hanyabualan

Pagi ini hanya ada sejoli yang telah siap memulai rutinitas mereka, sedangkan sang tunggal masih betah di dalam mimpi dan sepertinya baru akan bangun menjelang siang. Teringat pesan yang dikirim Wulan kemarin sore, katanya Martha mengusir beliau dengan cara berlebihan. Masalahnya apa, Martin belum tahu, tetapi yakin tindakan di luar batas itu terjadi karena Martha sudah hilang kendali dan penyebabnya Wulan serta Marni.

Semalam Martin tidak menanyakan soal aduan Wulan, sebab dia ingin Martha istirahat dari segala hal buruk yang menimpanya. Martin pun tidak mau merenggut senyum Martha semalam ketika bermain bersama Markus, tidak ingin membuat sang istri merasa jadi pelaku utama padahal sebenarnya dia korban menyedihkan. Alhasil Martin menahan diri untuk bertanya, mencari waktu yang tepat agar Martha tidak tersinggung atau merasa dicurigai.

Omong-omong, pagi ini Martha sangat cantik sampai Martin ingin di rumah saja jika tidak ingat ada syuting. Martha mengenakan dress panjang berwarna cokelat polos, rambutnya digerai bebas tanpa takut berantakan, sedangkan wajahnya dirias tipis tetapi menawan, khususnya di bagian bibir yang dipoles lipstick warna peach dan membuatnya tampak lebih segar. Oh, jangan lupakan semburat merah di pipi chubby-nya, menggoda Martin untuk mencubitnya.

Akibatnya ketika Martha mengantar sang suami hingga ke depan rumah, Martin tidak sampai hati untuk pergi karena terlalu betah memandang wanitanya yang memesona.

“Kamu nggak pergi? Nanti telat,” tegur Martha, bingung karena Martin tidak kunjung beranjak dari posisinya.

“Masih betah lihatin kamu. Cantik banget, sih.”

Sudut bibir Martha berkedut membentuk senyum, tetapi ditahan ketika kata-kata manis itu tidak lagi terdengar sama di rungu.

“Aku jadi mau cerita,” kata Martha mengalihkan topik. “Kemarin Mami sama Bunda ke sini, terus aku ngusir mereka karena keterlaluan.”

Martin mendelik, tak menyangka Martha akan secara sukarela memberi tahu hal tersebut tanpa diduga. Martha tampak enteng ketika bicara, tetapi Martin tahu ada beban di balik suaranya yang datar.

“Mereka ngeledek penampilan aku lagi, terus aku kehilangan kesabaran sampai bisa sekeras itu ke Mami sama Bunda. Aku bahkan bentak mereka, mukul meja, kayak yang nggak inget mereka itu orang tua.”

“Terus kamu lega setelah gitu ke mereka?” tanya Martin, hati-hati sekali agar istrinya yang rapuh tidak merasa disakiti.

“Aku lega, tapi,” Martha tersenyum kecut, “pasti mereka langsung benci aku. Enggak heran juga kalau kamu bakal marah karena aku bisa sekejam itu ke Mami sama Bunda.”

Martin menggeleng cepat, membantah tuduhan tak berdasar itu karena dia selalu di pihak Martha. “Aku nggak mungkin marah kalau mereka yang keterlaluan,” balas Martin seraya menangkup pipi Martha.

“Tapi aku juga keterlaluan. Aku sampai gebrak meja.”

“Aku nggak marah.”

“Aku juga bentak mereka.”

“Itu bukan masalah.”

“Kamu bilang kayak gitu karena nggak lihat gimana aku marah. Kalau aja kamu lihat, apa yakin kamu bisa sesantai ini?”

“Aku nggak akan marah sama kamu, Martha,” tegas Martin tanpa mempertimbangkan ucapannya, membungkam Martha yang meragukan suaminya sendiri. “Dari awal, aku selalu ada di pihak kamu. Kalaupun kamu yang salah, aku selalu milih kamu. Selama ini kamu yang kena, jadi wajar kamu bisa kehilangan rasa sabar. Justru harusnya kamu begitu dari dulu, jangan ditahan kalau luapin semuanya di depan orang yang nyakitin kamu bisa bikin lega. Aku nggak nyaksiin semuanya, tapi kalau aku jadi kamu, pasti bakal lakuin hal sama.”

Martin tunda kepergiannya, memilih merengkuh sang puan yang membutuhkan tempat bersandar. Martin sembunyikan wajah Martha di dadanya, menjadi tempat terbaik untuk mengadu bila kesusahan. Melawan orang tua adalah kesalahan, tetapi bila orang tua yang jadi penyebabnya, seorang Martha yang serba menahan diri pun pada akhirnya melampiaskan juga.

Martin membelai rambut Martha, berdoa agar segala hal yang membebani isi pikiran sang istri segera menyingkir dari dalam kepalanya.

“Kamu … beneran bakal sama aku terus, ‘kan?”

Getar suara Martha menandakan ketakutan, menularkan hal serupa sebab Martin takut istrinya menyerah dan pergi secara diam-diam.

“Aku bakal sama kamu terus, Martha. Kamu juga sama aku terus, ya?”

Media sosial adalah sarana yang mengasyikan dan mudah dijangkau oleh banyak pengguna dari kalangan usia. Muda-mudi, hingga yang umurnya tidak lagi muda bisa sangat familier dengan aplikasi berbagai fitur berbeda di dalamnya. Setiap orang pun memiliki media sosial andalan dengan beragam kelebihan untuk berinteraksi, berkreasi, sampai mendapatkan pundi-pundi.

Bila menerima respons yang bagus, keuntungan itu akan didapatkan dengan luar biasa, membuat banyak orang tergiur dengan hasil yang ada. Akan tetapi di balik ingar bingar sebuah media sosial tempat interaksi dengan orang asing, tentu ada bagian negatif yang terkadang mengiringi dan harus disikapi sebaik mungkin jika tidak mau terjebak dalam situasi merugikan.

Orang-orang di media sosial bisa sangat menyenangkan, bisa menjadi kawan di saat susah. Kontradiktif dengan keadaan tersebut, orang-orangnya pun bisa menjadi sangat mengerikan, merugikan, bahkan menjadi musuh yang tertawa di bawah penderitaan pengguna lain tanpa belas kasih.

Martha adalah individu yang menggunakan media sosial hingga cukup sukses dicap sebagai Selebgram. Wajahnya yang manis, bertubuh mungil dan ideal pada masanya, selalu ramah pada setiap pengikut yang berinteraksi dengannya, bisa mengumpulkan pundi-pundi rupiah berkat satu foto saja ketika ada produk yang endorse padanya.

Sekali lagi, namanya tidak sebesar Selebgram lain, apalagi jika disandingkan dengan selebritas ternama yang ikut membuka endorse untuk berbagai macam produk, tetapi pengaruhnya cukup besar dan yang didapatkan pun bisa membuat Martha hidup layak tanpa membebani orang tua.

