Memori yang Tersisa

Sesuai yang diperintahkan sang kakak, Eila dan Natta pergi ke lokasi syuting untuk mengantarkan croffle sebanyak 300 pcs. Tentu mereka tidak lupa untuk mengenakan topi dan masker agar tidak mencolok, terlebih Eila tidak mau Jibran tahu kehadirannya. Lokasi syuting kali ini berada di rumah yang menjadi set kediaman Jeremy. Setibanya di lokasi, Eila dan Natta langsung disambut oleh pihak konsumsi bernama Fitri yang membantu mereka membawakan croffle ke area buffet yang sudah tersaji aneka makanan untuk istirahat makan siang.
“Kalian ikut makan dulu aja pas udah masuk istirahat. Harusnya sih sekarang udah istirahat, tapi Jibran sama Kalani belum selesai adegan ini.”
Fitri menceritakan sesuatu yang tidak penting saat Eila dan Natta menyusun croffle di atas meja. Eila berusaha cuek, lain dengan Natta yang mengidolakan Jibran dan ingin tahu adegan apa yang sampai jam makan siang saja belum selesai diambil.
“Emang adegan apa, Mbak?” tanya Natta di balik masker.
“Adegan ciuman, Mas,” jawab Fitri dengan semangat. “Mas Jibran kurang fokus pas mulai syuting adegan itu, makanya harus berkali-kali diambil. Grogi kali ya mau ciuman sama cewek secantik Mbak Kalani.”
Eila tersenyum kecut di balik masker. Bukan karena cemburu, tapi karena lucu sampai ia harus menahan tawa agar tidak terkesan meledek Jibran. Ternyata waktunya tiba juga di mana Jibran akhirnya melakukan adegan ciuman dengan Kalani. Ada sedikit rasa ingin tahu bagaimana Jibran melakukan adegan ciumannya. Apakah baik atau buruk.
Namun, berdasarkan cerita Fitri, Eila sudah menebak prosesnya tidak terlalu baik. Antara Jibran yang terlalu gugup karena harus berciuman dengan lawan mainnya sambil dilihat oleh banyak orang, atau mungkin … dia tidak menyukai adegan itu. Dugaan yang terakhir berusaha Eila tepis, tapi bisa saja itu yang terjadi.
“Mau lihat nggak? Syutingnya belum selesai. Kita berdiri di belakang staf aja, masih kelihatan.”
“Mau, dong.”
Natta malah menerima ajakan Fitri setelah croffle selesai disusun, lalu pergi tanpa meminta pendapat Eila yang ogah-ogahan datang. Karena tidak mau pergi sendiri, akhirnya Eila memilih ikut menonton proses syuting yang lokasinya ada di lantai dua, tepatnya di ruang keluarga. Di lantai dua sangat ramai oleh staf. Ada Trian juga, tapi Natta dan Eila tidak menyapa agar kehadiran mereka tetap tidak disadari.
Eila berdiri di dekat tangga, cukup jauh dari lokasi, tapi masih terlihat jelas semuanya terjadi. Selagi rambutnya dirapikan oleh penata gaya, Jibran diarahkan oleh sang sutradara yang terlihat lelah karena adegan ciuman tidak kunjung memuaskan. Eila bisa melihat rahang Jibran yang mengeras, menahan mati-matian emosinya yang sudah ingin meledak antara tidak sabar dan lelah.
Setelah sutradara dan penata gaya kembali ke tempat masing-masing, Jibran dan Kalani mulai mengambil posisi berhadapan. Jibran melingkarkan lengannya pada pinggang Kalani, sedangkan sebelah tangannya menangkup pipi itu.
“Action!”
Begitu aba-aba berkumandang, Jibran mengubah ekspresi masamnya menjadi semanis mungkin. Perubahan cepat itu jelas membuat Eila takjub karena Jibran begitu profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai aktor. Tidak peduli sepelik apa masalah yang terjadi, Jibran menunjukkan akting terbaiknya meski tidak bisa total untuk adegan ini. Setelah mengucapkan dialog yang romantis, wajah Jibran mendekat hingga bibirnya menyentuh bibir Kalani, menciumnya di depan banyak orang yang gugup kala melihatnya.
