hanyabualan

3000 kata. Enjoy <3


Mendapatkan jadwal sidang di hari pertama dan jam terakhir memberikan tekanan besar bagi Judy Keandra yang menjalaninya. Selama seminggu setelah diberi jadwal sidang, Keandra tidak pernah absen untuk mempelajari setiap isi skripsinya yang menjadi penentu kelulusannya. Keandra juga latihan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kemungkinan akan keluar saat sidang bersama teman-temannya—yang juga akan sidang skripsi di hari lain.

Tidak hanya dengan teman-teman senasib, sang suami, Johnny Satya setia membantu Keandra dan berperan seolah-olah dia jadi penguji sidang. Tentu rasanya berbeda karena Johnny bukan penguji sesungguhnya, tapi setidaknya Keandra sudah mendapat bayangan pertanyaan apa saja yang muncul saat sidang oleh suaminya yang sudah punya pengalaman.

Di hari-H, Keandra sudah keringat dingin sejak pagi dan kekhawatirannya menggerus konsentrasi yang susah payah dibangun. Saat sidang berlangsung semuanya dilancarkan—meski Keandra sempat dihantam dengan pertanyaan tidak terduga. Beruntung dia bisa menjawab dengan nyali yang sudah di ujung tanduk, mengantarkannya pada kelulusan dengan nilai memuaskan yang membuat Keandra hampir tidak berdaya di ruang sidang saat semuanya usai.

“Bunny Sayang, selamat!”

“Congraduation, My Friend.

“AAA! Bentar lagi gue! Tolong kasih testimoni biar gue nggak tegang.”

“Cieee, yang sarjana duluan.”

“Bunny, tolong doain anak kostan ini yang bentar lagi mau sidang juga, ya.”

“Nih, kado dari kita. Bunganya nggak yang asli, biar abadi.”

Di lobi Fakultas Psikologi yang ramai oleh mahasiswa lulusan baru dengan perayaan masing-masing, Lucas, Mark, Mina, Hendery, Dejun, dan Yeri silih berganti mengucapkan selamat untuk teman mereka yang pertama lulus. Keenamnya yang tergabung dalam Geng Magadir memberikan buket bunga dan selempang bertuliskan nama Judy Keandra beserta gelar barunya sebagai hadiah. Tidak lupa berfoto bersama dan berbagi pengalaman saat sidang agar Geng Magadir lain siap sebelum waktu mereka tiba.

“Jadwal sidang gue empat hari lagi. Jadi, tolong bantuin gue siapin diri buat sidang, ya,” pinta Mina yang sama-sama jurusan psikologi bersama Keandra.

“Gue juga!” seru Yeri yang sudah mual akibat tegang. “Kita emang beda jurusan, tapi minimal tahu keadaan di sana.”

“Yeri, mending siapin sidangnya bareng gue aja,” usul Lucas sembari merangkul Yeri yang langsung menyingkirkan lengan besarnya.

“Males. Yang ada lo nggak fokus, terus godain gue mulu. Capek, mendingan sama yang udah sarjana.”

Dejun, Mark, dan Hendery tertawa puas melihat Lucas yang ditolak mentah-mentah oleh Yeri. Sudah mau sarjana, tapi dua orang itu masih saja suka bersinggungan. Saat sedang asyik bercengkerama dan melakukan selebrasi sederhana dengan menikmati donat yang dibeli oleh Mark, ponsel Keandra yang ada di tangannya berdering menandakan pesan masuk.

Begitu dibuka pesannya, Keandra tersenyum lebar dan segera pamit untuk menghampiri seseorang yang telah menantinya. “Guys, gue duluan, ya. Suami gue udah nungguin.”

“Aduh, yang udah punya suami mah beda, ya,” ucap Dejun sok iri dengan status temannya yang lebih dulu taken.

“Sekali lagi selamat ya, Bunny. Doain gue juga lancar,” Mark ikut bersuara seraya mengelus dadanya yang berdebar tidak tenang.

“Lo hati-hati di jalan sama Bang Johnny. Kalau ada apa-apa, telepon gue aja.”

Paham apa maksud Hendery, Keandra hanya tertawa seraya manggut-manggut. “Pokoknya makasih, ya. Nanti gue traktir makan-makan setelah kita semua lulus. Duluan!”

Keandra melambai selagi kakinya berjalan meninggalkan keenam temannya yang membalas lambaiannya dengan senyum antusias. Setelah berada di luar lobi, Keandra mempercepat langkahnya karena tidak mau sang suami menunggu terlalu lama di area parkir. Di depan mobil hitamnya, Johnny Satya menunggu sang istri di bawah mentari senja yang cerah dengan satu buket bunga ukuran besar di tangan kanannya.

Cerahnya mentari senja langsung kalah telak oleh senyum Keandra yang berjalan cepat untuk mendekatinya, mengundang senyum Johnny yang ikut mekar. Johnny merentangkan tangannya saat mereka sudah dekat beberapa langkah, yang disambut dengan semringah oleh Keandra hingga ia melompat pelan dan menghamburkan dirinya dalam dekapan hangat sang suami.

“Congratulation, My Wife,” tutur Johnny sembari mengeratkan dekapannya. “Usaha kamu nggak sia-sia.”

“Berkat bantuan kamu juga.” Keandra mengurai pelukannya tanpa melunturkan senyum lebarnya.

“Aku nggak bantu banyak. Kamu lulus karena usaha sendiri.”

“No.” Keandra menggeleng tidak setuju. “Kamu yang bantuin aku simulasi sidang, ngasih saran, ngasih semangat, sama ngasih bunga.”

Keandra merebut buket bunga dari tangan Johnny yang sudah pasti untuknya. Johnny tertawa dan memberikan kecupan manis di dahi sang istri yang kini tidak dipenuhi pikiran buruk soal sidang lagi. Seandainya bisa mengabaikan presensi mahasiswa lain yang mondar-mandir di sekitar mereka, Johnny sudah meraih bibir Keandra yang dipoles dengan lipstick warna cherry dan menciumnya. Sayang, untuk sekarang Johnny harus sabar dan menahan diri sampai tiba di rumah.

“Kita harus makan enak buat rayain kelulusan kamu. Mau di mana?”

Keandra menengadah dan berpikir restoran mana yang akan dipilih untuk menjadi tempat makan malam mereka. Di mana pun tempatnya, Johnny pasti akan menyanggupi tanpa berpikir dua kali. Apalagi ini hari spesial Keandra, jadi momennya sangat tepat untuk memilih lokasi terbaik sebagai ‘kencan’. Setelah menemukan tempat dan makanan apa yang akan dinikmati mereka hari ini, Keandra kembali menatap Johnny yang sudah menanti.

“Aku tahu tempat yang paling pas buat kita.”


Saat Keandra menyebut tempat yang pas untuk mereka, Johnny mengira istrinya akan memilih restoran yang romantis dan butuh reservasi khusus untuk makan di sana. Kalau tidak, Keandra akan memilih restoran sushi kenamaan yang harganya bisa dikeluhkan olehnya akibat terlalu mahal. Rupanya perkiraan Johnny salah, sebab Keandra memilih memesan BK dan makan di rumah dengan posisi duduk saling berdampingan.

Menu makan malamnya juga jauh dari ekspektasi, tapi Johnny tidak terlalu bingung mengingat istrinya bukan orang yang repot urusan makanan. Ditambah lagi BK adalah salah satu makanan favorit dan wajib dibeli menggunakan kupon yang selalu ada di dompet Keandra. Dengan burger yang wajib dibeli sebanyak tiga porsi, chocolate float, dan fries, Keandra sudah puas dengan makan malamnya tanpa beban setelah menyelesaikan kuliahnya dan mendapatkan hasil memuaskan.

“Jujur, aku ngiranya kamu bakal pilih restoran mana gitu buat makan malam,” Johnny menyeka noda saus di sudut bibir Keandra menggunakan tisu, “ternyata pilihnya BK dan belinya pake kupon kamu.”

“Tadinya aku nggak mau beli BK,” balas Keandra sembari membuka burger terakhirnya, “terus aku mikir apa mending masak aja gitu ya biar lebih hemat. Tapi karena akunya capek dan nggak mau kelamaan, yaudah, pilih BK aja. Aku udah lama nggak makan BK, apalagi selama ngerjain skripsi makannya sok sehat banget.”

Alasan yang masuk akal, jadi Johnny tidak bertanya lagi dan membiarkan Keandra menikmati makan malamnya. Johnny sudah selesai dan kini sibuk mengamati istrinya—yang sejak zaman pacaran selalu semangat menikmati makanan kesukaannya.

Setelah Keandra menyelesaikan malamnya, Johnny merogoh sesuatu dari saku celananya sambil berkata, “Aku ada sesuatu buat kamu.”

Keandra merespons sembari menatap Johnny penuh tanya, “Apa?”

Alih-alih menjawab dengan lisan, Johnny langsung menunjukkan hadiah yang dia siapkan. Kotak yang kini dibuka dan menunjukkan kalung dengan bandul hati berlabelkan Tiffany & Co. “Hadiah kelulusan.”

“Padahal aku nggak minta,” cicit Keandra, masih tidak percaya dengan hadiah yang Johnny berikan untuknya.

“Tapi aku mau ngasih.” Johnny mengeluarkan kalung itu dari kotak, lalu memakaikannya di leher sang istri yang selalu polos tanpa aksesoris.

Sejak menikah—lebih tepatnya setelah damai dari konflik yang sempat hampir memisahkan mereka—Johnny jadi lebih romantis dan rasa pekanya meningkat. Johnny akan tiba-tiba mengirim pesan manis seperti ucapan sayang dan cinta, tiba-tiba mengirim foto dan memberi tahu apa yang akan dilakukannya, dan kini memberi hadiah tanpa diminta apalagi dikode seperti yang biasa Keandra lakukan.

“Thank you.” Keandra langsung memeluk Johnny setelah kalung itu melingkar sempurna di lehernya.

Tidak cukup dipeluk, Johnny menyambar leher Keandra sebagai sasaran empuk untuk bibirnya. Terasa geli dan basah, mengundang tawa Keandra yang kadang masih tidak terbiasa kala titik sensitifnya diserang dengan seduktif.

“Eh, bentar.” Keandra segera menahan Johnny dan mendorongnya agar menjauh. “Aku ada kado juga buat kamu.”

Giliran sang pria yang bingung karena dia tidak berekspektasi akan diberikan hadiah juga oleh istrinya. “Kamu nggak perlu bales aku, Sayang.”

“Aku emang mau ngasih hadiah selesai sidang. Tapi wajib mandi dulu sebelum buka hadiahnya, biar seger.”

Pikiran aneh mulai berkeliaran di benak Johnny karena dia diwajibkan mandi, hingga dia menerka-nerka maksud hadiah yang akan diberi. “Mandinya bareng?” tanya Johnny jail.

“Masing-masing,” jawab Keandra seraya menggeleng. “Kamu dulu, baru aku.”

“Padahal lebih enak bareng, lho.”

Keandra tertawa kecil melihat Johnny yang tiba-tiba manyun. “Kamu dulu ya, Kak.”

Kali ini Johnny tidak membantah perintah istri manisnya. Sebelum makin didesak, Johnny segera beranjak dari ruang makan menuju kamar untuk mandi seperti yang diminta Keandra. Begitu Johnny masuk, Keandra membuang sampah dan membersihkan meja yang kotor. Dia menyusul ke kamar dan menunggu Johnny mandi sebelum gilirannya tiba.


Durasi mandi Johnny bisa dibilang singkat, yang penting tubuhnya bersih dan wangi. Beda lagi jika tadi Johnny mandi bersama Keandra, durasinya pasti lebih lama karena melakukan hal lain yang sangat ‘menyenangkan’. Keandra langsung masuk ke kamar mandi setelah Johnny selesai, tapi istrinya sampai saat ini belum kunjung keluar setelah hampir 20 menit dia nantikan sembari duduk bersandar di kasur.

Johnny hafal betul istrinya akan mandi cepat kalau sudah terlalu malam, sedangkan sekarang pintu kamar mandi masih tertutup rapat, padahal bunyi gemericik air sudah tidak terdengar. Khawatir terjadi sesuatu di dalam, Johnny memutuskan untuk menghampiri sang istri demi memastikan keadaannya tidak apa-apa.

Belum sempat dia bangkit dari kasur, akhirnya pintu terbuka dan Keandra keluar dengan tubuh yang masih dibalut bathrobe dan rambut terurai. Aroma bubblegum langsung menguar di indra penciuman Johnny, begitu segar dan manis sampai pria itu ingin memeluk istrinya sesegera mungkin.

“Kamu tumben banget mandinya la … ma.” Suara Johnny mengecil di kata terakhir kala melihat Keandra membuka bathrobe-nya, menunjukkan daksanya yang dibalut oleh chemise.

Chemise itu panjangnya di atas lutut, membuat kaki Keandra tampak lebih jenjang dari biasanya. Tali tipis di pundak menjadi bagian penting untuk menahan chemise agar tidak terlepas. Meski gunanya untuk melindungi, tetap saja tidak menutupi lekuk tubuh Keandra yang menerawang di balik chemise berbahan renda.

Keandra yang biasanya mengenakan piama atau kaus dan celana training saat tidur, jelas memberikan pemandangan asing dengan chemise-nya hingga membuat Johnny memaku sampai tidak mampu berkedip. Keandra mendekati Johnny dengan dagu yang sedikit diangkat, pasalnya dia sendiri malu menggunakan pakaian sensual, jadi dia berusaha membangun rasa percaya diri seiring dengan langkahnya yang makin dekat pada Johnny.

Dada Johnny seketika naik turun dengan cepat saat Keandra makin dekat dan aroma bubblegum kian menusuk indra penciumannya. Jika saja dia egois, Johnny pasti langsung menarik Keandra agar segera menempel padanya. Sayang, selain berusaha memendam egonya, Johnny pun masih sulit bergerak selagi matanya yang berjalan mengikuti langkah Keandra.

Akhirnya yang dinanti tiba, Keandra sudah berada di sisi kasur dan mulai merangkak naik menuju sasaran. Animo Johnny meningkat saat Keandra sudah duduk di pangkuannya, tersenyum seduktif seraya memainkan ujung rambutnya untuk menggoda sang pria. Merasa diundang, tangan Johnny merangkak naik untuk ikut memainkan rambut sang istri, tapi Keandra buru-buru menahannya agar tetap di posisi.

Keandra menggeleng, memberi tahu Johnny bahwa ini bukan waktunya dia bermain. Keandra ingin mendominasi lebih dulu, menggoda suaminya yang belum apa-apa sudah hampir kehilangan kesabaran.

Keandra tarik kerah piama Johnny, lalu membuka dua kancing teratas tanpa melepaskan pandangan dari sang pria yang sudah masuk perangkap pesonanya. Tidak ada riasan di wajah Keandra, tapi Johnny dibuat terpana dengan kecantikan yang selalu membuainya. Johnny mendesah tertahan kala telunjuk Keandra menelusuri tulang selangka yang menjadi bagian sensitifnya.

Tanpa kesulitan, Keandra membuka kerah piama yang menghalangi pemandangan indahnya. Keandra menunduk, lalu mencium tulang selangka Johnny yang menonjol untuk menggodanya. Gerakan bibir Keandra begitu sensual, membangkitkan hasrat terpendamnya. Johnny menengadah kala bibir itu merangkak naik ke leher dan bermain di sana. Johnny mengerang saat Keandra berhasil menemukan titik sensitifnya, terus mengulang di sana hingga syahwatnya nyaris meledak.

Saat birai itu masih bermain di leher, jemarinya kembali membuka satu per satu kancing, lalu menanggalkan atasan Johnny dan melemparnya sembarang. Keandra menahan Johnny agar tidak menyentuhnya sedikit pun. Sebab satu sentuhan saja, maka Johnny akan mendominasi dan Keandra belum mau itu terjadi.

Ini baru permulaan, tapi tidak ada satu kata pun yang mampu keluar untuk mendeskripsikan kenikmatan meski sudah terhimpun. Maka biarkan lenguhan kecil menjadi pengganti kata yang hilang, sebab suara-suara pemecah kesunyian itu sudah menjadi wakil atas kenikmatan yang didapat. Keandra tatap manik cokelat Johnny yang memandangnya lapar karena keinginannya belum terpenuhi.

