A-Mature 3: Connected
Bercinta. Begitu kata lembutnya.
Seks. Begitu kata frontalnya.
Kegiatan dahsyat yang memberikan kenikmatan—kalau boleh berlebihan bagaikan surga dunia—hingga membuat setiap insan yang melakukannya bisa teradiksi kuat. Saat seks dilakukan dengan orang yang begitu dicinta, maka kata yang tepat adalah bercinta.
Kata orang, melakukan dengan sosok yang dicinta rasanya akan jauh berbeda. Sebab di setiap aksinya akan diselipkan perasaan yang membuat kedua pemeran utama saling menghargai tanpa menggunakan ego masing-masing. Keduanya mendapatkan puncak tertinggi tidak hanya demi mencicipi surga dunia, tapi juga saling mengungkapkan cinta dengan cara berbeda.
Sebab itu bercinta menjadi kegiatan paling intim dalam sebuah hubungan yang menciptakan koneksi kuat tanpa lisan. Koneksi yang dibuat saat kedua pemeran utama saling berbicara melalui sentuhan penuh damba, berbagi kenikmatan sebagai pengganti kata, serta bercumbu mesra sebagai penutup kegiatan.
Sayangnya, tidak semua orang mendapatkan kenikmatan setinggi itu meski dengan orang yang amat dicintai—terlebih di saat keduanya sama-sama amatir, tidak tahu cara memulai apalagi mengakhiri—maka kegiatan intim itu terasa menyiksa sebab hasrat yang naik turun dan hanya menyisakan rasa sakit.
Well, sekiranya itulah yang dialami oleh pasangan baru ini; Jeremy Adinata dan Anata Hapsari, yang di minggu kedua pernikahan mereka belum mengenal apa itu kenikmatan bercinta. Mencoba beberapa kali di tiap minggunya, tetapi selalu gagal akibat rasa tegang yang mendominasi dan bingung cara mencuri. Terlebih dari sisi Anata yang terlalu malu saat mengekspos bagian tubuhnya, serta takut membayangkan pusat tubuh Jeremy memenuhi dirinya.
Jeremy yang tidak tega harus meredam adrenalinnya dan memprioritaskan kenyamanan Anata, tetapi sayangnya dia tidak tahu cara membuat istrinya bisa lebih relaks. Alhasil percobaan setiap malamnya gagal, selalu ditutup dengan kata maaf yang tidak seharusnya terucap. Seperti hari ini.
“Maafin aku, ya,” lirih Anata sembari menutupi tubuhnya rapat dengan selimut. “Aku masih aja nggak siap.”
Jeremy yang berbaring di samping Anata menariknya ke dalam pelukan. “Enggak apa-apa, aku juga bingung harus gimana. Kita sama-sama belum siap. Jangan minta maaf terus, ya.”
“Tapi kasihan kamunya. Tiap nyoba gagal mulu.”
Keluhan sang istri malah mengundang tawa, memecah ketegangan yang sempat menyiksa saat aktivitas amatiran mereka masih berjalan.
“Emang akunya juga payah.” Jeremy mengakui kekurangannya. Dia selipkan anak rambut Anata di belakang telinga dan kini wajah istrinya yang merona tampak jelas cantiknya. “Masih ada nanti, Anata. Sekarang kamu istirahat, baru nanti mandi duluan, ya.”
Anata hanya mengangguk dengan mata setengah terpejam, makin berusaha menyembunyikan tubuhnya yang sudah terbungkus rapat, seakan masih ada bagian terekspos yang tidak boleh dilihat orang. Lagi, Jeremy tertawa menyadari usaha Anata yang terlalu jelas. Sudah tidak terlihat apa-apa, tapi Anata masih merasa ‘terbuka’.
“Udah nggak kelihatan, Sayang. Apa lagi yang mau ditutupin?”
Gerakan tangan Anata terhenti kala Jeremy membahas usaha menutupi daksanya. “Aneh tahu nggak pake apa-apa gini,” cicit Anata. “Sama … malu.”
“Enggak usah malu. Aku udah lihat, kok. Ini aja kerasa di dalem selimut.”
