Bacanya pelan-pelan biar nikmatin alurnya. Enjoy ^^

Jibran Dava Adelard turun dari van yang membawanya menuju stasiun televisi tempat dia akan menghadiri sebuah talk show secara live. Begitu turun, Jibran langsung diserbu oleh wartawan dan penggemar yang telah menantikan kehadirannya. Wartawan yang ingin tahu bagaimana kabar Jibran yang sudah dua bulan menikah, serta penggemar yang ingin menonton secara gratis aktor kesukaan mereka sebelum memulai jadwal kerja.
Seperti biasa, Jibran ditemani oleh manajer dan kakak iparnya, Trian, yang harus bisa menghalau wartawan agar tidak mengerubuni Jibran bagaikan gula dan mereka sebagai semutnya. Di tengah usaha Trian, Jibran tetap profesional di depan kamera yang merekamnya. Toh, pertanyaan yang mengudara di telinganya masih ramah; menanyakan seputar pernikahannya dan mengapa sang istri tidak pernah dibawa setiap Jibran memiliki jadwal.
“Jibran, ada rencana bulan madu?” tanya salah satu wartawan yang mengajukan pertanyaan berbeda dari wartawan lain.
Pertanyaan itu dijawab antusias oleh Jibran, “Buat sekarang masih belum ada, jadi kami enjoy aja di rumah.”
“Terus rencananya mau punya berapa momongan?”
Satu lagi pertanyaan menarik yang jarang ditanyakan oleh wartawan, menambah antusiasme Jibran saat memberikan jawaban, “Itu gimana maunya istri saya dan dikasihnya.”
Jibran lambaikan tangannya pada para penggemar yang tidak berhenti menyorakkan namanya. Menebar senyum manis pada mereka yang selalu ada mendukung Jibran meski telah menjadi suami orang.
“Boleh tahu kenapa istrinya nggak pernah dibawa setiap kamu ada schedule gini?”
Jibran menahan tungkainya setibanya di depan gedung stasiun televisi, menatap satu wartawan perempuan yang mengajukan pertanyaan, baru menatap yang lain bergantian.
“Istri saya juga punya kerjaan, jadi nggak mungkin dia nemenin saya tiap ada schedule. Dia baru punya pegawai beberapa bulan terakhir di tokonya, tapi tetep masih harus ngawasin karena semuanya masih tahap belajar buat sesuai sama keinginan dia. Udah ya, Semua. Makasih udah mau ketemu.”
Jibran melambaikan tangannya untuk terakhir kali, lalu segera masuk ke gedung stasiun televisi yang segera dihalau oleh penjaga sebelum ada wartawan atau penggemar tidak diundang menyusup.
Jibran diarahkan ke lantai tiga tempat studio talk show diadakan sekitar satu jam lagi, lalu masuk ke ruang tunggu untuk guest star di mana sudah ada make up artist yang akan meriasnya sedikit sebelum direkam oleh kamera. Masih ada waktu yang cukup panjang sebelum talk show dimulai, jadi Jibran menyempatkan diri untuk menghubungi sang istri di tokonya saat dia tengah dirias.
“Pasti kamu udah nyampe,” ucap Eila setelah panggilan telepon tersambung. “Makanya hubungin aku.”
Jibran tertawa pelan sembari menatap pantulan dirinya di cermin. “Aku lagi dirias. Karena masih lama, jadi aku nyempetin telepon kamu.”
“See? Aku udah bilang kamu bakal nyampe cepet banget. Sekarang nunggunya jadi lama, deh.”
“It’s okay. Mendingan nunggu daripada ditunggu. Apalagi ini live, jadi nggak boleh sampai telat.”
“Kalau gitu jangan lama-lama teleponnya, biar kamu nggak lupa waktu.”
Jibran terbahak, membuat MUA perempuan yang tengah meriasnya sedikit tersentak. “Maaf, Mbak,” ucap Jibran karena sudah mengejutkannya.
