hanyabualan

Bercinta. Begitu kata lembutnya.

Seks. Begitu kata frontalnya.

Kegiatan dahsyat yang memberikan kenikmatan—kalau boleh berlebihan bagaikan surga dunia—hingga membuat setiap insan yang melakukannya bisa teradiksi kuat. Saat seks dilakukan dengan orang yang begitu dicinta, maka kata yang tepat adalah bercinta.

Kata orang, melakukan dengan sosok yang dicinta rasanya akan jauh berbeda. Sebab di setiap aksinya akan diselipkan perasaan yang membuat kedua pemeran utama saling menghargai tanpa menggunakan ego masing-masing. Keduanya mendapatkan puncak tertinggi tidak hanya demi mencicipi surga dunia, tapi juga saling mengungkapkan cinta dengan cara berbeda.

Sebab itu bercinta menjadi kegiatan paling intim dalam sebuah hubungan yang menciptakan koneksi kuat tanpa lisan. Koneksi yang dibuat saat kedua pemeran utama saling berbicara melalui sentuhan penuh damba, berbagi kenikmatan sebagai pengganti kata, serta bercumbu mesra sebagai penutup kegiatan.

Sayangnya, tidak semua orang mendapatkan kenikmatan setinggi itu meski dengan orang yang amat dicintai—terlebih di saat keduanya sama-sama amatir, tidak tahu cara memulai apalagi mengakhiri—maka kegiatan intim itu terasa menyiksa sebab hasrat yang naik turun dan hanya menyisakan rasa sakit.

Well, sekiranya itulah yang dialami oleh pasangan baru ini; Jeremy Adinata dan Anata Hapsari, yang di minggu kedua pernikahan mereka belum mengenal apa itu kenikmatan bercinta. Mencoba beberapa kali di tiap minggunya, tetapi selalu gagal akibat rasa tegang yang mendominasi dan bingung cara mencuri. Terlebih dari sisi Anata yang terlalu malu saat mengekspos bagian tubuhnya, serta takut membayangkan pusat tubuh Jeremy memenuhi dirinya.

Jeremy yang tidak tega harus meredam adrenalinnya dan memprioritaskan kenyamanan Anata, tetapi sayangnya dia tidak tahu cara membuat istrinya bisa lebih relaks. Alhasil percobaan setiap malamnya gagal, selalu ditutup dengan kata maaf yang tidak seharusnya terucap. Seperti hari ini.

“Maafin aku, ya,” lirih Anata sembari menutupi tubuhnya rapat dengan selimut. “Aku masih aja nggak siap.”

Jeremy yang berbaring di samping Anata menariknya ke dalam pelukan. “Enggak apa-apa, aku juga bingung harus gimana. Kita sama-sama belum siap. Jangan minta maaf terus, ya.”

“Tapi kasihan kamunya. Tiap nyoba gagal mulu.”

Keluhan sang istri malah mengundang tawa, memecah ketegangan yang sempat menyiksa saat aktivitas amatiran mereka masih berjalan.

“Emang akunya juga payah.” Jeremy mengakui kekurangannya. Dia selipkan anak rambut Anata di belakang telinga dan kini wajah istrinya yang merona tampak jelas cantiknya. “Masih ada nanti, Anata. Sekarang kamu istirahat, baru nanti mandi duluan, ya.”

Anata hanya mengangguk dengan mata setengah terpejam, makin berusaha menyembunyikan tubuhnya yang sudah terbungkus rapat, seakan masih ada bagian terekspos yang tidak boleh dilihat orang. Lagi, Jeremy tertawa menyadari usaha Anata yang terlalu jelas. Sudah tidak terlihat apa-apa, tapi Anata masih merasa ‘terbuka’.

“Udah nggak kelihatan, Sayang. Apa lagi yang mau ditutupin?”

Gerakan tangan Anata terhenti kala Jeremy membahas usaha menutupi daksanya. “Aneh tahu nggak pake apa-apa gini,” cicit Anata. “Sama … malu.”

“Enggak usah malu. Aku udah lihat, kok. Ini aja kerasa di dalem selimut.”

“Ihh, nyebelin!”

Anata berusaha menjaga jarak saat sadar gesekan antar kulitnya dengan Jeremy di dalam selimut bisa berbahaya untuk kesehatan jantungnya. Gelak tawa kembali terdengar saat Anata mundur menjauh, tapi untungnya bisa segera ditahan oleh Jeremy hingga jarak mereka kembali menipis. Anata refleks menahan napasnya sejenak, sedikit demi sedikit diembuskan kala jarak wajah mereka ikut menipis hingga sang puan bisa merasakan terpaan napas hangat sang pria di sekitar parasnya.

“Jangan jauh-jauh.”

Bak mantra, Anata tidak berusaha menjauh dan membiarkan indra peraba mereka bertemu tanpa penutup di balik selimut. Anata tundukkan pandang, masih merona meski kegiatan mereka telah usai.

“Anata,” bisik Jeremy, masih dengan mata terpejam.

Tetap dengan pandangan tertunduk, Anata membalas, “Kenapa?”

“Aku tahu kenapa kita gagal terus.” Jeremy membuka mata sambil sedikit bangkit dan mendekati daun telinga Anata. Tanpa menunggu respons sang lawan, Jeremy kembali berbisik, “Soalnya kita nyoba di rumah ibu aku.”


Anata berbinar kala memandangi rumah di depannya yang sudah finish dan tinggal diisi. Rumah hasil jerih payah Jeremy yang sebentar lagi akan menjadi tempat tinggal mereka. Di bagian depan diwarnai cat abu-abu dan putih, dengan teras yang luas, serta ada garasi di sampingnya untuk kendaraan. Di pekarangan ditanam beberapa bunga untuk mempercantik hunian, bahkan rencananya akan ditambah setelah ditempati mereka.

Selama 3 minggu menikah, Jeremy dan Anata masih tinggal di rumah Daniar—ibu Jeremy—yang wataknya kurang ramah pada sang menantu. Well, kurang lebih itu yang Anata rasakan, sebab Daniar secara terang-terangan selalu sinis dan menyindir soal kesibukannya, bahkan tidak ragu melakukannya di depan Jeremy.

Beruntung Jeremy selalu membela Anata, ditambah Anata juga tidak mau memusingkan omongan orang yang tidak memberi untung untuknya. Selama Daniar dan Anata masih memiliki hubungan baik, sindirannya wanita itu anggap sebagai cara mertuanya mengakrabkan diri.

“Gimana?” tanya Jeremy setelah mereka memasuki rumah yang tidak Anata sangka sudah diisi furnitur seperti sofa, meja, televisi, ditambah AC yang segera dinyalakan oleh sang suami agar rumah lebih sejuk. “Kok diam aja?”

Pertanyaan itu menyadarkan Anata ke realitas, lalu dia tatap suaminya yang mengernyit bingung—khawatir istrinya tidak suka dengan rumahnya. “Kamu udah pernah bilang lagi bangun rumah buat kita berdua, tapi aku nggak nyangka kalau rumahnya udah diisi gini.”

Jeremy makin mengernyit mendengar respons tidak terduga itu. “Rumahnya ‘kan harus diisi, Anata. Aku nggak mau bawa kamu saat rumahnya masih kosong.”

Anata manggut-manggut dan menjelaskan, “Aku paham, tapi maksudnya kamu nggak bilang udah diisi. Kalau dari awal bilang, aku bisa bantu buat beli furnitur apa gitu buat ngurangin beban kamu. Bukannya aku nggak hargain usaha kamu atau mikir furnitur yang kamu pilih jelek, ya. Justru aku bersyukur banget dan furniturnya bagus-bagus, sesuai sama suasana rumah. Cuma … aku nggak enak aja karena semuanya pake biaya kamu. Padahal rumahnya buat kita tinggal, tapi aku nggak bantu dana apa-apa. Makanya aku … nggak enak.”

Rasa lega menjalar karena pikiran buruk Jeremy runtuh berkat penjelasan itu. Sedikit heran mendengar respons yang tidak terduga, tapi Jeremy yang paham istrinya tidak mau membebankan satu pihak setelah menikah jadi memaklumi reaksinya.

“Anata, aku udah punya rencana bangun rumah ini sebelum kita ketemu. Pembangunannya dimulai waktu kita baru pacaran, terus baru aku kasih tahu ke kamu sebelum nikah soal rumah ini. Jauh sebelum kita jadian, rumah ini udah jadi janji aku buat ditempatin sama istri. Awalnya aku kira bakal ketemu jodohnya lebih lama,” Jeremy mengelus surai legam Anata yang dibiarkan terturai, “tapi ternyata lebih cepet dari perkiraan. Makanya aku nggak mau bebanin kamu soal dana, karena rumah ini udah rencana dari sebelum kita ketemu. Anggap aja rumahnya hadiah pernikahan. Jadi, jangan ngerasa terbebani karena kamu nggak keluar dana atau apa. Oke?”

Anata mengulum senyum setelah mendengar penjelasan panjang Jeremy yang membuatnya tidak lagi menuntut diri. Benar, rumah itu sudah jadi rencana Jeremy sejak jauh-jauh hari—sejak sebelum mereka saling mengenal. Maka tidak heran Jeremy merasa rumah yang akan mereka huni menjadi tanggung jawab dia sepenuhnya selama pembangunan.

Anata yang dianggap ratu oleh sang suami tinggal tahu jadi dan siap untuk tinggal bersamanya di tempat baru. Tiba-tiba Jeremy menarik Anata, menggiringnya memasuki ke bagian lebih dalam rumah untuk melihat-lihat isinya lebih dekat.

Lokasi pertama adalah ruang tamu yang diisi sofa untuk satu dan dua orang dengan mejanya, ruang keluarga untuk mereka kumpul yang dilengkapi televisi dan home theater, kamar mandi dan laundry room, halaman belakang rumah yang baru diisi rerumputan serta lampu untuk bersinar saat malam, kemudian menuju dapur yang lengkap dengan kitchen set dan menyatu bersama ruang makan berkapasitas enam orang.

“Di sini kamu bisa masak,” ucap Jeremy sambil menunjukkan setiap sisi dapur yang terbilang luas.

“Aku nggak bisa masak, Mas. Jangan lupa itu.”

Jeremy tertawa tanpa mempermasalahkan kekurangan yang Anata miliki. “Kita bisa belajar masak bareng, Anata.” Pria itu meraih Anata mendekat dan melingkarkan lengannya di sekitar pinggang sang istri. “Sarapannya masak bareng, makan siangnya beli masing-masing di tempat kerja atau bikin bekal bareng, terus makan malamnya masak bareng lagi.”

Bayangan-bayangan manis di masa depan menciptakan rona di pipi Anata yang tidak sabar untuk menjalani haru baru di tempat baru. Bukan berarti tinggal di rumah Daniar sangat tidak nyaman, tapi Anata merasa sungkan dan ingin tenang dari sindiran yang dialamatkan padanya.

Toh, hidup berumah tangga memang diharuskan berpisah dari orang tua, bukan? Dengan begitu tidak ada pertikaian antara keluarga atau ikut campur dari orang luar.

“Aku tunjukin kamar, ya.”

Jeremy kembali menarik Anata menuju kamar tamu yang lengkap dengan kasur, lemari kecil, nakas, dan meja rias. Kamar yang bisa dihuni oleh dua orang jika nanti ada kerabat berkunjung. Hanya sebentar di sana, karena tujuan terakhir mereka adalah kamar utama yang akan menjadi tempat istirahat sepanjang menjalani rumah tangga.

Kamarnya lebih luas dari kamar tamu, dilengkapi televisi, kasur king size, kamar mandi dalam, nakas, meja rias putih yang besar untuk segala jenis riasan dan skincare Anata, rak buku, sampai ada meja kerja khusus untuk Anata mendesain pakaian.

Warna dindingnya masih sama; putih dan abu, menciptakan suasana yang cerah sekaligus nyaman ketika mereka memasukinya. Biasanya Anata butuh waktu panjang untuk beradaptasi di tempat baru, tapi kali ini hanya dalam satu datang saja sudah membuatnya betah.

“Ada yang mau kamu ubah?” tanya Jeremy seraya memeluk Anata dari belakang. “Silakan aja, siapa tahu kamu kurang suka sama furnitur yang aku pilih.”