“Ihh, nyebelin!”
Anata berusaha menjaga jarak saat sadar gesekan antar kulitnya dengan Jeremy di dalam selimut bisa berbahaya untuk kesehatan jantungnya. Gelak tawa kembali terdengar saat Anata mundur menjauh, tapi untungnya bisa segera ditahan oleh Jeremy hingga jarak mereka kembali menipis. Anata refleks menahan napasnya sejenak, sedikit demi sedikit diembuskan kala jarak wajah mereka ikut menipis hingga sang puan bisa merasakan terpaan napas hangat sang pria di sekitar parasnya.
“Jangan jauh-jauh.”
Bak mantra, Anata tidak berusaha menjauh dan membiarkan indra peraba mereka bertemu tanpa penutup di balik selimut. Anata tundukkan pandang, masih merona meski kegiatan mereka telah usai.
“Anata,” bisik Jeremy, masih dengan mata terpejam.
Tetap dengan pandangan tertunduk, Anata membalas, “Kenapa?”
“Aku tahu kenapa kita gagal terus.” Jeremy membuka mata sambil sedikit bangkit dan mendekati daun telinga Anata. Tanpa menunggu respons sang lawan, Jeremy kembali berbisik, “Soalnya kita nyoba di rumah ibu aku.”
Anata berbinar kala memandangi rumah di depannya yang sudah finish dan tinggal diisi. Rumah hasil jerih payah Jeremy yang sebentar lagi akan menjadi tempat tinggal mereka. Di bagian depan diwarnai cat abu-abu dan putih, dengan teras yang luas, serta ada garasi di sampingnya untuk kendaraan. Di pekarangan ditanam beberapa bunga untuk mempercantik hunian, bahkan rencananya akan ditambah setelah ditempati mereka.
Selama 3 minggu menikah, Jeremy dan Anata masih tinggal di rumah Daniar—ibu Jeremy—yang wataknya kurang ramah pada sang menantu. Well, kurang lebih itu yang Anata rasakan, sebab Daniar secara terang-terangan selalu sinis dan menyindir soal kesibukannya, bahkan tidak ragu melakukannya di depan Jeremy.
Beruntung Jeremy selalu membela Anata, ditambah Anata juga tidak mau memusingkan omongan orang yang tidak memberi untung untuknya. Selama Daniar dan Anata masih memiliki hubungan baik, sindirannya wanita itu anggap sebagai cara mertuanya mengakrabkan diri.
“Gimana?” tanya Jeremy setelah mereka memasuki rumah yang tidak Anata sangka sudah diisi furnitur seperti sofa, meja, televisi, ditambah AC yang segera dinyalakan oleh sang suami agar rumah lebih sejuk. “Kok diam aja?”
Pertanyaan itu menyadarkan Anata ke realitas, lalu dia tatap suaminya yang mengernyit bingung—khawatir istrinya tidak suka dengan rumahnya. “Kamu udah pernah bilang lagi bangun rumah buat kita berdua, tapi aku nggak nyangka kalau rumahnya udah diisi gini.”
Jeremy makin mengernyit mendengar respons tidak terduga itu. “Rumahnya ‘kan harus diisi, Anata. Aku nggak mau bawa kamu saat rumahnya masih kosong.”
Anata manggut-manggut dan menjelaskan, “Aku paham, tapi maksudnya kamu nggak bilang udah diisi. Kalau dari awal bilang, aku bisa bantu buat beli furnitur apa gitu buat ngurangin beban kamu. Bukannya aku nggak hargain usaha kamu atau mikir furnitur yang kamu pilih jelek, ya. Justru aku bersyukur banget dan furniturnya bagus-bagus, sesuai sama suasana rumah. Cuma … aku nggak enak aja karena semuanya pake biaya kamu. Padahal rumahnya buat kita tinggal, tapi aku nggak bantu dana apa-apa. Makanya aku … nggak enak.”
