelah perlawanan yang cukup panjang untuk menguak kebusukan orang-orang sekitar. Eila pun tidak mau terlalu memusingkan dahulu masalah yang hampir selesai, sebab ingin mencari kebahagiaan setelah kembali bertemu dengan sang pujaan.

“Kenapa orang-orang tega nggak ngasih tahu kabar kamu ke aku? Tiap kali aku nanyain kabar, semuanya pasti jawab keadaan kamu masih sama alias belum bangun. Aku udah sedih-sedih, tapi ternyata kamunya udah sehat begini.”

“Aku yang minta, Jibran. Semuanya juga setuju, apalagi ayah kamu yang pengen anak tunggalnya fokus. Plus aku belum bener-bener sehat. Besok udah pulang, tapi aku ngerasa masih berat gitu buat ngapa-ngapain. Jadi, aku belum sepenuhnya bebas.”

“Terus waktu aku telepon Natta dan ngirim foto kemarin, kamu juga tahu, dong?”

Eila tersenyum jail dan mengaku, “Aku denger kamu ngomong sampai ikut nangis dan itu susah banget, tahu! Perut aku sampai sakit gara-gara nahan nangis. Belum lagi aku harus nahan teriak pas kamu ngirim foto seganteng itu ke Natta. Rasanya nyiksa.”

“Salah sendiri nggak bilang ke aku udah sadar.”

Eila melotot. “Kamu mau nyalahin aku?”

Skakmat!

Jibran kalah telak saat perempuan seperti Eila memegang kunci kendali agar sang pria tidak ngotot. Jibran otomatis melunak dan mencari kata lain untuk tidak menyalahkan Eila yang baru dia temui hari ini.

“Pokoknya jangan bohong lagi, oke? Terus jangan bilang kita bakal pisah, soalnya kalau kamu bilang begitu pasti kejadian. Sama … kamu penyembuhannya di rumah aku aj—oh, nggak. Aku tinggal di rumah kamu biar bisa ngawasin. Sekarang aku nganggur, jadi free sama kamu terus.”

Eila tertawa mendengar berbagai keluhan Jibran, tapi hanya sesaat karena keburu bungkam akibat ngilu pada luka tusuknya. Jibran otomatis berdiri dan menenangkan Eila yang merintih kecil, jadi merasa bersalah sudah banyak bicara tanpa memikirkan kondisi sang kekasih.

“Sorry,” sesal Jibran.

“Enggak apa-apa. Malah aku seneng bisa ketawa. Di sini lebih banyak suramnya.”

Rasanya senang bisa menghibur seseorang, terlebih bagi Jibran yang menganggap dirinya sendiri amat membosankan. Lain saat bersama Eila, dia tidak pernah merasa salah, sebab wanita itu bagaikan kacamata yang tepat hingga Jibran merasa menemukan jati dirinya.

Jibran kembali membungkuk dan menghadiahkan kecupan di dahi Eila yang bibirnya melengkung tersenyum. Jibran lakukan beberapa kali sampai mata Eila terpejam untuk menikmati sapuan bibir prianya yang lembut. Di tengah kemesraan yang baru permulaan, tiba-tiba seseorang yang sudah giliran datang masuk tanpa permisi dan bicara histeris.

“Kak Jibran, Kak Eila, kalian ngapain?!”

Pernah tidur panjang dengan penyebab yang kurang menyenangkan, membuat Eila takut jika dia tidak akan bisa bangun lagi dalam waktu lama—mungkin selamanya—saat waktu tidurnya tiba. Eila bisa saja menolak untuk tidur, tapi obat yang diresepkan untuknya memaksa wanita itu untuk terlelap tanpa diganggu. Ketakutan Eila akan hilang saat dia bangun dan melihat betapa membosankannya pemandangan rumah sakit yang menyedihkan di matanya, tapi kembali pada pola yang sama alias takut menjelang waktu tidur.

Omong-omong, bila boleh diceritakan sedikit bagaimana Eila akhirnya bangun, orang pertama yang dia lihat adalah Mia—mama Jibran. Di situ Eila kira dia masih bermimpi karena tidak mungkin Mia datang secara nyata. Namun, kala Mia heboh dan beberapa orang berpakaian putih mulai mengelilinginya untuk memeriksa keadaan terkini, saat itulah Eila yakin bahwa dia benar-benar sudah kembali ke realitas. Masih di hari yang sama, Eila diawasi kondisinya, terlebih memastikan apakah dia sudah mampu berinteraksi dengan orang-orang sekitar atau belum.

Sampai menjelang malam, pertanyaan pertama sang puan ajukan pada adiknya yang giliran menjaga yaitu, “Jibran nggak apa-apa?”

Setelah sang kakak mampu bersuara, Natta tidak langsung merespons dan malah menangis karena bersyukur kondisi Eila kian membaik. Setelah berhenti menangis, barulah Natta menjelaskan bagaimana kondisi Jibran selama menjaga Eila setiap malamnya. Natta juga memberi tahu rencana Jibran bersama Trian dan Timon secara lengkap, yang sedikit demi sedikit bisa ditangkap oleh Eila, tidak lupa mengabarkan bahwa Jibran tidak akan datang lagi ke rumah sakit dalam waktu dekat. Selain karena masa promosi akan dimulai, Jibran juga diawasi secara diam-diam oleh orang kepercayaan Rakha dan Aiden.