Di seberang sana giliran Eila yang tertawa mendengar permintaan maaf suaminya. “Cieee, siapa, tuh?” goda Eila.
“MUA. Aku nggak sengaja ngagetin mbaknya.”
“Kan! Mending udahan dulu, ya. Aku juga harus urus order lagi. Karyawan sini kalau nggak diawasin takutnya salah masukin orderan.”
Jibran manggut-manggut dan menuruti usul Eila dengan enggan karena tidak ingin mengganggu. Ditambah Jibran pun takut dia jadi lupa waktu kalau sudah mengobrol dengan istrinya di sela-sela bekerja begini. Bisa-bisa tanpa sadar sudah menuju 10 menit live dimulai.
“Semangat kerjanya ya, Sayang. Di sini aku semangat live, di sana kamu semangat bikin croffle. Tolong sisain buat aku di rumah, ya.” Eila terkekeh di seberang sana.
“Iya, Sayang. Nanti aku siapin buat kamu. Bye, I love you.”
“I love you too. Muah!”
Panggilan telepon diputus dan secara bersamaan MUA yang merias Jibran menyelesaikan tugasnya, lalu keluar dari ruangan sang aktor hingga tersisa Trian sebagai pendamping. Trian yang sejak tadi menguping sembari memainkan ponselnya lantas berdiri setelah cukup lama duduk di belakang, perlahan-lahan mendekati Jibran yang tidak berhenti tersenyum sembari menatap foto-fotonya dengan Eila di ponsel.
Selagi tangannya menarik kursi di samping sang aktor, Trian menyindir, “I love you too. Muah!” Begitu yang dilakukannya sampai bokong Trian telah menduduki kursi rias, tidak lupa dengan ekspresi menggelikan yang sedikit berlebihan. “Awal-awal nikah masih sayang-sayangan, muah-muah terus tiap telepon. Tunggu aja pas udah setahun atau dua tahun, pasti mau bilang I love you di mana-mana males. Apalagi di depan MUA yang jelas-jelas naksir kamu. Pasti sekarang dia gosipin kamu sama rekanan yang lain.”
Jibran tidak tersinggung dengan sindiran dan teguran Trian, malah tertawa dan meletakkan ponselnya di atas meja rias agar lebih nyaman saat mengobrol bersama manajernya.
“Kayaknya dia bakal bagi-bagiin kabar ke media soal aku yang bucin dan gimana kebiasaan tiap telepon istri pas lagi kerja,” ucap Jibran santai, sudah terbiasa dengan hal-hal kecil tentang dirinya yang diberitakan oleh media. “Malah harusnya bersyukur adik kamu nikah sama aku yang … apa sebutannya? Bucin? Ya, sebucin ini sama istrinya. Dijamin adik kamu selalu bahagia saat sama aku.”
“Aku nggak raguin itu. Eila tiap pacaran tipe bucin yang sayangnya jarang dapat pasangan bucin balik ke dia. Makanya Eila cocok sama kamu, karena sama-sama bucin. But, please … geli banget tiap kali kalian teleponan deket aku. Dasar pengantin baru.”
Sebutan pengantin baru selalu menyenangkan kala menyelinap di indra pendengaran Jibran. Sebuah status yang tidak pernah dia pikirkan sepanjang karier, tapi kini menjadi bagian yang paling dia banggakan dalam hidupnya—terlebih kala mengingat siapa yang menjadi istrinya.
Baiklah, Jibran tahu masih terlalu awal untuk mengatakan pada banyak orang bahwa dia menyukai pernikahan yang masih seumur jagung, sedangkan masih banyak tahun untuk diarungi Jibran bersama Eila dan akan menemukan fase-fase baru yang belum tentu menyenangkan; masalah pelik, pertikaian, kebiasaan-kebiasaan jelek yang terungkap, sampai mungkin ada fase di mana rasa yang menggebu-gebu berubah datar.