Rasa lega menjalar karena pikiran buruk Jeremy runtuh berkat penjelasan itu. Sedikit heran mendengar respons yang tidak terduga, tapi Jeremy yang paham istrinya tidak mau membebankan satu pihak setelah menikah jadi memaklumi reaksinya.
“Anata, aku udah punya rencana bangun rumah ini sebelum kita ketemu. Pembangunannya dimulai waktu kita baru pacaran, terus baru aku kasih tahu ke kamu sebelum nikah soal rumah ini. Jauh sebelum kita jadian, rumah ini udah jadi janji aku buat ditempatin sama istri. Awalnya aku kira bakal ketemu jodohnya lebih lama,” Jeremy mengelus surai legam Anata yang dibiarkan terturai, “tapi ternyata lebih cepet dari perkiraan. Makanya aku nggak mau bebanin kamu soal dana, karena rumah ini udah rencana dari sebelum kita ketemu. Anggap aja rumahnya hadiah pernikahan. Jadi, jangan ngerasa terbebani karena kamu nggak keluar dana atau apa. Oke?”
Anata mengulum senyum setelah mendengar penjelasan panjang Jeremy yang membuatnya tidak lagi menuntut diri. Benar, rumah itu sudah jadi rencana Jeremy sejak jauh-jauh hari—sejak sebelum mereka saling mengenal. Maka tidak heran Jeremy merasa rumah yang akan mereka huni menjadi tanggung jawab dia sepenuhnya selama pembangunan.
Anata yang dianggap ratu oleh sang suami tinggal tahu jadi dan siap untuk tinggal bersamanya di tempat baru. Tiba-tiba Jeremy menarik Anata, menggiringnya memasuki ke bagian lebih dalam rumah untuk melihat-lihat isinya lebih dekat.
Lokasi pertama adalah ruang tamu yang diisi sofa untuk satu dan dua orang dengan mejanya, ruang keluarga untuk mereka kumpul yang dilengkapi televisi dan home theater, kamar mandi dan laundry room, halaman belakang rumah yang baru diisi rerumputan serta lampu untuk bersinar saat malam, kemudian menuju dapur yang lengkap dengan kitchen set dan menyatu bersama ruang makan berkapasitas enam orang.
“Di sini kamu bisa masak,” ucap Jeremy sambil menunjukkan setiap sisi dapur yang terbilang luas.
“Aku nggak bisa masak, Mas. Jangan lupa itu.”
Jeremy tertawa tanpa mempermasalahkan kekurangan yang Anata miliki. “Kita bisa belajar masak bareng, Anata.” Pria itu meraih Anata mendekat dan melingkarkan lengannya di sekitar pinggang sang istri. “Sarapannya masak bareng, makan siangnya beli masing-masing di tempat kerja atau bikin bekal bareng, terus makan malamnya masak bareng lagi.”
Bayangan-bayangan manis di masa depan menciptakan rona di pipi Anata yang tidak sabar untuk menjalani haru baru di tempat baru. Bukan berarti tinggal di rumah Daniar sangat tidak nyaman, tapi Anata merasa sungkan dan ingin tenang dari sindiran yang dialamatkan padanya.
Toh, hidup berumah tangga memang diharuskan berpisah dari orang tua, bukan? Dengan begitu tidak ada pertikaian antara keluarga atau ikut campur dari orang luar.
“Aku tunjukin kamar, ya.”
Jeremy kembali menarik Anata menuju kamar tamu yang lengkap dengan kasur, lemari kecil, nakas, dan meja rias. Kamar yang bisa dihuni oleh dua orang jika nanti ada kerabat berkunjung. Hanya sebentar di sana, karena tujuan terakhir mereka adalah kamar utama yang akan menjadi tempat istirahat sepanjang menjalani rumah tangga.
Kamarnya lebih luas dari kamar tamu, dilengkapi televisi, kasur king size, kamar mandi dalam, nakas, meja rias putih yang besar untuk segala jenis riasan dan skincare Anata, rak buku, sampai ada meja kerja khusus untuk Anata mendesain pakaian.