Dari situlah Eila berpesan melalui Natta untuk melarang siapa pun memberi tahu soal kondisinya pada Jibran. Alasannya jelas, Eila ingin Jibran fokus pada pekerjaan sampai tuntas. Sebab Eila yakin, jika Jibran tahu sejak awal, pria itu tidak akan fokus dan bisa mondar-mandir ke rumah sakit dan lokasi promosi. Eila juga meminta penyelidikan soal kasusnya diusut sampai tuntas dan kondisinya tetap dirahasiakan dari orang-orang yang tidak perlu tahu.

Sampai akhirnya ratusan orang di teater, termasuk Jibran dan dua orang yang telah ditangkap, tahu bahwa wanita itu telah kembali dan ikut melawan kecurangan di balik layarnya sendiri. Semalam Eila tidak tahu apa yang terjadi selama premiere dan screening karena telah tidur, jadi saat dia perlahan bangun untuk menghadapi realitas yang menanti, wanita itu telah siap mendengar rangkaian kejutan dari sang adik yang pasti menyimak kabar dari Trian di lokasi.

Begitu matanya sepenuhnya terbuka, hal pertama yang dia lihat hanyalah langit-langit warna putih menyedihkan dan berharap bisa diganti warna lain untuk mencerahkan paginya. Niatnya ingin memanggil Natta atau siapa pun yang ada di sana untuk memberinya minum, terlebih ketika dia mencium aroma santapan pagi dari rumah sakit yang kalau boleh jujur tidak terlalu sedap, tapi minimal bisa memuaskan perutnya. Saat menoleh ke samping kanannya, Eila tidak menemukan orang yang dimaksud. Bukan karena tidak ada siapa-siapa bersamanya, hanya tidak menyangka ada orang lain yang jauh dari dugaannya.

Ya, Jibran Dava Adelard. Dia tengah duduk dengan mata memandang ke arah Eila yang dipenuhi genangan air di pelupuknya, tersenyum tipis seolah tidak percaya bahwa sosok yang sebelumnya hanya mampu berbaring kini sudah hadir kembali. Jibran masih mengenakan jas kemarin yang fotonya Eila lihat, hanya saja tidak rapi dan rambutnya dibiarkan ikut berantakan, sama seperti kondisi hatinya yang kacau.

Eila membalas senyum itu dan berkata, “Boleh tolong ambilin aku air? Aku haus.”

“Oh, iya,” balas Jibran setengah terisak.

Dia bangkit dari posisinya, mengambil sebotol air dari meja, lalu kembali dan membantu menaikkan sandaran brankar agar Eila bisa duduk lebih tegak untuk minum.

“Kamu jangan nangis gitu, dong. Aku jadi pengen nangis,” ucap Eila setelah menyegarkan tenggorokannya dengan minum, tidak lupa menyeka air mata Jibran yang gagal ditahan karena masih tidak percaya cintanya telah sadar.

Jibran tertawa kecut sembari ikut menyeka air matanya dan menarik menjauh botol air yang telah dihabiskan setengah oleh Eila. “Ini aku nggak lagi mimpi ‘kan, ya?”

“Justru harusnya aku yang nanya apa ini mimpi atau bukan. Soalnya aku jadi nggak bisa bedain mana mimpi sama mana yang nyata.”

Eila tidak berlebihan, sebab beberapa menit yang lalu dia sungguh-sungguh tidak dapat membedakan mana realitas dan mimpinya. Baru ketika dia merasakan sedikit ngilu pada perutnya, Eila percaya dia telah sepenuhnya sadar dan melihat sosok nyata seorang Jibran. Pria itu masih berdiri di samping Eila dengan tangan sedikit terangkat, ingin memeluknya tapi ragu karena takut menyakiti Eila.

Paham apa yang diinginkan, Eila memajukan tubuhnya sedikit agar lebih dekat dengan Jibran seraya berkata, “Kamu boleh peluk kalau mau.”

Kala izin telah mengudara, Jibran sedikit membungkuk dan memeluk Eila yang menyambutnya dengan sukacita. Bukan saja sebagai selebrasi atas kemenangan melawan musuh, tapi sebagai pelepas rindu yang sebelumnya jadi pilu.

Eila pejamkan mata, bisa merasakan tetesan air yang membasahi bajunya sebab Jibran lagi-lagi gagal menahan tangis. Eila biarkan pria itu meluapkan segalanya, sama seperti dia yang belum sanggup berkata-kata dan hanya diam sembari menikmati pelukan yang paling Eila tunggu kedatangannya.

Pernah berpisah, bersatu, lalu berpisah lagi sampai takut ditinggal selamanya, Jibran kembali bersama tanpa ada yang bisa memisahkan.