Anata menggeleng sembari menatap sekeliling kamar dengan berbinar. “Semuanya udah pas. Aku nggak suka warna ngejreng atau yang aneh-aneh, jadi pilihan kamu udah oke banget.”

“Tapi kalau nanti-nanti mau diubah tinggal bilang, ya. Aku bakal nyanggupin.”

Anata hanya mengangguk untuk mengiyakan kesanggupan Jeremy jikalau sang istri tiba-tiba ingin mengubah sesuatu di rumah baru mereka. Jeremy membawa Anata berbaring di atas permukaan kasur yang dilapisi sprei berwarna biru, menimbulkan desah nyaman kala tubuh mereka menemukan tempat istirahat setelah seharian bekerja.

Awalnya Jeremy dan Anata berbaring telentang untuk mencoba senyaman apa istirahat di kediaman baru mereka yang akan mulai diisi minggu depan—hasilnya sangat nyaman, tenang, tanpa beban karena Daniar tidak bersama mereka. Sampai akhirnya Jeremy berbaring miring menghadap Anata dan mendekatkan daksanya agar lebih rapat, bahkan berani mencium pelipis dan pipi sang istri.

Anata yang tadinya terpejam perlahan membuka matanya, menemukan sosok Jeremy yang jaraknya amat dekat hingga embusan napasnya bisa dia rasakan jelas. Bukan sekali mereka sedekat ini, bahkan sudah beberapa kali dalam keadaan tidak berbusana, tapi Anata selalu merasa asing sebab dampaknya pasti tidak baik tiap mereka rapat.

Belum sempat bertutur kata, birainya dikunci oleh ciuman ragu-ragu yang disuguhkan Jeremy, mencari sesuatu untuk dicecap sebagai bukti kasih. Awalnya kaku layaknya sang amatir, lama-lama berubah ulung saat Anata mulai memejamkan mata dan menikmati. Anata remas kerah kemeja Jeremy yang dua kancing teratasnya sudah dibuka dan dasinya disingkirkan sejak dia menjemput sang istri di butik.

Di situlah sang pria mendominasi dengan berbaring di atas Anata, menahan tubuhnya dengan tangan sebagai tumpuan. Ciuman pertama mereka di hari ketiga pernikahan lalu sangat aneh, tapi berikutnya bagaikan ektasi yang begitu adiktif. Jeremy tarik bibirnya dengan enggan saat mereka membutuhkan napas banyak setelah puas beradu saliva.

Sang pria tatap istrinya dalam, memuja tiap titik paras rupawan yang pernah menyihirnya hanya dalam satu kali temu. Begitu cantik dan tiap harinya makin cantik—bahkan kalau boleh berlebihan, Anata makin cantik tiap detiknya.

“Mau coba sekali lagi?”

Pertanyaan itu …. Anata paham sekali maksudnya ke arah mana. Matanya liar memandang ke kiri dan kanan, sampai berakhir kembali pada Jeremy yang menunggu jawabannya.

Anata merespons ragu, “Enggak apa-apa?”

Jeremy tergelak mendengar respons menggemaskan itu. “Aku nggak apa-apa. Kamunya gimana? Kalau belum siap, mending jangan. Aku nggak mau kamu kesakitan kayak kemarin.”

Ah, benar. Kemarin Jeremy dan Anata kembali mencoba, tapi lagi-lagi gagal dan hanya menghasilkan rintih kesakitan. Tiap dibahas selalu membuat Anata malu dan bersalah karena merasa tidak bisa memberikan apa yang sang suami harusnya dapatkan. Anata ingin menolak karena bayangan kesakitan beberapa kali percobaan menggentayangi pikirannya.

Namun di sisi lain, rasa penasarannya amat tinggi. Ditambah mereka hanya berdua, lebih bebas, jadi tidak perlu takut tertangkap basah oleh Daniar. Well, tidak ada salahnya mencoba lagi, bukan? Anata tidak mau kegiatan seksual mereka gagal berkembang ke arah yang baik.

“Mas, kamar mandinya udah bisa dipake?”

Jeremy mengernyit mendengar pertanyaan yang di luar konteks. “Bisa, kok.”

Anata bertanya lagi, “Ada sabun sama handuk nggak?”

Masih sembari mengernyit, Jeremy menjawab, “Ada. Aku langsung beli lengkap pas rumah ini mulai diisi barang.”

Dua pertanyaan krusial itu dijawab dengan baik dan menghasilkan kepuasan bagi sang penanya. Anata mengulum senyum dan meremas biceps Jeremy yang terkurung di balik kemeja lengan panjangnya. “Kita mandi dulu, yuk.”


Hanya dililit handuk yang menutupi dada hingga pahanya, Anata Hapsari keluar dari kamar mandi dengan canggung setelah menyelesaikan ritualnya. Jeremy Adinata yang sudah segar sejak tadi juga hanya dililit handuk untuk menutupi bagian bawah perut sampai lututnya. Astaga! Pemandangan itu.

Baru juga beberapa langkah dari kamar mandi, Anata langsung disuguhkan panorama indah berwujud pahatan sempurna dari tubuh sang suami yang membuatnya blank seketika. Bukan yang pertama, tapi sama seperti kedekatan mereka tadi, apa yang Anata lihat di depannya masih terasa asing dan berdampak pada hilangnya kewarasan.

Jeremy yang awalnya menunggu dengan sabar di samping tempat tidur, perlahan mendekati Anata yang malah bergeming di tempat akibat tidak berani mengangkat tungkai. Seakan tidak mau basa-basi, Jeremy meraih bibir Anata begitu posisi mereka sudah dekat, membuka keintiman yang diharapkan kali ini akan berhasil.

Anata pejamkan mata dan mencoba membalas setiap lumatan birai sang pria pada miliknya, tangannya mengelus punggung Jeremy yang masih terasa sedikit basah hingga meninggalkan efek segar kala sang istri jamah. Aroma mint menguar ke indra penciuman masing-masing, menambah animo yang kian naik di setiap decapannya.

Dengan mudah Jeremy menanggalkan handuk Anata, disusul dengan handuk sang pria yang ikut lolos hingga kini mereka tidak dibalut kain apa pun. Biasanya Anata malu, tapi kali ini rasanya lain sebab dia tidak waswas akan tertangkap basah oleh orang lain—maksudnya Daniar.

Bibir Jeremy turun ke leher Anata yang menengadah untuk menikmati sapuan lidah pada titik sensitifnya. Anata remas surai legam suaminya sebagai pelampiasan rasa yang tidak biasa, menggigit bibirnya kuat-kuat karena enggan bersuara dengan bebas. Sadar ada yang ditahan, Jeremy menatap Anata yang masih di ambang kenikmatan bibirnya.

“Jangan ditahan kalau mau ngeluarin suara, Anata,” bisik Jeremy seduktif. “Cuma kita di sini.”

Perintah itu disanggupi sang puan, membuka kurungan yang membatasi gerak tubuhnya untuk mengekspresikan kepuasan biologis. Jeremy mengangkat tubuh Anata, membawanya ke tempat yang akan menjadi saksi bisu aktivitas mereka, lalu merebahkannya perlahan di posisi tengah yang disusul oleh sang pria dengan kedua tangan di sisi kiri dan kanan sebagai tumpuan.

“Kamu mau apa dulu, Anata?”

“G-gimana?” Anata tidak paham dengan maksud pertanyaan itu.

“Mau gini?”

Satu lenguhan lolos dari bibir Anata kala jemari Jeremy bermain di dadanya. Titik sensitif lain yang awalnya tidak berani jamah, kini berada dalam genggaman seolah dia sudah menguasai segalanya. Saat jemari Jeremy berpindah ke sisi yang belum tersentuh, gairah Anata makin naik hingga ke ubun-ubun. Wanita itu mengangguk, seakan menjawab pertanyaan Jeremy yang tidak mampu dilisankan, serta memberi kode agar pria itu terus melakukan hal sama di titik terbaiknya.

Masih menit-manit awal, tapi melambungkan gejolak tersembunyi dalam diri Jeremy karena bisa melihat gelora kepuasaan sang istri. Begitu cantik dan menggairahkan. Jemari lentik itu perlahan menelusuri area-area lain yang belum sang pemilik jamah, berakhir di antara tungkai sang istri yang melentingkan tubuhnya akibat gerakan tidak terduga.

Jeremy berikan kepuasan lain dengan bibirnya pada birai Anata, menahan lenguhan yang ingin terus dikeluarkan tanpa membuat sang istri merasa kembali terkurung. Jemari Anata meremas punggung Jeremy untuk menyalurkan rasa yang membuatnya melayang. Alih-alih sakit, Jeremy justru menyukai remasan itu dan berharap Anata akan menambah kekuatannya.

Jeremy menarik bibir dan jarinya, lalu perlahan membalik tubuh Anata hingga tengkurap. Di sanalah Jeremy kembali bermain, mengecup tengkuk dan turun hingga punggung. Anata mendesah tiap merasakan kecupan demi kecupan yang memanjakannya, memberi tahunya bahwa ternyata setiap bagian tubuhnya menciptakan intonasi berbeda saat desahan keluar.

Bagaikan mendengar melodi yang indah, desah itu amat merdu di rungu Jeremy. Ini lain dari biasanya, sungguh! Sebab durasi sesi pemanasan lebih lama daripada percobaan sebelumnya, membangkitkan pusat gairah Jeremy dan membasahi inti tubuh Anata. Padahal baru saling bercumbu, tapi mengucurkan banyak peluh yang saling dibagi sebelum menyatu.

Permainan jari dan bibir Jeremy menjadi juara! Seakan-akan dia sudah belajar cara untuk memuaskan pasangan agar tidak mengulangi kesalahan.

“Bentar.”

Anata menahan Jeremy saat akan memulai inti permainan mereka setelah wanita itu kembali telentang. Paham apa yang dipikirkan sang istri, Jeremy segera menenangkan.

“Kalau kamu belum siap, nggak apa-apa, bisa dicoba lagi nanti.”

“Aku cuma mau minta tolong pelan-pelan. Bukan mau berhenti.”

Jeremy terkekeh, masih bisa serelaks itu saat Anata sudah dirundung malu. Jeremy kecup kedua pipi Anata, membiarkan tangan sang istri mencengkeram kuat pundaknya demi menyalurkan rasa tegang agar hilang. Jeremy pandang Anata yang merona akibat kepanasan—sama sepertinya. Tersenyum sebagai pria yang kasmaran dan tidak berhenti jatuh dalam cinta pada sang puan.

Dengan napas terengah akibat lelah dan tidak sabar memulai lagi, Jeremy berkata, “Kamu cantik, Anata ….”

Sebuah pujian itu menghibur Anata yang sempat ketakutan, menghipnotisnya dalam pesona Jeremy yang dibiarkan memonopolinya. Anata tersenyum, tapi hanya bertahan beberapa detik sebelum mendapati benda asing berusaha memenuhi pusat tubuh. Pandangannya hanya tertuju pada Jeremy yang beradu tatap dengannya, sedangkan yang di bawah tetap berusaha menerobos pertahanannya.

“Are you okay?”

Anata mengangguk dengan mulut sedikit terbuka.

“Lanjut?”

Lagi, hanya anggukan yang mampu Anata suguhkan sebab dia sudah termantrai kasih Jeremy. Rintih perih itu tidak pelak untuk mengadu, tapi sebagai penanda agar Jeremy terus lanjut. Jika sebelumnya Jeremy mengeluh sulit untuk menembus, maka kali ini dia merasa jalannya perlahan terbuka untuk menerobos. Tetap tidak mudah, tapi terasa pergerakannya menghantarkan sedikit demi sedikit kenikmatan luar biasa.

Anata memeluk Jeremy erat dan napasnya terputus-putus saat pertahannya berhasil tembus, mencicitkan ngilu saat dia merasa terisi penuh. Jeremy tidak tahu sepedih apa, tapi dia paham rasa yang tidak biasa karena ikut merasakan. Bersarang di tempat asing untuk pertama kalinya, melepaskan status perjaka dan gadis bersama-sama.

“How?”

Anata perlahan kembali berbaring di posisi, menjawab Jeremy yang masih menanti kesiapan diri. “Aneh,” jawab Anata yang makin mencengkeram kuat pundak sang suami.