Warna dindingnya masih sama; putih dan abu, menciptakan suasana yang cerah sekaligus nyaman ketika mereka memasukinya. Biasanya Anata butuh waktu panjang untuk beradaptasi di tempat baru, tapi kali ini hanya dalam satu datang saja sudah membuatnya betah.
“Ada yang mau kamu ubah?” tanya Jeremy seraya memeluk Anata dari belakang. “Silakan aja, siapa tahu kamu kurang suka sama furnitur yang aku pilih.”
Anata menggeleng sembari menatap sekeliling kamar dengan berbinar. “Semuanya udah pas. Aku nggak suka warna ngejreng atau yang aneh-aneh, jadi pilihan kamu udah oke banget.”
“Tapi kalau nanti-nanti mau diubah tinggal bilang, ya. Aku bakal nyanggupin.”
Anata hanya mengangguk untuk mengiyakan kesanggupan Jeremy jikalau sang istri tiba-tiba ingin mengubah sesuatu di rumah baru mereka. Jeremy membawa Anata berbaring di atas permukaan kasur yang dilapisi sprei berwarna biru, menimbulkan desah nyaman kala tubuh mereka menemukan tempat istirahat setelah seharian bekerja.
Awalnya Jeremy dan Anata berbaring telentang untuk mencoba senyaman apa istirahat di kediaman baru mereka yang akan mulai diisi minggu depan—hasilnya sangat nyaman, tenang, tanpa beban karena Daniar tidak bersama mereka. Sampai akhirnya Jeremy berbaring miring menghadap Anata dan mendekatkan daksanya agar lebih rapat, bahkan berani mencium pelipis dan pipi sang istri.
Anata yang tadinya terpejam perlahan membuka matanya, menemukan sosok Jeremy yang jaraknya amat dekat hingga embusan napasnya bisa dia rasakan jelas. Bukan sekali mereka sedekat ini, bahkan sudah beberapa kali dalam keadaan tidak berbusana, tapi Anata selalu merasa asing sebab dampaknya pasti tidak baik tiap mereka rapat.
Belum sempat bertutur kata, birainya dikunci oleh ciuman ragu-ragu yang disuguhkan Jeremy, mencari sesuatu untuk dicecap sebagai bukti kasih. Awalnya kaku layaknya sang amatir, lama-lama berubah ulung saat Anata mulai memejamkan mata dan menikmati. Anata remas kerah kemeja Jeremy yang dua kancing teratasnya sudah dibuka dan dasinya disingkirkan sejak dia menjemput sang istri di butik.
Di situlah sang pria mendominasi dengan berbaring di atas Anata, menahan tubuhnya dengan tangan sebagai tumpuan. Ciuman pertama mereka di hari ketiga pernikahan lalu sangat aneh, tapi berikutnya bagaikan ektasi yang begitu adiktif. Jeremy tarik bibirnya dengan enggan saat mereka membutuhkan napas banyak setelah puas beradu saliva.
Sang pria tatap istrinya dalam, memuja tiap titik paras rupawan yang pernah menyihirnya hanya dalam satu kali temu. Begitu cantik dan tiap harinya makin cantik—bahkan kalau boleh berlebihan, Anata makin cantik tiap detiknya.
“Mau coba sekali lagi?”
Pertanyaan itu …. Anata paham sekali maksudnya ke arah mana. Matanya liar memandang ke kiri dan kanan, sampai berakhir kembali pada Jeremy yang menunggu jawabannya.
Anata merespons ragu, “Enggak apa-apa?”
Jeremy tergelak mendengar respons menggemaskan itu. “Aku nggak apa-apa. Kamunya gimana? Kalau belum siap, mending jangan. Aku nggak mau kamu kesakitan kayak kemarin.”
Ah, benar. Kemarin Jeremy dan Anata kembali mencoba, tapi lagi-lagi gagal dan hanya menghasilkan rintih kesakitan. Tiap dibahas selalu membuat Anata malu dan bersalah karena merasa tidak bisa memberikan apa yang sang suami harusnya dapatkan. Anata ingin menolak karena bayangan kesakitan beberapa kali percobaan menggentayangi pikirannya.