Senyum jail terbit di bibir Keandra, merasa puas karena mampu membuat Johnny memohon padanya. Keandra kecup dahi Johnny, turun ke kelopak mata, kedua pipi, berakhir di bibir yang Johnny balas dengan rasa lapar. Saat itulah Keandra biarkan Johnny menyentuhnya. Mulai dari bagian yang ‘aman’, sampai bagian ‘intim’ yang membuat Keandra mendesah di sela-sela ciuman.

Dengan enggan Johnny menarik bibirnya demi memandang Keandra dalam jarak dekat. Tangannya menyentuh tali tipis yang melindungi, memainkannya sejenak dan melepas keduanya hingga otomatis jatuh mempertontonkan tubuh bagian atas Keandra yang bisa Johnny pandang dengan jelas. Giliran bibir Johnny yang bermain di setiap titik sensitif istrinya, menghirup aroma yang membuatnya gila karena tidak henti menggodanya.

Keandra meremas surai Johnny sebagai kode agar suaminya terus bermain di ceruknya, bagian paling sensitif yang butuh diberi kepuasan.

“Kamu cantik,” puji Johnny setelah mengakhiri permainan bibirnya. “Kamu selalu cantik.”

Keandra tersenyum dengan pikiran yang masih mengudara karena baru menerima kenikmatan. “Lebih cantik waktu lagi kayak gini?”

Tawa kecil mengudara selagi tangan Johnny bermain di chemise Keandra yang masih membalut tubuh bagian bawahnya. Dengan mudah Johnny menanggalkan seluruh chemise itu hingga salah satu pemandangan terbaik dari sang istri bisa dia dapatkan.

“Lebih cantik waktu kayak gini.”

Keandra memukul dada Johnny pelan dan kembali mencium birai yang tersenyum itu tanpa dosa. Tidak begitu lama, sebab Johnny meraih tangan Keandra dan mencium setiap jari sang istri dengan penuh pujaan. Di sesi pembukaan, Johnny selalu tahu cara memperlakukan Keandra layaknya ratu yang begitu dihargai dan diinginkan untuk bersatu.

Johnny paham cara melayaninya hingga membuat Keandra mabuk kepayang meski itu hanya ciuman singkat. Belaiannya pun begitu halus, selalu tepat di titik terciptanya nafsu.

“Cantik ….”

Tidak lupa bisikan pujian yang memanjakan rungu saat indra peraba Johnny tengah bekerja. Di awal permainan semuanya berjalan dengan halus tanpa ingin buru-buru—lain dengan pengalaman pertama yang masih meraba-raba kenikmatan karena masih amatir. Di pertengahan, permainan mulai berjalan lebih cepat sebab tidak sabar untuk mereguk kenikmatan yang lebih agung.

Keandra kembali mendominasi dan membuat Johnny tidak berdaya kala birainya menyambar tiap titik sensitif di antara tungkainya. Biasanya Keandra yang akan menggila dengan sapuan hasrat di bagian terdalam dirinya, tapi kali ini Johnny yang harus kalah telak dan membiarkan istrinya bekerja.

Ini gila! Johnny sampai memejamkan matanya erat kala kenikmatan itu menjalar hingga ke sekujur tubuh, naik sampai ubun-ubun dan membuatnya mengerang saat mencapai kepuasan yang gagal ditahan. Ini masih pertengahan, belum ke bagian inti yang selalu disajikan di akhir.

“Gimana?” tanya Keandra jail setelah berbaring di atas Johnny hingga indra mereka menyatu tanpa pelindung.

Johnny yang masih terengah mencoba memaksakan senyum dan memandang istrinya. “Aku sampai bingung ngomong gimana.” Sambil tersengal-sengal, Johnny kecup pipi Keandra yang merona sepertinya dengan suhu tubuh meningkat akibat kepanasan. “Jadi, ini kadonya?”

Seringai tipis Keandra tunjukkan kala pertanyaan diajukan. Sang puan perlahan bangkit dan duduk untuk meratui sang raja yang menanti permainan berikutnya. Sisa kenikmatan itu masih ada, segera Keandra raih dan dimainkan dalam genggaman hingga bangkit seutuhnya. Johnny kembali mabuk dalam lautan hasrat yang membentang luas, seakan tidak akan pernah habis meski sudah jauh dia arungi bersama Keandra.

Erangan kenikmatan kala pusat tubuhnya merasa terhimpit membuat Johnny makin menggila. Sedangkan Keandra mendesah lega saat bagian kosong dari dirinya jadi penuh. Jemari sejoli yang tengah memadu kasih lewat cara lain ini saling menggeggam erat, mengisi kesunyian malam dengan senandung desau.

Dengan posisi ini, Johnny bisa melihat betapa cantiknya makhluk ciptaan Tuhan berusaha meraih kepuasaan hingga kepalanya menengadah tak sabar. Tidak ada kain yang menjadi pelindung. Satu-satunya hiasan tubuh adalah kalung yang manis, tapi siapa sangka bisa membuat Keandra tambah menggairahkan di saat seperti ini.

Jika di beberapa permainan awal mereka masih amatir dan membiarkan pelepasan berjalan semestinya, maka kali ini Johnny dan Keandra tidak ingin membiarkannya. Johnny menahan laju pinggul Keandra saat puncak hampir tiba, lalu dengan hati-hati membaringkan Keandra di permukaan kasur dan sang perkasa berubah menjadi dominan.

Manik keduanya beradu pandang saat kembali bergerak berlawanan, tidak ingin menjadi pasif demi saling memberikan kenikmatan. Keandra elus pipi Johnny yang berpeluh, tertawa pelan saat prianya mengerang akibat gerakannya, dan memuji sang pujaan yang begitu dia damba.

“I like yours, Johnny.

Johnny tersenyum mendengar pujian itu. Animonya menjulang menciptakan tetesan peluh yang terus mengucur. “I like yours more, Judy Keandra.

Gugusan sanjung dan cumbu rayu kian aktif menyatu. Sejalan dengan gerakan mereka yang kian memburu. Lolongan panjang Keandra lebih dulu mengudara, disusul oleh Johnny yang merasa lega saat pelepasan memuaskan akhirnya dia dapatkan.

Johnny kecup dahi Keandra, lalu berbaring di sampingnya dengan napas yang kompak tersengal-sengal. Lelah, tapi mereka puas. Pikiran mereka masih melayang setelah mendapat kepuasan, seperti diterbangkan ke nirwana yang tidak mengecewakan. Ini baru yang pertama, sebab masih ada nirwana lain untuk mereka tuju di malam yang panjang ini.


Tengah malam. Tepatnya pukul satu yang sunyi dan sebagian manusia sudah menghentikan aktivitas mereka untuk istirahat atau melakukan hal lain di rumah. Mungkin ada yang bersenang-senang di klub malam, bahkan Ibu Kota tidak pernah tidur seakan tidak tahu waktu untuk terpejam. Sama halnya dengan sejoli yang sudah puas dengan kegiatan malam mereka dan kini berbaring saling mendekap tanpa busana.

Sesekali Keandra mengelus dada Johnny yang naik turun dengan teratur, ingin merasakan debar jantungnya yang masih berpacu cepat meski syahwatnya telah mereda. Sedangkan Johnny mengabsen setiap bagian di wajah Keandra dengan bibirnya, memperlakukannya sebagai bagian yang amat berharga dalam hidupnya.

“Tadi kamu lumayan ganas.” Johnny memecah keheningan setelah cukup lama bungkam. “Biasanya pasrah aja.”

“Karena biasanya pasrah, aku jadi pengen beda,” ungkap Keandra jujur. “Sebenernya malu, tapi pedein aja. Kalau udah jalan malah kayak biasa aja.”

“Aku aja kaget waktu lihat kamu pake baju begitu. Kapan belinya coba?”

“Dikadoin sama adik kamu.”

Pantas. Sepaham Johnny, istrinya bukan orang yang memiliki fantasi terlalu liar, termasuk memakai pakaian tertentu untuk menggodanya. Johnny juga tidak pernah membayangkan istrinya memakai kostum tertentu untuk menaikkan libidonya. Baru sekarang mengalami dan kalau boleh jujur, Johnny ingin melihatnya lagi.

“Kayaknya aku harus beliin model lain. Soalnya pas lihat kamu pake gitu jadi kelihatan lebih tinggi.”

Keandra mengerucutkan bibirnya dan menatap Johnny nyalang saat menyinggung tinggi badannya yang rata-rata. Yang ditatap malah tertawa tanpa dosa sembari merapatkan tubuh mereka untuk berbagi kehangatan dari sisa-sisa percintaan.

“Thank you,” bisik Johnny dalam jarak yang amat tipis. “Aku suka kadonya. Kapan-kapan tolong kasih lagi, ya.”

Semburat merah yang tadi telah hilang malah kembali muncul menghiasi pipi Keandra akibat malu. “Sekaku-kakunya laki-laki, kalau udah begini emang paling semangat, ya.”

“Aku semangatnya cuma sama kamu, kok.”

“Iyalah!” Intonasi Keandra sedikit meninggi untuk menegaskan posisi. “Kamu cuma punya aku, nggak boleh sama yang lain. Kalau sama yang lain, aku tinggalin lagi.”

Ada ancaman dengan nada bergurau di balik kalimat itu, membuat ketakutan Johnny kembali bangkit saat ingat dia pernah berpisah cukup lama dengan Keandra sebelum akhirnya bersama-sama lagi seperti sekarang. Bukan waktu yang mudah meski Johnny bisa memaksakan diri untuk bersua. Mereka masih berada di satu kota, hanya berbeda tempat dengan kondisi yang masih sama-sama terluka setelah membagi luka.

Selama beberapa bulan Johnny menahan diri untuk tidak menemui Keandra yang enggan berurusan dengannya. Masih perlu menata hati setelah jatuh bangun rumah tangga yang masih seumur jagung sempat menyiksa mereka. Sampai di waktu yang tidak pernah diduga, rumah yang biasanya sepi, tiba-tiba dihuni oleh seseorang yang akhirnya pulang. Johnny disambut oleh kehadiran Keandra yang memberinya kejutan, sampai dia sempat tidak percaya dan mengira itu hanya khayalan semata akibat rindu terlalu dalam.

Namun, mendengar Keandra yang mengoceh karena rumah berantakan, bahan makanan hampir tidak ada, sampai keadaan Johnny yang terlihat memprihatikan, membuat sang pria percaya bahwa cintanya telah pulang. Bila diingat, momen itu amat menyentuh tapi juga menakutkan. Menyentuh sebab akhirnya luka yang mereka dapatkan telah sembuh. Menakutkan sebab Johnny masih mengira itu momen yang fana.

Namun kini, Johnny yakin semuanya nyata, karena Keandra sudah berada di pelukannya.

“Kak, kok bengong?” Keandra mengernyitkan dahi kala sadar Johnny jadi diam akibat melamun.

Johnny yang ditegur kembali ke realitas dan hanya tersenyum sambil berkata, “Enggak apa-apa. Aku cuma terlalu seneng.”

Keandra tidak berpikir aneh-aneh dan ikut tersenyum, memilih menikmati sisa malam yang tidak akan berhenti untuk mereka lalui. Sebab sejak Johnny dan Keandra memutuskan untuk terus bersama, perjalanan panjang mereka kembali dimulai.


Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa tinggalkan jejaknya <3

Sedikit informasi, Bunny itu singkatan dari Bu Johnny.

Jagad dan Mia memandang dua orang di hadapannya dengan nyalang, tidak suka dengan kehadiran salah satunya sebab sebenarnya tidak diundang. Namun, karena tidak ingin membiarkan wanita kesayangannya sendiri—terlebih yang dibicarakan adalah soal dirinya—Jibran merasa memiliki kewajiban untuk datang dan mendampingi Eila.

Suasana tegang sejak Jibran dan Eila menapakkan kaki di kediaman Adelard, sulit mencair hingga kepulan asap teh yang tadinya panas kini berangsur jadi dingin. Ruang tamu yang sejatinya ramah untuk pendatang, rasanya seperti tempat penghakiman kala dua insan di pertengahan 50 tahun itu tidak mau ramah tamah.

Eila tidak suka situasi ini, tapi sebagai tamu yang tidak punya hubungan penting dengan Jagad dan Mia, dia tidak bisa sembarangan bermain. Ini bukan arenanya, jadi Eila harus hati-hati sebelum bertindak—minimal dia harus tahu kapan bergerak dengan mengawasi pihak lawan.

“Jadi, kalian balikan?” Pertanyaan pertama diajukan oleh Jagad, memecah keheningan yang terasa mencekam, meski tidak berhasil menghacurkan ketegangan yang ada.

“Aku sama Eila nggak balikan, Pa,” jawab Jibran jujur. “Belum,” ralatnya, “tapi kami punya hubungan yang baik.”

“Hubungan baik yang mesra?” Mia ikut bersuara sebagai orang yang sering menjadi tempat laporan Aiden—sang mata-mata yang mengawasi gerak-gerik putranya.

“Sebelum aku jawab pertanyaan itu, aku mau ngasih tahu kalau Eila udah tahu semuanya soal perjodohan termasuk kebusukan Pak Rakha sama orang-orangnya. Bagi kalian, ini soal perjodohan dan skandal aku yang dipegang sama mereka. Tapi bagi kami, ini soal proses film yang ternyata ada kecurangan di dalamnya—selain soal Kalani yang udah disiapin matang dari sebelum audisi.”

Jagad dan Mia saling berpandangan bingung karena merasa sudah paling tahu soal apa yang terjadi di belakang layar. Namun, mendengar penuturan Jibran membuat mereka jadi bertanya-tanya apa lagi yang disembunyikan.

Paham dengan ekspresi orang tuanya, Jibran akhirnya menjelaskan, “Kalian udah tahu bahwa dari awal film Perfect Wife disiapin buat Kalani. Pak Rakha manfaatin film ini sebagai bagian dari perjodohan aku sama dia, tapi nggak mau kelihatan jelas sebelum akhirnya semua dibongkar di depan aku. Pak Rakha bikin film ini seakan-akan murni dengan adanya rangkaian audisi dan penilaian serius. Aku pikir kecurangan cuma dari Kalani yang udah siap dari awal, tapi ternyata nggak gitu.”

Jibran menjeda, menoleh pada Eila untuk meminta pendapatnya. Eila yang ikut menatap Jibran lantas mengangguk agar pria itu mau melanjutkan pemaparannya.

Jibran kembali menaruh atensi pada orang tuanya yang sudah penasaran, lalu melanjutkan, “Pak Rakha menyuap agensi yang aktrisnya masuk lima besar supaya mereka nggak mau jadi pemeran Anata. Jadi, kalau aja mereka kepilih sama aku, ujung-ujungnya mereka bakal mundur dan Kalani yang tetep harus jadi pemeran utama. Ini jelas kecurangan besar karena dari awal proses filmnya udah curang dan aku nggak mau kayak gini. Makanya aku, Eila, sama Trian udah bikin rencana buat ungkap kebusukan Pak Rakha sama timnya. Kalau kayak gini mainnya, Pak Rakha nggak boleh dibiarin.”

Selama ini Jagad dan Mia tidak terlalu paham soal cara kerja industri hiburan, mereka juga jarang menonton film Jibran, tapi tetap mendukung karier putranya yang kian gemilang. Maka ketika dijelaskan soal kecurangan yang bertentangan dengan prinsip mereka, Jagad dan Mia juga tidak rela putranya jadi korban kecurangan dalam filmnya.

“Makanya aku minta Mama sama Ayah untuk dukung rencana aku. Kalian bisa pura-pura nggak tahu dan tetep di pihak mereka, yang penting kalian nggak halangin usaha aku sama yang lain buat lakuin rencana ini.”

“Iya, Tante, Om. Saya mungkin nggak berperan banyak dalam rencana ini, tapi saya jamin Jibran selalu aman.” Eila akhirnya angkat bicara untuk mendukung Jibran agar tidak sendirian selama obrolan ini berlangsung—terlebih sejak awal dia yang diajak untuk bertemu.