Jeremy tersenyum karena Anata tidak mengatakan sakit, yang artinya dia sudah menerima rasa asing pada inti. “Aku sayang kamu, Anata.”

Saat Anata masih susah payah membiasakan diri, maka di situlah Jeremy menghibur. Anata tersenyum, menarik tengkuk Jeremy dan mencium bibirnya sebagai pengganti kata yang tertimbun. Permainan inti yang selalu gagal akhirnya dimulai, bertempo lambat dan tidak teratur karena keduanya harus meraba-raba bagaimana bergerak.

Nikmat dan sesak, begitu pikir Jeremy yang baru pertama kali melakukan seks. Oh, tidak. Ini jauh dari sekadar seks. Sebab mereka melakukannya dengan rasa yang membuat aktivitas seksual ini jadi terasa berarti. Bukan saja menyatukan daksa untuk menuju puncak, tapi menyatukan cinta selain lewat kata melalui kenikmatan.

Jeremy mulai bergerak teratur, membimbing Anata pada kenikmatan yang sudah lebih dulu dia dapatkan. Rasanya seperti dibawa melayang hingga Anata pejamkan mata dan menyerahkan dirinya untuk diangkat menuju nirwarna. Masih sedikit-sedikit perih, tapi bisa diatasi kala Jeremy bergerak di titik tepat yang menimbulkan melodi desah. Kenikmatan baru yang jauh lebih adiktif dari ciuman, membuat keduanya yakin mereka akan melakukan lebih sering setelah sepenuhnya tinggal berdua.

Puncak kenikmatan akhirnya mereka temukan yang didahului Anata bersama teriakan pelepasannya, disusul Jeremy yang menggeram setelah memenuhi kebutuhan biologisnya. Jeremy menyingkir dari atas tubuh Anata, berbaring di samping sang istri yang napasnya sama-sama terengah. Mereka pejamkan mata untuk menikmati sisa-sisa nirwarna yang memabukkan. Tidak pernah melihat seperti apa wujudnya, tapi surga dunia yang orang-orang katakan sudah mereka cecap.

“Gimana? Nyaman?” tanya Jeremy yang sudah lebih relaks dan memeluk Anata yang masih mencoba menormalkan deru napasnya.

Di sela-sela usahanya itu Anata masih sanggup menjawab, “Nyaman. Aku ngerasa … puas.”

Jeremy tersenyum sebab merasakan hal sama. Dia kecup dahi Anata yang berpeluh deras sepertinya, lalu menyelimuti tubuh mereka untuk istirahat sejenak sebelum membersihkan diri dan makan malam. Puncak kenikmatan tertinggi itu akhirnya bisa mereka raih, membuat Jeremy dan Anata merasa terkoneksi kuat meski tidak lagi menyatu. Sebab aktivitas mereka bukan sebatas kebutuhan biologis yang meronta-ronta dipenuhi, tapi juga untuk membuktikan cinta dengan cara lain.

“Mas,” panggil Anata sembari memandang Jeremy yang masih terpejam. “Kenapa?”

“Kalau aku minta lagi, kamu sanggup nggak?”


Akhirnya jadi juga ini Jeremy-Anata wkwkwk. Semoga suka sama oneshotnya, gak capek juga karena ini sampai 3200 kata xD Makasih udah baca. Jangan lupa tinggalkan jejaknya ^^

2,2k Kata. Enjoy ^^

Para pemain, staf, kritikus, investor, aktris yang didampingi perwakilan agensi, dan penonton yang beruntung telah memasuki teater untuk sesi screening film Perfect Wife. Jibran, Kalani, dan Samuti Rakha duduk di deretan tengah bersama jajaran pemain lain yang tidak sabar untuk menonton hasil dari kerja keras mereka.

Di bagian operator, sang projectionist ditemani oleh Trian yang telah diajak bekerja sama untuk menayangkan sesuatu menuju akhir film. Projectionist tersebut tidak menaruh curiga saat Trian mengatakan ini kejutan untuk penonton, jadi dia menyanggupi perintah dari manajer Jibran tersebut. Setelah sambutan dari Samuti Rakha selaku sutradara dan produser, film berdurasi dua jam itu akhirnya ditayangkan dan para penonton mulai menikmatinya.

Para kritikus serius menonton, berusaha menilai secara objektif dari segi akting dan alur cerita yang disajikan. Dari semua jajaran pemain yang andal, akting Jibran jadi perhatian mengingat ini film romansa pertamanya dan banyak yang menaruh ekspektasi di dalamnya. Beruntung, sejauh ini penilaian yang diberikan sangat baik dan penonton berhasil larut dalam karakter manis Jeremy.

Kalani yang duduk di samping Jibran tiba-tiba meraih tangan pria itu dan menggenggamnya erat. Jibran yang fokus menonton lantas menoleh dan mendapati Kalani tersenyum manis, layaknya wanita yang kasmaran dan bangga dengan dirinya serta Jibran. Sang aktor hanya tersenyum seadanya, lalu kembali memusatkan atensinya pada film yang masih tayang.

Kalau boleh jujur, Jibran merasa geli melihat aktingnya sebagai pria romantis. Bukan karena jelek—sebab jika boleh percaya diri, Jibran merasa aktingnya sangat bagus—melainkan aneh melihatnya sok manis pada lawan main. Namun, rasa geli itu berubah jadi kebanggaan saat reaksi-reaksi positif berupa tawa dan sorakan kecil terhadap beberapa scene, yang artinya akting Jibran berhasil menggetarkan hati para penonton dan merasa ekspektasi mereka terpenuhi.

Di babak terakhir film para penonton tersentuh saat adegan Anata yang diberi restu oleh ibu Jeremy, beberapa bahkan Jibran tangkap sedang menangis dan menyeka air mata. Dari reaksi-reaksi itu, Jibran amat yakin ekspektasi penonton hampir seratus persen terpenuhi.

Sampai saat memasuki adegan terakhir, layar teater tiba-tiba mati dan membuat heran para penonton yang merasa digantung. Jibran tetap tenang karena rencananya akhirnya berjalan, berbanding sekali dengan Kalani dan Rakha yang panik tapi masih berpikir ini adalah kesalahan teknis semata. Begitu layar kembali menyala, semua penonton akhirnya bisa lega. Namun, kelegaan itu digantikan oleh kerutan di dahi saat yang terdengar hanya rekaman suara.

“Saya tahu kita lagi fokus makan, tapi gimana kalau sambil omongin sesuatu yang udah jadi rencana lama? Supaya makan malamnya nggak tegang.”

“Boleh sekali, Bu. Adik saya juga kelihatan nggak sabar mau cepet bahas hal ini.”

“Bu Mia, sebelumnya boleh saya memperkenalkan diri dulu di depan Jibran? Dia udah kenal saya sebagai sutradara, jadi kali ini saya mau kami saling kenal sebagai sosok lain.”

“Silakan aja, Pak Rakha.”

“Jibran, kenalin. Saya Samuti Rakha, papanya Kalani, perempuan yang mau dijodohin sama kamu. Di sebelah Kalani ini ada Timon, dia omnya Kalani, terus di samping Timon ada Aiden, anak sulung saya dan kakaknya Kalani.”

Suara orang tua Jibran—yang sudah dapat izin untuk dimasukkan—suara Aiden, dan suara Samuti Rakha saling bergantian di rekaman. Awalnya percakapan biasa, tapi berubah geger ketika Rakha memperkenalkan diri sebagai ayah dari Kalani. Makin geger lagi saat sesuatu yang besar kembali dibongkar hingga Kalani dan Rakha panik di tempat.

“Saya udah nyiapin film Perfect Wife sejak lama untuk anak saya, Kalani, yang jadi inspirasi sosok Anata Hapsari. Jauh sebelum ada perjodohan ini, saya udah latih Kalani untuk berperan sebagai Anata, dandan kayak Anata, karena itu dia sempurna. Setelah perjodohan ini dimulai, saya belum kepikiran untuk jadiin kamu lawan main Kalani. Sampai ketika mama kamu mau batalin perjodohan, saya nggak bisa diam aja dan ancam dia dengan bawa-bawa kamu.”

“Jadi, Anda yang ngasih ide untuk jatuhin karier saya dengan buat kabar hoax? Anda kerja sama dengan Mister Timon yang diajak sama seseorang untuk bikin kabar itu.”

“Kamu bener banget, Jibran. Lewat orang CelebStat, Timon diajak untuk ngasih kabar buruk soal kamu. Sayangnya Timon nggak setuju, kecuali soal perjodohan. Akhirnya saya pake alternatif lain, yaitu nawarin kamu main film ini lewat Timon. Apalagi saya tahu kamu mau keluar dari Punch, dan Timon setuju film itu akan jadi syarat supaya kamu keluar, sedangkan untuk saya iu adalah cara supaya kamu dekat sama Kalani.”

“Jadi, dari awal udah ada kecurangan,” ketus Jibran. “Enggak heran akting dan penampilan dia yang paling baik di antara yang lain.”

“Itu strategi, Jibran. Toh, kamu sendiri yang milih Kalani berdasarkan akting dan performanya. Malah saya sempat takut kamu nggak akan milih Kalani.”

“Tapi itu tetap curang, Pak Rakha. Anda sudah melatih Kalani lebih awal, bikin dia kelihatan kayak Anata Hapsari, yang jelas bikin saya kekecoh. Coba aja Kalani nggak dilatih dari awal, saya nggak yakin dia mampu jadi Anata. Terlebih lagi, saya ragu dia pantas jadi istri saya.”

“Kita pasti cocok, Jibran. Bahkan penggemar kamu juga berpikir hal sama.”

“Berhenti! Matiin sekarang juga!” hardik Kalani seraya berdiri saat suaranya jelas ada di rekaman, tapi tidak ada yang mampu menghentikan operator karena telah dijaga ketat oleh orang-orang Timon. “Jibran, kamu harus bantu aku. Jangan kayak gini.”

Yang dipanggil hanya diam, menulikan rungunya karena tidak peduli asalkan setiap kecurangan dibongkar satu per satu. Rakha mencengkeram kuat tangan Kalani dan memberinya kode untuk duduk kembali. Wanita itu tidak membantah dan menjatuhkan bokongnya kembali ke kursi, sedangkan Rakha yang berusaha tenang meski rahangnya mengetat akhirnya mengambil alih.

“Kalau niat kamu mau menjatuhkan keluarga kami dengan bongkar perjodohan ini, salah banget, Jibran. Ini sama aja dengan pencemaran nama baik.”

Lisan Jibran tetap bungkam dengan mata yang terus menyorot ke arah layar untuk menunggu rekaman lain muncul. Perhatian pun diberikan secara bergantian pada layar dan Jibran serta dua orang yang gemetar takut karena segalanya mulai dibongkar.

Sampai ketika rekaman suara Timon muncul yang membeberkan soal kasus suap terhadap agensi yang aktrisnya lolos sampai audisi ketiga, agar mereka menolak jika akhirnya terpilih memerankan karakter Anata Hapsari, sorakan yang memojok tersangka utama mengisi sunyinya teater. Saat itulah Rakha menarik Kalani kabur untuk menjaga putrinya, tapi tidak ada satu pun yang mengejar termasuk Jibran.

Sebab saat dua orang itu sudah hampir tiba di pintu keluar, ada empat orang polisi yang langsung menahan mereka disaksikan oleh ratusan penonton di teater. Rakha dan Kalani tidak dibiarkan kabur atau dibawa keluar, karena Jibran ingin mereka melihat semua rekaman sampai selesai.

“Rakha yang hubungi saya secara langsung dan penyuapan diberikan ke perwakilan saya. Dia ngancam akan bawa skandal besar untuk semua aktris saya, bahkan jelasin secara rinci skandal apa aja yang akan dia bawa ke publik kalau saya menolak disuap. Karena nggak mau aktris saya kenapa-napa, saya terpaksa nerima.”

“Saya juga, Timon. Kami bisa aja bertindak tegas, tapi Rakha punya bukti kuat untuk skandal itu. Setiap skandal bisa berdampak jangka panjang.”

“Tapi apa tiap aktris yang ada di agensi kalian tahu akan hal ini?” Suara Jibran ikut mengudara dari rekaman, menanyakan hal penting pada empat perwakilan dari tiap agensi yang disuap oleh Rakha.