Namun di sisi lain, rasa penasarannya amat tinggi. Ditambah mereka hanya berdua, lebih bebas, jadi tidak perlu takut tertangkap basah oleh Daniar. Well, tidak ada salahnya mencoba lagi, bukan? Anata tidak mau kegiatan seksual mereka gagal berkembang ke arah yang baik.
“Mas, kamar mandinya udah bisa dipake?”
Jeremy mengernyit mendengar pertanyaan yang di luar konteks. “Bisa, kok.”
Anata bertanya lagi, “Ada sabun sama handuk nggak?”
Masih sembari mengernyit, Jeremy menjawab, “Ada. Aku langsung beli lengkap pas rumah ini mulai diisi barang.”
Dua pertanyaan krusial itu dijawab dengan baik dan menghasilkan kepuasan bagi sang penanya. Anata mengulum senyum dan meremas biceps Jeremy yang terkurung di balik kemeja lengan panjangnya. “Kita mandi dulu, yuk.”
Hanya dililit handuk yang menutupi dada hingga pahanya, Anata Hapsari keluar dari kamar mandi dengan canggung setelah menyelesaikan ritualnya. Jeremy Adinata yang sudah segar sejak tadi juga hanya dililit handuk untuk menutupi bagian bawah perut sampai lututnya. Astaga! Pemandangan itu.
Baru juga beberapa langkah dari kamar mandi, Anata langsung disuguhkan panorama indah berwujud pahatan sempurna dari tubuh sang suami yang membuatnya blank seketika. Bukan yang pertama, tapi sama seperti kedekatan mereka tadi, apa yang Anata lihat di depannya masih terasa asing dan berdampak pada hilangnya kewarasan.
Jeremy yang awalnya menunggu dengan sabar di samping tempat tidur, perlahan mendekati Anata yang malah bergeming di tempat akibat tidak berani mengangkat tungkai. Seakan tidak mau basa-basi, Jeremy meraih bibir Anata begitu posisi mereka sudah dekat, membuka keintiman yang diharapkan kali ini akan berhasil.
Anata pejamkan mata dan mencoba membalas setiap lumatan birai sang pria pada miliknya, tangannya mengelus punggung Jeremy yang masih terasa sedikit basah hingga meninggalkan efek segar kala sang istri jamah. Aroma mint menguar ke indra penciuman masing-masing, menambah animo yang kian naik di setiap decapannya.
Dengan mudah Jeremy menanggalkan handuk Anata, disusul dengan handuk sang pria yang ikut lolos hingga kini mereka tidak dibalut kain apa pun. Biasanya Anata malu, tapi kali ini rasanya lain sebab dia tidak waswas akan tertangkap basah oleh orang lain—maksudnya Daniar.
Bibir Jeremy turun ke leher Anata yang menengadah untuk menikmati sapuan lidah pada titik sensitifnya. Anata remas surai legam suaminya sebagai pelampiasan rasa yang tidak biasa, menggigit bibirnya kuat-kuat karena enggan bersuara dengan bebas. Sadar ada yang ditahan, Jeremy menatap Anata yang masih di ambang kenikmatan bibirnya.
“Jangan ditahan kalau mau ngeluarin suara, Anata,” bisik Jeremy seduktif. “Cuma kita di sini.”
Perintah itu disanggupi sang puan, membuka kurungan yang membatasi gerak tubuhnya untuk mengekspresikan kepuasan biologis. Jeremy mengangkat tubuh Anata, membawanya ke tempat yang akan menjadi saksi bisu aktivitas mereka, lalu merebahkannya perlahan di posisi tengah yang disusul oleh sang pria dengan kedua tangan di sisi kiri dan kanan sebagai tumpuan.
“Kamu mau apa dulu, Anata?”
“G-gimana?” Anata tidak paham dengan maksud pertanyaan itu.
“Mau gini?”