“Tapi Mama disuruh buat misahin kamu sama Eila lagi, Jibran.”

“Mama nggak boleh gitu,” larang Jibran sembari menggenggam erat tangan Eila. “Kalau kalian terlalu takut sama skandal yang dibuat Pak Rakha, kalian nggak usah khawatir. Aku pasti aman, aku nggak akan terpengaruh sama kabar itu.”

“Tapi kamu bakal banyak ruginya, Jibran. Dari sisi mana pun, ini nggak menguntungkan buat kamu. Bagus kalau Rakha tetep diam, tapi gimana kalau skandal itu tetep dirilis sama dia?”

Yang dikatakan oleh Jagad cukup memengaruhi Eila saat mendengarnya. Jibran dalam posisi yang bahaya dan mengambil gerak apa pun tidak akan mengutungkannya. Diam saja juga belum tentu baik, karena Samuti Rakha bisa diam-diam melakukan rencananya dan berpengaruh besar pada hidupnya.

“Eila, saya sebenernya suka lihat kamu sama Jibran.”

Rasa percaya diri Eila meningkat kala dipuji demikian oleh Jagad. Ketakutannya lenyap karena dia optimis bisa menembus dinding pertahanan Keluarga Adelard yang ditekan oleh Samuti Rakha dan orang-orangnya.

“Tapi saya nggak mau Jibran kenapa-napa kalau terus sama kamu,” lanjut Jagad yang meruntuhkan Eila dalam beberapa detik saja.

“Ayah jangan ngomong gitu,” geram Jibran tanpa melepaskan genggamannya dari Eila. “Justru aku ngerasa aman saat sama Eila. Aku pasti makin ngerasa aman kalau kalian mau dukung juga. Aku paham kalian khawatir, tapi aku bukan anak kecil yang perlu diawasi dan diatur. Aku tahu apa yang terbaik dan sama Eila adalah salah satunya. Jadi, kalian nggak perlu repot urusin hubungan kami, kalian cukup dukung usaha aku buat habisin Samuti Rakha dan orang-orangnya yang udah curang.”

Diangkat naik, dijatuhkan, lalu dibela, membuat Eila sempat tidak berdaya dengan posisinya yang bagaikan pajangan. Namun, karena dia datang bersama Jibran yang mau berada di pihaknya, melindunginya dari orang tuanya yang ingin memisahkan, Eila tidak bisa membisu lama-lama. Sebab dia percaya, dengan meyakinkan orang tua Jibran melalui dirinya, semua bisa tuntas tanpa hambatan.

“Tante, Om.” Suara Eila sedikit lantang, sengaja ingin terdengar berani agar presensinya diakui. “Jibran nggak akan kenapa-napa selama sama saya. Rencana Jibran ini pasti berhasil sebelum skandal itu keluar. Kalian nggak perlu pusingin hubungan kami karena itu masalah yang beda, tapi saya harap kalian mau dukung Jibran dan setiap rencananya. Kalian boleh dekati pihak lawan, tapi jangan ragu buat selalu di pihak yang benar.”

Hampir 2,6k kata. Enjoy


Menikah. Satu hal yang tidak pernah Johnny Satya bayangkan di usia muda, lalu tiba-tiba menjadi prioritasnya kala menemukan tambatan hati yang tepat. Johnny bukan penggila kerja, hanya melakukan pekerjaan sesuai tugasnya dengan harapan masih menyempatkan untuk me time. Di waktu sengang itu Johnny tidak terpikirkan untuk mencari jodoh. Bukan karena dia belum melupakan cinta lama—yang sekarang sudah sirna—hanya sulit menemukan yang klik di hati karena semua perempuan di sekitarnya terlihat sama. Menarik, tapi membosankan.

Hingga di satu malam Johnny bertemu dengan seorang perempuan yang tidak terduga, adik sepupu rekannya. Menarik dan membuatnya penasaran. Lebih menarik lagi kala Johnny merasa klik hanya dalam satu pertemuan dengan perkenalan singkat, yang mungkin bagi perempuan itu bukanlah hal spesial. Namun, lain bagi Johnny yang sulit menghapus memori satu malam di hati.

Durasi singkat yang tertanam sempurna hingga Johnny tidak mau basa-basi. Dia nekat bertemu orang tua perempuan itu yang awalnya langsung memperjelas bahwa dia ingin mempersunting putri tunggal mereka, lalu berubah menjadi izin untuk mendekatkan diri sebagai langkah awal menuju hubungan lain. Suka dan duka sudah dicecap. Pernah hampir berpisah, hingga akhirnya saling terikat.

Judy Keandra namanya, yang kini telah resmi menjadi istrinya. Perempuan yang bertaut enam tahun dengan dirinya itu kini tengah sibuk merapikan bukunya ke dalam rak. Tubuh mungilnya berpindah dari kardus menuju rak, begitu seterusnya yang betah dipandang oleh Johnny Satya.

Pria itu duduk anteng di tepi kasur, memperhatikan gerak-gerik sang istri yang gesit tanpa penat. Sudah beberapa kali Johnny menawarkan bantuan, tapi ditolak dengan alasan itu adalah bukunya. Jadi nantinya Keandra akan tahu harus diletakkan di mana saja agar mudah diambil. Kalau dihitung, ini baru dua hari mereka menjadi suami istri. Hari pertama setelah resmi mengikat janji suci dan bermalam di rumah orang tua Keandra. Hari kedua—yaitu hari ini—Keandra diangkut ke kediaman Johnny untuk menjadi tempat tinggal barunya.

“Sebenernya kamu bisa beresin itu nanti, lho,” ujar Johnny yang tidak tahan hanya duduk pasif dan menghampiri sang istri. “Ini udah malem. Mendingan kamu istirahat.”

“Bentar lagi, ya,” balas Keandra selagi menghitung jumlah bukunya yang ada di kardus. “Tinggal sepuluh buku, setelah itu beres.”

Keandra meraih dua buku sekaligus, lalu memandang rak buku Johnny yang sudah terisi penuh di bagian bawah—bagian yang mudah Keandra akses dengan tinggi badan rata-ratanya. Keandra memandang Johnny dengan tatapan jail, membuat yang ditatap malah bingung sebab tingkat kepekaannya sangat tipis.

“Kenapa?” tanya Johnny heran. “Bukunya mau aku simpen di sana?”

Alih-alih menerima tawaran itu, Keandra malah meminta hal lain. “Tolong gendong aku, dong. Biar aku yang nyimpen bukunya di situ,” pintanya sembari menunjuk bagian atas yang sulit digapai.

Seandainya mereka masih pacaran, Johnny si kaku pasti akan menolak karena terlalu canggung. Mengingat kini mereka sudah menikah, Johnny tidak ragu untuk mengabulkan. Johnny berlutut, lalu Keandra yang kegirangan segera naik ke punggung kokoh suaminya. Johnny berdiri dengan tubuh Keandra yang melilitnya, kemudian sang istri meletakkan dua bukunya di rak yang dituju. Begitu seterusnya sampai seluruh buku Keandra berada di tempat seharusnya. Keandra akhirnya turun dengan senyum semringah, sedangkan Johnny bisa bernapas lega tidak perlu melihat istrinya mengerjakan sesuatu dan bisa istirahat.

“Buku kamu banyak banget.” Ada sedikit keluhan di balik ucapan Johnny. “Setengah rak aku isinya punya kamu.”

“Bagus, dong? Raknya nggak mubazir,” Keandra merespons dengan gurauan. “Emang buku kuliah kamu nggak sebanyak aku?”

Johnny amati isi raknya dengan baik sambil memikirkan sebanyak apa bukunya saat kuliah dulu. “Sama banyaknya, tapi tanpa novel.”

Keandra tertawa kecil saat Johnny menyinggung soal novelnya yang ikut diangkut. Lumayan untuk hiburan karena Keandra tidak mungkin setiap saat belajar.

“Kardusnya disimpen di sini aja. Biar besok diberesin.”

Kali ini Keandra patuh dan membiarkan Johnny meletakkan kardus bekas buku di samping lemari. Tanpa menunggu perintah, Keandra bergegas berbaring di kasur untuk tidur, lalu disusul Johnny yang malah duduk dan memainkan ponselnya, jadi lampu belum dimatikan.

“Kamu tidur duluan aja. Aku chat Mama dulu. Tadi nggak sempet bales.”

Keandra manggut-manggut dan mulai memejamkan mata dengan posisi memunggungi Johnny. Niatnya sudah benar ingin tidur, tapi tidak semudah itu. Keandra belum terbiasa di tempat baru dan ditemani orang baru—apalagi laki-laki meski sudah menjadi suami. Malam pertama kemarin Keandra ketiduran setelah menonton film, jadi tidak secanggung ini. Malam kedua ini lain, membuatnya merasa serba salah harus bagaimana.

Tidak hanya sang puan, Johnny juga merasakan kebingungan yang serupa di malam kedua, tepat di kamarnya. Ingin tidur, tapi ada hal lain yang bergemuruh di dadanya. Membiarkan dirinya terjaga juga bukan opsi yang tepat. Alhasil Johnny sok sibuk dengan ponselnya setelah membalas pesan mamanya, membuka portal berita online yang membosankan, bahkan membuka galeri untuk melihat-lihat foto pernikahan kemarin.

Astaga! Ini gawat! Saat membuka galeri dan melihat foto Keandra di hari pernikahan mereka, pikiran-pikiran aneh itu terus berkeliaran. Johnny menggeleng cepat, mencoba menyingkirkan hal-hal aneh yang tidak henti mondar-mandir.

“Aku mau ke kamar mandi dulu.”

Johnny refleks menahan Keandra yang sudah bangkit, mencekal tangan sang istri yang terlonjak akibat gerakan tiba-tiba itu.

“Jangan ke mana-mana.” Suara rendah Johnny membuat bulu roma Keandra berdiri.

Bak komando, Keandra menuruti yang dikatakan Johnny dan tubuhnya bergeming dengan posisi setengah duduk. Bukan posisi yang nyaman, tapi Keandra tidak mampu membuat pergerakan lain. Beruntung Johnny tidak pasif. Setelah meletakkan ponselnya di atas nakas samping tempat tidur, Johnny bantu Keandra untuk duduk dengan benar menghadapnya. Keandra menunduk, tidak berani beradu pandang dengan Johnny yang menelisik wajahnya. Keandra remas selimut yang menutupi kakinya sebagai pelampiasan rasa gelisah.

“Kamu beneran mau ke kamar mandi?”

Seharusnya Keandra menjawab iya agar dia bebas. Namun, Keandra memilih jawaban lain sesuai keadaan hatinya. “Itu … cuma alasan.”

“Kenapa?” Johnny mengangkat dagu Keandra hingga netra mereka beradu. “Alasan buat apa?”

Ada sedikit desakan untuk menjawab yang membuat Keandra tidak mampu lama-lama menipu diri. “Biar nggak canggung.”

“Ternyata nggak cuma aku yang ngerasa canggung, ya.”

Johnny belai surai legam Keandra yang menjadi favoritnya. Turun ke bagian leher, pundak, sepanjang lengan, hingga berakhir meraih jemari Keandra dan ia genggam erat. Keandra tidak mau asal menebak, tapi dari cara Johnny menatap dan menyentuh bagian tubuhnya yang masih ‘aman’, dia tahu ke mana arahnya akan berjalan.

Perempuan itu tidak memiliki kuasa untuk menolak. Bukan saja karena dia takut dosa melawan keinginan suami, tapi jauh dalam lubuk hatinya, Keandra pun menginginkan ini. Sayang, Keandra masih takut untuk terbuka karena pikirannya melayang ke hal buruk. Namun sekali lagi, dia tidak memiliki kuasa untuk mundur.

“Biar aku yang mulai.”

Johnny mendekat, meraih birai tipis yang sedikit terbuka, lalu menyatukannya dengan birai miliknya. Keandra spontan pejamkan mata, menikmati sapuan lembut yang terasa berbeda. Bukan sekali mereka beradu bibir, tapi kali ini lain karena jauh lebih mendebarkan dengan ikatan resmi. Tangan Johnny mengelus pipi Keandra, memperdalam ciumannya yang masih dalam tempo pelan.

Keduanya tidak mau buru-buru sebab ini adalah pengalaman pertama, ditambah Johnny dan Keandra harus mengenali apa yang disebut kenikmatan sebelum memulai. Johnny menghentikan ciuman mereka dan keduanya tiba-tiba menunduk akibat tersipu. Untuk beberapa saat keduanya hanya diam dengan posisi yang sama, sampai Keandra menjengit kala ceruknya menjadi sasaran berikutnya.

Di saat ceruk itu dalam kuasanya, Johnny menarik Keandra makin rapat hingga kini duduk di atas pahanya. Keandra meremas pundak Johnny sebagai pelampiasan rasa nikmat atas sapuan bibirnya yang terasa basah, hingga tanpa sengaja ia mengeluarkan satu suara yang segera ditahan sebelum suara lain keluar.

Aroma parfum yang kuat menjadi candu untuk Johnny bertahan di sana. Namun, kepuasan lain lebih butuh dilampiaskan, hingga ia turun ke pundak yang masih ditutup oleh piama merah muda dengan corak bunga. Di saat Keandra masih menikmati sisa-sisa jejak Johnny di ceruknya, ibu jari dan telunjuk sang pria mulai meraba kancing bagian atas piama sang istri. Memainkannya perlahan, sampai akhirnya dua jari itu membukanya dengan hati-hati.

Kesadaran Keandra kembali saat kancing keduanya hampir terbuka dan refleks menahan Johnny hingga gerakannya terhenti. Keandra tatap Johnny dengan pipi yang bersemu merah antara kepanasan dan jengah.

“Kenapa?” Suara Johnny membuat Keandra luluh, tapi tidak berhasil membuat jengahnya luntur.

“Aku … malu.”

“Kenapa harus malu?”

Keandra gigit bibir bawahnya, lalu bicara tergagap, “Gimana kalau kamu nggak suka … aku?”

Johnny tersenyum tipis dan menyingkirkan jarinya dari kancing piama Keandra. “It won’t happen.”

Bak mantra, Keandra yang menahan kancing piamanya mulai menurunkan tangannya, membiarkan Johnny melakukan apa saja terhadap dirinya. Alih-alih langsung membukanya, Johnny malah membalik tubuh Keandra hingga memunggunginya. Tidak sampai di situ, Johnny juga berlutut hingga posisinya lebih tinggi dari Keandra. Sang puan bingung, tapi langsung pupus saat tangan Johnny bermain di sekitar pundaknya dan mencuri seluruh kesanggupannya untuk lari.

Dengan bibir yang kini mengecup puncak kepala sang istri yang matanya terpejam rapat, Johnny membuka satu per satu kancing dan menarik piama itu lepas. Udara dingin langsung mengusik, tapi bara yang membakar lebih segera berkuasa. Keandra tidak tahu apa yang ada di depan sebab matanya tidak berani ia buka, hanya bisa merasakan satu penutup bagian atasnya ikut dilepas. Disusul sentuhan jari pada dada oleh sang amatir yang belum berani berbuat lebih.

Hanya mampu menyentuh ringan dengan jari, bersamaan bibir yang bermain pada pundak sang istri. Keandra gigit bibirnya, tidak berani bersuara meski tahu itu adalah reaksi normal. Rasanya memalukan, tapi jujur menahan lenguhan dari birai bukanlah perkara mudah.

Keandra baru membuka matanya saat punggungnya menempel pada dada seseorang yang sama-sama polos sepertinya. Ia menoleh, mendapati Johnny yang mulai digelapkan oleh hasrat. Beruntung akal sehatnya masih ada, jadi Johnny mampu mengukir senyum untuk menenangkan Keandra.

“Beautiful …,” bisik Johnny tepat di daun telinga Keandra. “You look beautiful, My Wife ….”

Keandra ingat Johnny ini adalah laki-laki kaku yang harus pandai dirayu agar tidak pasif. Kini sosok kaku yang sering menahan diri itu seolah sirna, tiba-tiba menjadi ulung dengan insting yang mengatur. Tidak hanya mengatur Johnny, tapi juga mengatur Keandra yang menyerahkan seluruh dirinya pada Johnny Satya.