Saat masih gadis, media sosial adalah tempat yang ramah untuk Martha bicara dan menjadi diri sendiri. Dipuja sedemikian rupa oleh kaum adam dan hawa, sampai notifikasinya selalu penuh oleh komentar yang mengembangkan senyum Martha kala membacanya. Setelah melahirkan anak pertama, media sosial sudah mulai Martha tinggalkan karena dia harus fokus mengurus Markus yang butuh banyak perhatian.

Meski ditinggalkan, nama Martha tetap disebut-sebut di media sosial. Sayangnya bukan karena hal baik, melainkan komentar terkait bentuk tubuhnya yang tak lagi cantik. Beberapa waktu belakangan ini Martha berusaha bangkit dari keterpurukan komentar media sosial, khususnya Instagram yang pernah menjadi tempat menyenangkan untuknya bicara. Saat dia mulai membaik, Martha mencoba kembali ke media sosial Twitter tempat orang bercuit banyak hal.

Martha sebelumnya hanya pengguna Twitter biasa, itu pun tidak terlalu aktif, jadi trend yang ada tidak dia ikuti sebaik mungkin. Dia hanya mendengar orang-orang Twitter banyak yang lebih keji ketika berkomentar, termasuk orang yang menyebar fitnah Martha ada di sana. Kendati demikian Martha berusaha mendekati media itu untuk tahu bagaimana suasana di dalamnya.

Martha tidak mau sembunyi terlalu lama, jadi muncul di Twitter adalah bentuk pertahanan diri agar orang-orang tahu dia tidak selemah yang dibayangkan. Mulainya semua aman, Martha bisa menerima berbagai sambutan positif dan negatif tanpa membawa perasaan serius di dalamnya.

Barulah setelah tujuh hari menjadi pengguna Twitter yang cukup aktif bersuara dengan berbagai respons dari warga sana, Martha merasakan dampak yang tidak baik dari respons itu. Sekarang ketika Markus sedang tidur siang dan ada waktu untuk aktif Twitter, leher Martha terasa seperti dicekik kala menerima berbagai komentar negatif di permintaan pesan. Martha hanya membaca sepintas, tetapi gunjingan yang dilayangkan untuknya tetap nyata seperti membaca utuh.

Di siang bolong saat keadaan rumah sepi dan hanya Martha seorang insan yang sadar, tangannya bergetar luar biasa kala menerima seratus pesan ujaran kebencian yang tidak menerima kehadirannya. Napasnya putus-putus, matanya merah menahan tirta yang berusaha luruh, dadanya berdenyut ngilu, sedangkan sekujur tubuhnya bergetar tanpa tahu pupus.

Kamar yang biasanya penuh gelak tawa bersama anak dan suami, kembali menjadi saksi ketika Martha disiksa oleh belati berupa aksara tak terhitung yang menancap hingga ubun-ubun. Martha yang berniat main cerdik dengan fokus pada komentar positif, nyatanya harus jadi korban keteledorannya akibat komentar negatif.

Tak sanggup tangannya menggenggam ponsel yang jadi sumber derita, Martha biarkan jatuh ke kasur tempatnya duduk bersandar. Telapaknya berusa menyembunyikan wajah nyaris tidak berbentuk akibat air yang masih ditahan agar tidak meluap.

Ada sisi rapuh yang berusaha Martha perbaiki agar kembali utuh, sebab dia pikir bagian itu akan memberinya kekuatan untuk unjuk gigi di depan publik. Nyatanya usaha Martha tidak berhasil, sebab perban yang menutupi sisi rapuhnya itu tidak kuat untuk mengobati, hingga kini berubah menjadi serpihan yang tak tertolong lagi.

Topeng yang Martha gunakan di depan orang-orang, termasuk Martin, tak sanggup lagi menjadi tempat persembunyian bagi sosoknya yang menahan pilu di hati. Topeng kaca yang indah, membuai siapa pun ketika melihatnya, pecah tanpa sisa dan gagal membantu Martha untuk melindungi persona sesungguhnya selagi dia mengumpulkan kekuatan agar bisa menjadi dirinya lagi.

Berbagai usaha itu gagal Martha lakukan, sebab dia tetap kalah oleh komentar orang. Hatinya hancur tanpa yang terdekat tahu, menularkan kehancuran yang sama pada daksa hingga tungkainya tidak sanggup lagi menahan beban.

Tertatih Martha menjauhi kamar untuk melindungi putranya dari jeritan. Begitu dia sampai di tempat penyimpanan dan mengurung diri di sana, Martha menjerit sekeras mungkin, berusaha melupakan berbagai komentar lama dan baru yang didapatkan karena berhasil menjadi siksaan luar biasa baginya.

Layaknya misteri, Martha adalah teka-teki menakutkan yang harus segera dipecahkan sebelum meledak dengan sendirinya. Jika itu sampai terjadi, jangankan orang luar, uluran tangan Martin bisa jadi terasa percuma baginya.

tw // body shaming

Syuting podcast hari ini berjalan lancar seperti biasa. Narasumber tiba tepat waktu di studio dan tidak ada tim yang terlambat datang untuk mempersiapkan syuting. Editor video sudah siap untuk bekerja setelah makan siang nanti, lalu video akan diunggah ke kanal YouTube pada pukul tujuh malam. Itu adalah jam rutin yang tidak pernah terlewat. Bila video yang diunggah jadi terhambat akibat narasumber batal datang atau seperti kejadian Martha beberapa waktu lalu, bisa juga karena kesalahan teknis yang tidak bisa dihindari, maka pengumuman wajib diberikan agar para subscriber tahu adanya perubahan jadwal dan tidak menunggu tanpa kepastian.

Syuting secara konsisten akan selesai pukul dua belas siang setelah kurang lebih dua jam berjalan—durasi maksimal setiap podcast berlangsung. Kalaupun terlambat, biasanya karena ada kendala dari persiapan atau lagi-lagi narasumber yang sedikit terlambat.

Rampungnya syuting podcast sangat dinanti oleh seluruh tim untuk istirahat makan siang, kadang sedikit mengevaluasi sesi awal setiap makan siang bersama. Tak terkecuali Martin yang langsung keluar dari studio untuk menunggu sang istri datang mengantarkan makan siang.

Sengaja Martin diam di luar demi menyambut wanita kesayangannya, sedangkan anggota tim yang lain sudah memulai makan siang karena telah memesan makanan sejak pagi dan dikirim menjelang syuting rampung.

Martin biasanya bergabung, kecuali bila Martha mengirim makan siang baik atas request-nya atau wanita itu yang menawarkan sendiri.

Saat tengah asyik menanti, tiba-tiba Dalia muncul dan bergabung dengan Martin seakan pria itu hanya sibuk menikmati pemandangan siang—yang sesungguhnya tidak terlalu asyik. Martin spontan menjaga jarak, terlebih ketika menyadari Dalia yang tersenyum penuh arti meminta untuk direspons dengan hati.

“Kak Martin, tadi syutingnya keren, deh. Opini pas nanggepin narasumbernya juga mantep banget. Kalau lagi syuting Kak Martin ganteng, tapi pas lagi di luar syuting gini lebih ganteng.”