Namun, Jibran sangat yakin dia dan Eila bisa mengatasi masa-masa itu, sama seperti orang tua sang aktor yang sudah menikah selama puluhan tahun dan masih tetap mesra.
“Trian, selama kamu nikah sama Thalia, apa aja masalah yang pernah ada?” tanya Jibran yang kini berubah serius. “Aku nanya gini biar sekalian belajar. Kalau nggak mau jawab juga nggak apa-apa.”
Trian cukup takjub mendapati Jibran yang tertarik dengan permasalahan rumah tangga yang tidak selalu indah—bahkan kadang yang baru menikah saja sudah merasakan peliknya rumah tangga. Trian kira Jibran ingin tahu enaknya saja tanpa mempersiapkan diri untuk masalah yang akan datang. Well, sesiap apa pun, terkadang itu percuma.
Sembari menyandarkan posisi duduknya, Trian mulai menjelaskan, “Pernikahan itu mystery box yang isinya nggak akan pernah kita tahu, Jibran. Kadang isinya baik dan bagus, tapi bisa juga nggak sesuai harapan. Pernikahan juga bisa dipelajari secara teori, tapi yang ada di lapangan pasti beda jauh dan kadang teori nggak bisa bantu banyak. Siap fisik sama finansial aja nggak cukup, karena dalam pernikahan yang paling diuji itu mental. Awal-awal nikah masih indah, tapi beberapa tahun bisa aja ada nggak mulusnya, sama kayak pas kalian pacaran.
“Aku sama Thalia udah ngerasain berantem kecil sampai gede. Terus yang bikin susahnya waktu sama-sama mentingin ego karena maunya menang. Kami pernah nggak ngerasa cocok setelah lima tahun nikah, tapi dari situ kami belajar buat lebih memahami lagi dan bisa bertahan sampai sekarang. Belum seberapa kalau dibandingin orang tua kamu, tapi usahanya tetep lumayan. Makanya coba deh tanya Om Jagad sama Tante Mia, biar belajarnya lebih banyak sama yang berpengalaman.”
Penjelasan yang sangat baik dan omong-omong, Jibran sudah pernah bertanya pada orang tuanya bagaimana dunia pernikahan itu berjalan. Mereka menjawab yang kurang lebih sama dengan penjelasan Trian, hanya saja lebih detail karena diikuti dengan cerita masa lalu yang diiringi tawa, padahal yang diceritakan adalah masalah cukup besar dan hampir membuat mereka berpisah.
Namun, dari situ Jibran menyimpulkan bahwa sepelik apa pun masalah yang pernah dihadapi orang tuanya, setelah mereka bisa berdamai dengan masa lalu dan meneruskan kehidupan tanpa mengungkit semuanya dengan beban serupa, masalah-masalah itu jadi bagian komedi kehidupan yang mereka tertawakan. Jibran ingin rumah tangganya seperti orang tuanya—kecuali bagian yang hampir berpisah—bisa bertahan lama hingga sekarang dan selalu bahagia meski hanya tinggal berdua.
“Makasih, Trian,” balas Jibran setelah mencerna seluruh penjelasan kakak iparnya. “Ternyata kamu bisa diajak ngobrol serius juga, ya. Kayak bukan kamu banget.”
Trian berdecak lidah dan memutar bola matanya malas mendengar respons Jibran yang setengah meledeknya. “Serius salah, nggak serius lebih salah. Aku marah-marah bakalan makin salah. Emang adik ipar ini suka nggak tahu diri, ya.”
Alih-alih meminta maaf, Jibran malah fokus pada kata adik ipar seakan itu pujian untuknya. Saat masih pacaran dengan Eila, Trian sering sekali labil antara memberi restu dan tidak. Trian baru serius atas restunya setelah ada rencana pernikahan dan pertemuan keluarga untuk membicarakannya dengan lebih matang.
Sekarang setelah menikah, Trian sering menyebut Jibran adik ipar, meski dengan nada bicara yang kurang ramah kala didengar. Yah, tidak apa-apa. Trian yang marah-marah sudah tabiatnya dan sulit dibetulkan.