“Cyntia tahu setelah audisi selesai. Dia awalnya nggak nerima, tapi nggak bisa apa-apa juga setelah dikasih tahu skandal apa yang akan dituduhkan ke dia.”

“Anya juga sama. Dia udah hampir mau nuntut, tapi buktinya terlalu sedikit dan Anya pasti bisa kalah.”

“Makanya kami makasih banget karena kamu sama Timon mau ngurus hal ini.”

“Bener. Walaupun aktris kami nggak kepilih, setidaknya kecurangan dalam film ini harus diungkap supaya nggak ada lagi korban.”

Suara Timon menjadi final di rekaman pertemuannya bersama Jibran dengan perwakilan empat agensi. “Saya sama Jibran bakal bantu sebisa mungkin. Jadi, saya berterima kasih karena kalian mau menjawab jujur.”

Rekaman berganti pada suara Jibran yang menemui tiap pemain film Perfect Wife untuk memberi tahu mereka terkait kecurangan yang dibuat oleh Rakha. Berdasarkan rekaman itu, semua pemain kecewa karena kecurangan yang dilakukan Rakha dan Kalani sudah merugikan banyak pihak. Audisi yang tidak murni, ancaman besar, sampai adanya korban demi memenuhi keinginan pribadi.

Sampailah pada rekaman suara percakapan Kalani dan Eila, membuat sang aktris utama mendadak lemas hingga nyaris tidak mampu berdiri jika saja tidak ada polisi yang menahannya. Dari percakapan yang menjadi puncaknya itu, mayoritas bingung siapa Eila, tapi sedikit terjawab bahwa rupanya hubungan Jibran dan Kalani hanya sandiwara—bahkan banyak yang diam-diam menyimpulkan bahwa Kalani telah merebut Jibran dari Eila berdasarkan percakapan itu.

Di rekaman terakhir, semuanya syok. Sebab di rekaman yang tidak pernah Kalani dan Rakha duga, seorang tersangka rencana penusukan Eila akhirnya terbongkar.

“Saya masih di dalam, tapi dia udah keluar … Saya nggak peduli mau rame atau nggak, kamu harus jalanin sesuai rencana yang saya suruh … Terserah tusuk dia bagian mana aja, yang penting dia nggak ganggu saya sama Jibran … Kamu orang profesional, jadi harusnya bisa kerja di keramaian … Tunggu aja, mungkin dia ke toilet, makanya belum kelihatan keluar … Itu gimana kamu mau nusuk dia sampai mati atau gimana, saya nggak peduli … Ya, kalau dia mati, saya bakal bayar kamu lebih.”

“Gila! Kalani!”

“Sumpah, sih. Kalani jahat banget sampai bikin rencana gitu.”

“Itu bukan dia!” sangkal Rakha demi membela putrinya saat diolok-olok oleh beberapa penonton. “Anak saya nggak gitu. Saya sama Kalani dijebak!”

“Anda yang sudah berbuat curang, Pak Rakha!” Jibran berdiri dan bicara lantang hingga menjadi pusat perhatian semua orang yang masih syok dengan rekaman yang ditayangkan. “Semuanya udah terbongkar, jadi Anda nggak bisa nyangkal termasuk kasus Kalani.”

“Kamu bikin saya dan para pemain rugi demi keuntungan sendiri, Jibran!” Rakha masih melawan sambil berusaha melepaskan diri dari tahanan dua polisi di sisi kanan dan kirinya.

“Sesuai yang ada di rekaman, semua pemain udah setuju untuk membeberkan hal ini. Semua yang ada di rekaman dan merasa dirugikan oleh Anda sudah menandatangani perjanjian di atas materai sebagai bentuk persetujuan. Jadi, saya lakuin ini bukan untuk keuntungan pribadi, tapi demi keadilan pihak-pihak yang dirugikan.”

Rakha memandang jajaran pemain yang duduk di deretan sama dengan Jibran. Semuanya mengangguk sebagai pembenaran, berada di pihak Jibran yang sudah menghubungi para pemain lebih dulu sebelum melancarkan aksinya.

Seakan tidak menyerah, Rakha tetap mencari pembelaan untuk dirinya dan Kalani, serta mencari kesalahan atas tindakan Jibran. “Rekaman anak saya itu pasti editan. Kalaupun bener, nggak sopan rekam secara diam-diam begitu.”

“Malah bagus kali direkam.”

“Iya, jadi kebongkar jahatnya gimana.”

“Pinter sih cewek yang namanya Eila, walaupun gue nggak tahu yang mana dalam hidup Jibran.”

Saat bisik-bisik tetangga menciptakan sedikit kegaduhan di dalam teater yang lampunya sudah dinyalakan, ada rekaman lain yang membuat keadaan teater kembali hening. Kali ini rekaman video punggung seseorang yang tengah duduk di kursi roda, sedangkan di hadapannya ada penyidik yang duduk di sofa—lokasi yang familier sebab tiap malamnya Jibran berada di sana.

Tunggu! Apakah itu …. Astaga! Jibran terduduk lemas melihat punggung wanita yang berusaha tegar, menunggu diberi pertanyaan oleh penyidik yang masih menyiapkan alat perekam suaranya. Benar, itu Eila—yang entah sejak kapan sudah sadar.

“Sebelumnya boleh saya tahu kapan Anda sadar?”

“Saya sadar seminggu sebelum Jibran mulai promosi film. Jibran sama sekali nggak tahu saya udah sadar, soalnya dia datang pas malam setelah saya tidur, terus pulang sebelum saya bangun.”

“Apa hubungan Anda dengan Jibran?”

“Mungkin Anda nggak akan percaya, tapi sebelumnya kami pacaran. Tepatnya di masa-masa audisi film baru dia. Kami putus karena Jibran mau dijodohin, terus bisa baikan setelah tahu orang yang dijodohin sama Jibran dan keluarganya nggak terlalu baik. Saya tegasin sekali lagi kami cuma baikan, bukan balik pacaran. Sampai sekarang Jibran nggak tahu saya sadar, karena saya larang orang-orang ngasih tahu supaya Jibran fokus sama promosinya.”

Tenggorokan Jibran terasa perih akibat susah payah menahan tangis mendengar suara Eila setelah sekian lama tidak dia temui. Well, sebenarnya Jibran pun marah karena dia tidak diberi kabar perihal sadarnya Eila. Namun, alasan yang dibeberkan Eila masih bisa Jibran terima, dengan catatan dia akan menyalahkan orang-orang secara rahasia karena sudah menipunya.

“Siapa orang yang pertama dan terakhir dihubungi?”

“Saya chat Jibran untuk ngasih tahu mau ketemu Kalani. Handphone saya sekarang nggak ada, mungkin dibuang atau gimana, saya juga nggak ngerti. Tapi chat saya sama Jibran, bahkan sama Kalani sebelum kami ketemu ada di email saya. Nanti bisa saya kasih. Setelah ketemu sama Kalani, saya telepon adik saya. Saat telepon itu kejadiannya berlangsung dan setelahnya saya udah bangun di rumah sakit.”

“Lalu kenapa Anda merekam percakapan Anda saat bertemu dengan Kalani?”

“Beberapa waktu sebelum ketemu, Kalani chat saya dan nyuruh untuk jauhin Jibran. Dari chat itu, saya berinisiatif untuk rekam percakapan saya sama Kalani untuk jaga-jaga. Enggak lama ngobrol, saya milih pulang karena obrolan kami udah nggak baik. Tapi karena saya rasa masih harus ngobrol sedikit untuk minta maaf udah nyinggung dia, makanya saya balik lagi. Pas saya buka sedikit pintu private room-nya, saya denger Kalani ngobrol sama seseorang di telepon. Karena kedengeran serius, saya rekam dan nggak nyangka ada nama saya dan rencana penusukan di situ. Setelah cukup ngerekam, saya kirim rekaman itu ke email adik saya, terus keluar dari tempat pertemuan dan telepon adik saya. Selanjutnya udah saya jelasin di pertanyaan sebelumnya, ya.”

Terungkap sudah bagaimana caranya Eila mendapatkan rekaman percakapan Kalani yang menjadi bukti bahwa dia bisa menjadi salah satu tersangka. Jibran tidak mendengarkan rekaman selanjutnya, sebab fokus utamanya saat ini adalah segera dipertemukan dengan Eila. Jibran bahkan tidak menyadari Kalani sudah menangis dan berusaha ditenangkan oleh ayahnya.

Tidak peduli juga saat Rakha memakinya dari kejauhan sembari dibawa dari teater. Kegaduhan kembali mengisi sepi setelah rekaman selesai, kelegaan dari jajaran pemain lain, aktris yang tidak terpilih, serta perwakilannya pun ikut melegakan sesi screening yang tidak pernah diduga akan diberi kejutan hebat.

Namun, dari semua yang hadir, Jibran menjadi korban pertama sejak awal munculnya rencana film ini jadi bisa istirahat se—oh, tidak! Jibran justru berdiri dan menuruni anak tangga untuk keluar dari teater. Mengabaikan kehebohan di belakangnya, Jibran memilih pergi menuju tujuan utamanya; Ardania Eila Mahadarsa.

Mei, 2022.

Film berjudul Perfect Wife akhirnya akan segera ditayangkan. Sebelum tayang secara massal, diadakan premiere dan screening—menonton film bersama para kritikus, investor, pemain, staf, dan beberapa penonton beruntung yang filmnya akan _dikaji sampai didiskusikan untuk penilaian. Di red carpet premiere malam ini, Jibran memangkas rambutnya dengan potongan undercut, dibalut setelan jas hitam yang membuatnya tampak menawan.

Dengan penampilan itu, Jibran menegaskan bahwa dialah sang pemeran utama, Jeremy Adinata, pria romantis dalam film yang telah dinanti sejak lama. Bukan saja oleh penggemar fanatik Jibran, tapi oleh para penikmat film yang penasaran akan seperti apa akting aktor laga itu di film romansa pertamanya.

Sebagai pemeran utama pria, Jibran didampingi pemeran utama wanitanya, Kalani Ningrum, yang tampil cantik mengenakan gaun serba putih dengan rambutnya dibiarkan terurai panjang. Para reporter dan media yang hadir merekam mereka sepanjang sesi red carpet, tidak lupa memuji paras Jibran dan Kalani yang menawan, begitu serasi layaknya pasangan sungguhan.

Well, mereka memang dianggap pasangan sungguhan oleh publik, ingat? Pasangan yang dikabarkan sudah memiliki hubungan serius dan digosipkan akan segera menikah.

Sesi foto berlangsung bersama para pemain lain yang berperan menjadi orang tua Jeremy dan Anata, teman, sampai staf seperti sutradara sekaligus produser, Samuti Rakha. Empat aktris lain yang masuk ke audisi tahap ketiga dan perwakilan agensi mereka juga ikut hadir untuk memeriahkan premiere.

Malam ini bertabur bintang, dimeriahkan oleh teriakan para penggemar dengan ponsel mereka untuk merekam, tidak lupa mengeluarkan secarik mini poster dan spidol untuk sesi tanda tangan. Setelah sesi foto berakhir, Jibran mendatangi kerumunan penggemar yang dibatasi oleh pagar hitam, membuat para penggemar berteriak makin lantang sembari memuji sang aktor dan menyodorkan poster serta spidol untuk meminta tanda tangan.

“Satu-satu, ya,” ucap Jibran pada kerumunan penggemar yang histeris kala dia membubuhi tanda tangan di poster filmnya.

Kalani dan pemain lain melakukan hal serupa di bagian lain, kerumunannya sama histeris meski tidak sebesar kerumunan yang mengagumi Jibran sebagai pelakon utama.

Setelah sesi tanda tangan selesai, Jibran diajak untuk diwawancara oleh reporter The Neo News yang aktif memberi kabar terkait dirinya—dimulai persiapan film, sampai gosip yang heboh. Sang reporter, Sandra, tampil ceria bersama kerumunan yang tidak ada henti-hentinya meneriaki Jibran.

“Jadi, Jibran. Ini film pertama romansa pertama kamu. Apa sih tantangan terberatnya?” Sandra mengarahkan micnya pada Jibran, diterima oleh sang aktor yang tersenyum menawan pada sorotan kamera.