Martin hanya tersenyum, tidak nyaman dengan pujian berlebihan yang Dalia layangkan padanya selama bekerja. Awal-awal Dalia begitu masih bisa Martin tanggapi santai, tetapi akhirnya pria itu sadar bahwa ulahnya di awal salah karena membuat adik sang kawan malah makin menggodanya. Sekarang setelah Martin lelah menanggapi, Dalia tidak bisa berhenti.

“Kak Ganteng, minggu lalu aku ditegur Kak Martha karena manggil kamu ganteng terus. Padahal ‘kan biasa aja, ya. Emang fakta, kok.”

Ini perempuan maksudnya lagi ngadu soal istri gue gitu, ya? Duh, Dek. Kan gue malah seneng lo ditegur.

Martin membatin sembari menatap lurus ke jalanan terik saat mentari tengah berdiri tegak di atas, membuat siapa pun ogah untuk keluar, tetapi diharuskan pergi untuk makan.

“Kak Martin nggak keganggu ‘kan aku begini? Aku bilang ganteng karena kagum aja kok, Kak. Enggak maksud rebut. Beneran, deh. Sebelum kerja di sini ‘kan aku penggemar Kakak di sosmed.”

Martin manggut-manggut, lalu tidak lama menggeleng karena tidak mau merespons Dalia secara positif lagi. Perempuan berusia 23 tahun itu harus diberi ketegasan untuk sekian kalinya oleh Martin. Lelah, tetapi harus mau dilakukan berkali-kali.

“Dalia, tolong jangan manggil aku ganteng terus, ya. Aku ucapin makasih buat pujiannya, tapi ini keseringan dan kita ada di lingkungan kerja yang profesional. Jadi, baiknya jangan ngomong gitu lagi ke aku.”

Dalia sempat murung, hanya bertahan beberapa detik sampai akhirnya kembali menabur senyum. “Berarti kalau di luar lingkungan kerja boleh ya, Kak?”

“Enggak boleh juga.”

Martin dan Dalia terlonjak kaget mendengar suara familier yang cukup lantang menegur mereka—lebih tepatnya hanya ditujukan pada Dalia, tetapi Martin merasa ikut jadi korban. Entah sejak kapan sumber suara itu tiba, tetapi hadirnya Martha sembari menggendong Markus menjadi angin segar untuk Martin yang sudah cukup lama menanti. Tidak lupa ada lunch bag yang dijinjing oleh Martha, dibawa agar suaminya tidak makan siang sembarangan.

Martha menatap lurus ke arah Dalia yang sedikit terancam dengan kehadirannya, diingatkan kembali ketika ditegur oleh istri atasannya soal memanggil Martin tampan. Ingatan itu tidak menyenangkan, jadi wajar bila Dalia berdecak kesal melihat Martha yang kini ada di hadapannya.

“Kamu nggak boleh manggil Martin ganteng atau apa pun itu di luar jam kerja. Martin sama nggak nyamannya. Paham?” ketus Martha yang gemas ketika menyaksikan Dalia berulah secara langsung, jauh lebih menyebalkan ketika ditegur via virtual.

“Baru diomongin gitu aja lebay, deh. Kak Martin diam aja, kok,” kilah Dalia yang merasa tindakannya benar.

“Martin diam tapi bukan berarti biasa aja, ya. Dia udah sering negur kamu, apa susahnya coba dengerin tegurannya?”

Martin meraih sang istri yang tampak tegang ketika melawan Dalia, tak lupa melindungi Markus dengan mengambil alih dari Martha agar tidak bingung melihat sang mama yang sedang menunjukkan taringnya.

“Tim lain juga ada perempuan, tapi cuma kamu yang ganjen sama Martin. Jangan mentang-mentang punya kakak di sini, kamu bisa seenaknya pas kerja. Tolong bedain antara jadi penggemar sama tukang godain suami orang. Kamu harus tahu batas, Dalia. Jangan gangguin kenyamanan orang dengan dalih cuma muji. Paham?”

Martha menegur tanpa ampun, telunjuknya sampai menunjuk wajah Dalia untuk mempertegas setiap ucapannya. Martin tidak ingin ikut campur, sebab perempuan yang sedang melawan perempuan lain jauh lebih menyeramkan dari apa pun. Martin kira Dalia akan kapok atau merasa bersalah, nyatanya perempuan itu menanggapi dengan santai tanpa merasa berdosa dengan ulah dia sebelumnya.

“Si Kentung lagi ceramah,” balas Dalia, menyerang tepat ke titik terlemah Martha.

Buktinya sekujur tubuh Martha bergetar, menunjukkan reaksi takut yang amat besar ketika perlawanannya dipatahkan oleh hinaan fisik terendah.

“Hei!” hardik Martha, tetapi suaranya bergetar tak memiliki daya.

“Kamu jangan berlebihan, dong.” Martin otomatis pasang badan untuk melindungi istrinya. Kali ini tidak membiarkan Martha melawan sendirian.

“Dia juga lebay, Kak. Aku nggak maksud godain malah dituduh gitu. Mending urus dulu tuh badan kalau takut Kak Martin di—”

“Udah!” cegat Martin meninggikan intonasi suaranya, menyentak Dalia sebelum dia menyelesaikan ucapannya. “Kamu lebih parah, Dalia. Baiknya dengerin kata istri saya.”

Martin lantas membawa Martha dan Markus masuk sebelum terjadi perang yang tidak diinginkan. Ketika masuk rupanya beberapa anggota tim sempat menguping dari dalam, termasuk Julian yang tidak berniat membantu adiknya di tengah kesulitan. Julian malah geleng-geleng miris ketika keluarga kecil yang sempat melewatinya telah berlalu jauh.

Sembari mendekati Dalia yang masih di luar, Julian berkata, “Adek gue sok keren amat ngelawan Martin sama Martha.”

cw // mature content

Martin terkapar lemas penuh kepuasan di wajahnya yang berhiaskan semburat merah dan berpeluh deras setelah menyelesaikan percintaan dahsyat bersama Martha. Istrinya di samping pun keadaannya tidak berbeda jauh. Martha yang menyerahkan diri seutuhnya malam ini, dirajai sedemikian rupa oleh Martin sangat menikmati pelepasannya yang sudah tidak terhitung berapa kali dicapai.

Napas mereka sama-sama terengah, berusaha dinormalkan kembali sebelum nantinya bicara sebagai pemanis selepas memadu asmara. Martha tutupi tubuhnya dengan selimut hingga sebatas leher, membungkusnya tanpa sisa untuk dilihat Martin yang masih menikmati sisa-sisa puncak tertinggi cinta. Setelah tenaganya mulai pulih dan napasnya kembali normal, Martin menoleh ke arah Martha yang begitu lelah memuaskan nafsu mereka.

“Kok ditutup semua, sih?” Martin dengan jail berusaha menarik ujung selimut. “Aku ‘kan mau lihat lagi.”

Martha menahan selimut itu agar tetap membungkus tubuhnya sebaik mungkin, tentu dipahami betul oleh Martin mengapa istrinya sampai berbuat demikian. Bukannya pelit, hanya rasa percaya dirinya kembali tiada.