Eila sama gugupnya, karena ia kembali diingatkan pada momen ciuman pertamanya dengan Jibran. Momen manis yang hanya bisa dikenang tanpa mampu kembali dimiliki. Momen manis yang mungkin ke depannya akan menjadi milik orang lain dan siapa tahu dia adalah Kalani. Dari posisinya, Eila bisa melihat Jibran mencium Kalani dengan hati-hati dan penuh rasa. Sang aktor dan sang aktris memejamkan mata untuk menikmatinya, membuat siapa pun yang menonton semangat menyaksikannya.
Jujur, Eila sesak melihat adegan yang tidak menyenangkan itu. Sampai-sampai Natta yang ada di depannya menoleh dan memastikan Eila tidak apa-apa saat melihatnya. Katakanlah Eila cemburu, tapi ia berusaha meredam rasa negatif itu karena tidak berhak untuk mengalaminya.
Begitu sutradara berseru, “Cut!” Jibran langsung menarik bibirnya dan menjauhi Kalani seakan enggan terlalu lama berdekatan dengannya.
Lain sekali dengan Kalani yang tersenyum malu, terlebih saat staf memberi tepuk tangan lega karena adegan paling sulit itu berakhir, Jibran tampak tidak semangat dan hanya tersenyum tipis tanpa merasakan antusias yang sama. Setelah sutradara menyuruh semuanya untuk istirahat, Jibran duduk di sofa dan dihampiri oleh Trian yang memberikannya minum.
Para staf yang senang mulai berisik dan memuji chemistry kedua pemeran utama, tentunya ada pula yang mengeluh karena satu adegan itu memakan waktu yang cukup lama. Di saat orang banyak yang bercakap-cakap dan beberapa turun untuk makan, Eila hanya fokus pada Jibran yang terlihat sedih tapi berusaha ditutupi.
Di sisi lain, Jibran merasa terbebani dengan adegan itu. Bukannya karena dia kesal pada Kalani setelah kabar viral beberapa waktu lalu, tapi karena setiap adegan ciuman dilakukan, Jibran selalu memikirkan Eila yang berakhir tidak fokus akibat terlalu sedih. Perasaan itu yang membuat durasi pengambilan gambar jadi lebih lama dan tenaga Jibran jadi terkuras lebih banyak.
“Nih, hape kamu. Biar agak semangat.” Trian menyerahkan ponsel Jibran pada pemiliknya yang sejak tadi ada di tangan sang manajer. “Aku tunggu kamu di bawah, ya. Wajib makan. Tadi Natta chat croffle Eila udah di bawah.”
Jibran mendongak menatap Trian yang berdiri di hadapannya. “Dianya ada?”
“Ada,” Trian melihat-lihat sekitar, “tapi pasti udah pulang.”
Ah, benar. Eila tidak mungkin lama-lama di lokasi syuting. Terlalu riskan dan dia pasti enggan bertemu Jibran. Tak lama setelah topik singkat soal Eila selesai dan Trian turun lebih dulu, ponsel Jibran berbunyi pertanda ada pesan masuk. Matanya membulat sempurna ketika melihat pesan masuk dari perempuan yang baru saja dibahas, lalu segera Jibran buka saat ada pesan lain. Ada tiga stiker yang dikirim dan momennya begitu pas saat suasana hati Jibran tidak terlalu baik.
Saat suasana hatinya mulai membaik berkat pesan itu, Jibran lantas berdiri dan turun ke lantai satu karena intuisinya berkata bahwa Eila tadi hadir menyaksikannya. Di lantai satu ramai oleh staf yang sedang makan. Saat Jibran memindai ke sana kemari untuk mencari jejak Eila, hasilnya justru nihil. Tidak puas, Jibran pergi ke arah pintu yang terbuka lebar.
Di sanalah Jibran melihat dua orang berjalan beriringan menjauhi lokasi syuting. Topi hitam dan jaket navy menjadi yang paling mencolok di mata Jibran, karena dia tahu itu adalah Eila bersama Natta di sampingnya. Jika dugaannya benar, maka Eila melihat Jibran saat syuting adegan ciuman dan tahu bahwa setelahnya perasaan sang aktor berubah kacau.
Jejak Eila dan Natta sudah hilang, tapi Jibran masih terus memandang ke jalanan yang dipijaki oleh mereka. Seandainya berani, Jibran ingin menyusul sebelum Eila jauh. Sayang, untuk saat ini Jibran harus menahan diri, karena rencana yang dia buat harus sesuai waktunya.
Eila, tolong sabar. Setelah ini kita sama-sama lagi. Aku janji.