Bak bulu yang ringan, Johnny berhasil membaringkan Keandra di permukaan kasur yang akan menjadi saksi. Tidak hanya malam ini, tapi di malam-malam berikutnya yang menanti. Bibir Johnny dan Keandra kembali beradu. Bak candu, aduannya tidak kunjung berhenti. Jemari Keandra meremas rambut Johnny saat sesekali tubuh polos mereka menempel, sedangkan jemari lainnya yang bebas mengelus punggung prianya dengan gerakan naik turun.

Sapuan bibir Johnny turun ke leher Keandra, pundak, sampai ke dua gundukan yang naik turun tidak teratur. Keandra terus remas rambut Johnny, bahkan tanpa sadar menariknya untuk memperdalam cumbuan sebab inginkan yang lebih.

Keandra tidak ragu untuk melenguh, meski masih malu-malu. Cumbuan Johnny sudah berada di perut, sesekali mendesah dan menikmati aroma yang makin membangkitkan hasratnya. Sama seperti saat bagian atasnya tanggal, Keandra pejamkan mata hingga dia tidak melihat apa yang di depan. Keandra hanya tahu seluruh kainnya tidak disisakan untuk bertahan, hingga pusat tubuhnya terekspos di hadapan Johnny yang kian menggelap.

Keandra meremas bantal, makin kepanasan meski tanpa sehelai benang. Wajahnya merah padam, mengundang tawa Johnny yang gemas kala memandang. Tawa itu membuat Keandra penasaran dan memberanikan diri membuka mata. Sayang, hanya bertahan beberapa detik setelah menyaksikan apa yang menjadi penyebabnya kembali pejamkan mata. Johnny kembali menggaungkan tawa, lalu daksanya mendekati Keandra hingga spontan menahan napas ketika merasakan sesuatu yang ganjil.

Johnny tenangkan Keandra yang tiba-tiba tegang dengan memberikan kecupan demi kecupan di sekitar wajahnya. “Look at me, Judy Keandra ….”

Kala namanya dipanggil secara lengkap, Keandra seperti dimantra dan perlahan membuka matanya. Maniknya disambut oleh manik cokelat Johnny yang menawan, begitu erat dengan jarak tipis dan embusan napas yang saling menerpa wajah. Keandra angkat telunjuknya, lalu mengelus sepanjang pelipis hingga rahang Johnny. Peluh bercucuran di sana yang coba Keandra seka, seakan tidak ingat bahwa tubuhnya pun ikut berpeluh kepanasan saat bagian utama belum dimulai.

“I love you, Kak.

Kalimat pertama setelah bermenit-menit bungkam Keandra suguhkan pada sang pujaan. Johnny menabur senyum, menambah animo pada malam yang tidak akan usai dalam waktu singkat.

“I love you too, My Beautiful Wife.”

Lisan mereka boleh kembali membisu, tapi mata tidak bisa berbohong. Belum lagi debar jantung mereka yang seirama, begitu cepat sampai khawatir bisa meledak. Mereka bicara lewat tatapan mata, mencari kesiapan satu sama lain untuk melanjutkan. Saat Keandra dirasa lebih relaks, Johnny mencari posisi tepat sesuai instingnya yang diandalkan. Keandra bergerak tidak nyaman akibat geli, hingga kembali tegang saat dia dan Johnny lebih intim.

Paham, Johnny memberi jeda agar Keandra mengumpulkan kesiapan. Johnny tidak mau egois di pengalaman pertama mereka agar sama-sama meraih kenikmatan yang seharusnya. Keandra kembali relaks, mengizinkan Johnny untuk memulai bagian utama dengan membuka tungkainya yang sedikit kaku.

Johnny akhirnya memulai pergumulan sesungguhnya dengan mengisi bagian kosong Keandra yang telah dirasa siap. Hati-hati sekali, terlebih ketika mendapat dahi Keandra mengerut tidak nyaman. Rasanya sulit—akibat Johnny yang amatir dan Keandra yang terlalu kokoh. Johnny mendongak saat rasa asing itu mulai naik ke ubun-ubun, mendorongnya untuk terus maju mereguk nafsu.

Namun, gerakannya harus kembali terhenti saat Keandra merintih perih dan menggores pundaknya dengan kuku. Johnny tidak mau menyakiti istrinya yang malah takut, mencoba menenangkannya lagi dengan cumbu rayu di ceruk. Saat sang istri kembali relaks, Johnny menahan tungkai Keandra agar terus terbuka kala dia mencoba menembus.

“God ….”

Pantaskah menyebut nama Tuhan di saat seperti ini? Rasanya tidak pantas, tapi Johnny bersumpah rasa sesak ini amat nikmat bukan kepayang. Rintihan perih kembali mengudara dari Keandra yang rupanya tidak siap dengan serangan sebesar ini. Namun, kali ini Johnny tidak bisa berhenti karena bagian kosong itu hampir berhasil dia tembus.

Sampai teriakan kecil dari Keandra dan geraman kelegaan dari Johnny menjadi akhir dari percobaan. Keandra dekap erat Johnny sebagai pelampiasan rasa perihnya, kini status gadisnya telah luruh, membuatnya senang karena merasa menjadi istri sepenuhnya. Johnny cium dahi Keandra yang mengerut tidak nyaman, menepis segala rasa sakit yang terpaksa dia beri.

Johnny sedikit menjauhkan wajahnya agar memberi ruang untuk Keandra mengambil napas, meski percuma karena tetap terengah, sama sepertinya. Saat kerutan di dahi Keandra berkurang dan tangannya membelai dada Johnny yang bergerak tidak beraturan, permainan kembali dimulai. Johnny mulai bergerak hati-hati sambil mengamati raut Keandra yang makin menawan.

Masih merintih, tapi Keandra mulai terbiasa, jadi dia biarkan Johnny terus menguasainya. Mengingat ini pengalaman pertama, maka permainan mereka pun tidak berlangsung lama. Keduanya tidak tahu cara menahan untuk tidak berhenti cepat-cepat. Jadi hanya lima menit berpacu dalam irama kasatmata, Johnny dan Keandra melolong panjang mengisi malam sunyi dengan peluh bercucuran, mendapatkan kenikmatan pertama mereka yang orang sebut surga dunia.


Sudah tiga jam berlalu sejak percintaan pertama mereka berakhir, tapi tidak ada tanda-tanda untuk meraih mimpi. Keandra boleh memejamkan mata, tapi Johnny tahu istrinya yang dibalut selimut hingga sebatas leher itu tetap terjaga. Pipi Keandra masih merah karena sisa-sisa percintaan mereka belum hilang. Debar jantung Johnny pun tidak kunjung tenang, jadi dia memilih menikmati sebagai memori indah pengalaman pertama.

“Kamu jangan tidur dulu. Kita harus bersih-bersih.”

Keandra gigit pipi bagian dalamnya selagi matanya terbuka. Sudah mati-matian ingin tidur, Johnny malah bicara begitu. “Ngomongnya jangan gitu. Kesannya kayak harus … bareng.”

Johnny tertawa renyah mendengar pikiran itu. “Kamu duluan aja. Nanti baru aku.”

Bukannya menurut, Keandra malah makin menarik selimut hingga menyembunyikan setengah wajahnya. “Kamu dulu aja, tapi di kamar mandi luar. Pas kamu udah pergi, baru aku ke kamar mandi di sini.”

“Kok gitu?” tanya Johnny pura-pura tidak tahu maksud Keandra.

“Aku malu. Makanya gitu aja.”

Johnny tidak menolak usul Keandra karena dia pun belum terbiasa dengan keadaan ini. “Oke, aku duluan.”

“Ihh, jangan dulu.” Keandra malah menahan Johnny yang hampir bangkit untuk ke kamar mandi. “Aku … susah jalan,” cicit Keandra di balik selimut.

Tingkat kepekaan Johnny yang kembali turun membuatnya bingung. “Kenapa susah jalan?”

“Gara-gara kamu!” seru Keandra yang tiba-tiba kesal karena Johnny tidak paham.

“Mau aku gendong?”

“Tahu ahh. Aku mau langsung tidur.”

Kepalang kesal, Keandra menyembunyikan sekujur tubuhnya dengan selimut dan memunggungi Johnny. Bukannya ke kamar mandi sesuai rencana, Johnny malah ikut masuk ke selimut dan mendekap tubuh yang terbuka itu dengan erat. Untuk selanjutnya, biarkan mereka melakukan sesukanya. Kita tidak perlu menjadi saksi karena yang pertama telah usai.


Jangan lupa tinggalkan jejaknya, ya

“Selamat tahun baru!”

Ucapan yang diikuti oleh riuhnya petasan memeriahkan sunyinya malam pergantian tahun. Di kediaman Trian, sebuah acara dirayakan dengan pesta barbekyu dan doa bersama agar diberikan berkah yang melimpah di tahun baru. Anak-anak Trian telah tidur, jadi hanya ada tuan rumah, Thalia, Natta, Eila, dan Jibran. Semua mata memandang ke arah langit ibu kota yang dihiasi oleh gemerlapnya tahun baru.

Trian dan Thalia saling mendekap, Jibran dan Eila berangkulan, sedangkan Natta yang jomlo hanya bisa berpuas diri menjadi tunggal. Meski sederhana, kebahagiaan yang ada terasa besar. Melupakan sejenak masalah yang masih mengikuti, Jibran dan Eila memanfaatkan waktu tahun baru untuk memadu kasih—meski hubungan mereka belum pasti. Jibran memeluk Eila tanpa ragu, bahkan menciumnya tepat di pipi hingga semburat merah Eila timbul.

“Aku sayang kamu, Eila. Jangan bosen dengernya, ya.”

Eila terkekeh pelan selagi lengannya melingkar di sekitar leher Jibran. “Aku nggak akan bosen,” balasnya yang diikuti kecupan manis di bibir sang lawan. “Aku juga sayang kamu, Jibran.”

Jibran lebarkan senyumnya dan berkata sebelum mencium Eila, “Selamat tahun baru.”

Ciuman manis di bawah langit berlukiskan kembang api di tahun baru, menjadi penguat dua hati yang tidak mau diganggu. Tidak peduli dengan orang-orang sekitar yang masih sibuk memandang ke atas, Jibran dan Eila sibuk dengan dunia mereka.

“Heh! Jangan ciuman di sini!” hardik Trian tidak sengaja melihat adegan kurang pantas di rumahnya.

Trian ingin memisahkan sejoli yang bermesraan tanpa tahu tempat, tapi malah ditahan oleh Natta dan Thalia.

“Udah, Mas. Mereka nggak ciuman lagi, kok,” tutur Thalia mencoba menenangkan suaminya yang kepanasan.

“Iya, Kak. Itu lagi saling lempar senyum.”

“AKU NGGAK PEDULI! JIBRAN SAMA EILA HARUS DIPISAHIN BIAR NGGAK ANEH-ANEH! BELUM BALIKAN AJA UDAH BEGITU! GIMANA BALIKAN?”

Jibran dan Eila mendengar teriakan histeris itu yang berusaha digagalkan oleh Thalia dan Natta. Dasar sudah telanjur cinta, Jibran dan Eila tidak peduli dengan gangguan sekitar. Termasuk musuh besar yang ingin memisahkan mereka sejak lama. Selagi mereka mampu menghadapi segala rintangan, siapa pun yang menghalau pasti akan kalah.

Berat sekali saat mata Jibran ingin terbuka demi melihat keadaan dunia yang beberapa bulan terakhir ini tidak berpihak padanya. Kalau bisa, Jibran inginnya tidur lebih lama, terlebih mengingat kondisinya yang belum pulih akibat sakit. Namun, mendengar suara sendok yang memukul mangkuk dari luar, malah memaksa Jibran untuk bangun dan tidak bisa kembali tidur. Tak hanya suara sendok, sahutan ibu-ibu memanggil anak-anak mereka yang belum mandi tapi sudah berlari-lari makin mengganggu waktu tenangnya untuk istirahat. Biasanya Jibran bangun dengan kesunyian.

Kali ini kesunyian itu gagal Jibran dapatkan begitu ingat di mana dia berada. Benar, semalam Jibran memaksakan diri untuk pergi ke rumah Eila setelah mendengar percakapan Trian dengan wanita itu. Begitu tahu apa yang menjadi penyebab Eila berubah, Jibran tidak ingin pasif hingga nekat pergi naik taksi online tanpa peduli kesehatannya belum pulih. Terakhir yang dia ingat, Jibran berhasil tiba di rumah Eila, lalu memeluk wanita itu dengan erat setelah saling berhadapan.

Tidak lama kemudian Jibran dibawa ke kamar dan detik berikutnya dia kehilangan kesadaran. Mata Jibran terbuka lebar dan secara bersamaan ada seseorang masuk ke kamar setelah mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Dengan penglihatan yang lebih jelas dari sebelumnya, Jibran menemukan Eila tengah mendekatinya sembari membawa semangkuk sarapan di tangan.

“Mau langsung sarapan?” tanya Eila saat tahu Jibran telah bangun. “Udah minum, ‘kan?”

Jibran otomatis menggeleng karena tenggorokannya terasa kering. Tanpa diperintah, Eila letakkan semangkuk bubur di atas nakas, lalu menuangkan segelas air yang sejak semalam sudah Eila siapkan di tempat yang sama. Jibran bangun dengan susah payah, lalu menerima segelas air yang Eila berikan dan meneguknya tanpa meninggalkan sisa.

“Semalam kamu nggak demam, tapi badannya menggigil gitu,” Eila duduk di tepi kasur, “ada keluhan lain nggak?”

Jibran menjawab dengan suara parau, “Pusing.”

“Sekarang masih pusing?”

Jibran menggeleng pelan. “Enggak terlalu parah.”

“Kalau gitu sarapan dulu, ya. Aku tadi beli bubur, soalnya nggak sempet masak gara-gara sibuk bikin adonan.”

Eila meraih bubur yang ia simpan tadi, menyendokinya sedikit, lalu menyuapi Jibran yang malah memandang buburnya dengan tatapan aneh. Eila menghentikan gerakannya saat menyadari reaksi Jibran yang tidak biasa.

“Kamu nggak nafsu makan juga?”

Jibran menggeleng lagi. “Aku nggak … pernah makan bubur.”

“Hah?” seru Eila tidak percaya. “Kamu datang dari planet mana sampai nggak pernah makan bubur? Seaktor-aktornya pasti pernah makan kali.”

Jibran menjauhkan wajahnya dari sendok berisikan bubur yang masih terangkat di udara. “Bentuknya aneh,” balasnya polos.

“Ini buburnya nggak diaduk, terus cuma pake kecap sama ayam suwir. Enggak ada aneh-anehnya, Jibran. Kayak bubur bayi.”

Seakan tidak peduli bagaimanapun bentuknya, Jibran menyembunyikan mulutnya dengan selimut untuk menghindari bubur yang tidak berhenti mengudara di depannya.

“Yaudah, kamu mau sarapan apa? Biar aku beliin yang lain,” kata Eila sembari meletakkan bubur kembali ke atas nakas.

Eila memilih menyerah karena tidak mau memaksa Jibran. Pria itu menyingkirkan selimut dari tubuhnya, lalu menarik Eila dengan tenaga seadanya untuk mendekat. Paham apa yang diinginkan, Eila biarkan Jibran melakukan apa pun padanya, sampai tubuhnya berakhir dalam dekapan sang aktor yang tidak berdaya.

“Mau ini aja,” lirih Jibran dengan mata terpejam dan merasakan daksa sang puan yang kini dekat.

Eila tidak mampu menolak dan membalas pelukan itu agar Jibran lekas pulih. Well, pelukan bukan obat yang ampuh, apalagi perut Jibran masih kosong. Setidaknya bisa menghibur Jibran setelah diterpa masalah pelik yang membuatnya pusing.

“Aku kangen kamu, Eila ….”

Eila tersenyum dan menyandarkan pipinya di bahu sang pria. “Aku juga kangen kamu.”

“Sekarang kangennya beneran atau bohongan?”