“Kamu cantik, Sayang. Beneran, deh. Kan tadi aku juga sambil muji-muji kamu,” goda Martin seraya merapatkan posisinya, memeluk Martha yang masih enggan membuka selimutnya.

“Iya, aku percaya setiap kamu ngomong gitu. Cuma nggak enak aja badan segede gini dilihat nggak pake apa-apa. Makanya mending ditutup.”

“Tadi kamu biasa aja. Malah kelihatan pede abis.”

“Itu … beda,” cicit Martha. “Lagi begitu boro-boro keinget selimutan.”

Martin tertawa pelan dan tidak mendesak Martha lagi untuk membebaskan tubuhnya dari selimut yang melindungi. Martin singkirkan anak rambut yang sedikit menutupi wajah Martha, hingga wanitanya mulai berbaring miring dan mereka saling beradu tatap tanpa spasi yang memisahkan.

Martin belai pipi Martha, berharap gembil di wajahnya itu tidak akan menghilang karena dia sangat menyukainya. Namun, Martin tahu bahwa semua lemak yang bertambah di tubuh Martha sangat ingin disingkirkan sesegera mungkin. Maka bila suatu saat lemak itu menghilang, termasuk yang ada di bagian favoritnya, Martin harus siap asalkan sang istri bisa kembali memupuk rasa percaya diri.

“Kelamaan nggak sih buat diet setelah Markus umur setahun atau pas dia udah bisa jalan?”

Pertanyaan itu mengembalikan fokus Martin yang sedang menikmati pemandangan indah berupa paras manis Martha. “Kamu diet pas Markus udah sekolah juga silakan, Sayang. Aku nggak maksa kamu buat cepet-cepet, asalkan kamunya nyaman.”

“Pas Markus udah bisa jalan aja. Soalnya aku jadi bisa ajak Markus olahraga bareng yang ringan-ringan gitu. Kalau sekarang ‘kan apa-apa masih perlu digendong. Bisa sih sambil gendong bayi atau Markus biar main di baby walker, tapi dia ditinggal dikit suka rewel, jadi takut aku nggak fokus. Nanti ujung-ujungnya aku diet kayak waktu itu.”

“Kalau itu aku nggak izinin,” sergah Martin cepat, tidak mau melihat Martha dalam kondisi terpuruk akibat kekurangan makan demi mengembalikan bentuk tubuhnya.

“Iya, aku nggak gitu lagi,” ucap Martha menuruti perintah suaminya. “Tapi kamu bakal sama aku terus sampai bisa berubah kayak dulu, ‘kan?”

Ada harapan penuh di balik iris hitam yang memandang Martin. Ingin mendapatkan jawaban terbaik demi memupuk kembali rasa percaya diri Martha yang sempat runtuh akibat gunjingan orang-orang sekitar. Martha ingin kembali bukan saja untuk dirinya, tetapi juga untuk Martin agar tidak menanggung malu akibat mendapat ledekan serupa karena memiliki istri yang sedang dalam keadaan terburuknya.

Martin lebarkan senyum, lantas mendekap erat Martha yang masih dipenuhi rasa takut ketika berusaha menjadi diri sendiri dan apa adanya. Tubuh ideal adalah hal baik, artinya Martha peduli pada kesehatannya sendiri. Namun, bila itu dilakukan Martha hanya untuk kepuasan orang lain, Martin tidak mau istrinya jadi terbebani akibat ocehan tak penting yang telanjur tertanam dalam diri.

Martin tertawa membaca balasan Martha ketika membuka sesi QnA di akun Twitter-nya. Mulai dari jawaban netral, lucu, sampai iseng menyebut akun Martin. Ada pertanyaan yang sempat menyinggung fisik dan kejadian beberapa waktu lalu yang masih belum dilupakan oleh banyaknya pengguna media sosial, padahal Martha sudah terbukti tidak bersalah.

Kendati demikian tidak mengganggu asyiknya Martha saat bermain Twitter, malah dijawab dengan gurauan hingga yang memberi pertanyaan tidak sanggup menjawab. Martha yang baru saja menidurkan Markus mengernyitkan dahinya bingung kala menemukan sang suami tengah duduk sembari tersenyum geli dengan netra sibuk pada ponsel.

Penasaran, Martha bergabung duduk di sofa ruang keluarga dan merapatkan posisinya untuk tahu apa yang membuat Martin menikmati kesendiriannya.

“Ihh! Jangan dilihat.”

Martha berusaha mengambil ponsel Martin saat sang suami tertangkap basah memeriksa akun Twitter-nya dan membaca seluruh cuitan yang ada. Martin tertawa saja dan segera menjauhkan ponselnya dari Martha, jangan sampai kegiatan menyenangkannya kacau akibat ulah sang istri yang tidak terima akunnya di-stalk.

“Kamu makin ekspresif, deh. Aku suka,” ujar Martin seraya merangkul Martha, membuat wanitanya tidak berdaya dalam kurungan lengan kekarnya. “Tweet kamu nandain sekarang udah baik-baik aja, bisa hadepin omongan netizen tanpa takut lagi.”

“Kan aku nggak mau kalah, Martin.”

Upaya untuk tidak mengalah itu membuat Martin tersenyum bangga. “Tapi saran aku jangan terlalu sering dibales itu omongan netizen. Soalnya makin dibales, biasanya makin nyari gara-gara. Baiknya fokus sama hal baik supaya kamunya juga nggak capek, ya.”

Usul itu diterima dengan baik oleh Martha. Dia pun berencana tidak akan mengulang ulah di sesi QnA hari ini bila on Twitter nanti. Sebab benar yang dikatakan Martin; makin giat Martha menjawab, makin gencar pula dia dijatuhkan. Jangan sampai persona riang yang berusaha Martha tunjukkan di hadapan semua orang harus runtuh lagi karena tidak sanggup menerima ocehan netizen.

Kali ini caranya bermain media sosial harus cerdik meski tidak on sesering mungkin. Bisa memiliki pertahanan diri untuk tidak membalas komentar miring, sampai pemberi komentar itu akhirnya lelah dan membiarkan Martha sesukanya.

“Aku makin sebel deh sama Dalia.” Kala nama familier itu disebut dari bilah bibir prianya, Martha otomatis siaga. “Dia selalu aja manggil aku ganteng tiap lagi kerja. Udah aku ingetin juga nggak berhenti,” keluh Martin gemas. “Tadi aku udah bilang ke Julian, semoga aja dia bilang lagi ke Dalia dan adiknya ngerti. Konteksnya buat bercanda, tapi aku ‘kan nggak nyaman.”

Sebelum Martha sempat merespons keluhan bersama ekspresi kecut yang Martin suguhkan, ponsel suaminya memunculkan bunyi notifikasi yang cukup lantang dan ada pesan masuk dari seseorang.

See?” Martin menunjukkan isi pesan Dalia yang membuatnya gerah. “Dia chat jam segini, mana sok manggil ganteng.”