Satu lenguhan lolos dari bibir Anata kala jemari Jeremy bermain di dadanya. Titik sensitif lain yang awalnya tidak berani jamah, kini berada dalam genggaman seolah dia sudah menguasai segalanya. Saat jemari Jeremy berpindah ke sisi yang belum tersentuh, gairah Anata makin naik hingga ke ubun-ubun. Wanita itu mengangguk, seakan menjawab pertanyaan Jeremy yang tidak mampu dilisankan, serta memberi kode agar pria itu terus melakukan hal sama di titik terbaiknya.
Masih menit-manit awal, tapi melambungkan gejolak tersembunyi dalam diri Jeremy karena bisa melihat gelora kepuasaan sang istri. Begitu cantik dan menggairahkan. Jemari lentik itu perlahan menelusuri area-area lain yang belum sang pemilik jamah, berakhir di antara tungkai sang istri yang melentingkan tubuhnya akibat gerakan tidak terduga.
Jeremy berikan kepuasan lain dengan bibirnya pada birai Anata, menahan lenguhan yang ingin terus dikeluarkan tanpa membuat sang istri merasa kembali terkurung. Jemari Anata meremas punggung Jeremy untuk menyalurkan rasa yang membuatnya melayang. Alih-alih sakit, Jeremy justru menyukai remasan itu dan berharap Anata akan menambah kekuatannya.
Jeremy menarik bibir dan jarinya, lalu perlahan membalik tubuh Anata hingga tengkurap. Di sanalah Jeremy kembali bermain, mengecup tengkuk dan turun hingga punggung. Anata mendesah tiap merasakan kecupan demi kecupan yang memanjakannya, memberi tahunya bahwa ternyata setiap bagian tubuhnya menciptakan intonasi berbeda saat desahan keluar.
Bagaikan mendengar melodi yang indah, desah itu amat merdu di rungu Jeremy. Ini lain dari biasanya, sungguh! Sebab durasi sesi pemanasan lebih lama daripada percobaan sebelumnya, membangkitkan pusat gairah Jeremy dan membasahi inti tubuh Anata. Padahal baru saling bercumbu, tapi mengucurkan banyak peluh yang saling dibagi sebelum menyatu.
Permainan jari dan bibir Jeremy menjadi juara! Seakan-akan dia sudah belajar cara untuk memuaskan pasangan agar tidak mengulangi kesalahan.
“Bentar.”
Anata menahan Jeremy saat akan memulai inti permainan mereka setelah wanita itu kembali telentang. Paham apa yang dipikirkan sang istri, Jeremy segera menenangkan.
“Kalau kamu belum siap, nggak apa-apa, bisa dicoba lagi nanti.”
“Aku cuma mau minta tolong pelan-pelan. Bukan mau berhenti.”
Jeremy terkekeh, masih bisa serelaks itu saat Anata sudah dirundung malu. Jeremy kecup kedua pipi Anata, membiarkan tangan sang istri mencengkeram kuat pundaknya demi menyalurkan rasa tegang agar hilang. Jeremy pandang Anata yang merona akibat kepanasan—sama sepertinya. Tersenyum sebagai pria yang kasmaran dan tidak berhenti jatuh dalam cinta pada sang puan.
Dengan napas terengah akibat lelah dan tidak sabar memulai lagi, Jeremy berkata, “Kamu cantik, Anata ….”
Sebuah pujian itu menghibur Anata yang sempat ketakutan, menghipnotisnya dalam pesona Jeremy yang dibiarkan memonopolinya. Anata tersenyum, tapi hanya bertahan beberapa detik sebelum mendapati benda asing berusaha memenuhi pusat tubuh. Pandangannya hanya tertuju pada Jeremy yang beradu tatap dengannya, sedangkan yang di bawah tetap berusaha menerobos pertahanannya.
“Are you okay?”
Anata mengangguk dengan mulut sedikit terbuka.
“Lanjut?”
Lagi, hanya anggukan yang mampu Anata suguhkan sebab dia sudah termantrai kasih Jeremy. Rintih perih itu tidak pelak untuk mengadu, tapi sebagai penanda agar Jeremy terus lanjut. Jika sebelumnya Jeremy mengeluh sulit untuk menembus, maka kali ini dia merasa jalannya perlahan terbuka untuk menerobos. Tetap tidak mudah, tapi terasa pergerakannya menghantarkan sedikit demi sedikit kenikmatan luar biasa.