“Tantangannya waktu aku harus hafalin dialog yang jauh dari film-film sebelumnya. Belum lagi adegan skinship yang nggak bisa dibilang sedikit, jadi aku harus latihan di rumah supaya terbiasa.”

“Terus ada nggak sih part paling favorit di film ini? Mungkin kamu bisa kasih bocoran.”

“Ada kejutan menuju akhir film. Semoga semuanya suka.”

Sandra antusias mendengar jawaban Jibran dan penasaran sebesar apa kejutan yang dimaksud. Saat sesi wawancara masih berlanjut, Sandra memberi kode pada Kalani yang mendekati mereka. Sekarang aktris utama sudah bergabung, tidak ragu merangkul lengan Jibran yang menganggur untuk pamer kemesraan di publik layaknya pasangan akur.

Sandra bersorak seperti para penggemar yang iri melihat kemesraan secara live. Dalam hati Jibran ingin menyingkirkan tangan Kalani, tapi berusaha dia tahan sembari terus menabur senyum sampai acara selesai.

“Sekarang kalian jadi pasangan yang sering diomongin sama banyak orang. Boleh kasih tahu nggak sih apakah ke depannya akan ada rencana pernikahan atau nggak?”

Jibran dan Kalani spontan berpandangan, beradu argumen lewat tatapan itu dengan makna yang bersinggungan. Jibran yang jelas-jelas meniadakan agenda pernikahan dengan Kalani, sedangkan Kalani sudah tidak sabar dengan hari pernikahan yang dinanti.

“Itu masih rahasia,” jawab Kalani sembari kembali memandang Sandra. “Kami belum lama pacaran walaupun udah kenal satu keluarga. Soal nikah belum dibahas panjang, tapi rencananya kurang lebih ada. Iya, ‘kan?”

Kalani sengaja memancing agar Jibran tidak menjadi pasif demi mendapatkan perhatian publik di hari besar ini. Sebagai aktor yang beberapa kali memenangkan penghargaan terbaik, Jibran selalu tampil maksimal di setiap panggung sandiwara. Maka di hari ini, di salah satu panggung terbesarnya, Jibran bermain mimik untuk menyembunyikan niat aslinya.

“Doain aja yang terbaik buat kami, ya.”

Hanya itu yang mampu Jibran ucapkan, tidak lupa dengan senyum dan rona di pipi untuk meyakinkan banyak orang bahwa dia dan Kalani saling mencintai. Padahal mereka sedang perang dingin dan membuktikan siapa yang terbaik.

Jibran dan Kalani tidak hanya beradu akting dalam film, tapi saling menunjukkan siapa yang paling baik aktingnya di depan publik dengan tujuan yang sama; menang.

“Halo, Kak. Tumben banget telepon aku.”

Kekehan di seberang sana mengundang senyum Jibran kala mendengarnya. Natta yang dihubungi secara pribadi—apalagi lewat telepon—tiba-tiba merasa jadi orang paling penting bagi sang aktor.

“Kamu salah satu orang yang tahu perjalanan aku gimana selama persiapan film ini, makanya mau bilang makasih udah nemenin sampai sekarang.”

“Jangan sungkan gitu, Kak. Kalau bukan karena Kak Eila sama Kak Trian, aku nggak akan bisa deket sama idola aku. Malah kayaknya nggak akan on the way jadi ipar,” balas Natta bersamaan dengan tawa pelan yang menghibur Jibran saat dia masih gundah gulana.

Saat nama Eila disinggung, fokusnya berubah pada wanita itu, yang sampai saat ini diketahui keadaannya belum ada perubahan. Saking sibuknya dengan promosi, interview, diundang ke acara ini dan itu, sampai ke luar kota untuk road show, intensitas Jibran mengetahui kabar Eila jadi menipis.

Bukannya enggan atau telanjur lelah, tapi Jibran tidak mau rindunya makin sulit ditahan dan keinginan untuk bertemu jadi makin menggebu. Sebentar lagi hari penghakiman datang, jadi Jibran harus sabar sampai waktunya tiba.

“Natta, kamu lagi di rumah sakit, ‘kan?”

“Iya, Kak. Ini pas banget di sebelah Kak Eila. Mau ngomong?”

Bicara, ya …. Tentu Jibran ingin, tapi apalah daya jika tidak ada respons dari yang dicintai. Namun, tidak apa-apa. Jibran tetap harus bicara walaupun tidak didengar atau direspons. Jibran harus mengucapkan sepatah dua patah kata demi memberi kabar terkait dirinya sekarang.

“Boleh,” ucap Jibran sembari mengumpulkan nyalinya. “Tolong deketin handphone kamu ke Eila, ya. Biar dia denger. Siapa tahu dia bisa bangun.”

Natta menyanggupi permintaan itu dan mendekatkan ponselnya di telinga Eila. Selesai melakukan perintah, Natta mempersilakan Jibran untuk bicara apa saja demi melampiaskan rindunya yang tidak kunjung terbayar. Hening untuk sesaat, sebab Jibran berharap ada suara Eila yang menyapanya dengan ceria seperti biasa.

Sayang, harapan itu harus pupus, sebab yang diinginkan sibuk bermimpi tanpa tahu kapan bangun. Jibran yang awalnya berdiri di depan meja makan, mulai menyingkir dari sana dan masuk ke kamarnya. Di tempat pribadinya itulah Jibran utarakan beberapa hal yang membuatnya mengganjal. Tahu tidak akan sepenuhnya tenang, tapi tetap dilakukan demi bicara pada yang di sana. Setelah duduk bersandar di tempat tidurnya, Jibran mulai bicara.

“Eila, gimana kabar kamu sekarang? Masih betah tidurnya?” tanya Jibran dengan dada yang ngilu akibat kurangnya nyali untuk bertutur. “Kalau masih betah, silakan di sana sampai puas, yang penting jangan lupa bangun lagi, ya. Di sini banyak yang kangen sama kamu, khususnya aku yang ngerasa sepi dan kurang semangat. Biasanya tiap di depan kamera atau orang-orang, aku bisa senyum tulus walaupun banyak yang nyebelin. Soalnya aku tahu bakal pulang ke kamu yang lagi nungguin.

“Tapi sekarang senyum aku lebih sering dipaksa, sampai rasanya nyesek banget karena inget nggak bisa pulang ke kamu dan kita harus jauh. Aku bisa aja maksain ketemu, tapi aku harus jaga diri supaya orang-orang terdekat nggak jadi korban lagi. Aku juga harus sabar sampai waktunya, baru kita bisa ketemu lagi setelah semuanya selesai. Kamu bisa ngerti, ‘kan?”

Tidak ada sahutan di sana, baik dari Natta yang memberikan privasi, apalagi Eila yang masih bermimpi. Nihilnya sahutan tidak membuat Jibran berhenti bersuara sampai semuanya dituntaskan.

“Eila, katanya ada penyelidikan soal kasus kamu. Semoga keungkap siapa orang yang udah nusuk kamu, terus kamu bisa ikut andil dalam penyelidikan setelah sehat. Di sini, aku juga lagi nunggu hari yang tepat buat ngebongkar semuanya. Aku harap rencana kita bisa berjalan dengan lancar, setelah itu kita ketemu, terus aku peluk dan cium kamu.”

Jibran tersenyum kecut bersamaan dengan tirta yang mengucur. Di kala dadanya berusaha menahan sesak, Jibran meralat, “Kamu harus bangun dulu baru bisa aku peluk sama cium. Jadi, tolong bangun, ya. Kita harus rayain semuanya bareng-bareng.”

Sejak dulu, Jibran sudah menaruh hati pada Eila yang mengisi masa-masa remajanya menjadi indah. Bedanya saat mereka harus dipaksa jauh, Jibran ikhlas karena tidak mengenal baik siapa cintanya. Lantas kini, ketika Semesta menyatukan mereka, ada saja lika-liku yang harus Jibran dan Eila hadapi demi terus bersama.

Lebih parahnya saat mereka harus dipisahkan, yang tidak pernah bisa Jibran sanggupi meski hanya sesaat. Sebab Jibran tahu separuh jiwanya telah dilabuhkan untuk Eila seorang. Wanita yang membawa warna dalam hidup datarnya, mengajarkan bahwa mencintai itu rupanya tidak semudah melisankan kata, tapi harus mau bertaruh demi bisa memperjuankan kebersamaan.

Dengan lirih Jibran berkata sebagai final, “Eila, aku sayang kamu. Jangan pergi, ya. Bertahan sebentar lagi, terus kita sama-sama.”

Sambungan telepon ditutup tanpa ada kata pamit karena Jibran tidak mampu menguasai tangis yang menyiksa batin. Tanpa Jibran ketahui, di seberang sana yang mendengarkan pun menggigit bibirnya hingga berdarah demi menahan rintihan kala menerima tiap kalimat dari sang pria. Begitu sambungan ditutup begitu saja, tangisnya makin pecah, disusul oleh uluran tangan yang memeluknya.

Dengan ponsel yang susah payah digenggam, satu kalimat dari bibirnya berkumandang bersama air mata, “Aku juga … sayang kamu, Jibran ….”

“Halo, Kak. Tumben banget telepon aku.”

Kekehan di seberang sana mengundang senyum Jibran kala mendengarnya. Natta yang dihubungi secara pribadi—apalagi lewat telepon—tiba-tiba merasa jadi orang paling penting bagi sang aktor.

“Kamu salah satu orang yang tahu perjalanan aku gimana selama persiapan film ini, makanya mau bilang makasih udah nemenin sampai sekarang.”

“Jangan sungkan gitu, Kak. Kalau bukan karena Kak Eila sama Kak Trian, aku nggak akan bisa deket sama idola aku. Malah kayaknya nggak akan on the way jadi ipar,” balas Natta bersamaan dengan tawa pelan yang menghibur Jibran saat dia masih gundah gulana.

Saat nama Eila disinggung, fokusnya berubah pada wanita itu, yang sampai saat ini diketahui keadaannya belum ada perubahan. Saking sibuknya dengan promosi, interview, diundang ke acara ini dan itu, sampai ke luar kota untuk road show, intensitas Jibran mengetahui kabar Eila jadi menipis.

Bukannya enggan atau telanjur lelah, tapi Jibran tidak mau rindunya makin sulit ditahan dan keinginan untuk bertemu jadi makin menggebu. Sebentar lagi hari penghakiman datang, jadi Jibran harus sabar sampai waktunya tiba.

“Natta, kamu lagi di rumah sakit, ‘kan?”

_“Iya, Kak. Ini pas banget di sebelah Kak Eila. Mau ngomong?”

_ Bicara, ya …. Tentu Jibran ingin, tapi apalah daya jika tidak ada respons dari yang dicintai. Namun, tidak apa-apa. Jibran tetap harus bicara walaupun tidak didengar atau direspons. Jibran harus mengucapkan sepatah dua patah kata demi memberi kabar terkait dirinya sekarang.

“Boleh,” ucap Jibran sembari mengumpulkan nyalinya. “Tolong deketin handphone kamu ke Eila, ya. Biar dia denger. Siapa tahu dia bisa bangun.”

Natta menyanggupi permintaan itu dan mendekatkan ponselnya di telinga Eila. Selesai melakukan perintah, Natta mempersilakan Jibran untuk bicara apa saja demi melampiaskan rindunya yang tidak kunjung terbayar. Hening untuk sesaat, sebab Jibran berharap ada suara Eila yang menyapanya dengan ceria seperti biasa.

Sayang, harapan itu harus pupus, sebab yang diinginkan sibuk bermimpi tanpa tahu kapan bangun. Jibran yang awalnya berdiri di depan meja makan, mulai menyingkir dari sana dan masuk ke kamarnya. Di tempat pribadinya itulah Jibran utarakan beberapa hal yang membuatnya mengganjal. Tahu tidak akan sepenuhnya tenang, tapi tetap dilakukan demi bicara pada yang di sana. Setelah duduk bersandar di tempat tidurnya, Jibran mulai bicara.

“Eila, gimana kabar kamu sekarang? Masih betah tidurnya?” tanya Jibran dengan dada yang ngilu akibat kurangnya nyali untuk bertutur. “Kalau masih betah, silakan di sana sampai puas, yang penting jangan lupa bangun lagi, ya. Di sini banyak yang kangen sama kamu, khususnya aku yang ngerasa sepi dan kurang semangat. Biasanya tiap di depan kamera atau orang-orang, aku bisa senyum tulus walaupun banyak yang nyebelin. Soalnya aku tahu bakal pulang ke kamu yang lagi nungguin.