Martha yang tadinya ingin cuek lama-lama gemas juga dengan tingkah Dalia karena sudah keterlaluan. Bila Martin bisa menanggapi biasa, maka Martha tidak akan cemburu atau bereaksi berlebihan. Namun, melihat Martin yang ogah membalas chat dan gerah dengan panggilan mesra dari Dalia, Martha tidak dapat duduk manis seakan tidak peduli dengan nasib suaminya.

“Mana nomor Dalia? Biar aku yang tegur.”

Martin mengerjap beberapa kali, secara alami memberikan ponsel di tangannya pada Martha agar sang istri bisa mengetahui nomor ponsel Dalia dan menghubungi perempuan itu menggunakan ponselnya. Martin tersenyum takjub. Sejak masalah fitnah itu selesai dan Martha telah membuka blokiran orang tua serta metuanya, dia tidak lagi takut untuk beraksi sesuai porsinya, menunjukkan taringnya dengan jelas agar tidak ada yang mengusik ketenangan dia dan keluarganya.

Martin tidak melarang ketika Martha membawa ponselnya ke kamar, justru makin berdecak bangga karena perubahan istrinya makin menunjukkan sisi positif yang luar biasa.

Dari luar Martin senang Martha kian membaik dan tidak kesulitan untuk berekspresi, meski di dalamnya masih menjadi misteri hingga dia tidak tahu bahwa sang istri tetap kacau tanpa ada obat ampuh yang mampu memulihkannya.

Sebagai seorang Selebgram yang namanya cukup melejit meski tidak sebesar Selebgram lain, komentar netizen sudah menjadi hal biasa bagi Martha. Tidak sepenjuru negeri tahu eksistensi Martha layak selebritas pada umumnya, tetapi sosoknya tetap disorot oleh para pengikut dalam hal kecil hingga besar.

Akibatnya Martha harus selalu hati-hati ketika melangkah, sebab bagian mengerikan dari menjadi selebritas adalah ketika kesalahannya jadi sorotan publik tanpa henti. Gunjingan, cacian, makian, akan menjadi makanan sehari-hari ketika kesalahan itu menimpa. Tidak peduli itu kesalahan kecil atau besar, sekali berbuat salah di mata publik, maka akan berakibat fatal pada karier karena namanya telah tercoreng.

Well, berkarier di negara ini sebenarnya cukup mudah, karena ketika seseorang terjebak dalam skandal dan kesalahannya yang jadi sorotan, nama akan ikut naik dan pundi-pundi rupiah justru makin mudah masuk ke rekening. Miris tetapi itulah faktanya.

Lain dengan kasus Martha sekarang yang selalu waspada dengan langkahnya, dia tidak ingin namanya muncul di berbagai cuitan masyarakat karena hal buruk, terlebih ketika fitnah yang dilayangkannya akibat kejadian kemarin.

Martha yang percaya dirinya mulai bangkit kembali diruntuhkan ketika membaca satu unggahan buruk terkait dirinya, ditambah komentar busuk yang menggunjingnya terkait ulah dan fisiknya. Martha yang tadinya ingin bersenang-senang, harus menderita akibat isu miring yang menimpa.

Di depan Martin, wanita itu masih bisa tegar, pura-pura seakan tidak ada masalah besar yang mendekam di kepala. Sedangkan di belakang orang-orang, hanya Tuhan dan Markus yang jadi saksi bagaimana kondisi Martha selama dia berjuang melawan ucapan buruk seseorang yang dilayangkan untuknya.

Saat ini di sudut kamar dia melamun sembari memangku Markus yang memainkan bonekanya, menatap kosong ke arah kasur yang tidak bisa menjadi obat ampuh untuk lukanya.

Bohong bila Martha baik-baik saja setelah dijadikan bahan lawakan teman-teman Martin di studio, sampai dijadikan objek sindiran oleh ibu dan mertua. Buktinya Martha pernah hampir menangis menahan lapar hanya demi mengembalikan bentuk tubuhnya dengan cepat, memenuhi ekspektasi tinggi orang-orang yang hanya tahu bicara tanpa bisa mengulurkan bantuan.

Martha akhirnya bangkit dan berusaha menjadi diri sendiri, terlebih dukungan Martin baginya sudah cukup untuk menjadi fondasi kekuatan yang tengah dibangun lagi. Nyatanya fondasi itu kembali runtuh akibat kesalahan satu hari, didukung fitnah yang menguatkan ulahnya menjadi salah di mata manusia maha benar.

Martha boleh sudah menghapus seluruh aplikasi yang menjadi sumber kesakitannya, keluar dari grup yang dibentuk oleh Wulan untuk jauh dari lingkungan penuh racun. Namun, segala ucapan yang telanjur dia terima tidak dapat menghilang dari pikiran. Justru makin menancap bagaikan belati untuk menyakiti wanita itu dari dalam. Jika sudah begitu, jangankan untuk bangkit, mendengar kata-kata manis dari Martin pun akan sama pahitnya seperti ocehan masyarakat yang sedang tertawa di atas deritanya.

Hari ini Martha kacau, sampai ia memilih daster asal dan tidak merapikan dirinya dengan benar. Martha biarkan rambutnya berantakan, bibirnya kering tidak diberi pelembap, sedangkan wajahnya pucat pasi tanpa sedikit pun riasan.

Saat Martha sedang sibuk dalam pedih, tangisan Markus jadi interupsi dan mengembalikannya ke realitas. Martha menabur pandang pada putranya yang menangis, berusaha menenangkan seadanya sebab tenaga yang dimiliki pun belum sepenuhnya pulih.

Selagi tangannya mengelus punggung Markus hati-hati, Martha berkata, “Udah, nggak apa-apa, Nak. Jangan nangis, ya. Nanti Mama—”

Lantunan kata tidak sanggup Martha wujudkan melalui suara, sebab kata itu bertransformasi menjadi air mata penuh luka akibat perkataan buruk yang gagal dia lupakan. Makin keras Markus menangis, makin keras pula Martha ikuti. Markus menangis karena lapar, sedangkan Martha menangis karena merasa tak becus menjadi apa dia sekarang.

Martha mendekap Markus yang tidak berhenti menangis, menutup telinga putranya sedangkan wanita itu menjerit untuk mengeluarkan segala pedih di hati. Jelas gagal, karena makin kencang Martha meraung, makin menyeramkan pula ketika dia dihantui berbagai cacian yang berpeluru.

Tangannya tetap mengelus punggung Markus sembari berkata lirih, “Jangan nangis.”

Martha masih ingat untuk menenangkan putranya. Namun, di saat seperti ini, siapa yang akan menolong Martha?

Dulu lidah adalah taring yang tajam, sekarang jari seseorang menjadi senjata paling mematikan. Satu kata saja menyakiti perasaan orang lain, maka akan membunuh nyali seseorang tanpa tahu kapan bangkit.

“Masalah kemarin aku udah urus dengan baik,” ucap Martin bangga sembari mengamati gerak-gerik Martha yang sedang membuatkan makan malam Markus di dapur, tidak lupa mengajak putranya bermain yang tengah duduk anteng di high chair. “Aku udah dapet CCTV dari supermarket dan terbukti omongan di sosmed itu nggak bener. Rekamannya juga udah kesebar, jadi nggak ada lagi yang ngomong jelek soal kamu.”