Eila tertawa pelan karena merasa tersindir. “Beneran, Jibran.”

“Kalau gitu jangan ngebohong lagi. Kamu bohongnya terlalu meyakinkan sampai aku sedihnya beneran,” aku Jibran tentang apa yang ia rasakan selama ini.

Eila tidak terkejut saat Jibran memintanya untuk tidak berbohong. Saat Jibran datang tanpa diundang semalam, Eila sudah dapat menebak pria itu mendengar percakapannya dengan Trian—yang Eila yakin sengaja dilakukan oleh kakaknya. Secinta-cintanya Jibran, belum tentu rela datang dalam keadaan sakit setelah disakiti oleh Eila, kecuali setelah tahu kenyataan yang ada.

Dengan begitu, Eila pun tidak akan berbohong lagi soal perasaannya. Jibran juga tidak perlu menahan diri, tapi tetap hati-hati mengingat situasi yang dihadapi belum sepenuhnya aman.

“Maafin Mama aku yang nyuruh kita putus ya, Eila. Mama aku nggak maksud, tapi terpaksa lakuin itu supaya karier aku aman.”

“Aku nggak keberatan, Jibran. Kalau aku jadi beliau, aku bakal lakuin hal sama, kok. Maafin aku karena bohongnya harus separah itu.”

“Aku keselnya kamu nggak bilang ketemu Mama.”

“Aku mana berani bilang, Jibran. Nanti kalian berantem gara-gara aku jadi tukang ngadu. Aku nggak mau ya ada anak sama ibu yang hubungannya hancur. Ditambah lagi aku takut gosip itu beneran ada, terus reputasi kamu jadi rusak. Kamu enak bilang bodo amat, tapi orang-orang terdekat nggak akan sudi lihat kamu begitu, Jibran. Termasuk aku.”

Penjelasan Eila dapat Jibran terima, meski tetap mengganjal karena rencana impulsif sang puan telah melukai hati sang aktor dengan memercayai kata-katanya. Namun, kini tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan, sebab perasaan mereka sama seperti sedia kala. Bahkan makin kokoh tanpa ada yang berani untuk menentang mereka lagi.


Tetap menolak bubur yang dibeli, Jibran akhirnya sarapan roti untuk mengganjal perutnya. Setelah itu dia kembali tidur dan baru bangun siang hari dengan tubuh yang lebih fit dari sebelumnya. Pusing yang melandanya sudah reda, tubuhnya pun tidak kembali menggigil. Dia juga bangun tanpa ada paksaan, sebab ketika dia keluar dari kamar, Jibran menemukan Eila yang tengah sibuk dengan orderan.

Saking sibuknya dengan pesanan, Eila sampai mengabaikan Jibran yang sesekali manyun karena kesepian. Namun, apalah daya. Jibran tidak mungkin mendesak Eila yang punya kesibukan, sedangkan sang pria adalah ‘pengangguran’ yang bersyukur penghasilannya masih bisa mengalir deras. Sejak siang hingga sore, para pelanggan tidak berhenti berdatangan.

Eila sampai telat makan siang, tapi untungnya masih ingat untuk menyisihkan waktu demi mengisi perut yang keroncongan. Jibran sudah bersedia membantu, tapi Eila melarang dengan alasan baru sembuh. Akibatnya Jibran tidak mau keras kepala karena khawatir malah jadi merepotkan Eila.

Pukul setengah enam, Eila baru bisa lebih santai karena orderan hari ini sudah selesai diambil dan dikirim. Setelah mandi dan lebih segar, Eila menghamburkan diri ke pelukan Jibran yang sudah menunggunya di ruang keluarga.

“You did well, Eila, puji Jibran sebagai bentuk apresiasinya atas usaha Eila hari ini. “Harusnya kamu izinin aku bantu-bantu.”

“Enggak usah. Takut kamu sakit lagi. Segini aja udah syukur kamu bisa bangun dan kelihatan seger.”

“Aku sehat berkat kamu.”

“Jangan gombal.”

Jibran tertawa pelan dan menghadiahkan beberapa kecupan di dahi Eila yang memejamkan mata untuk menikmati afeksi dari prianya. Baru satu hari mereka bertemu, tapi tidak ada rasa canggung seperti orang yang baru menjalin kasih kedua kali. Apalagi mereka hanya berdua di rumah, jadi tidak ada yang akan menentang atau mengganggu kemesraan yang tengah dijalin.

“Aku udah denger semuanya dari Kak Trian.” Keheningan dipecahkan oleh suara Eila matanya tak lagi terpejam. “Laki-laki yang namanya Aiden pernah chat aku, terus langsung aku block karena nggak jelas. Awalnya aku bingung gimana dia dapat nomor aku. Baru setelah tahu ceritanya, aku jadi nebak Aiden tahu aku kerja di CelebStat, terus punya orang dekat di sana dan akhirnya bisa dapet nomor aku. Iya nggak, sih?”

Jibran mengangguk. Secara alami Jibran merespons ucapan Eila yang menjadi topik mereka saat ini. “Pasti gitu. Secara orang-orangnya Samuti Rakha udah kerja sama bareng CelebStat buat sebar gosip aku. Saat tahu kamu pernah kerja di sana, mereka kesenengan dan bawa-bawa nama kamu.”

“Untung aja aku resign dari sana. Mana aku denger petinggi CelebStat ngobrolin gosip soal kamu itu.”

Jibran mengerjap terkejut. “Masa?”

“Iya.” Eila mengangkat kepalanya agar ia bisa menatap Jibran lekat. “Selama ini reputasi CelebStat selalu baik dan cocok sama aku. Setelah tahu mereka mau sebar gosip aneh soal kamu, aku milih resign karena visi misinya udah beda.”

“Berarti kamu keluar karena aku?” tanya Jibran merasa percaya diri. Eila angkat bahunya.

“Bisa dibilang gitu,” jawabnya setengah yakin. “Oh, aku keluar karena nggak mau ada gosip miring lagi yang rilis dari CelebStat. Aku nggak mau edit-edit berita begitu.”

Majalah hiburan menjadi salah satu bagian dari entertainment yang dapat mempromosikan para selebritas, khususnya yang masih butuh diangkat. CelebStat adalah salah satu majalah terbaik yang sering mengulas soal selebritas, mulai dari yang baru merintis sampai senior.

Eila mau bekerja di CelebStat karena memiliki reputasi yang sangat baik. Maka ketika CelebStat diajak untuk melakukan rencana licik dengan Samuti Rakha, membuat Eila memutuskan untuk meninggalkannya karena sudah tidak sesuai dengan dirinya. Keputusan yang sangat baik dan Jibran mendukung itu.

“Jibran, kayaknya … kita nggak bisa balikan dulu.”

Bara api saat membicarakan soal rencana licik Samuti Rakha mulai padam, diganti oleh suasana sendu yang melunturkan senyum Jibran.

“Situasinya lagi nggak baik, jadi balikan bukan pilihan tepat buat sekarang.”

Jibran tidak langsung merespons, jadi bimbang dengan usulan Eila yang tidak menyenangkan baginya. Paham Jibran tidak menyukai gagasannya, Eila segera menghibur prianya dengan terseyum selebar mungkin, lalu menyuguhkan satu kecupan di bibir.

“I love you,” ucap Eila dengan penuh kesungguhan. “Aku sayang, sayang, sayang, sayaaaaaaaaang banget sama kamu.”

Jibran tidak sanggup menahan godaan sebesar ini saat Eila tampak menggemaskan mengungkapkan perasaannya. Senyum sang aktor kembali mekar, lalu menarik Eila hingga berakhir di pangkuannya. Eila tidak menolak karena dalam posisi ini dia bisa merasa lebih dekat dengan Jibran.

“Enggak masalah kalau nggak balikan, tapi harus jawab pertanyaan aku yang waktu itu dulu. Soalnya kamu nggak bales chat aku.”

Eila menatap Jibran dengan tertantang. “Apa?”

“Kamu mau jadi pemeran utama di hidup aku, Eila?”

Pertanyaan itu lagi, yang tidak mampu Eila balas karena saat itu dia tidak mau mengganggu apa pun hubungan yang dimiliki Jibran dan Kalani. Lantas ketika mereka bisa kembali dipertemukan, lalu Jibran mengajukan pertanyaan yang sama, Eila tidak bisa lagi menolak.

“Aku selalu mau, tapi nggak bisa sekarang.”

Jibran mengangguk paham dengan alasan implisit yang disampaikan Eila. “Yang penting kita bisa gini terus. Akur, nggak malu-malu bilang sayang, sama ….”

Eila menaikkan sebelah alisnya dengan sudut bibir yang tersenyum miring saat Jibran menggantungkan kalimatnya. “Sama apa?”

Alih-alih menjawab dengan lisan, Jibran justru menarik tengkuk Eila lalu mencium bibirnya dengan seduksi yang kuat. Eila elus pipi Jibran, sedangkan tangan sang pria naik turun di sekitar punggung wanitanya. Sudah lama tidak bertemu membuat ciuman kali ini menggebu-gebu, bahkan Jibran dengan berani menurunkan Eila dan membaringkannya dengan hati-hati di permukaan sofa, sedangkan ia mendominasi di atas.

Bara asmara terbit, melelehkan siapa pun yang ingin memberi sanksi. Jibran dan Eila tidak peduli dengan masalah pelik, sebab kini mereka ingin saling memberi hati.

Sedikit informasi bagi yang belum pernah baca Yuta sama Marsha (Matcha). Mereka ini udah nikah selama 31 tahun dan sekarang usianya sama-sama 60 tahun. Mereka punya anak namanya Tama sama Yuma dan dua-duanya udah nikah, terus Tama udah punya anak namanya Tala. Cerita ini semacam alternatif ending di mana Marsha bangun dari komanya. Part ini dibuat untuk kalian yang kangen sama Yuta dan Matcha, terus pengen baca versi yang sedikit bahagia hehe. Selamat membaca ^^


“Aku sayang sama kamu, Matcha. Aku … ikhlas.”

Nakamoto Yuta membuka matanya setelah diserang oleh mimpi buruk yang tidak berhenti datang untuk menghantui tidurnya. Mimpi yang akan membuatnya bangun dengan tetes air mata di pipi, seakan mimpi itu nyata karena telah merenggut apa yang dia miliki. Tak hanya air mata, dampaknya pun pada daksa yang jadi menderita. Ngilu di sekujur tubuh tidak bisa Yuta obati dalam waktu singkat, sebab setiap mimpi itu datang, ketakutannya ditinggal oleh kekasih tercinta makin sulit usai.

Yuta seka air mata yang ada di pipi, bukan hal aneh tapi tidak pernah membuatnya terbiasa. Tubuh ringkih Yuta bangkit dari sofa bed yang menjadi tempat tidurnya selama tiga bulan terakhir, tidak lupa menyibak selimut yang menutupi diri. Yuta tuangkan air pada gelas kosong yang ada di meja, lalu meneguknya hingga habis dan membuat tenggorokannya terasa lebih segar. Setelah gelas diletakkan kembali di tempatnya, netra Yuta menemukan sosok yang menjadi penyebab rangkaian mimpi buruk dialami, penyebab tubuhnya tak lagi memiliki tenaga untuk bangkit, penyebab kesedihan yang tak kunjung pergi, serta penyebab ketakutan yang terus menghantui.

Yuta berdiri, lalu berjalan menuju brankar di mana Marsha, istrinya, berbaring tidak berdaya tanpa ada tanda-tanda membuka mata. Masker oksigen masih menjadi alat bantunya hidupnya. Selang infus pun masih menancap untuk memberinya kekuatan agar tetap hadir bersama Yuta. Sayang, meski daksanya masih bisa Yuta rasakan, jika tidak bisa bergerak rasanya seperti kehilangan. Yuta sentuh dengan hati-hati tangan kecil yang seperti tidak bernyawa, membuat rindunya menguar tanpa bisa ditahan.

Sejak awal Yuta menaruh hati berpuluh-puluh tahun lalu, Marsha telah menjadi separuh hidupnya. Maka ketika separuh hidupnya sedang berjuang antara hidup dan mati, sebagian nyawa Yuta seakan ikut dibawa pergi.

“Aku mimpi itu lagi, Matcha. Aku akhirnya ikhlasin kamu, terus kamu pergi pas kita lagi anniversary yang mana masih dua minggu lagi.”

Hanya beberapa kalimat yang terucap, tapi membuat Yuta pengap. Selalu begini setiap bicara, karena Yuta tak kuasa menahan duka. Yuta tidak sempat mencuci muka agar lebih segar, merapikan rambut yang berantakan pun enggan dilakukan. Penampilannya kacau, sekacau jiwanya yang remuk melihat separuh jiwanya tak kunjung kembali dari tidur.

“Kamu … boleh jangan pergi dulu? Aku belum ikhlas. Aku nggak seikhlas di mimpi, aku nggak sekuat itu buat lepasin kamu. Aku mau sama kamu terus, jadi kamu harus bangun. Setelah bangun, aku bakal jagain kamu. Aku nggak akan biarin kamu pergi ke mana-mana supaya kejadian ini nggak keulang. Kalau emang suatu saat kamu harus pergi, tolong … tolong bawa aku juga. Jangan sendirian.”

Tetesan air mata tidak bisa Yuta bendung. Seakan tidak pernah lelah untuk menyiratkan duka mendalam pada sang junjungan. Namun, kali ini Yuta tidak membiarkan air matanya bertahan terlalu lama. Jadi, segera ia hapus hingga tidak tersisa demi menghadapi masa-masa sulit dalam hidupnya.

Marsha boleh sedang tidur, tapi dia pasti tidak suka melihat Yuta menangis terus. Yuta memaksakan senyum, ia menunduk dan memberikan kecupan di dahi sang istri sebagai sapaan pagi.

“Aku mandi dulu, ya. Hari ini Yuma sama Jeffrey datang.”

Yuta menyingkir dari dekat Marsha untuk membersihkan tubuhnya agar dia lebih segar, sekaligus menghindar untuk sementara agar dia tidak menangis lagi. Sebelum kejadian yang merenggut kebahagiaan seluruh keluarganya ini, durasi mandi Yuta akan sangat lama—kecuali kalau dia pergi ke kantor. Sekarang Yuta harus memangkasnya karena tidak bisa meninggalkan Marsha berlama-lama. Ada sepuluh menit di kamar mandi, Yuta akhirnya keluar dengan raga yang lebih segar meski matanya selalu sembap. Yuta terlalu sering menangis hingga tidak bisa menutupi bekasnya.

Ini baru pukul enam, jadi perawat yang akan memeriksa kondisi Marsha masih belum datang. Masih pagi juga untuk sarapan, jadi Yuta memilih menemani Marsha dengan duduk di kursi yang selalu menjadi spot-nya selama menjaga sang istri.

Baru saja kursi Yuta letakkan di samping brankar, tubuhnya memaku melihat sesuatu yang asing hingga dia perlu memastikannya berkali-kali karena khawatir salah duga. Yuta mengerjap beberapa kali sampai dadanya mulai bergemuruh tidak tenang kala yang ia lihat tetap sama.

Lutut Yuta mendadak lemas, lebih lemas dari biasanya sampai untuk mendekati brankar saja susah payah dilakukannya. Netra Yuta hanya fokus pada satu hal; mata Marsha yang sedikit terbuka dan pupilnya bergerak hati-hati.

“Matcha …?”

Seakan mendengar panggilan itu, jemari Marsha bergerak sedikit demi sedikit dan tidak Yuta lewatkan pergerakannya. Hati Yuta membuncah, sebab ia tahu bahwa Matcha-nya telah kembali. Lagi, Yuta menangis, tapi kali ini karena bahagia.

“Tunggu sebentar. Aku panggil dokter, ya.”

Yuta memencet bel di samping brankar untuk memanggil siapa pun agar datang memeriksa kondisi Marsha. Tangannya yang bergetar beralih pada dahi dan dia elus dengan hati-hati, membuat wanita yang telah ditunggu kembali mengerakkan bola matanya pelan pada sumber elusan.

“Kamu jangan banyak gerak,” kata Yuta dengan suara bergetar akibat terlalu bahagia saat tahu Marsha susah payah untuk bergerak.