“Tapi sekarang senyum aku lebih sering dipaksa, sampai rasanya nyesek banget karena inget nggak bisa pulang ke kamu dan kita harus jauh. Aku bisa aja maksain ketemu, tapi aku harus jaga diri supaya orang-orang terdekat nggak jadi korban lagi. Aku juga harus sabar sampai waktunya, baru kita bisa ketemu lagi setelah semuanya selesai. Kamu bisa ngerti, ‘kan?”

Tidak ada sahutan di sana, baik dari Natta yang memberikan privasi, apalagi Eila yang masih bermimpi. Nihilnya sahutan tidak membuat Jibran berhenti bersuara sampai semuanya dituntaskan.

“Eila, katanya ada penyelidikan soal kasus kamu. Semoga keungkap siapa orang yang udah nusuk kamu, terus kamu bisa ikut andil dalam penyelidikan setelah sehat. Di sini, aku juga lagi nunggu hari yang tepat buat ngebongkar semuanya. Aku harap rencana kita bisa berjalan dengan lancar, setelah itu kita ketemu, terus aku peluk dan cium kamu.”

Jibran tersenyum kecut bersamaan dengan tirta yang mengucur. Di kala dadanya berusaha menahan sesak, Jibran meralat, “Kamu harus bangun dulu baru bisa aku peluk sama cium. Jadi, tolong bangun, ya. Kita harus rayain semuanya bareng-bareng.”

Sejak dulu, Jibran sudah menaruh hati pada Eila yang mengisi masa-masa remajanya menjadi indah. Bedanya saat mereka harus dipaksa jauh, Jibran ikhlas karena tidak mengenal baik siapa cintanya. Lantas kini, ketika Semesta menyatukan mereka, ada saja lika-liku yang harus Jibran dan Eila hadapi demi terus bersama.

Lebih parahnya saat mereka harus dipisahkan, yang tidak pernah bisa Jibran sanggupi meski hanya sesaat. Sebab Jibran tahu separuh jiwanya telah dilabuhkan untuk Eila seorang. Wanita yang membawa warna dalam hidup datarnya, mengajarkan bahwa mencintai itu rupanya tidak semudah melisankan kata, tapi harus mau bertaruh demi bisa memperjuankan kebersamaan.

Dengan lirih Jibran berkata sebagai final, “Eila, aku sayang kamu. Jangan pergi, ya. Bertahan sebentar lagi, terus kita sama-sama.”

Sambungan telepon ditutup tanpa ada kata pamit karena Jibran tidak mampu menguasai tangis yang menyiksa batin. Tanpa Jibran ketahui, di seberang sana yang mendengarkan pun menggigit bibirnya hingga berdarah demi menahan rintihan kala menerima tiap kalimat dari sang pria. Begitu sambungan ditutup begitu saja, tangisnya makin pecah, disusul oleh uluran tangan yang memeluknya.

Dengan ponsel yang susah payah digenggam, satu kalimat dari bibirnya berkumandang bersama air mata, “Aku juga … sayang kamu, Jibran ….”

“Makasih udah mau jemput aku, ya.”

Kalimat itu membuyarkan fokus Jibran yang tengah mengamati kediaman Kalani, didominasi warna merah muda dan putih, khas perempuan yang memiliki image manis di mata publik. Jibran tersenyum seadanya sembari menatap Kalani yang sudah melepaskan jaketnya. Kalani kenakan gaun hijau tosca tua dengan belahan dada pendek dan tali tipis di pundaknya.

Jibran palingkan pandangan yang tidak menarik itu, memilih kembali mengamati kediaman Kalani yang harus diakui cukup nyaman meski tidak membuatnya betah untuk berdiam terlalu lama. Ditambah ini sudah larut malam dan mereka hanya berdua, bukan momen menyenangkan untuk berlama-lama. Beda cerita jika yang bersama Jibran adalah Eila, pasti pria itu betah dengan wanita yang tepat.

Sayang, kebersamaan itu harus sirna akibat Eila yang belum kunjung sadar. Tidak tahu kapan dia kembali, tapi Jibran akan setia menanti.

“Aku pulang dulu. Besok kita ada photoshoot.”

“Tunggu.” Kalani mencekal tangan Jibran hingga pria itu bergeming di tempatnya.

Wanita itu dengan berani mendekat dua langkah hingga jarak mereka menipis. Kalani mencoba mengunci Jibran lewat tatapan mata yang intens, membawanya demi mendapatkan keinginan yang sama untuk menikmati malam panjang tanpa siapa-siapa. Kalani kira dia berhasil, sebab Jibran hanya fokus padanya dan membatalkan kepulangan yang menjadi rencana awal.

Sang aktris tersenyum seduktif, mulai menelusuri sepanjang lengan Jibran dengan telunjuknya yang masih dibalut blazer untuk menggodanya. Saat telusurannya berakhir di leher sang aktor, Kalani berkata, “Kayaknya kamu nggak perlu pulang. Di sini aja, gimana?”

Jibran tidak merespons, bahkan ekspresinya tergolong datar saat dia tahu ke mana ini akan berjalan. Pria itu membiarkan telunjuk Kalani kembali menelusuri bagian tubuhnya yang lain, di mana leher dan tengkuk menjadi sasarannya. Kalani bak pemain ulung, sebab dia tahu tengkuk Jibran menjadi bagian sensitif yang membuat bulu roma pria itu berdiri.

Jika di mode normal bulu roma itu berdiri akibat hasrat yang naik, maka Jibran lain sebab dia ketakutan. Namun, Jibran tetap membiarkan telunjuk itu bermain di sekitar lehernya dan mencari apa pun yang menjadi tujuannya. Jibran menahan ekspresi tanpa usaha lebih, sebab yang dilakukan oleh Kalani membuatnya muak.

“Aku selalu kagum sama badan kamu, Jibran,” ungkap Kalani sebagai pujian kala telunjuknya bermain di sekitar dada bidangnya. “Kamu selalu pake baju tertutup, tapi gagal nutupin bentuk badan kamu yang seksi.”

Pujian penuh godaan itu dianggap berhasil oleh Kalani saat melihat Jibran hanya diam seakan menikmati usahanya. Realitasnya, Jibran merasa muak dengan cara murahan Kalani yang ingin mendapatkannya. Bosan dengan telunjuk, Kalani melakukan hal yang lebih jauh dengan membuka blazer Jibran hingga jatuh ke lantai. Kini tubuh bagian atas Jibran hanya mengenakan kaus tanpa lengan yang meningkatkan animo Kalani kala melihatnya.

Namun, animo itu runtuh saat Kalani melihat bekas luka merah di biceps kiri Jibran hingga dia refleks berteriak dan mundur beberapa langkah. Reaksi biasa yang tidak mengejutkan Jibran. Siapa pun yang pertama kali melihat bekas lukanya—apalagi perempuan—pasti akan bereaksi seperti Kalani. Reaksi itu dimanfaatkan Jibran untuk menegaskan rasa tidak tertariknya pada Kalani yang hanya mementingkan fisik.

“Bukannya kamu kagum sama badan aku?” Jibran mencoba memancing. “Kenapa kamu kaget lihat bekas luka aku?”

Sesungguhnya tidak hanya terkejut. Kalani pun memandang jijik pada jejak kemerahan yang mengganggu indra penglihatannya. Jejak yang seharusnya tidak boleh ada di tubuh pria dengan pahatan sempurna seperti Jibran.

“I-itu … asli?” gagap Kalani yang malah berpikir Jibran sedang mengerjainya dengan membuat luka palsu.

“Iya, ini asli.”

Tatapan merinding tidak ditutup-tutupi oleh Kalani, bahkan Jibran tahu wanita itu ingin menyingkir, tapi berusaha ditahan demi menjaga image baik dan mempertahankan harga diri. Sejak diberi reaksi demikian, Jibran tahu bahwa Kalani bukan orang yang akan menerima kekurangannya. Kalani adalah wanita yang menjunjung tinggi kesempurnaan fisik dan Jibran bukanlah kriterianya.

Jibran berlutut untuk mengambil blazernya yang tergolek di lantai seraya berkata, “Kenapa kamu kelihatan takut gitu?”

“Semua orang pasti … takut lihat bekas luka kayak gitu,” cicit Kalani.

Jibran manggut-manggut setelah mengenakan blazernya kembali. Setuju dengan Kalani, karena bekas lukanya tidak ramah untuk dilihat. “Terus kamu nggak suka sama bekas lukanya?”

“Jelas nggak ada yang suka, Jibran,” balas wanita itu yang masih ketakutan meski Jibran sudah menutupnya kembali dengan blazer.

“Tapi aku kenal satu orang, lebih tepatnya satu perempuan, yang nggak takut lihat bekas luka aku.”

“Mama kamu pasti nggak akan takut. Kamu anaknya.”

Jibran tersenyum miring mendengar tebakan itu. “Bukan mama aku,” sangkalnya. “Tapi Eila.”

Kalani mengernyit, ketakutannya akan bekas luka yang Jibran miliki seketika luruh dan digantikan oleh kekalahan atas persaingan fana. “Enggak mungkin dia gitu.”

“Tapi itu kenyataannya, Kalani. Dia nggak kaget waktu lihat luka aku, dia nggak nanya apa-apa, dan dia nerima keadaan aku apa adanya.”

Jibran lantas menyingkir untuk pulang setelah yakin bahwa Kalani tidak layak mendapatkan dia. Setiap insan memiliki kekurangan masing-masing, baik dari segi fisik ataupun hal lain yang tersembunyi dalam diri. Dengan reaksi Kalani hari ini, Jibran membuat asumsi bahwa wanita itu tidak akan pernah mampu menerima kekurangannya yang jejaknya sulit dihilangkan. Bukan pilihan yang tepat dan Jibran harus mampu menghindarinya.

“Kalani,” panggil Jibran sebelum dia tiba di depan pintu. Kalani lantas menoleh dengan mata merah akibat ingin menangis. “Aku mau sama orang yang nerima apa adanya,” lanjut Jibran, “dan kamu nggak masuk kriteria itu.”

Malam ini langitnya cerah, dilukiskan oleh bulan dan bintang yang mempercantik langit setelah beberapa hari suram. Meski langit kini membaik, tidak menularkan kondisi sama pada Jibran yang masih merana meratapi nasib Eila. Sama seperti malam-malam biasanya, Jibran menjaga Eila yang belum sadar dari perjuangannya. Eila tampak betah tidur lama, seakan tidurnya menjadi sedikit penyelesaian dari masalah yang ada, serta tidak mengganggu rencana agar Jibran tetap aman.

Wanita itu terluka, tapi berkat lukanya, Jibran yang kini bekerja sama dengan beberapa orang mendapatkan hadiah terbaik untuk meringankan segala pencarian. Jika Eila sudah sadar—dan harus sadar—Jibran akan mengucapkan terima kasih sebanyak yang dia bisa sebagai penghormatan atas pemberiannya. Meski kegiatan menjaga Eila ini rutin dilakukan, malam ini tetap terasa beda sebab akan jadi malam terakhir pertemuan mereka.

Sesuai saran Trian yang sudah dia pertimbangkan, Jibran tidak akan datang ke rumah sakit dan fokus dengan promosi filmnya. Jibran menghindari dirinya atau orang-orang terdekat menjadi sasaran Samuti Rakha, kembali berperan menjadi pacar Kalani yang lebih seperti supir untuk menjemputnya.

Hanya ada Jibran dan Eila di kamar rawat, sedangkan Natta memilih mencari makan dan memberi ruang pribadi untuk dua insan yang lagi-lagi harus dipisahkan. Jibran duduk di kursi samping brankar, netranya mengawasi sekujur tubuh Eila untuk melihat perkembangan yang tidak kunjung tiba.

Sabar, adalah mantra mujarab yang menenangkan Jibran agar kuat tiap kali menatap Eila. Dia boleh terlihat tenang, tapi dalam dirinya menjeritkan segala doa dengan satu makna; Eila segera sadar.