Martha yang posisinya memunggungi suami dan anaknya tidak bereaksi apa-apa, tetapi diam-diam dia tetap tersenyum karena masalah yang membuatnya menangis nyaris seperti orang kehilangan arah tadi sudah reda. Setelah menuangkan makanan Markus ke mangkok dan membawanya ke ruang makan, barulah Martha bereaksi yang sangat dinanti Martin.

“Makasih udah beresin semuanya, Martin. Pasti capek ngurus masalah kayak gitu di sela-sela kerjaan,” ucap Martha seraya duduk di samping Markus dan mulai menyuapi putranya.

Tidak ada jejak air mata, apalagi sendu yang tersisa di wajah Martha. Wanita itu menyembunyikan segala duka yang dialaminya hari ini di balik riasan tipis, berhasil menghilangkan curiga hingga Martin tidak berpikir aneh-aneh soal istrinya.

“Aku nggak capek, soalnya selesai syuting podcast langsung ngurus semuanya. Itu juga nggak susah, kok. Ada sejam kali aku minta CCTV langsung dikasih, terus bikin pernyataan di sosmed, ngasih rekamannya ke salah satu media terpercaya, terus disebar sampai trending. Pokoknya ngurus penyebar hoax nggak susah karena dia nggak punya bukti apa-apa, beda sama kita yang ngalamin.” Martin belai rambut Martha yang dikuncir rapi. “Kamu nggak usah khawatir lagi, ya. Akun yang nyebar hoax juga lagi diselidiki. Nanti setelah datanya dapet, kita bisa tuntut dia atas dasar pencemaran nama baik.”

Kalimat terakhir Martin menghentikan gerakan tangan Martha yang mengudara untuk menyuapi Markus lagi. Menuntut seseorang? Berurusan dengan hukum? Sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam hidup Martha, apalagi jika itu berkaitan dengan orang lain sebagai pihak yang dilaporkan.

Martha letakkan makanan Markus di atas meja makan, mengabaikan putranya yang berusaha menggapai kembali mangkuk karena masih lapar. Reaksi Martha menimbulkan kerutan di dahi Martin, karena seharusnya sang istri senang, bukannya marah atau menunjukkan ekspresi kecut yang menolak tuntutan diadakan.

“Masalahnya udah beres, jadi nggak perlu nuntut penyebarnya juga, Martin,” tolak Martha setelah bungkam beberapa saat, jawaban yang sangat di luar prediksi Martin.

“Tapi dia udah bikin nama kamu jelek, Martha. Baiknya kita tuntut supaya nggak kejadian gini lagi, biar orangnya juga kapok. Kamu nggak perlu terlalu baik sama orang yang udah jahatin kamu.”

“Aku bukannya terlalu baik, Martin,” bantah Martha yang intonasi bicaranya sedikit meninggi. “Aku nggak mau ada komentar lagi yang bilang kita itu berlebihan. Udah cukup komentar sebelumnya bikin kamu capek bertindak, jangan sampai muncul komentar lain yang bikin keadaan makin kisruh. Lebih baik fokus sama hal lain, okay? Jangan lakuin hal berlebih yang bisa bikin kita jauh lebih rugi.”

Martha lanjut menyuapi Markus makan tanpa menunggu respons Martin, menganggap yang tadi sebagai final percakapan mereka tanpa hasil positif. Martin akhirnya menyerah, tidak mau memaksa Martha untuk melanjutkan ke langkah yang lebih jauh bila istrinya tidak menginginkan.

Seperti niatnya di awal, Martin akan membawa akun penyebar fitnah itu ke meja hijau bila Martha mengizinkan. Lantas kini Martha seolah ingin semuanya selesai tanpa ada drama lain yang memberatkan dirinya apalagi Martin. Selesai tanpa adanya sorotan publik yang ingin mengetahui lebih dalam terkait bagaimana situasi berjalan. Martha ingin semuanya kembali hening seperti biasa, jauh dari ocehan orang, hanya itu.

Dengan pilihannya, Martin belum puas tidak bisa bertindak semaunya. Kendati demikian Martin menghargai keputusan Martha asalkan itu yang terbaik untuk istrinya.

Selepas berbalas pesan dengan Julian—yang tidak biasanya baik—Martin segera ke kamar dan memeriksa keadaan Martha yang tadi masuk lebih dulu untuk menidurkan Markus. Tepat saat pria itu masuk, Martha tengah berdiri di samping ranjang putra mereka, mengamati Markus yang baru saja tidur dan memastikan bayi itu tidak akan bangun sampai waktunya tiba.

Martin berikan dekapan hangat dari belakang tubuh Martha, berusaha menyingkirkan kabar buruk dan komentar pedas yang netizen layangkan terkait istrinya. Benar soal Martha menegur anak SMA, sedangkan memakai fisik?

Astaga! Demi Tuhan itu adalah kabar paling konyol yang harus Martin musnahkan dari muka bumi sebelum Martha tahu dia sedang jadi bulan-bulanan manusia maha benar.

“Markus udah tidur, tuh. Kamu juga tidur, ya. Pasti capek.”

Sengaja Martin meminta demikian agar Martha tidak membuka ponselnya, langsung tidur daripada membaca isu miring terkait dirinya yang belum lama ini kembali ke Instagram. Martha langsung menurut, lantas berjalan mendekati kasur dan mulai berbaring, disusul oleh Martin setelah mematikan lampu hingga kamar gelap gulita.

Martin mendesah lega sebab Martha bisa istirahat tenang tanpa gangguan apa pun di kepalanya. Sayang, kelegaan itu hanya sesaat, karena tanpa aba-aba, Martha seketika bersuara hingga Martin kembali membuka matanya yang sempat terpejam.

“Salah ya aku negur anak SMA itu yang udah keterlaluan?”

Ya, Tuhan …. Martin tidak sanggup. Oh, semoga saja Martha hanya menanyakan perihal kejadian tadi, bukan tahu apa yang tengah ramai di media sosial.

“Martha, kamu nggak—”

“Aku nggak sampai mukul mereka, kok. Kenapa pada bilang aku mukul?”

Tersirat ketakutan di sana yang segera Martin halau oleh pelukan erat. Jika sudah begini, dapat dipastikan Martha telah memeriksa keadaan media sosial yang kisruh.

“Aku tadi iseng cek sosmed mau upload foto lagi, tapi … aku nggak nyangka tadi sebesar itu … jadinya … aku beneran nggak gitu … aku—”

“Iya, kamu nggak gitu. Aku saksinya, nanti aku yang urus sampai selesai. Kamu nggak salah kok, Sayang.”

Martin menyembunyikan wajah Martha di dadanya, mengelus punggung sang istri yang bergetar menahan segala rasa negatif pada dirinya. Selama ini Martha selalu tabah mendengar cemoohan orang lain terkait kondisi fisiknya yang berubah, sedangkan kali ini semuanya terlalu kacau, tak dapat ditimbun oleh ketidakpedulian.