“Pokoknya jangan macem-macem sama adik aku, ya. Kalau macem-macem, aku nggak ragu buat ninju kamu.”
Jibran mengangguk dengan senyum jail yang belakangan ini sering sekali ditunjukkan di hadapan Trian. “Tenang aja. Aku nggak akan pernah nyakitin Eila.”
Ardania Eila Mahadarsa menyeka air matanya saat menonton adegan terakhir film baru keluaran Netflix bertajuk Don’t Look Up yang yang dibintangi Leonardo Dicaprio dan Jennifer Lawrence, menganggap scene makan malam bersama saat komet mulai menabrak bumi dan perlahan-lahan menghancurkan seisinya tanpa tersisa menjadi bagian paling emosional. Padahal scene itu dibalut dengan santai bersama senyum untuk menyembunyikan ketakutan sebenarnya, ditampilkan secara apik oleh para pemain yang sudah menerima takdir mereka.
Jibran yang menonton di samping sang istri juga merasakan emosi serupa, tapi gagal menangis karena sibuk menenangkan Eila agar tidak terlalu berduka akibat film semata. Film diakhiri dengan karma orang-orang kaya dan serakah yang dibawa ke planet baru untuk melanjutkan hidup, tapi malah menjadi santapan hewan-hewan di sana. Scene itu membuat Eila puas karena bisa melihat orang-orang yang berkuasa ikut menderita setelah merugikan banyak orang.
“Filmnya bagus banget,” puji Eila setelah film selesai dan lampu ruang menonton di rumah Jibran dinyalakan menggunakan remot. “Kamu ngajak aku nonton film ini karena yang main Jennifer Lawrence atau emang udah yakin bakal bagus?”
Jibran yang menarik Eila agar duduk di pangkuannya tertawa pelan saat sang istri menyinggung soal aktris kesukaannya. “Filmnya Jennifer Lawrence emang bagus-bagus, Sayang,” jawabnya setelah Eila duduk nyaman di atas pangkuannya. “Tapi kalau nontonnya sama kamu jadi lebih seru.”
Eila menyentil hidung Jibran karena dibuat tersipu. “Gombal.”
Dalam diamnya Jibran akui bahwa dia sudah lebih piawai dalam menggombal, baik secara lisan maupun aksinya; sentuhan yang dia lakukan untuk memuji istrinya. Jadi, Jibran tidak membantah tiap kalau dibilang tukang gombal.
“Tadi aku nonton talk show-nya.”
Jibran menarik seulas senyum. “Oh, ya?”
“Aku nonton bareng karyawan di toko, terus mereka godain aku gara-gara dibahas terus pas talk show. Itu emang nggak ada topik atau aku yang jadi topiknya?”
Sudah Jibran duga Eila akan menanyakan mengapa dia menjadi salah satu topik utama saat sang suami diundang ke talk show. Pasalnya dengan durasi satu jam kehadirannya, ada 15 menit Jibran ditanyakan perihal Eila yang menjadi topik menarik untuk dibahas. Bahkan ketika topik sudah berganti, kadang-kadang host kembali menyinggung Eila yang beruntung tidak membahas hal sensitif.
Jibran santai saja karena dia sudah menyiapkan diri dengan segala hal yang akan ditanyakan media terkait istrinya. Namun, Eila bukan selebritas yang terbiasa diberi banyak atensi meski presensinya tidak ada.
“Lain kali aku bakal request buat nggak nanyain kamu terus kalau tampil di talk show lagi.”
Eila segera menggeleng saat ucapannya malah ditangkap secara salah oleh Jibran. “Aku bukannya nggak nyaman. Toh, aku udah nebak pasti bakal diungkit-ungkit terus sama banyak orang setelah nikah sama kamu. Cuma kepo aja apa aku beneran jadi salah satu topik atau saat itu kehabisan topik.”
“Kamu salah satu topiknya, Eila.”
