hanyabualan

Sesuai yang diperintahkan sang kakak, Eila dan Natta pergi ke lokasi syuting untuk mengantarkan croffle sebanyak 300 pcs. Tentu mereka tidak lupa untuk mengenakan topi dan masker agar tidak mencolok, terlebih Eila tidak mau Jibran tahu kehadirannya. Lokasi syuting kali ini berada di rumah yang menjadi set kediaman Jeremy. Setibanya di lokasi, Eila dan Natta langsung disambut oleh pihak konsumsi bernama Fitri yang membantu mereka membawakan croffle ke area buffet yang sudah tersaji aneka makanan untuk istirahat makan siang.

“Kalian ikut makan dulu aja pas udah masuk istirahat. Harusnya sih sekarang udah istirahat, tapi Jibran sama Kalani belum selesai adegan ini.”

Fitri menceritakan sesuatu yang tidak penting saat Eila dan Natta menyusun croffle di atas meja. Eila berusaha cuek, lain dengan Natta yang mengidolakan Jibran dan ingin tahu adegan apa yang sampai jam makan siang saja belum selesai diambil.

“Emang adegan apa, Mbak?” tanya Natta di balik masker.

“Adegan ciuman, Mas,” jawab Fitri dengan semangat. “Mas Jibran kurang fokus pas mulai syuting adegan itu, makanya harus berkali-kali diambil. Grogi kali ya mau ciuman sama cewek secantik Mbak Kalani.”

Eila tersenyum kecut di balik masker. Bukan karena cemburu, tapi karena lucu sampai ia harus menahan tawa agar tidak terkesan meledek Jibran. Ternyata waktunya tiba juga di mana Jibran akhirnya melakukan adegan ciuman dengan Kalani. Ada sedikit rasa ingin tahu bagaimana Jibran melakukan adegan ciumannya. Apakah baik atau buruk.

Namun, berdasarkan cerita Fitri, Eila sudah menebak prosesnya tidak terlalu baik. Antara Jibran yang terlalu gugup karena harus berciuman dengan lawan mainnya sambil dilihat oleh banyak orang, atau mungkin … dia tidak menyukai adegan itu. Dugaan yang terakhir berusaha Eila tepis, tapi bisa saja itu yang terjadi.

“Mau lihat nggak? Syutingnya belum selesai. Kita berdiri di belakang staf aja, masih kelihatan.”

“Mau, dong.”

Natta malah menerima ajakan Fitri setelah croffle selesai disusun, lalu pergi tanpa meminta pendapat Eila yang ogah-ogahan datang. Karena tidak mau pergi sendiri, akhirnya Eila memilih ikut menonton proses syuting yang lokasinya ada di lantai dua, tepatnya di ruang keluarga. Di lantai dua sangat ramai oleh staf. Ada Trian juga, tapi Natta dan Eila tidak menyapa agar kehadiran mereka tetap tidak disadari.

Eila berdiri di dekat tangga, cukup jauh dari lokasi, tapi masih terlihat jelas semuanya terjadi. Selagi rambutnya dirapikan oleh penata gaya, Jibran diarahkan oleh sang sutradara yang terlihat lelah karena adegan ciuman tidak kunjung memuaskan. Eila bisa melihat rahang Jibran yang mengeras, menahan mati-matian emosinya yang sudah ingin meledak antara tidak sabar dan lelah.

Setelah sutradara dan penata gaya kembali ke tempat masing-masing, Jibran dan Kalani mulai mengambil posisi berhadapan. Jibran melingkarkan lengannya pada pinggang Kalani, sedangkan sebelah tangannya menangkup pipi itu.

“Action!”

Begitu aba-aba berkumandang, Jibran mengubah ekspresi masamnya menjadi semanis mungkin. Perubahan cepat itu jelas membuat Eila takjub karena Jibran begitu profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai aktor. Tidak peduli sepelik apa masalah yang terjadi, Jibran menunjukkan akting terbaiknya meski tidak bisa total untuk adegan ini. Setelah mengucapkan dialog yang romantis, wajah Jibran mendekat hingga bibirnya menyentuh bibir Kalani, menciumnya di depan banyak orang yang gugup kala melihatnya.

Eila sama gugupnya, karena ia kembali diingatkan pada momen ciuman pertamanya dengan Jibran. Momen manis yang hanya bisa dikenang tanpa mampu kembali dimiliki. Momen manis yang mungkin ke depannya akan menjadi milik orang lain dan siapa tahu dia adalah Kalani. Dari posisinya, Eila bisa melihat Jibran mencium Kalani dengan hati-hati dan penuh rasa. Sang aktor dan sang aktris memejamkan mata untuk menikmatinya, membuat siapa pun yang menonton semangat menyaksikannya.