Sama seperti Martin yang tidak mampu menahan diri untuk menerkam siapa saja yang telah mencaci istrinya, Martha pun tidak bisa berdiri kokoh lagi saat fitnah dan cacian berdatangan tiada henti untuk meruntuhkannya. Martha tidak menangis, justru Martin yang mati-matian menahan air matanya sebagai pengganti kemarahan yang gagal dilampiaskan.

Martha terkikik geli membaca rangkaian pesan yang Martin kirim pada Dalia—adik Julian—atas nama dirinya. Dalia langsung bicara formal di pesan itu setelah Martin memberi tahu bahwa Martha yang membalas pesannya, sedangkan pria itu dikatakan telah tidur.

Nyatanya sekarang Martin dan Martha tengah berbaring di tempat tidur, lalu di antara mereka ada Markus yang sedang bermain dengan boneka kecilnya, masih terjaga dan membuat orang tuanya ikut membuka mata sampai putra tunggal mereka tidur.

Martin tidak membalas pesan terakhir Dalia, menganggapnya sebagai final percakapan mereka yang tidak perlu diperpanjang. Martin lantas letakkan ponselnya di atas nakas, lalu berbaring miring agar bisa ikut bermain dengan Markus yang masih anteng seorang diri. Beginilah Markus. Siang rewel, malamnya kadang sulit tidur.

“Kenapa harus bawa-bawa nama aku, sih?” tanya Martha heran. “Entar Dalia mikir yang aneh-aneh soal aku.”

“Enggak akan, Sayang. Paling Dalia mikir istrinya Martin tegas banget, jadi takut buat godain.”

Martha membeliak. “Dia suka godain kamu?”

Martin menggeleng pelan. “Enggak, tapi aku tetep sebel sama dia. Soalnya waktu itu dia ngatain kamu juga, tapi caranya pake muji gitu, lho. Manis banget, padahal sebenernya ngeledek. Udah gitu dia kalau nanya apa-apa ke aku terus, padahal bisa ke Julian yang lebih banyak tahu. Enggak tahu, ya, tapi aku ngerasa dia kayak kurang profesional kalau lagi deket aku. Terus selalu muji ganteng, aku ‘kan jadi geli.”

Martha spontan terbahak mendengar keluhan Martin, sedikit mengejutkan Markus hingga boneka di tangannya terlepas yang segera sang mama kembalikan pada pemiliknya. Itu adalah fenomena teraneh yang pernah Martha dengar, karena sepanjang mengenal Martin, pria itu pasti akan senang ketika ada yang memujinya tampan atau menggemaskan.

“Tumben banget kamu geli dibilang ganteng. Kan biasanya juga dipuji terus sama penggemar kamu.”

Markus berdalih, “Kalau mujinya di IG, Twitter, atau komen YouTube aku nggak geli. Ini ‘kan langsung gitu mujinya.”

“Tapi kamu juga pernah dipuji langsung dan nggak geli, tuh. Malah bilang makasih kayak biasa.”

“Itu ‘kan beneran nge-fans dan biasanya dipuji langsung kalau lagi ada acara apa gitu, jadi pujiannya bisa aku terima. Nah, kalau Dalia mujinya pas aku kerja dan harusnya ‘kan paham itu nggak profesional. Tim di studio yang cewek nggak cuma dia, tapi dia doang yang demen muji aku sampai kayak gitu. Makanya aku nggak suka, kayak nggak inget aku udah punya istri.”

Alasan itu sangat masuk akal karena tidak semua pujian di waktu sembarangan bisa membuat Martin senang. Bila Martha mendengar langsung ketika Dalia memuji suaminya, wanita itu pasti akan ikut marah dan menegur karena tindakan adik Julian sangat tidak sopan.

Well, beruntunglah Dalia tidak berhadapan langsung dengan Martha ketika momen itu terjadi. Bila sampai terjadi, Martha tidak akan bertanggung jawab atas apa yang menimpa Dalia karena sudah menggoda suaminya.

“Aku juga pura-pura jadi kamu karena males ladenin chat Dalia di luar jam kerja. Kalau sama yang cowok aku masih oke, tapi kalau sama yang perempuan tuh males. Baru pertama nih dia tim perempuan yang chat aku jam segini, padahal dia bisa bilang ke kakaknya aja. Kan yang suka usulin narasumber itu Julian, bukan aku.”

Diam-diam Martha ikut kesal karena ulah Dalia mengganggu ketenangan Martin yang jelas tidak suka dengan caranya bekerja. Mau menegur, Martha bukan siapa-siapa di studio itu. Menegur pun atas alasan apa? Dalia menggoda suaminya? Alasan yang terlalu dangkal, apalagi bila hanya berasal dari lisan Martin saja.

Jika Martha menyaksikan langsung, dia pasti akan menegur secara terang-terangan. Bukan semata-mata tidak suka, tetapi memikirkan Martin yang tidak nyaman akibat ulahnya.

“Yaudah, sekarang kamu istirahat. Nanti kalau Dalia chat lagi, aku beneran yang bales,” titah Martha, di saat bersamaan baru sadar Markus akhirnya terlelap berkat mendengarkan ocehan orang tuanya.

“Aku nggak akan kegoda cewek lain, Martha,” ucap Martin saat Martha sudah duduk dan bersiap memindahkan Markus ke tempatnya.

Martin turut bangkit, merapatkan posisinya pada Martha yang sudah membawa Markus di pangkuannya. Pria itu raih dagu Martha, menyatukan birai mereka dan membagikan sebuah ciuman lembut yang penuh kasih tanpa pamrih. Martin tarik wajahnya dengan enggan, tetapi begitu rapat dirasa dengan Martha yang masih terbuai dalam ciuman singkat mereka.

“Mau kamu kayak gimanapun, aku tetep buat kamu. Jangan terpengaruh omongan orang lagi, oke?”

tw // body shaming

Belanja bulanan adalah kegiatan rutin yang tidak boleh lewat dari jadwal, bahkan diusahakan tidak boleh lebih cepat dari jadwal. Jika lebih cepat, artinya pengeluaran terlalu boros dan itu tidak baik. Setiap jadwalnya belanja, Martin pasti akan pulang cepat dan menjemput Martha serta Markus yang wajib diboyong.

Dibandingkan Martha, Martin orang yang lebih teratur soal urusan belanja. Pria itu akan lebih dulu tahu barang apa yang sudah hampir habis dan langsung mencatatnya di notes agar tidak lupa dibeli, memastikan persediaan masih ada hingga waktu berbelanja tiba, serta menggunakan persediaan sebaik mungkin agar tidak ada pemborosan.

Tidak sampai di situ, Martin jadi orang tersibuk mendorong troli dan mengambil keperluan sesuai notes di ponselnya yang digenggam oleh Martha. Tugas Martha selain menggenggam ponsel juga membacakan apa saja yang belum dibeli, serta tidak lupa mendorong stroller tempat Markus berada.

“Pampersnya Markus kamu aja yang pilih, ya. Aku bingung,” titah Martin, menunjukkan cengiran bingung melihat jajaran pampers dengan berbagai merk, ukuran, bahkan usia yang tidak terlalu familier di matanya.