“Wow! Aku udah kayak artis, dong?”
Jibran terkekeh melihat Eila yang malah membanggakan diri setelah jadi salah satu topik dalam talk show. “Kamu nggak apa-apa jadi bahan omongan terus?”
Wanita itu menggeleng santai dan mengelus leher Jibran dengan jemarinya. “Itu udah jadi risiko aku setelah nikah sama kamu,” Eila cium kedua pipi Jibran dan lanjut berbisik, “asalkan privasi kita nggak dibahas.”
Jibran kontan memejamkan mata saat Eila mencium telinganya, menimbulkan semburat merah baik di sisi kiri dan kanan akibat malu serta membangkitkan hasrat. Eila tahu itu titik sensitif Jibran, maka bibir wanita itu bermain di sana untuk menggodanya. Jibran sampai menyandarkan punggungnya pada sofa bed sebab tenaganya terserap godaan yang tidak kunjung berhenti dilakukan sang istri.
Setitik desah mengudara dari birai sang adam, merasa melayang hanya dengan tiup dan usapan pada telinga. Sungguh, godaan terbesar setelah menikah adalah saat sentuhan fisik ini berjalan terlalu dalam hingga Jibran lupa dengan dunia. Jibran ingin larut dalam surga kenikmatan yang membuatnya teradiksi berat.
Jibran menahan Eila hingga godaannya berhenti, menatap sang puan yang jadi terlihat seksi dengan balutan piamanya. “Jangan godain aku terus, Eila,” bisik Jibran seduktif.
“Terus kamu maunya gimana?” Eila malah bertanya sembari kembali menelusuri leher Jibran dengan telunjuknya, lagi-lagi mengeksplor area sensitif prianya yang dirasa telah bangkit hanya melalui sentuhan.
Sudah cukup Eila mendominasi, giliran Jibran mengambil aksi. Jibran raih birai sang istri yang sejak tadi bermain, menciumnya untuk mengedarkan hasrat serupa pada Eila. Birai mereka beradu dengan lihai, sudah sering dilakukan sejak masa pacaran, tapi setelah menikah euforianya jauh berbeda seakan ada yang memantik api untuk melakukan hal lebih.
Kala birai mereka masih saling mengait dan menyampaikan kasih, tangan Jibran dan Eila bekerja di bagian masing-masing. Jibran yang membuka piama Eila. Pun Eila menanggalkan piama Jibran hingga tidak ada sehelai benang di sana.
Ciuman Jibran turun ke leher Eila yang menengadah untuk memberinya akses luas agar bermain lebih dalam, sedangkan tangan sang puan meremas biceps prianya, tepat pada bekas luka bakar yang belum kunjung hilang. Jika orang awam melihat pasti akan jijik, lain dengan Eila yang saat melihatnya untuk pertama kali malah tertarik untuk tahu dari mana luka Jibran berasal.
Sedangkan kini, setelah mereka saling mengenal tubuh masing-masing dan pernah memegang kendali satu sama lain, Eila anggap bekas luka itu jadi bagian seksi yang memainkan rasa laparnya akan sentuhan.
AC ruangan menonton langsung menusuk kulit kala kain terakhir pada tubuh bagian atas Eila ikut diloloskan oleh Jibran, mengantarkan birai prianya pada bagian favorit dari tubuh sang puan. Permainan bibir dan lidah Jibran pada dada sang lawan menimbulkan lenguhan nikmat dari Eila yang tidak henti menengadah. Tubuhnya bahkan menegang akibat terlalu nikmat, sampai tangan Jibran harus menahan Eila agar tidak jatuh karena belum dia biarkan.
Jibran menarik bibirnya dan memandang wajah Eila yang dahinya mengerut, dadanya naik turun tidak teratur, peluh telah membasahi rambut dan pelipis hingga pipi, bibirnya sedikit terbuka untuk menyuarakan lagi lenguhan yang masih ditahan, sedangkan sebelah tangannya mengepal akibat tidak tahan dengan setiap belaian.