Anata memeluk Jeremy erat dan napasnya terputus-putus saat pertahannya berhasil tembus, mencicitkan ngilu saat dia merasa terisi penuh. Jeremy tidak tahu sepedih apa, tapi dia paham rasa yang tidak biasa karena ikut merasakan. Bersarang di tempat asing untuk pertama kalinya, melepaskan status perjaka dan gadis bersama-sama.
“How?”
Anata perlahan kembali berbaring di posisi, menjawab Jeremy yang masih menanti kesiapan diri. “Aneh,” jawab Anata yang makin mencengkeram kuat pundak sang suami.
Jeremy tersenyum karena Anata tidak mengatakan sakit, yang artinya dia sudah menerima rasa asing pada inti. “Aku sayang kamu, Anata.”
Saat Anata masih susah payah membiasakan diri, maka di situlah Jeremy menghibur. Anata tersenyum, menarik tengkuk Jeremy dan mencium bibirnya sebagai pengganti kata yang tertimbun. Permainan inti yang selalu gagal akhirnya dimulai, bertempo lambat dan tidak teratur karena keduanya harus meraba-raba bagaimana bergerak.
Nikmat dan sesak, begitu pikir Jeremy yang baru pertama kali melakukan seks. Oh, tidak. Ini jauh dari sekadar seks. Sebab mereka melakukannya dengan rasa yang membuat aktivitas seksual ini jadi terasa berarti. Bukan saja menyatukan daksa untuk menuju puncak, tapi menyatukan cinta selain lewat kata melalui kenikmatan.
Jeremy mulai bergerak teratur, membimbing Anata pada kenikmatan yang sudah lebih dulu dia dapatkan. Rasanya seperti dibawa melayang hingga Anata pejamkan mata dan menyerahkan dirinya untuk diangkat menuju nirwarna. Masih sedikit-sedikit perih, tapi bisa diatasi kala Jeremy bergerak di titik tepat yang menimbulkan melodi desah. Kenikmatan baru yang jauh lebih adiktif dari ciuman, membuat keduanya yakin mereka akan melakukan lebih sering setelah sepenuhnya tinggal berdua.
Puncak kenikmatan akhirnya mereka temukan yang didahului Anata bersama teriakan pelepasannya, disusul Jeremy yang menggeram setelah memenuhi kebutuhan biologisnya. Jeremy menyingkir dari atas tubuh Anata, berbaring di samping sang istri yang napasnya sama-sama terengah. Mereka pejamkan mata untuk menikmati sisa-sisa nirwarna yang memabukkan. Tidak pernah melihat seperti apa wujudnya, tapi surga dunia yang orang-orang katakan sudah mereka cecap.
“Gimana? Nyaman?” tanya Jeremy yang sudah lebih relaks dan memeluk Anata yang masih mencoba menormalkan deru napasnya.
Di sela-sela usahanya itu Anata masih sanggup menjawab, “Nyaman. Aku ngerasa … puas.”
Jeremy tersenyum sebab merasakan hal sama. Dia kecup dahi Anata yang berpeluh deras sepertinya, lalu menyelimuti tubuh mereka untuk istirahat sejenak sebelum membersihkan diri dan makan malam. Puncak kenikmatan tertinggi itu akhirnya bisa mereka raih, membuat Jeremy dan Anata merasa terkoneksi kuat meski tidak lagi menyatu. Sebab aktivitas mereka bukan sebatas kebutuhan biologis yang meronta-ronta dipenuhi, tapi juga untuk membuktikan cinta dengan cara lain.
“Mas,” panggil Anata sembari memandang Jeremy yang masih terpejam. “Kenapa?”
“Kalau aku minta lagi, kamu sanggup nggak?”
Akhirnya jadi juga ini Jeremy-Anata wkwkwk. Semoga suka sama oneshotnya, gak capek juga karena ini sampai 3200 kata xD Makasih udah baca. Jangan lupa tinggalkan jejaknya ^^