Martha hanya tinggal menunjuk pampers apa yang biasa dipakai Markus sesuai ukurannya, lalu langsung mengambil dan memasukkan ke troli beberapa pack pampers untuk persediaan selama satu bulan.

“Tumben di list nggak ada susu kamu,” ucap Martha bingung ketika menyadari ada yang kurang dari daftar belanjaan hari ini. “Biasanya nggak absen dicatat.”

Sembari melanjutkan perjalanan menuju station lain, Martin berkata, “Susu aku masih ada, kok.”

“Masa, sih? Tadi pagi aku lihat susu kamu udah habis, makanya nggak minum.”

Masih sambil berjalan menelusuri supermarket yang luas, Martin menjawab seraya menunjuk ke satu arah menggunakan matanya, “Tuh, susu aku masih ada sampai sekarang.”

Martha sontak menutupi dadanya saat paham apa maksud Markus bicara begitu padanya. Martha layangkan pukulan pelan di lengan Martin yang hanya ditanggapi tawa seakan itu gelitikan kecil tak menyakitkan.

Saat sedang bermesraan di muka umum, ada empat orang gadis berseragam SMA tiba-tiba menghalangi langkah keluarga kecil itu. Keempat gadis itu tersenyum semringah menatap Martin yang langsung dipahami betul siapa mereka hingga bisa bereaksi demikian.

Martha spontan mundur dua langkah dan menutup stroller, sengaja agar wajah Markus tidak terlihat oleh mereka berempat. Martha mundur bukan karena rasa percaya dirinya yang tiba-tiba hilang, melainkan sebuah reaksi spontan di mana Martha akan melakukan hal itu ketika Martin bertemu penggemarnya.

Martha tidak mau dikenal sebagai gadis posesif dan mengawasi dengan intens interaksi Martin bersama para penggemar, jadi memilih menjaga jarak agar tidak membuat risi.

“Kak Martin, aku boleh minta foto nggak?”

“Aku juga mau foto dong, Kak Martin.”

“Aku juga mau foto ya, Kak.”

Please …, aku juga. Kakak ganteng banget, nggak nyangka.”

Keempat gadis itu langsung berebut meminta foto setelah Martin mengakui sosoknya. Satu gadis berkacamata berfoto lebih dulu, disusul oleh gadis berambut pendek, kemudian gadis berambut panjang, dan ditutup oleh gadis berhidung mancung yang paling heboh di antara temannya.

“Seneng banget ketemu Kak Martin di sini. Aku sering nonton podcast Kakak, lho,” ucap gadis berhidung mancung itu dengan atusiasme yang tinggi.

Teman-temannya yang lain tidak mau kalah, ikut memuji acara Martin, bahkan menyebut setiap bintang tamu yang ada dengan benar untuk membuat takjub pria itu karena acaranya sukses juga di kalangan remaja.

“Makasih, ya, udah nyempetin nonton. Kalau kalian mau nyaranin tema sama narasumber boleh DM ke akun podcast-nya langsung, ya. Nanti bisa dipertimbangin,” balas Martin persuasif, memanfaatkan situasi dengan baik.

Saat sedang berbincang kecil dengan Martin, gadis berkacamata yang netranya begitu jeli menemukan Martha di belakang Martin, langsung mengenali sosoknya meskipun terkejut dengan penampilan Martha yang sangat berbeda dari ingatannya.

“Itu … Kak Martha?”

Suara gadis berkacamata itu mengundang minat tiga temannya yang lain untuk melirik Martha di belakang, menciptakan situasi yang tidak nyaman dan patut segera disudahi adanya. Sebab jika tidak, rangkaian kata buruk akan berkicau tiada henti.

“Adek-adek, aku duluan—”

“Ihh, gendut banget, ya, sekarang.”

“Iya, perasaan pas di foto barunya nggak gendut.”

“Efek kamera kali, ya.”

“Efek baju itu, ketutup biar nggak kelihatan gendut banget.”

“Aduh, maaf banget, ya, Kak Martin. Aku kaget banget sekarang istri Kakak kelihatan beda dari pas nikahan. Waktu itu ‘kan cantiknya sampai bikin aku iri, sekarang agak … kurang, ya. Apa Kak Martin nggak malu?” “Kenapa harus malu?”

Martin membeliak ketika mendengar suara Martha di belakangnya bicara cukup lantang membalas empat anak remaja yang sudah mencemooh fisiknya. Martha mengambil satu langkah mendekat sembari mendorong stroller Markus.

Wanita yang sejak tadi menjaga image agar tidak terlihat buruk itu mulai mengeluarkan taringnya, tidak terima dicaci di muka publik sampai beberapa pengunjung supermarket menatap Martha dengan tatapan geli ketika empat gadis di hadapannya menggunjing. Martin yang sudah pasang badan untuk beraksi, memilih mundur untuk memberi spotlight agar sang istri menunjukkan taring yang selama ini ditahan.

“Dek, kalian mending belajar yang bener, termasuk belajar ngasih komentar yang baik ke orang. Kalian perempuan, suatu saat bakal ada di posisi saya. Kalau nanti udah ada di posisi itu, kalian bakal nyesel udah ngomong kayak tadi.”

Martha menatap satu per satu remaja yang mulai bergetar mendengar perlawanannya. Tipe anak labil yang hanya menindas orang lemah, tetapi tidak berani berkutik ketika merasa disudutkan.

“Kalian nggak perlu khawatir Martin bakal malu sama keadaan aku kayak gini. Kalau malu, Martin nggak akan bawa aku ke muka publik. Justru harusnya kalian yang malu belum jadi apa-apa tapi udah berani ngatain istri orang, apalagi nggak lihat situasi sebenarnya. Jadi, mending jangan sok tahu dan isi kepala kalian sama hal bermanfaat. Jangan urusin penampilan orang yang nggak ada untungnya buat kalian.”

Martha menyerang tanpa ampun, tidak peduli dengan image-nya yang mungkin rusak di mata banyak saksi hari ini. Serangan dari orang-orang di media sosial bisa dihadapi, ucapan buruk orang-orang di studio Martin bisa Martha halau, sindiran halus ibu dan mertuanya bisa Martha terima, tetapi penghinaan di depan publik tidak akan pernah dia beri ampun meski lawannya hanya anak labil.

Biarkan orang berkata apa, yang penting Martha bisa melindungi harga dirinya. Sudah puas menyerang keempat gadis yang masih tercengang di tempat, Martha berbalik untuk pergi ke area lain agar bisa jauh dari mereka.

Martin lantas menyusul seraya mengucapkan permisi, tersenyum bangga karena Martha bisa berani bersuara setelah selama ini bungkam. Namun, senyum itu hanya sesaat karena sayup-sayup Martin dengar keempat gadis di belakangnya melanjutkan gunjingan.

“Si gendut sok banget. Kayak paling sempurna.”

“Iya. Kasihan Kak Martin punya istri kayak gitu.”

Fake banget. Di sosmed kayak malaikat, aslinya iblis.”

“Amit-amit, deh. Gue doain Martha diselingkuhin sama Martin.”