“How?”
Eila menunduk agar bisa memandang Jibran yang menunda permainan, seakan ingin tahu apa yang dirasakan istrinya lewat lisan setelah puas melihatnya lewat ekspresi tubuh.
“I … want more,” jawab Eila terbata-bata. Syahwatnya sedang tinggi dan Jibran tidak boleh berhenti di tengah jalan sebelum mereka berdua menyelesaikannya.
“Here.” Eila mencegat saat Jibran akan membawanya pergi ke kamar. “Jangan di kamar.”
Bukan fantasi yang liar, tapi melakukannya selain di kamar adalah hal asing yang makin meninggikan gelora untuk bercinta tanpa bisa menunggu jeda. Jibran kabulkan permintaan Eila, dengan hati-hati membaringkannya di sofa bed yang kali ini jadi tempat mereka menghabiskan malam panas. Jibran kecup telapak tangan kanan Eila setelah dia berbaring nyaman, menghirup aroma body mist varian bubble gum yang rajin dia gunakan setiap malam.
“You’re heavenly beautiful.”
Pujian itu mengantarkan Eila untuk menarik Jibran agar mendekat, kembali beradu birai untuk mengisi kekosongan yang tidak betah tanpa lawan. Saat peraduan itu terjalin, kain terakhir pada tubuh mereka saling dilepas oleh tangan yang tidak bisa diam. Tidak sampai situ, jemari Jibran mengisi bagian dalam tungkai sang hawa, mengekspos titik nafsu wanita yang paling dominan di tubuhnya.
Permainan itu membuat sekujur tubuh Eila beraksi, hingga jemari kakinya melengking bagaikan terkena sengatan listrik yang menghantarkan nikmat surgawi. Jibran hanya tersenyum saat dia berhasil berkuasa, tapi tetap membiarkan Eila aktif dengan merabanya di bagian yang bisa dijangkau. Dada Eila membusung dan memekik pelan saat mendapatkan pencapaian pertamanya, membuat Jibran menarik kembali jemarinya, lalu mengecup dahi sang istri yang masih mengerut saat menikmati sisa-sisa pelepasannya.
Jibran berbaring di samping Eila, dengan sabar menanti sang istri untuk kembali menaikkan hasrat setelah semua kenikmatan pertama dituntaskan. Eila menyembunyikan wajahnya di balik ceruk Jibran, memeluk sang adam yang makin cakap dalam sesi percintaan.
“Masih mau di sini atau pindah?” tanya Jibran saat tangan Eila mulai meraba milik sang pria yang belum melunak. “Di sini.”
Suara Eila lirih, tapi masih terdengar jelas di telinga. Jibran kembali membaringkan Eila di posisi sebelumnya, mengecup setiap bagian wajah merahnya akibat hasrat yang kembali naik. Jibran lebarkan tungkai Eila saat dirasa istrinya sudah siap untuk menemui miliknya. Rintihan kecil mengudara larena Eila masih belum terbiasa saat Jibran mencoba memenuhi bagian dirinya, tapi itu hanya sementara saat dia sudah mampu beradaptasi lebih cepat daripada awal bermain.
Begitu permainan inti dimulai, Eila tidak ragu melatunkan desah yang menjadi nyanyian merdu di telinga Jibran. Netra mereka saling menatap lekat, kulit mereka saling bersentuhan yang membagikan peluh yang bercucuran.
Tiap kali Eila melantunkan nyanyian favoritnya, Jibran merasa dirinya telah diterima karena berhasil mengisi suasana hati sang lawan hingga mendapatkan kenikmatan terbesar pada tubuhnya. Kala Eila melantunkan namanya, gelora cinta Jibran naik hingga dia menambah tekanan pada akvitias mereka yang memabukkan. Jibran merasa sempurna, karena lantunan desah itu bagaikan pujian tertinggi atas petualangan asmara yang mereka bangun di atas daksa yang bertumbuk.