“Eila, besok malam aku nggak ke sini lagi,” ucap Jibran dengan sesak yang mulai dirasa saat kalimat pertamanya susah payah mengisi kesunyian. “Jadi, aku mau ngomong hal-hal ini ke kamu.”

Jibran raih tangan Eila yang terasa hangat tanpa daya, mencium punggung tangannya, lalu menggenggam erat tangan itu untuk menyalurkan rindunya. “Eila, aku bakal berusaha sekuat mungkin nyelesain masalah ini sama Trian dan Mister Timon. Aku juga masih harus promosi film, jadi bakal sibuk ke sana-sini. Selain sibuk, aku juga nggak mau orang lain jadi korban karena ketahuan masih ketemu kamu. Bukannya aku pengecut, tapi aku nggak mau orang lain kena getahnya lagi setelah kamu. Kalau harus aku yang kena, itu nggak masalah, yang penting orang lain selamat, termasuk kamu.”

Jibran tidak mampu menahan air matanya yang kembali luruh, tapi tidak berusaha dia seka sebab ini akan menjadi terakhir kalinya menangis di samping Eila. Jibran membiarkan semua luka yang sebelumnya dia sangkal untuk berhamburan, berharap setelahnya bisa sedikit berkurang. Tentu Jibran tahu itu sulit, karena selama Eila masih belum sadarkan diri, perasaannya tidak kunjung pasti.

“Eila, makasih udah mau aku undang buat hadir. Semoga kamu nggak nyesel karena jadi terlibat sampai harus luka kayak gini. Jujur, setengah dari diri aku nyesel dan ngerasa bersalah karena kamu harus jadi korbannya. Tapi banyak dari diri aku yang bersyukur karena kita ketemu lagi dan bisa sama-sama. Aku jauh lebih percaya diri, aku bisa eksplor hal baru, aku banyak belajar dari kamu, dan hal terpenting … aku bisa ngasih tahu rahasia yang udah lama dipendam.”

Jibran menghirup oksigen sebanyak yang dia bisa demi mengisi dayanya lagi. Tidak membuatnya lega, tapi setidaknya Jibran memiliki tambahan energi demi bicara sebelum berpisah dengan Eila.

“Aku cinta kamu, Eila. Aku sayang banget sama kamu. Kalau pas udah sadar ternyata bikin kamu kapok sama aku, nggak apa-apa, aku bakal coba ikhlas. Aku berdoanya kamu nggak kapok biar kita sama-sama terus. Tapi soal itu bisa dipikirin nanti, karena yang penting kamu sadar dulu, oke?”

Sekujur tubuh Jibran kini bergetar akibat hujan air mata yang tidak kunjung reda. Sang aktor menunduk, bukan untuk menyembunyikan kesedihan yang telah terlambat, melainkan memberi jeda sampai dia mampu kembali bicara.

Sambil terisak, Jibran bangkit dengan tubuh membungkuk dan mendekati wajah Eila. Begitu jarak mereka menipis, Jibran mendaratkan satu ciuman di dahi Eila yang tampak tenang. Jibran tautkan dahi mereka, ingin merasakan jarak sedekat ini sebelum jauh untuk urusan sendiri. Air matanya jatuh ke pipi Eila, tapi tidak mengganggu ketenangannya yang betah terlelap.

Jibran pejamkan mata dan berkata, “Semuanya baik-baik aja, Eila. Semuanya bakal selesai dengan baik. Aku janji.”

“Eila keadaannya gimana?”

“Belum ada dua jam kamu pergi dan udah nanyain Eila?” Terdengar decakan lidah di seberang sana. “Kondisinya masih sama, Jibran. Kalau ada perkembangan baru, pasti aku kabarin,” lanjut Trian yang kini lebih tenang.

Masih sama—bukan kondisi yang buruk, tapi tidak menyenangkan kala didengar. Jibran belum lama tiba di rumah, sekitar sepuluh menit dan belum sempat mengganti pakaian atau mandi setelah pergantian shift menjaga Eila dengan Trian. Kuyu dan kusut, begitu keadaan Jibran sekarang. Dia belum bercukur dan membiarkan jambang tipis timbul, memilih pakaian pun asal saja yang penting cepat dan nyaman.

Matanya selalu merah akibat lelah dan sering menangis bila sudah di dekat Eila. Meskipun sudah di rumah, keadaan Jibran tidak mereda dan makin terlihat menyedihkan sebab dia merasa sendirian, serta jauh dari orang yang selalu berusaha dia jaga.

“Tolong kabarin terus, ya.”

“Iya, nanti aku kabarin satu jam sekali biar kamu tenang.”

Ada gurauan demi menghibur hati yang gundah gulana, tapi gagal sebab Jibran sudah tidak berdaya. Jibran langsung memutuskan sambungan telepon secara sepihak dan berniat pergi ke kamar untuk istirahat—meski pikirannya pasti sibuk mengkhawatirkan kondisi Eila. Sayang, niat itu harus batal saat Mia—yang sejak kemarin menginap di rumahnya bersama Jagad tapi sekarang telah pergi bekerja—menyuruhnya untuk makan.

Dengan lesu Jibran menurut dan mendekati ruang makan yang telah dinanti oleh Mia. Jibran menarik kursi, lalu duduk sembari menatap bubur ayam lengkap yang dibuat Mia dengan tidak nafsu. Bukan saja karena dia tidak menyukai bentuk bubur, nafsu makannya memang berkurang sejak kejadian lalu.

“Makan dulu, ya. Kamu jadi kurus gini,” titah Mia seraya memberikan sendok yang dengan enggan diraih oleh Jibran.

Alih-alih langsung makan, Jibran malah melamun dengan netra yang menatap kosong ke arah bubur.

“Mama tahu kamu nggak suka bubur, ditambah keadaannya lagi kayak gini. Tapi kamu harus makan yang gampang dicerna dulu, ya? Trian bilang kamu jadi susah makan. Mama nggak mau kamu sakit. Apalagi kamu harus ngurus bukti soal Kalani sama orang-orangnya.”

Semangat Jibran sedikit muncul saat diingatkan soal bukti yang telah dia pegang. Ya, pertemuan dengan lima agensi yang menerima suap dari Samuti Rakha. Kelimanya telah mengaku, bahkan secara terang-terangan merasa keberatan dengan suapan itu, tapi tidak bisa berbuat apa-apa karena khawatir Rakha malah bertindak ekstrem yang lebih mencoreng nama tiap agensi.

Dengan pengakuan mereka, Jibran sudah memegang bukti kuat untuk meruntuhkan Samuti Rakha yang melakukan kecurangan. Tinggal satu lagi, yaitu bukti bahwa Kalani pelaku atas penusukan Eila, maka Jibran sudah bisa membongkar segalanya.

Lagi-lagi semangat yang sempat ada itu kembali memudar, sebab ingatan soal Eila yang belum sadar merenggut kedamaian hatinya. Dengan terpaksa, Jibran memakan bubur sebanyak dua sendok, itu pun hanya sedikit asal ada asupan yang masuk. Setelah dua sendok itu nafsu makannya hilang seutuhnya, begitu lelah memikirkan kondisi Eila yang belum kunjung sadar.

Sendoknya bahkan jatuh sebab pegangannya yang lemah, membuat Mia beringsut menghampiri Jibran dengan duduk di sampingnya. Kemarin Mia dan Jagad menjenguk Eila, menyaksikan langsung bagaimana putranya tidak peduli dengan sekitar dan hanya fokus pada yang tidak berdaya. Kini Mia menyaksikan lagi betapa runtuhnya dunia Jibran saat wanita yang dia sayang menjadi korban atas kejahatan manusia serakah. Mia mendekap Jibran yang tiba-tiba terisak, bak anak kecil terluka akibat terjatuh dan butuh bantuan sang mama untuk menenangkan.

“Kamu mirip ayah banget,” tutur Mia seraya mengelus punggung putranya yang bergetar. “Kalau udah sayang sama perempuan, terus orangnya kenapa-napa, pasti bakal nangis,” jelasnya, “Ayah juga nangis waktu Mama lahirin kamu. Makanya Mama nggak dibolehin punya anak lagi biar nggak usah lahiran, katanya takut Mama sakit.”

Jibran menyembunyikan wajahnya di balik pundak Mia, meredam air matanya agar tidak terus tumpah dan menggantinya dengan energi baru untuk melawan orang-orang yang sudah menjatuhkannya. Mia mengusap puncak kepala Jibran yang rambutnya kian memanjang dan tebal.

“Maafin Mama yang sempet nggak restuin kamu sama Eila, ya. Mama yakin Eila sehat lagi, Nak. Jadi, kamu harus kuat buat lawan mereka. Yakin deh, pas semuanya udah selesai, Eila balik lagi ke kamu.”

Jibran yakin skenarionya pasti begitu, tapi demi apa pun, dia ingin Eila-nya kembali secepat mungkin tanpa menunggu semuanya selesai dahulu. Minimal Eila sadar, maka kekhawatiran Jibran akan berkurang. Kini yang paling dominan hanyalah duka, mengurung segala suka hingga Jibran harus memakai topeng untuk memaksakan diri jika nantinya perlu terlihat bahagia.

Namun, untuk sekarang, jangan paksakan Jibran merasakan kebahagiaan fana itu, sebab sumber bahagianya masih harus berjuang.

Wajah pucat pasi dan pikiran yang kosong menjadi kondisi Jibran saat menelusuri rumah sakit menuju Eila berada. Saat dihubungi oleh Trian tadi, Jibran baru selesai mandi dan mengganti pakaian setelah gym, lalu meluncur ke rumah sakit dengan pikiran buruk yang berkeliaran tiada henti saat tahu Eila dalam bahaya. Namun kini, saat dia sudah berada di rumah sakit, kekosongan itu justru terjadi hingga langkahnya sedikit tertatih karena makin berat kala mendekati lokasi.

Dadanya bergemuruh saat Jibran akhirnya tiba di tempat, melihat Trian dan Natta mondar-mandir tidak tenang menunggu Eila yang masih di ruang operasi setelah menjadi korban penusukan. Rasanya Jibran tidak mampu berjalan lagi, sebab realitasnya terlalu sulit untuk dia pijaki saat yang ada di hati tengah berjuang melawan hidup dan mati. Ingin menangis, tapi gagal kala matanya menemukan sosok lain yang tidak dia duga ikut datang. Duduk di deretan kursi yang hanya diisi olehnya seraya menunduk dengan ekspresi sendu, yang Jibran yakin itu hanya dibuat-buat.

Sedihnya berubah murka saat yakin tersangka utama yang membuat Eila harus tergolek tidak sadarkan diri ada di sana. Berpura-pura menjadi yang tersedih, padahal dalam hati berselebrasi. Jibran kembali melangkah, kian cepat saat jarak makin dekat. Trian dan Natta ingin menyapa melihat kedatangannya, tapi tertahan saat sadar bukan mereka tujuannya.

“Ji—”

Sapaan Kalani tertahan di udara saat Jibran menariknya berdiri, lalu menyudutkannya ke dinding dengan tenaganya yang kuat hingga wanita itu merasa nyeri di bagian belakang kepala hingga punggung. Jibran menatap nyalang dengan netranya yang memerah, napasnya tidak beraturan dan amarahnya meningkat hingga ke ubun-ubun. Trian dan Natta kontan menahan Jibran di sisi kiri serta kanannya saat pria itu mencengkeram leher Kalani. Berniat mencekik dan jelas itu berbahaya.

“Jibran, jangan,” cegah Trian agar tidak ada keributan di rumah sakit. Jibran yang sudah didatangi amarah tidak mau menggubrisnya.

Tenaganya jauh lebih kuat hingga Trian dan Natta kesulitan, terlebih Kalani yang tidak punya daya untuk melawan selain menerima sakitnya. “Kamu yang udah bikin Eila sakit! Kamu!” tuduh Jibran, api amarahnya kian membara hingga wajahnya merah padam.

Yang dituduh berkaca-kaca, merasa tidak terima dan seakan dikorbankan. “Justru aku yang nolong dia, Jibran …. Jangan gini.”

“Kamu pasti nyuruh orang buat nyelakain Eila! Kamu licik! Enggak mungkin kamu nolong dia tanpa alasan!”

“Jibran, Kalani yang bawa Eila ke rumah sakit.” Intonasi suara Trian ikut meninggi sembari berusaha menarik Jibran agar tidak berbuat hal-hal ekstrem.