Marsha tidak bereaksi, rungunya juga sayup-sayup mendengar karena seluruh daksanya belum bekerja normal. Jangankan bergerak, Marsha yang bisa membuka mata saja sudah menjadi anugerah terbesar bagi Yuta yang telah menantikan momen ini sejak lama.

“Jangan dipaksain, oke?”

Pandangan Marsha masih mengabur, tapi ia tahu pria di sampingnya tengah menangis tersedu-sedu. Di saat kondisinya belum kembali total, Marsha mendengar suara langkah kaki dari sana-sini mendekatinya, lalu berbagai hal dilakukan demi mengetahui kondisinya. Yuta mundur sejenak, mencari ketenangan dan menyeka air matanya penuh kelegaan. Marsha sudah kembali, jadi tidak ada yang bisa membuat Yuta takut lagi.


Sejak satu per satu anaknya berkeluarga, Yuta hanya hidup berdua dengan Marsha. Kalau ditambah dengan makhluk jenis lain, maka ada tiga kucing yang menemani mereka. Setelah beberapa bulan hidupnya berubah suram, cahaya kembali menerangi hidup Yuta yang sempat berubah kelabu, karena Marsha telah kembali dan siap mengisi hari-harinya.

Kondisi fisik Marsha tidak langsung membaik, masih perlu ada penyembuhan dan menahannya untuk tetap di rumah sakit lebih lama. Mau di mana pun adanya, selama Marsha bersamanya, Yuta tetap bahagia.

“Aku udah lupa kapan bisa lihat orang seganteng ini waktu senyum.”

Terakhir yang Yuta ingat, Marsha tengah melihat-lihat gambar yang dibawakan Tala—cucu mereka—saat berkunjung bersama Tama dan Aqila. Saking asyiknya mengamati sang istri, Yuta sampai larut dalam dunianya dan tidak sadar kini Marsha sudah menaruh atensi padanya.

“Ini kamu lagi muji aku?” tanya Yuta seraya menegakkan posisi duduknya.

“Apa ada lagi laki-laki ganteng di sini selain kamu? Kalau aku muji perawat di luar kejauhan, Yuta.”

Tidak pernah terbayangkan Yuta akan mendengar gombalan Marsha lagi setelah kondisi fisiknya membaik. Beberapa luka Marsha telah pulih, wajahnya kembali berseri, dan senyumnya tak pernah kekurangan kadar manis. Marsha telisik kondisi Yuta yang berbeda dari terakhir kali dia ingat. Yuta tidak sekurus ini, lingkar hitam di bawah matanya pun tidak pernah hadir. Pipinya begitu tirus, bahkan pergelangan tangannya seperti tulang yang dilapisi kulit saja.

“Sini.” Marsha menepuk sisi kanan brankar yang masih tersisa untuk ditempati. “Kamu jangan duduk di situ terus, harus banyak-banyak deket aku.”

“Enggak akan muat, Matcha.”

“Muat, Yuta. Aku cuma nyuruh duduk, bukan tidur.”

Yuta mendesah pelan. “Kalau disuruh duduk di sana, yang ada aku maunya rebahan di sebelah kamu. Terus susah turunnya lagi, soalnya udah nempel banget.”

Marsha tertawa sembari terus menepuk sisi kanannya agar Yuta lebih terundang untuk duduk di sampingnya. Tidak ingin membuat wanitanya kecewa, Yuta akhirnya menurut dan mengisi bagian kosong itu. Mereka duduk berhadapan dengan jemari yang saling mengait erat.

“Kamu harus gemukin badan lagi setelah pulang.” Marsha menggeleng dan meralat, “Malah harus gemukin dari sekarang. Turun berapa kilo selama jagain aku?”

“Aku nggak pernah nimbang. Malah nggak kerasa kurus,” jawab Yuta ringan.

“Kurus banget, Yuta. Aku lihatnya aja sampai greget. Pokoknya keluar dari sini kamu harus makan banyak tanpa beban pikiran. Jangan sampai kita sakitnya gantian.”

Ini pertama kalinya Marsha mengomel soal kesehatan Yuta yang pernah beberapa kali drop, seakan lupa bahwa sang puan juga sedang menjalani proses penyembuhan. Kalau begini keadaannya, malah Yuta yang kelihatannya butuh pendampingan untuk mengawasi kesehatannya dibandingkan Marsha. Alih-alih mengingatkan Marsha tentang kondisinya lagi yang masih belum sepenuhnya pulih, Yuta justru senang dengan omelannya, sebab itu menjadi tanda bahwa istrinya benar nyata kembali.

Yuta angkat tangan Marsha yang ia genggam erat, lalu mengecup bagian punggungnya sebagai ungkapan kasih sayang dan bahagia. Kembalinya Marsha membawa lagi separuh jiwa yang sempat hilang, membuat Yuta lebih berseri tapi tetap harus merawat diri. Marsha elus pipi Yuta dengan sebelah tangannya yang bebas, ingin ikut merasakan bagaimana raga pujaannya. Bagi Marsha ia seperti pergi sehari, tapi tak dapat dipungkiri rindunya sama seperti ia pergi lebih lama dari ini.

“Yuta …, makasih udah kuat nungguin aku balik lagi, ya.”

“Selama apa pun, aku bakal nungguin kamu, Matcha.”

“Kalau ternyata aku nggak balik lagi, kamu bakal gimana?”

Pertanyaan buruk itu tidak sedap didengar oleh rungu, tapi Yuta tetap menjawab dengan kekuatan yang telah terkumpul. “Aku bakal berdoa buat ketemu kamu lagi di akhirat. Aku juga berdoa supaya cepet-cepet dipanggil, soalnya nggak mau kamu kelamaan sendiri.”

Marsha menaikkan sebelah alisnya dan menatap Yuta dengan ekspresi jail. “Emang yakin ketemu di sana?”

“Yakin.” Suara Yuta sedikit meninggi, antara ragu dan menantang diri. “Katanya kalau jodoh bakal ketemu di akhirat.”

“Kalau nggak ketemu?”

Yuta tak lekas menjawab dan malah memalingkan pandang ke arah lain sampai diam untuk beberapa saat. Padahal Marsha hanya bergurau, tapi Yuta meresponsnya dengan sedikit serius. Maklum, apa pun yang berkaitan dengan kepergian bukan hal ramah bagi Yuta setelah nyaris ditinggalkan. Lama Yuta diam hingga pandangannya kosong ke arah lantai, membuat senyum jail Marsha luntur karena pertanyaannya menyulitkan Yuta. Niatnya ingin bercanda malah tidak mampu direspons dengan cara serupa oleh suaminya.

“Yaudah, jangan dipikirin. Yang penting akunya udah sehat, ya.”

Yuta kembali ditarik ke realitas. Sang pria coba meraih sebanyak mungkin oksigen dengan serakah untuk mengisi pernapasannya. Yuta menjatuhkan pandangnya lagi pada Marsha yang khawatir, lalu tersenyum agar istrinya yang tidak berpikir aneh-aneh akibat melamun.

“Maaf, ya. Aku nggak fokus.”

Marsha merentangkan kedua tangannya dengan hati-hati. “Sini, aku peluk.”

Tak butuh dua kali diperintah, Yuta mendekat dan menghamburkan diri dalam pelukan istrinya. Tentunya hati-hati, sebab Yuta tidak mau istrinya kesakitan jika terlalu erat. Yuta juga tidak bisa bertahan terlalu lama memeluk Marsha atau nanti sang pria sulit lepas.

“Aku belum nanya ini,” ucap Marsha seraya mengelus surai Yuta. “Keadaan rumah aman-aman aja, ‘kan? Kamu jarang pulang ke rumah, jadi curiga rumah nggak dibersihin.”

Yuta terkekeh kecil dengan wajah yang ia sembunyikan di balik ceruk sang istri. “Tenang, Yuma selalu mastiin rumah bersih. Kucing-kucing juga dikasih makan tepat waktu.”

“Kamu jadi jarang sama kucing kesayangan. Enggak apa-apa? Nanti sedih lagi gara-gara jauh dari mereka.”

Lagi, Yuta terkekeh saat Marsha sengaja membawa-bawa tiga kucing di rumah dan menyindirnya. “Kamu lebih penting.”

“Udah di rumah ngomongnya bisa sama nggak?” sindir Marsha lagi dengan nada gurauan.

“Dijamin bisa.” Yuta sedikit mengeratkan pelukannya, masih dengan batas wajar agar tidak menyakiti Marsha.

Seperti yang dapat ditebak, ketika dua orang yang saling merindu itu terikat kuat, tidak ada yang sudi untuk saling melepas. Satu senti pun enggan dilakukan, sebab keduanya terlalu serakah untuk mereguk sentuhan sebagai pelepas rindu. Jadi, biarkan Yuta dan Marsha seperti ini untuk beberapa saat, sebelum dipaksa lepas saat Jeffrey dan Yuma datang.


Bak alarm berbunyi sesuai waktu yang ditentukan, Nakamoto Yuta bangun di jam yang sama seperti biasanya. Setiap kali bangun, Yuta akan memeriksa posisi di sebelahnya untuk melihat apakah sang istri telah bangun atau belum. Namun kali ini, tangan Yuta yang meraba sisi kirinya tidak menemukan raga yang seharusnya ada di sana.

Dia yang setengah terbangun langsung membuka matanya lebar dan tidak melihat siapa-siapa di sampingnya. Yuta panik. Sang pria lantas menyibak selimut yang membalut tubuh, bangkit dari posisinya, lalu berjalan keluar dari kamar untuk mencari jejak sang istri. Kepalang panik membuat Yuta tak mampu berpikir positif, sebab khawatir Marsha yang sadar selama ini hanyalah mimpi dan ternyata dia tetap sendiri. Beruntung kekhawatiran itu dipatahkan ketika Yuta mencium aroma kue yang baru diangkat dari oven. Aroma yang tidak pernah ada di rumah, kecuali jika Marsha yang membuatnya.

Lantas … apa mungkin?

“Bagus udah bangun. Sekarang cuci muka, terus kita sarapan.”

Langkah Yuta tertahan di depan pintu kamar, makin sulit bergerak melihat Marsha yang kini mampu berjalan tanpa bantuan. Marsha mengernyit bingung melihat Yuta yang hanya bergeming seperti ditahan sesuatu, lalu mendekat untuk memastikan suaminya tidak apa-apa. Langkah wanita itu masih pelan, belum bisa bergerak terlalu gesit karena kadang kakinya masih terasa sakit.

“Kamu kenapa, sih?” tanya Marsha melihat wajah Yuta yang pucat pasi. “Kamu sakit?”

“Aku kira kamu nggak pernah ada. Biasanya pagi-pagi dibangunin sama aku. Sarapan juga kita beli atau aku yang bikin.”

Sisi melankolis Yuta kembali yang jelas bagi Marsha lucu, tapi dia berusaha menahan tawa agar suaminya tidak merasa diledek. “Kamu bilang pengen banget ngadain anniversary yang ketunda, makanya aku bangun lebih pagi buat bikin kue sama sarapan. Lagian aku udah bisa jalan lancar, Yuta. Mau lihat?”

Marsha berjalan maju mundur beberapa kali demi meyakinkan suaminya bahwa ia baik-baik saja. Wanita itu juga mengentak-entakkan kaki agar terlihat sehat seperti sedia kala.

“Ya, ‘kan?” Marsha berhenti bergerak dan napasnya sedikit sesak. Meski sudah sepenuhnya pulih, tapi fisiknya yang telah berusia 60 tahun tidak dapat berbohong.

“Kamu tetep harus dibantu kalau ngapa-ngapain,” balas Yuta sembari mendekati istrinya. Gemas sekali melihatnya terlalu banyak bergerak.

“Aku nggak mau bergantung banget, Yuta. Tiga bulan di rumah apa-apa harus dituntun ‘kan repot. Kasihan kamunya.”

“Bagi aku nggak repot, kok. Malah aku jadi nggak panik.”

Marsha terkekeh pelan dan mengelus pipi sang suami yang kini sudah lebih berisi berkat program menggemukkan badan setelah pulang ke rumah. “Kalau gitu sekarang cuci muka atau sekalian mandi juga terserah, biar cepet sarapan.”

“Bentar.” Yuta menahan Marsha sebelum kembali ke dapur. “Cium dulu,” tambahnya sambil menunjukkan pipinya yang tadi dielus.

Bagaikan kembali menjadi remaja nanggung yang baru merasakan namanya jatuh cinta, malu-malu Marsha mencium pipi Yuta yang langsung tersenyum lebar setelah keinginannya terpenuhi, lalu bergegas kembali ke kamar untuk mengikuti perintah istrinya. Selesai mandi dan tubuhnya lebih segar, Yuta sudah duduk manis di depan meja makan selagi Marsha menata sarapan.

Pertama kalinya melihat Marsha seaktif ini, jelas menjadi pemandangan terbaik yang Yuta rekam tanpa melewatkan satu momen pun di matanya. Selepas itu Marsha duduk di samping Yuta yang sudah menanti untuk makan bersama, tak lupa menyuguhkan kecupan manis di pipi istrinya yang tidak akan lepas dari sisinya. Semburat merah muncul, merasa tidak pantas untuk bermesraan di usia mereka yang tidak lagi muda.

“Bisa nggak sih kamu jangan kayak anak ABG? Udah nggak pantes.”

“Apanya coba yang nggak pantes?”

“Tuh,” tujuk Marsha pada rambut Yuta. “Ubannya sedikit-sedikit udah kelihatan. Kalau senyum kelihatan keriput. Terus dikit-dikit ngeluh sakit punggung, pinggang, kaki, pusing. Pokoknya semua penyakit udah kerasa.”

“Enggak apa-apa. Kalau sama kamu rasanya sehat terus.”

Yuta peluk Marsha dengan erat sebagai pelampiasan rasa bahagia yang tidak terhingga karena bisa berduaan. Sesi sarapan sampai harus ditunda karena Yuta yang memasuki mode bucin tidak bisa dihentikan. Jika di masa muda Marsha akan sok menolak dan memaksa Yuta menyingkir, maka kali ini berbeda. Sebab Marsha biarkan suaminya menempel selama yang ia inginkan, yang penting tidak berlebihan mengingat malu dengan usia.

“Anak-anak ke sini jam berapa, ya? Aku mau hias kuenya bareng Yuma, deh,” ucap Marsha setelah sarapan akhirnya dimulai.

“Aku suruh anak-anak ke sininya besok. Hari ini berduaan aja sama kamu.”

“Dih? Kok gitu? Kan harus rame-rame rayainnya, Yuta.”

“Tapi ini anniversary kita yang udah ditunda berbulan-bulan, Matcha. Aku nggak mau diganggu walaupun sama anak sendiri. Toh, mereka juga udah berkeluarga semua. Pasti ngerti orang tuanya mau berduaan.”

Yah, sudahlah. Marsha tidak ingin berdebat dengan Yuta yang masih dalam mode bucin. Selama Yuta senang dan kembali menjadi dirinya seperti sedia kala, Marsha akan mengikuti keinginannya.


Anniversary pernikahan yang ke-31 menjadi momen mengharukan bagi Yuta dan Marsha. Bila dihitung sejak mereka pacaran, putus, kembali bersama, hingga menikah selama setengah usia mereka, sudah banyak sekali yang dilalui setiap detiknya. Mulai dari yang membahagiakan, menyedihkan, mengharukan, menyatukan segala emosi yang sempat membuat mereka nyaris berpisah, sampai kini bertahan setelah anak-anak mereka tumbuh dewasa.

Banyak pasangan yang bisa mencapai usia ini, dan Yuta serta Marsha beruntung menjadi salah satunya. Lebih beruntung lagi ketika Marsha diberi kesempatan untuk kembali ke dekapan Yuta dan seluruh anggota keluarganya, seakan diberi waktu tambahan untuk melanjutkan hari-harinya dengan yang terkasih.

Saat ini Yuta dan Marsha duduk berhadapan di atas kasur setelah sesi tiup lilin serta makan kue usai. Tidak ada persiapan berlebihan seperti bunga mawar atau lilin di sepanjang kamar, karena kebersamaan mereka saja sudah terasa mewah. Yang terpenting keduanya sehat, maka segalanya sudah menjadi istimewa.