Sedangkan bagi Eila, peluh dan gurat kenikmatan di setiap sudut tubuh Jibran menjadi keberhasilan, sebab dia telah memberikan yang terbaik untuk suaminya nikmati. Di tengah tubuh yang saling memacu untuk mencapai puncak, Jibran dan Eila masih bisa membagikan senyum sebagai wakil untuk lisan yang tidak sanggup mendeskripsikan kesenangan.
Aktivitas seksual mereka mungkin melelahkan, tapi menjadi penghilang penat. Lebih besar lagi saat mereka bisa membagikan segenap cinta lewat sentuhan, membuat Jibran dan Eila merasa makin intim tanpa ada penghalang.
Milik Eila mengetat, dahinya kembali mengerut, sedangkan tangannya meremas pundak Jibran sebagai pelampiasan saat dia akan mencapai puncak. Jibran mempercepat pacuannya untuk memberikan nirwana lebih dulu pada sang puan, hingga lolongan panjang berhasil mengudara dan melepaskan segala beban di kepala, bertransformasi menjadi kepuasan maha dahsyat yang hanya bisa dia rasakan bersama lawan yang tepat.
Jibran tidak lama menyusul, memberikan segala yang dia punya pada Eila, berharap bisa segera tumbuh menjadi bagian dari mereka.
Jibran suguhkan ciuman terakhir saat mereka masih menikmati sisa-sisa percintaan yang luar biasa, lalu terkulai lemas di samping Eila dan mendekap sang istri yang masih terengah. Tidak ada kalimat yang mampu mendeskripsikan betapa dahsyatnya bercinta, jadi cukup diwakilkan oleh peluh yang tidak henti membanjiri daksa, serta pasokan oksigen menipis yang kembali mereka isi.
“Kita harus coba siang-siang.”
Jibran mengernyit terkejut akibat paham ke mana arah maksud ajakan Eila. “Itu fantasi terliar kamu?”
“Siapa tahu kamu mau siang-siang, biar malamnya nggak capek.”
“Sekalian aja di tempat lain setelah berani nyoba di sini, biar nggak bosen di kamar terus.”
Jibran tidak serius, tapi tidak bagi Eila yang fantasi liarnya sedang berkeliaran tiada henti. “Aku cari tempat yang enak dulu di rumah biar kita bisa coba.”
Jibran tergelak dan mencubit pipi Eila dengan gemas. “Jangan bikin aku nyerang kamu lagi, Sayang. Apalagi kita belum pake baju.”
Eila menunduk beberapa detik dan baru sadar bahwa mereka berpelukan tanpa sehelai benang yang membalut. Eila tidak merasa dingin, padahal AC ruang menonton sudah diatur paling maksimal. Harus diakui pelukan Jibran sangat ajaib karena bisa menjadi selimut sebagai penghangat tubuh.
“Kamu cantik banget. Aku sampai naksir berkali-kali. Kayaknya nggak akan berhenti sampai kapan pun.”
“Tunggu pas aku udah hamil, lahiran, dan ngurus anak. Katanya masa-masa itu penampilan istri bakal berubah drastis. Lihat aja, apa kamu masih bisa muji aku cantik sampai naksir berkali-kali atau udah males duluan.”
“Bagi aku fisik itu bonus,” kata Jibran sok bijak dan membeberkan fakta atas apa yang dia rasakan terhadap Eila. “Perasaan aku juga nggak sedangkal itu sampai bisa berubah cuma karena fisik, Eila. I promise.”
Eila mencium bibir Jibran setelah pria itu menyelesaikan kalimatnya, lalu giliran dia yang berkata, “Udah aku cap janjinya. Jadi, harus ditepatin.”
Jibran tersenyum jail dan ikut mencium bibir Eila yang menjadi kesukaannya sejak lama. “Aku cap lagi, biar janjinya makin kuat.”
Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa tinggalkan jejaknya supaya tahu gimana ceritanya ^^
Jibran Dava Adelard
Ardania Eila Mahadarsa