Jibran tertawa sinis tanpa melepaskan pandangannya pada tersangka utama. “Kamu percaya dia? Gara-gara dia adik kamu jadi celaka, Trian!”

“Tapi Eila nggak mungkin bisa ditangani cepat kalau bukan karena dia!”

Sebaik apa pun cara Kalani menutupi kebusukannya, Jibran tetap bisa mengendusnya. Jibran sudah digelapkan oleh emosi yang meledak tanpa bisa diredam. Dia tidak menaruh simpati sedikit pun pada Kalani yang sudah menangis akibat takut, sebab tahu wanita itu hanya menipu.

Saat akan mencekik Kalani, Jibran didorong paksa hingga menjauh oleh seseorang yang tenaganya tidak kalah besar. Aiden datang untuk melindungi adiknya bersama Samuti Rakha yang kini memeluk Kalani erat dan langsung terisak. Tidak mau mengalah, Jibran menghadapi Aiden dengan nyali yang tidak kalah besar, enggan mengalah demi keadilan untuk Eila.

“Kamu apain adik aku?” geram Aiden melihat adiknya yang hampir jadi korban tangan kasar Jibran.

“Dia harus dikasih pelajaran. Dia yang bikin Eila luka!”

“Jangan nuduh, Jibran!” seru Rakha yang berusaha menenangkan Kalani. “Anak saya yang bawa dia ke sini.”

Jibran menggeleng. Aksi heroic Kalani tetap tidak membantu. “Kalani yang jadi tersangka dan pasti kalian berdua ikut terlibat!”

“Jangan asal nuduh!” Aiden menarik kerah kemeja yang Jibran kenakan. Ingin melukai wajah mulus itu dengan tinjunya, tapi ditahan saat Kalani menyerukan nama kakaknya dan melarang melukai Jibran.

“Jangan gitu, Kak,” isak Kalani. “Jangan macem-macem sama calon suami aku.”

Jibran memaksakan tawa mendengar lantunan kata yang dipenuhi rasa percaya diri. “Kamu masih mikirin soal pernikahan? Gila aja! Aku nggak mau nikah sama pembu—”

Aiden meninju Jibran tepat di perutnya hingga terhuyung mundur beberapa langkah. Bisa saja Jibran membalas, tapi segera ditahan oleh Trian yang memberi kode agar dia bisa menahan segala amarahnya. Jibran yang tertatih terpaksa menurut, akal sehatnya kembali untuk membuat rencana lain dan membongkar semuanya demi membayar nyawa Eila yang sedang bertarung.

Kalani ingin mendekat, tapi ditahan Rakha. Sedangkan Jibran memaksakan diri berdiri tegak dengan dibantu Trian, lalu menatap satu per satu musuhnya. Saat itulah gendang perang ditabuh, membuka gerbang singa yang dipaksa bangun setelah cukup lama tidur.

Jibran Dava Adelard bersumpah tidak akan melepaskan orang-orang licik di hadapannya. Mereka akan dibuat bertekuk lutut padanya dan Eila yang sudah menjadi korban.

“Ini kafe temen aku. Gimana? Bagus nggak?”

Kalani Ningrum Rakha memamerkan tempat bertemunya dengan Ardania Eila Mahadarsa yang baginya biasa saja, tidak jauh berbeda dengan kafe biasa yang pernah disambangi. Namun, demi nyambung dengan basa-basi di awal perjumpaan, Eila mengamati interior berwarna lilac yang menusuk mata dengan lukisan bunga untuk mempercantik—tapi baginya aneh dan terkesan memaksakan.

Sama seperti interior yang tidak begitu ramah, Eila pun menjawab dengan terpaksa, “Bagus.”

Jawaban singkat itu menerbitkan senyum sinis Kalani, tapi Eila tidak terkejut sebab dia tahu pertemuannya dengan aktris yang sedang naik daun ini tidak mungkin untuk membicarakan hal baik—pasti berhubungan dengan Jibran karena Kalani sangat ingin bersamanya.

Sejak awal diajak bertemu, Eila sudah membuat skenario di kepalanya mulai dari yang buruk hingga terburuk. Kenapa tidak ada yang baik? Sebab pertama kali Kalani mengirim pesan padanya saja sudah tidak ada keramahan di sana, maka tidak mungkin Kalani ingin sok berbaik hati untuk meminta maaf. Eila tahu orang-orang seperti Kalani dan keluarganya memiliki gengsi yang tinggi. Jadi sebesar apa pun kesalahan yang dibuat, mereka tidak akan mengakui itu salah jika dilakukan untuk memenuhi keserakahan.

“Yang bikin kafe ini bagus karena ada private space supaya nggak gabung sama pengunjung lain. Apalagi di sini kita mau ngobrol secara pribadi, jadi jangan sampai ada orang luar yang denger obrolan kita.”

Eila mengangguk saja tanpa ingin merespons terlalu banyak, sengaja agar membuat Kalani bosan karena gagal memancing Eila yang begitu tenang sejak awal tiba di lokasi pertemuan. Sayangnya strategi itu tidak terlalu berhasil, sebab Kalani yang bukan amatir jelas tahu Eila sengaja mempermainkan pancingannya yang belum seberapa. Ini masih awal dan Kalani masih punya banyak umpan untuk memancing Eila.

“Minum dulu, Eila,” titah Kalani sembari menunjuk secangkir cokelat panas dengan dagunya.

Cokelat panas yang sudah ada sejak Eila datang itu dia tatap dengan sangsi, mempertanyakan keamanan saat ingat bahwa yang memberikannya adalah orang selicik Kalani. Eila perlu waspada dengan minuman yang sebenarnya begitu menggoda, tapi berbahaya jika berhasil terbuai.

“Enggak perlu khawatir gitu,” sahut Kalani yang paham dengan isi pikiran Eila. “Itu cuma cokelat biasa. Aku nggak masukin racun atau hal-hal jelek, kok.”

Eila menatap Kalani dengan sebelah alis terangkat. “Oh, ya?” tanyanya skeptis. “Gimana aku bisa percaya?” tambahnya dengan cara bicara yang lebih informal.

“Kita masih harus ngobrol, jadi nggak mungkin aku kasih kamu racun. Nanti kesempatan ngomongnya jadi hilang.”

Kalani benar. Selicik-liciknya Kalani, tidak mungkin sang aktris sengaja meracuni Eila di saat dia sendiri ingin bicara. Baiklah, Eila membuat sangsi yang berlebihan, jadi ada baiknya memercayai Kalani agar pertemuan ini segera berakhir. Eila menyeruput cokelat panas itu beberapa kali, sampai akhirnya dia meletakkan gelasnya dan menatap lawannya serius.

“Jadi, mau ngomong apa?”

“Jauhin Jibran.” Kalani to the point menyampaikan maksudnya. Tidak beberapa lama, dia menjelaskan lebih detail, “Kalian nggak ada harapan buat bareng, Eila. Sebaik apa pun hubungan kalian, Jibran udah dijodohin sama aku dan kami bakal nikah. Publik juga tahunya kami pacaran, bahkan beberapa kali kelihatan bareng.”

Eila tertawa kecil mendengar kalimat terakhir Kalani. “Kelihatan bareng sebagai supir yang selalu jemput majikannya selesai syuting? Itu yang namanya pacaran?”

Kalani yang seharusnya menyerang, malah berbalik diserang oleh lawan. Situasi ini jelas tidak tepat, sebab harusnya Kalani yang menguasai segalanya. Belum sempat Kalani membalas, Eila lebih dulu mengambil giliran setelah kembali menikmati cokelat panasnya.

“Kalau hubungan yang dibuat secara benar, pasti nggak butuh validasi dari siapa-siapa. Tapi karena hubungan kalian itu dari hasil kecurangan dan kamu rebut Jibran dari aku, makanya kamu butuh validasi dari mana-mana supaya percaya diri Jibran cuma punya kamu. Kelihatan hebat dan mindernya terlalu tipis, tapi nggak susah buat dibedain.”

Kalani mengetatkan rahang dan mengepalkan dua tinjunya di atas meja mendengar penuturan Eila yang menyentil harga dirinya. Benar, Kalani butuh validasi atas hubungannya yang diumumkan secara paksa. Sayang, wanita itu tidak mau mengakuinya, jadi amarahnya mudah terpancing saat Eila menyinggung sesuatu yang disangkalnya. Tidak mau kalah, Kalani akhirnya menyerang.

“Sebelum kamu kenal Jibran, aku udah tahu dia duluan. Perjodohan itu udah ada sejak lama sebelum filmnya ada, tapi kamu malah datang dan ganggu semuanya. Kalau kamu nggak ada, Jibran pasti udah lebih dulu suka sama aku.”

“Gimana, ya?” Eila memainkan telunjuknya mengikuti lingkaran cangkir di atas meja. “Jibran itu udah suka sama aku sejak sekolah, Kalani. Malah dia minta bantuan ke aku karena perasaannya nggak pernah hilang. Jadi, jangan terlalu percaya diri kalau Jibran udah pasti suka sama kamu, karena kayaknya itu nggak mungkin.”

Di luar dugaan, Eila jadi membanggakan dirinya yang disukai Jibran sejak lama. Padahal di awal mengetahui fakta itu rasanya amat sulit untuk menerima, tapi sekarang malah Eila manfaatkan untuk menyerang Kalani. Ah, rasanya tidak sabar bertemu dengan Jibran dan menceritakan kejadian hari ini. Dia pasti terbahak jika Eila menceritakan Kalani yang saat ini berkaca-kaca akibat ingin menangis—antara marah, malu, dan harga dirinya hancur.

“Kamu nggak layak buat Jibran, Eila.”

Hanya itu yang mampu Kalani sampaikan saat himpunan kata di lidah justru tertahan dan gagal mengudara. Kalani yang bermaksud memberi umpan, justru malah dikalahkan oleh Eila yang terlalu besar untuk umpan kecilnya. Eila menghabiskan cokelat panasnya, menyeka bibirnya dengan tisu, dan tersenyum penuh kepuasan melihat Kalani yang kalah telak darinya tanpa mampu memperbaiki situasi.

Eila berdiri sembari menyampirkan sling bag-nya, lalu pamit, “Makasih cokelatnya. Aku suka. Semoga kita nggak ketemu lagi.”


Eila bernapas lega setelah keluar dari kafe—khususnya private room—yang membuatnya sesak. Hiruk pikuk Ibu Kota yang biasanya membuat kewalahan, justru jadi pemandangan yang paling ramah daripada hanya melihat Kalani seorang. Selagi tangannya memegang ponsel untuk menghubungi sang adik, Eila berjalan menuju zebra cross yang kebetulan ada di depan kafe. Tepat saat dia tiba di depan zebra cross dan menunggu lampu lalu lintas berganti merah agar dia bisa menyebrang, telepon akhirnya tersambung.

“Halo, Natta. Tolong jemput aku, ya.”

“Jemput di mana? Ini kok rame banget? Kamu habis dari mana?”

“Aku habis ketemu temen. Ini lagi mau nyeberang. Kamu jemputnya di PIM aja, mau ke sana dulu.”

“Oke, oke. Jam berapa?”

Baru saja Eila akan menjawab, suaranya tiba-tiba hilang saat ada sesuatu yang menancap di bagian perutnya, meninggalkan sakit yang menjalar di sekujur tubuh dalam durasi cepat. Napasnya hingga tertahan, pandangannya mulai mengabur saat Eila berusaha melihat siapa yang berulah untuk melukainya. Eila hanya ingat orang itu memakai pakaian serba hitam dan menghilang dengan cepat, seiring dengan daksanya yang tidak mampu lagi berdiri hingga akhirnya jatuh terbaring.

Dengan kesadaran yang nyaris direnggut, Eila mendengar orang-orang di sekitar mulai histeris dan mendekatinya untuk memberikan pertolongan saat darah tidak berhenti mengalir dari perutnya. Dari semua orang asing yang terlibat, ada satu sosok familier yang baru saja dia tinggalkan ikut bergabung bersama massa dan berakting seakan dia pahlawan.

Sebelum kegelapan menjemputnya, Eila yakin, Kalani Ningrum Rakha adalah tersangka utama atas deritanya.