“Matcha, aku boleh ceritain sesuatu?” Yuta yang tadinya membisu akhirnya bersuara dan dibalas anggukan oleh sang puan. “Selama kamu koma, aku selalu mimpi buruk. Di mimpi itu … kamu pergi ninggalin aku sama anak-anak pas anniversary kita. Kamu pergi setelah aku ikhlas, terus aku nggak berhenti nangis setelahnya. Kayak anniversary sebelumnya, aku juga nyanyiin lagu kesukaan kamu, tapi sambil nangis-nangis karena tahu itu bakal jadi yang terakhir.”

Marsha mengelus tangan Yuta ketika suaranya tiba-tiba bergetar karena tidak kuasa menahan duka. Padahal Marsha sudah ada di hadapannya, tapi mimpi buruk itu seakan tidak lenyap dari ingatan dan terus menakutinya.

“Aku mau nyanyi kayak biasanya, tapi takut …,” lirih Yuta yang tiba-tiba menunduk demi menyembunyikan air matanya. “Takut kamu pergi lagi ….”

Setelah dia sadar, Marsha pikir Yuta sudah percaya bahwa dirinya telah kembali. Nyatanya tidak, sebab mimpi itu berdampak buruk hingga Yuta takut dia masih berada di dalamnya. Yuta selalu dihantui kekhawatiran setiap bangun apakah dia akan berakhir sendiri tanpa Marsha di sampingnya.

Pagi ini saja sudah menjadi bukti bahwa Yuta terlalu dipengaruhi oleh mimpinya, membuat Marsha harus bekerja ekstra untuk meyakinkan sang suami bahwa ia tidak akan ke mana-mana kalau bukan tanpa Yuta. Bukan dengan kata-kata penenang atau sentuhan lembut yang menjadi obat paling ampuh, melainkan dengan sebuah lagu yang menjadi pengikat mereka sejak hari pernikahan hingga ulang tahun sekarang.

jichin haruga gago dalbich arae du saram hanaui geurimja nun gameumyeon jabhil deut aryeonhan haengbogi ajig jeogi itneunde

sangcheo ibeun maeumeun neoui kkum majeo geuneureul deuriwodo gieog haejwo apeudorog sarang haneun sarami gyeote itdaneun geol

Lantunan bait yang Marsha nyanyikan dengan suara seadanya, menjadi tembang yang menghibur Yuta kala didengar. Yuta mengangkat wajahnya dan menatap Marsha yang memberi jeda atas nyanyiannya, memberikan senyuman dan menularkannya pada sang suami yang ketakutannya sirna setelah yakin bahwa dia berada di dunia nyata.

Yuta kumpulkan suaranya yang tertahan di tenggorokan, lalu melanjutkan lagu dengan suaranya yang jauh lebih merdu. Matanya boleh menangis, tapi bibirnya tersenyum pertanda bahwa dia bahagia dengan momen ini.

ttaeroneuni giri meolgeman boyeodo seogeulpeun maeume nunmuri heulleodo modeun iri chueogi doel ttaekkaji uri du saram seoroui shwil goshidoe eo

seotulgo tto bujog hajiman eonje kkajina gyeote isseulge mojin baram tto dashi bureo wado uri du saram jeo geochin seworeul jina gari

Lagu berakhir dengan manis, membuat mereka merasa seperti muda kembali. Usia bertambah, kemesraan Yuta dan Marsha pun ikut bertambah. Dengan bibir yang melengkung menjadi senyum dan tetap membisu, keduanya berjanji tidak akan saling meninggalkan lagi. Jika Tuhan berkehendak untuk memanggil mereka, maka Yuta dan Marsha berdoa agar dipanggil bersama-sama.

Tidak ada yang perlu ditinggalkan dan meninggalkan, sebab mereka akan berjalan menuju Keabadian bersama. Bertahun-tahun melalui berbagai rintangan di dunia, nantinya akan terbayar dengan jalanan indah sebagai bayaran atas perjuangan mereka. Di tengah kesunyian malam dan disinari rembulan yang iri melihat kemesraan pasangan dimabuk asmara, Yuta dan Marsha saling mendekap erat.

“Aku sayang kamu, Matcha ….”

“Aku sayang kamu, Yuta ….”

Kini pasangan yang sudah merasakan manis, pahit, asam, asinnya kehidupan sudah menemukan puncaknya dalam hubungan. Bersama dalam suka dan duka, sejak awal hingga menemukan akhirnya. Setelah ungkapan sayang saling dilontarkan, mata Yuta dan Marsha terpejam erat menikmati hari-hari yang tersisa. Dengan senyum yang tak luntur, mereka saling menyusul untuk kembali bertemu. Sesuai janji, mereka tidak akan berpisah lama, sebab pada akhirnya Yuta dan Marsha pergi bersama-sama.


Translate Lagu Two People

After a tiring day passes, underneath the moonlight, two people become one shadow A vague happiness that seems reachable is still over there

Even if my scarred heart casts a shadow on your dreams PLease remember that a person, who loves you till it hurts, is next to you

Although this path seems far sometimes, even if you shed tears out of sadness Until everything becomes a memory, let’s become each other’s resting place

When I’m walking with you, when I can’t see where I need to go or the path I’m on I’ll remember the world of that day when everything dazzled with just you alone

I’m still awkward and I lack but until always, I’ll be by your side On a dark night, even if we’re lost and wandering, let’s be each other’s light

In the far days ahead, even if the dreams we’re looking for isn’t past the rainbow The times spent with you right now are more precious to me

Although this path seems far sometimes, even if you shed tears out of sadness Until everything becomes a memory, let’s become each other’s resting place

I’m still awkward and I lack but until always, I’ll be by your side Even if the cruel wind blows again, we will overcome the rough times together

Gimana? Apa kangen kalian sama pasangan ini terbayar? Semoga terbayar, ya! Dan untuk bagian akhirnya diserahkan kembali sama sudut pandang pembaca, apakah Yuta dan Matcha akhirnya sama-sama pergi atau cuma tidur. Hahahaha! Sekian dari aku. Makasih udah baca Yuta dan Matcha. Semoga gak capek bacanya. Sampai jumpa di cerita lainnya 💚

“Dari awal, aku sama Jibran udah mau cerita ke kamu. Tapi udah keduluan sama kamu yang minta putus.”

“Kalaupun orangnya bukan Kalani sama Pak Rakha, Jibran bakal tetep lawan orang yang udah jodohin dia sama anaknya.”

“Aku nggak mau bikin kalian optimis banget, tapi kalau emang jodoh, nggak ada salahnya berusaha.”

Himpunan kalimat yang menjadi deretan fakta itu kembali berputar dalam memori Eila yang mendengarnya langsung dari Trian. Eila kira, hanya dia yang bermain demi menyelamatkan kehidupan Jibran dari gosip buruk dan bisa mencoreng nama baiknya. Rupanya tidak, sebab jauh sebelum Eila membuat keputusan untuk berakting seakan-akan dia tak pernah mencintai Jibran, sang aktor dan manajer sudah ingin membuat rencana perpisahan demi melancarkan segala aksi mereka.

Seandainya Eila mau bersabar, keadaan hatinya dan Jibran jelas tidak akan sesulit ini. Namun, apalah daya bila semuanya sudah terjadi? Eila tidak bisa menyalahkan diri sendiri karena menurut Trian, apa yang dilakukan adiknya tepat meski harus merugikan dua pihak yang saling mencinta. Dengan tindakan Eila yang sepihak, seluruh orang yakin bahwa dia dan Jibran telah kandas.

Eila memejamkan mata untuk menghapus sejenak penjelasan Trian yang berkunjung tadi siang, dia ingin menjernihkan pikirannya dari masalah pelik yang dihadapi dan sialnya berurusan dengan orang-orang dalam industri hiburan. Sepanjang menjadi editor majalah hiburan, Eila jarang berurusan dengan selebritas secara langsung. Kalaupun harus, paling-paling hanya bertemu saat ada acara ulang tahun CelebStat dan mengundang selebritas dari berbagai usia.

Eila juga tahu kehidupan gemerlap dunia hiburan selalu memiliki sisi gelap yang patut diperhitungkan jika ingin menyelam ke dalamnya. Namun, dia tidak pernah menyangka ada cara licik seperti itu demi mendongkrak nama. Sutradara kenamaan saja bisa berbuat curang demi film dan putri bungsunya.

“Jibran lagi sakit di rumahnya. Kamu nggak mau jenguk?”

Eila spontan membuka mata mengingat kabar yang Trian berikan sebelum dia pergi. Eila sampai bangkit dari posisi berbaring, lalu berdiri karena khawatir dengan keadaan Jibran yang katanya di rumah sendiri. Eila keluarkan jaketnya dari lemari, mengambil kunci motor di dalam laci nakas, menyemprotkan parfum daan mengikat rambutnya agar tidak terlihat berantakan, barulah keluar dari kamar untuk pergi ke rumah Jibran.

Ini pukul sepuluh malam dan seharusnya Eila sudah istirahat. Terlebih saat Natta malah menginap di rumah temannya, Eila pasti akan tidur lebih cepat tanpa ada gangguan. Namun kini, Eila tidak bisa diam begitu tahu Jibran dalam kondisi sakit dan sendiri. Kalaupun ternyata di sana ada mamanya, Eila tidak akan peduli. Apalagi kalau ternyata Trian berbohong soal kondisi Jibran, Eila pun tidak peduli, asalkan dia bisa bertemu dengan sang aktor sekarang juga.

Setelah memastikan semua yang ada di rumahnya aman — khususnya kompor yang rawan lupa dimatikan — Eila bergegas keluar. Baru pintu dibuka, langkahnya berhenti mendadak melihat siapa yang muncul malam-malam tanpa diperkirakan. Eila menganga kecil akibat terkejut, lalu lututnya lemas setelah ditarik ke realitas mendapati sosok nyata yang seharusnya ia temui di rumahnya.

Namun, kelegaan itu tak sempat Eila rasakan kala melihat wajah Jibran pucat pasi dan tubuh menggigil. Eila sudah membuka mulutnya untuk bicara, tapi tertahan di ujung lidah saat Jibran tiba-tiba memeluknya erat hingga membuat sang lawan sedikit sesak. Tanpa peduli dadanya yang sesak, Eila tetap membalas dekapan itu dengan sama eratnya. Dua orang yang saling merindu itu akhirnya bertemu, menyatu untuk meluapkan segala rasa yang bergemuruh. Saat mereka telah bertemu hari ini, Jibran dan Eila tidak dapat dipisahkan lagi.

“Jangan tinggalin aku, Eila ….”

Tanpa pemberitahuan apa-apa, Trian datang ke rumah Eila membawa satu kantung buah apel yang terisi penuh di sore hari. Kedatangan Trian disambut seadanya, lagi pula kakaknya cukup mandiri untuk tidak dilayani. Jadi, Eila tidak menjamu banyak-banyak, terlebih di rumah sedang tidak ada makanan. Tidak ada croissant yang bisa ia sajikan, sebab Eila sedang libur membuat croffle dan baru dimulai lagi besok.

Awalnya tidak ada yang aneh dari kedatangan Trian, hanya ingin memastikan kondisi adiknya setelah cukup lama tidak bersua, terlebih setelah mendengar kabar soal Eila dari Natta yang suka melebih-lebihkan fakta. Trian tidak membicarakan Jibran, hanya bertanya seputar kabar dan apa saja aktivitas Eila dan Natta selama kakaknya tidak banyak mengawasi. Sampai akhirnya ketenangan di ruang keluarga berubah tegang saat Trian mulai membahas lagi soal alasan Eila putus dengan Jibran.

Trian berkata begini, “Kenapa kamu bohong bilang nggak cinta dan selama ini cuma akting aja ke Jibran demi bisa putus, Eila?”

Begitu pertanyaan dilontarkan dengan rasa ingin tahu yang begitu tinggi, Eila tidak mampu menyembunyikan personanya lagi di depan sang kakak. Durjanya berubah muram. Pun menggelap sebab ada kemarahan terselip di sana. Tidak lupa ada luapan kata barbar yang terhimpun di tenggorokan dan berusaha naik, tapi digagalkan oleh himpunan lain yang sudah lebih dulu tiba di ujung lidah untuk membeberkan fakta sesungguhnya pada sang kakak.

Eila tahu akan ada masa di mana dia jujur soal penyebab hari itu. Maka inilah harinya tanpa perlu takut Jibran tahu yang sebenarnya. Tahu pun tidak akan memengaruhi apa-apa, sebab menurut kabar beredar, Jibran katanya terlibat cinta lokasi dengan lawan mainnya. Jadi bisa saja lawan mainnya yang bernama Kalani itu akan diperjuangkan Jibran demi membatalkan perjodohan, bukan Eila lagi.

Meski hari itu Jibran meminta Eila untuk jadi pemeran utama dalam hidupnya, Eila merasa tidak punya banyak daya untuk ikut berjuang, karena baginya dia sudah tidak memiliki hak apa-apa dalam hidup sang aktor.

“Sebelum putus itu, aku ketemu mamanya Jibran di sini.”

Trian mengerjap beberapa kali dan berseru, “Apa? Kok bisa?”

“Bu Mia tahu aku sama Jibran pacaran, terus minta ketemu dan milih di sini.” Eila menjeda, sedangkan Trian harus menahan diri untuk tidak memaksa adiknya cepat-cepat cerita. Sekitar satu menit jeda, barulah Eila melanjutkan seraya menatap Trian sendu, “Intinya Bu Mia ngasih tahu aku kalau alasan beliau bersikeras buat jodohin Jibran karena anaknya terancam. Katanya bakal ada gosip nggak baik soal Jibran, terus lebih parahnya nama aku bakal dibawa-bawa sebagai editor di CelebStat yang nyebar berita itu. Kalau beneran jadi, nama Jibran bakal kecoreng banget dan publik nggak mungkin percaya lagi sama dia.

“Aku juga takut Jibran bakal benci sama aku karena mikir aku terlibat, tapi jelas lebih takut dia nggak bisa laluin masa-masa buruk itu. Jibran boleh bilang dia mau berhenti berkarier dan nggak akan musingin hal-hal buruk, tapi belum tentu dia beneran sanggup. Makanya ... aku milih buat udahin semuanya dengan cara itu. Lebih baik Jibran patah hati karena aku, daripada ngalamin hal buruk yang bisa ngerusak citranya.”

Eila usap wajahnya kasar dan tidak beraturan. Tepatnya demi menepis air mata yang nyaris tak bisa ditahan. “Aku tahu itu salah, tapi semuanya udah telanjur, kok.”

Ingin mengamuk, tapi Trian bisa mengerti kenapa Eila bisa berbuat hal sebodoh itu dan menipu dirinya sendiri serta Jibran. Berusaha menahan segala luapan kata agar tidak memaki adiknya, Trian memilih ikut membeberkan fakta yang telah disembunyikan dari Eila agar adiknya tidak makin mengacaukan dirinya. Ini sudah waktunya, jadi Trian tidak ingin menundanya lagi agar ada satu perkara yang bisa selesai.

“Kamu tahu Kalani yang jadi lawan main Jibran di film barunya?” Eila mengangguk tanpa menatap Trian sebab tenaganya hilang setelah membuat pengakuan. “Dia yang mau dijodohin sama Jibran dengan cara curang.”

Eila tak mampu diam saja hingga matanya melotot pada Trian. “Apa? Curang gimana?”

“Lebih plot twist lagi, sutradara film Perfect Wife yang namanya Samuti Rakha itu papanya Kalani, La.”

“HAH?!” Eila yakin tampang terkejutnya begitu buruk rupa, tapi dia tidak peduli karena fakta itu tidak bisa membuatnya santai. “Kok … gitu?”

“Jadi, jauh sebelum kamu sama Jibran putus, Bu Mia ajak aku kerja sama buat mastiin kalian putus. Di situ aku kasih tahu Jibran dan akhirnya ikut. Alasannya supaya aku sama Jibran tahu apa sih yang ada di balik perjodohan ini. Soalnya pas tahu Jibran diikutin dan ternyata itu orang suruhan mamanya, terus kecurigaan Jibran ada kecurangan selama proses audisi, itu bikin kami pengen ngulik banyak hal.

“Setelah gabung, aku nggak nemu banyak hal karena Bu Mia nggak terbuka semuanya. Bu Mia nyebut nama Aiden yang kerja sama bareng beliau juga, tapi selebihnya aku nggak tahu siapa yang dijodohin sama Jibran sampai keluarganya. Baru pas dinner buat ketemu untuk pertama kalinya, di situ kebongkar kalau ternyata Kalani yang dijodohin, Pak Rakha papanya, Aiden kakaknya, dan Mister Timon CEO Punch adalah omnya. Gimana nggak gila coba?”

Trian sedikit histeris di akhir cerita yang membuat keadaan sedikit dramatis. Berlebihan, tapi semua itu memang pantas untuk didramatisir. Eila saja sampai menggebu-gebu dalam duduknya dengan mulut terkunci rapat dan menajamkan rungu demi menunggu kelanjutan cerita Trian.

“Di situ juga kebongkar kalau ternyata film Perfect Wife mau buat Kalani, tapi aktornya bukan Jibran, karena itu dia bagus banget dan pas jadi Anata karena udah disiapin dari lama. Berubah jadi Jibran saat Bu Mia nggak mau lanjutin perjodohan anaknya, ditambah lagi Jibran mau keluar dari Punch. Ini semacam strategi supaya Jibran nggak lepas dari pengawasan Pak Rakha. Buat mempermudah juga nyebar kabar ke publik soal Jibran dan Kalani seakan-akan saling suka, padahal dijodohin gitu.

“Makanya Jibran nggak boleh kena skandal, soalnya udah ada Kalani yang harus sama dia, supaya Pak Rakha sama orang-orangnya nggak perlu ribet ngatasin kalau ada skandal. Orang tuanya Jibran juga nggak bisa nolak karena nggak mau anak mereka kenapa-napa. Tahu sendiri Jibran anak tunggal, jadi dijaga sebaik mungkin dari hal buruk.”

Tangan Eila gatal ingin mencabik atau melempar apa pun di sekitarnya untuk meluapkan emosi yang menyerang. Rencana licik orang-orang di balik film dan perjodohan antara Jibran serta Kalani tidak bisa dibiarkan begitu saja, apalagi sampai membuat ancaman buruk yang mengurung banyak pihak. Eila kira ceritanya selesai sampai di situ, tapi rupanya tidak.

“Sama satu lagi!” Trian memukul pelan pundak Eila saking gemasnya kala mengingat hal lain yang perlu dibeberkan. “Ini dari Mister Timon,” tambahnya makin dramatis, “selama ini audisi murni dinilai dari Jibran sama Pak Rakha. Kalani kepilih juga atas kemampuannya—walaupun harus diakui ada kecurangan dari awal. Parahnya, kalau sampai aktris lain yang jadi Anata, orangnya Pak Rakha udah hubungan pihak agensi masing-masing aktris yang ikut audisi sampai tahap ketiga untuk nggak biarin aktris mereka join sama filmnya. Jadi, gimanapun caranya harus Kalani yang kepilih. Terus tahu siapa yang hubungin pihak agensi?”

“Siapa?” tanya Eila yang makin antusias untuk membongkar segala kecurangan di dalam film Perfect Wife.

“Aiden, kakaknya Kalani. Di PH Pak Rakha, dia kerja jadi tim casting yang hubungin tiap agensi untuk nawarin audisi saat ada film baru. Sekarang dia malah hubungin buat ngelakuin kecurangan. Kesel banget nggak, tuh?”

Eila mengernyit, merasa ada satu hal yang janggal dari cerita Trian. “Itu Aiden hubungin pihak agensi pake nama asli atau gimana? Terus akuin Kalani sebagai adiknya nggak? Kalau iya, kok bisa agensi mau tutup mulut?”

“Karena ada uang kompensasi, Eila. Uangnya tetep dikasih juga setelah Kalani kepilih. Makanya agensi mau-mau aja tutup mulut. Tahulah orang sekarang kalau udah berhadapan sama uang gimana. Udah ngiler duluan.”

Butuh kesabaran seluas lautan untuk menerima bongkaran aib yang amat besar dan Eila tidak memilikinya. Sebab padamnya wajah sang puan dan dadanya yang naik turun bukan pertanda bagus. Eila bukan korban utama, tapi dia adalah orang terdekat korban utama yang kehidupannya terancam.

Jelas Eila tidak rela, tapi tidak memiliki banyak kuasa untuk berbuat apa-apa. Alhasil sebisa mungkin Eila redam segala emosi negatif yang merambat naik hingga ke ubun-ubun, karena meledak pun terasa percuma jika tidak ada aksi nyata berupa serangan. Paham adiknya tidak baik-baik saja, Trian rangkul untuk menenangkannya.

“Sebelum tahu ini ulah Samuti Rakha, aku sama Jibran udah mau cerita ke kamu, terus bikin skenario seakan-akan kalian putus. Tapi udah keduluan sama kamu yang minta putus.”

Sesal mulai dirasa yang langsung diketahui oleh Trian saat adiknya menunduk akibat bersalah.

“Menurut aku tindakan kamu nggak sepenuhnya salah. Kalau putusnya pura-pura, orang-orang belum tentu yakin dan bisa aja gosip buruk soal Jibran tetep nyebar. Efek negatifnya kalian jadi galau beneran. Apalagi Jibran yang harus pura-pura depan banyak orang tiap syuting. Kalaupun orangnya bukan Kalani sama Pak Rakha, Jibran bakal tetep lawan orang yang udah jodohin dia sama anaknya. Bukan karena sayang kamu aja, tapi Jibran nggak mau hidupnya diatur-atur kayak anak kecil.”

Soal yang satu itu, Eila percaya Jibran tidak mungkin diam saja karena sejak awal perjodohannya dilakukan secara sepihak. Namun, situasi ini makin rumit saat melibatkan orang-orang yang berkuasa di industri hiburan. Jika Jibran mau beraksi, maka lawannya tidak akan menyerah.

Jika dia terpaksa menerima dijodohkan pun belum tentu benar, sebab hidup Jibran tidak mungkin bahagia. Untuk sekarang semuanya jadi serba salah dan satu tindakan gegabah dapat merugikan banyak pihak. Eila, Jibran, dan orang tua Jibran yang tidak akan luput dari cemoohan.

“Aku nggak mau bikin kalian optimis banget, tapi kalau emang jodoh, nggak ada salahnya berusaha. Kalian udah misah lumayan lama, boleh banget ketemu dulu dan nentuin ke depannya gimana. Kalau kamu tetep nggak mau ikut usaha, Jibran pasti nggak maksa. Tapi ruginya, kalian harus sama-sama kehilangan.”

“Mending gini aja sih, Kak. Tanpa ketemu dan udah pasti nggak ada perjuangan buat sama-sama.”

Trian menggeleng tidak setuju dengan gagasan itu. “Kamu udah tahu faktanya gimana, jadi mendingan ketemu dulu dan mutusin ke depannya harus apa. Aku yakin kamu sebenernya nggak mau diam aja setelah tahu aslinya kayak apa. Jadi, daripada kalian sama-sama ngebatin terus, mendingan ketemu sekali aja biar ada kejelasan.”

Trian benar. Dari lisan, keduanya boleh sudah putus. Sedangkan untuk urusan hati, Jibran dan Eila masih terikat erat meski jarak memisahkan. Eila tarik sebanyak mungkin oksigen untuk bernapas dengan serakah akibat sesak yang menyiksa. Tidak terlalu membantu, tapi setidaknya lebih baik daripada menerima nyeri yang menyiksa pada tubuh. Eila angkat wajahnya dan memandang Trian dengan sisa tenaga yang dia miliki. Eila boleh hanya diam, tapi rasanya lelah diserang bertubi-tubi oleh kenyataan pahit yang dihadapi Jibran.

“Gimana keadaan Jibran sekarang, Kak?”

“Jibran lagi sakit di rumahnya. Kamu nggak mau jenguk?”

Satu minggu berlalu sejak syuting berakhir, jadi Jibran punya banyak waktu luang istirahat. Terlebih dia sudah lepas dari Punch, maka jadwal syuting yang ia miliki sudah tidak ada. Meski begitu, hari ini Jibran tidak bisa asal santai sebab Kalani mengajaknya untuk makan siang bersama. Tentu saja ini masuk dalam rencana yang dibuat untuk menarik perhatian netizen agar banyak spekulasi bahwa Jibran dan Kalani terlibat cinta lokasi.

Saking niatnya, Kalani mengajak Jibran makan di tempat yang terbilang sederhana dengan banyak pengunjung; restoran fast food dengan logo huruf M berwarna kuningnya di bilangan Jakarta Pusat yang menjadi kesukaan banyak orang dan selalu ramai. Tempat yang cocok untuk membuat mereka terlihat seperti pasangan sederhana tanpa ingin menutup-nutupi hubungan. Well, rencana ini sangat berhasil. Sebab saat Jibran dan Kalani baru turun dari mobil saja, semua mata memandang mereka dengan penuh minat.

Sampai mereka masuk ke restoran, tidak ada yang melepaskan pandang seakan ingin tahu ada apa antara aktor dan aktris yang baru menyelesaikan filmnya. Jibran dan Kalani mengantre seperti orang pada umumnya, tapi tetap memilih spot yang sedikit jauh dari orang-orang dan strategis agar aktivitas makan mereka bisa disaksikan.

“Selama syuting aku harus jaga makan, tapi kata Papa aku boleh makan apa aja karena lagi nggak ada schedule lagi sampai awal tahun. Makanya aku ajak kamu ke sini.”

Jibran yang memandang jalanan kota dari lantai dua lantas menaruh atensinya pada Kalani. “Aku juga,” balas Jibran seraya membuka satu burger yang masih dibungkus. “Tapi ke depannya bisa lebih bebas makan sampai promosi dimulai. Aku nggak ada syuting lagi.”

“Oh, iya.” Kalani menyadari sesuatu. “Kamu harus jaga pola makan walaupun udah keluar dari Punch. Sesekali makan gini nggak apa-apa buat kepuasan lidah, tapi seterusnya harus sehat.”

Seandainya tidak ingat Kalani ini orang yang licik, Jibran akan senang mendengar bentuk perhatiannya. Sayang, bentuk perhatian dari Kalani tidak menyenangkan di telinga dan membuat Jibran ingin buru-buru kabur dari hadapannya.

Sekitar sepuluh menit, Jibran dan Kalani sibuk dengan makan siang masing-masing. Tentunya harus sabar saat banyak orang yang memberi jarak, tapi sibuk dengan ponsel masing-masing untuk mengabadikan momen dua orang itu. Drama yang dinantikan publik akhirnya dimulai, maka Jibran harus banyak sabar agar tidak berulah sebelum waktunya.

“Jibran, boleh aku ngakuin sesuatu?” tanya Kalani setelah memastikan jarak antara mereka dan netizen yang mengamati cukup aman, jadi tidak akan mendengar percakapan mereka secara pribadi.

Jibran mengangguk selagi meminum ice coffee-nya sebagai izin, lalu menajamkan rungu untuk mendengarkan pengakuan dari Kalani.

“Awalnya aku mau sama kamu demi naikin nama aja. Aku juga tertarik sama kamu karena dari muka udah ganteng banget, makanya aku nggak bisa nolak.” Kalani tertawa untuk menjeda, lalu tak lama melanjutkan, “Tapi setelah kita mulai syuting dan lihat gimana kamu selama di lokasi, aku jadi tahu kamu sebaik itu sama banyak orang. Aku juga terbiasa sama kamu karena hampir setiap hari ketemu. Sampai akhirnya aku sadar udah suka sama kamu dan bener-bener mau lanjutin perjodohan ini sampai kita bisa nikah. Di awal kita ketemu sebagai orang yang dijodohin, aku orangnya nyebelin banget, ya? Tapi setelah ini aku janji nggak akan jadi nyebelin. Aku bakal berusaha jadi calon istri yang baik supaya kita cocok setelah nikah nanti.”

Pengakuan tidak terduga itu membuat Jibran hanyut dalam kata-kata tulus yang diutarakan Kalani bersamaan senyum untuk menambah kesan manis. Jibran hanya hanyut sementara, sebab ia kembali bangkit ke realitas dan tidak bisa menganggap Kalani berbeda dari biasanya.

Baginya, Kalani dan keluarganya tetap menjadi penyebab besar dia dan Eila harus berpisah. Kalani juga yang sejak awal mempermainkan Jibran yang dibantu anggota keluarganya. Maka sesuka apa pun Kalani padanya, Jibran tetap tidak akan menerima. Sebaik apa pun Kalani sekarang, caranya yang licik tetap tidak dimaafkan.

Hari ini syuting terakhir dan selesai lebih cepat karena hanya mengambil beberapa adegan dari pagi hingga siang hari. Di setiap syuting terakhir pasti semua staf, aktor, dan aktris akan saling memuji satu sama lain serta membagikan kesan pesan selama syuting. Para aktor dan aktris juga diberikan satu bucket bunga sebagai kenang-kenangan, lalu sesi foto dilakukan untuk mengabadikan hari yang paling dinanti dan juga menyedihkan.

Saking sedihnya, Kalani sampai menangis karena sudah menganggap semua staf yang ada seperti keluarganya. Jibran juga sedih dan pasti akan merindukan suasana syuting yang selalu ramai dan hangat layaknya keluarga besar, tapi ia mencoba stay cool berada di tengah-tengah suasana haru.

Sebab di saat para staf memujinya dan Kalani sepanjang syuting film Perfect Wife, hanya ada satu orang yang terus berlalu-lalang di pikiran Jibran tanpa henti. Satu orang yang sudah lama tidak Jibran temui. Satu orang yang ingin Jibran kembali miliki setelah ini. Satu orang yang ingin ia jadikan pemeran utama dalam hidupnya lagi.

Ardania Eila Mahadarsa.

Saat sang pemilik nama terus berkeliaran tiada akhir, Kalani tiba-tiba muncul begitu Jibran selesai mengobrol dengan salah satu staf yang selalu memujinya. Kalani tersenyum lebar dengan mata merah habis menangis, membuat Jibran harus tetap memasang ekspresi datar untuk tidak meledeknya sebab dia terlalu sensitif berhadapan dengan Kalani di luar syuting begini. Tiba-tiba Kalani memeluk Jibran erat dan kembali menumpahkan air matanya, hingga seluruh staf yang hadir bersiul dan menyahuti mereka dengan senyum lebar.

Seandainya tidak ada permainan di balik film ini, Jibran akan menyingkirkan Kalani dan pergi secepat mungkin dari penjara yang mengurung kewarasannya. Namun, untuk sekarang Jibran memilih mengikuti permainan Kalani dan orang-orang yang menjadi perisainya. Jibran balas dekapan Kalani dan mengelus surai legam panjang itu, bahkan mau tersenyum dengan mata berkaca-kaca seakan dia ikut merasakan kesedihan Kalani.

Jika penghargaan aktor terbaik bisa ia dapatkan sekarang, Jibran akan sangat bangga bisa memainkan perannya dengan baik di hadapan para musuh. Para staf jelas makin heboh dan menyoraki mereka dengan mata berbinar. Beberapa sudah bergosip ria melihat kedekatan Jibran dan Kalani yang terasa spesial. Jibran sudah siap bila nantinya ada kabar baru terkait dirinya dan Kalani, sebab semua itu sudah menjadi rencana yang akan Jibran hancurkan secepat mungkin.

“Aku bakal kangen syuting sama kamu, Jibran,” ucap Kalani dengan suara sedikit lantang agar orang-orang mendengarnya.

Jibran paham Kalani tengah memancingnya, maka ia menerima umpan dengan baik. Terlebih saat Samuti Rakha berdiri tak jauh dari posisi mereka, mengamati Jibran untuk memastikan dia mengiktui deretan drama yang dibuat.

“Aku juga pasti kangen, Kalani. Makasih atas kerja kerasnya beberapa bulan terakhir ini, ya.”