Jujur, Eila sesak melihat adegan yang tidak menyenangkan itu. Sampai-sampai Natta yang ada di depannya menoleh dan memastikan Eila tidak apa-apa saat melihatnya. Katakanlah Eila cemburu, tapi ia berusaha meredam rasa negatif itu karena tidak berhak untuk mengalaminya.

Begitu sutradara berseru, “Cut!” Jibran langsung menarik bibirnya dan menjauhi Kalani seakan enggan terlalu lama berdekatan dengannya.

Lain sekali dengan Kalani yang tersenyum malu, terlebih saat staf memberi tepuk tangan lega karena adegan paling sulit itu berakhir, Jibran tampak tidak semangat dan hanya tersenyum tipis tanpa merasakan antusias yang sama. Setelah sutradara menyuruh semuanya untuk istirahat, Jibran duduk di sofa dan dihampiri oleh Trian yang memberikannya minum.

Para staf yang senang mulai berisik dan memuji chemistry kedua pemeran utama, tentunya ada pula yang mengeluh karena satu adegan itu memakan waktu yang cukup lama. Di saat orang banyak yang bercakap-cakap dan beberapa turun untuk makan, Eila hanya fokus pada Jibran yang terlihat sedih tapi berusaha ditutupi.

Di sisi lain, Jibran merasa terbebani dengan adegan itu. Bukannya karena dia kesal pada Kalani setelah kabar viral beberapa waktu lalu, tapi karena setiap adegan ciuman dilakukan, Jibran selalu memikirkan Eila yang berakhir tidak fokus akibat terlalu sedih. Perasaan itu yang membuat durasi pengambilan gambar jadi lebih lama dan tenaga Jibran jadi terkuras lebih banyak.

“Nih, hape kamu. Biar agak semangat.” Trian menyerahkan ponsel Jibran pada pemiliknya yang sejak tadi ada di tangan sang manajer. “Aku tunggu kamu di bawah, ya. Wajib makan. Tadi Natta chat croffle Eila udah di bawah.”

Jibran mendongak menatap Trian yang berdiri di hadapannya. “Dianya ada?”

“Ada,” Trian melihat-lihat sekitar, “tapi pasti udah pulang.”

Ah, benar. Eila tidak mungkin lama-lama di lokasi syuting. Terlalu riskan dan dia pasti enggan bertemu Jibran. Tak lama setelah topik singkat soal Eila selesai dan Trian turun lebih dulu, ponsel Jibran berbunyi pertanda ada pesan masuk. Matanya membulat sempurna ketika melihat pesan masuk dari perempuan yang baru saja dibahas, lalu segera Jibran buka saat ada pesan lain. Ada tiga stiker yang dikirim dan momennya begitu pas saat suasana hati Jibran tidak terlalu baik.

Saat suasana hatinya mulai membaik berkat pesan itu, Jibran lantas berdiri dan turun ke lantai satu karena intuisinya berkata bahwa Eila tadi hadir menyaksikannya. Di lantai satu ramai oleh staf yang sedang makan. Saat Jibran memindai ke sana kemari untuk mencari jejak Eila, hasilnya justru nihil. Tidak puas, Jibran pergi ke arah pintu yang terbuka lebar.

Di sanalah Jibran melihat dua orang berjalan beriringan menjauhi lokasi syuting. Topi hitam dan jaket navy menjadi yang paling mencolok di mata Jibran, karena dia tahu itu adalah Eila bersama Natta di sampingnya. Jika dugaannya benar, maka Eila melihat Jibran saat syuting adegan ciuman dan tahu bahwa setelahnya perasaan sang aktor berubah kacau.

Jejak Eila dan Natta sudah hilang, tapi Jibran masih terus memandang ke jalanan yang dipijaki oleh mereka. Seandainya berani, Jibran ingin menyusul sebelum Eila jauh. Sayang, untuk saat ini Jibran harus menahan diri, karena rencana yang dia buat harus sesuai waktunya.

Eila, tolong sabar. Setelah ini kita sama-sama lagi. Aku janji.

“Ini … kamu mau ke mana dulu?”

Jibran bertanya dengan nada panik kala ia menyetir dan diarahkan oleh Kalani menuju suatu tempat. Jibran panik bukan karena dia akan dibawa ke tempat aneh, melainkan dia familier dengan jalanan yang sudah beberapa kali dikunjungi. Jibran tidak ingin curiga, tapi makin jauh perjalanan, makin dekat juga ke tujuan yang ia kenal menuju rumah Eila berada.

Kalani tidak mungkin mengajaknya ke rumah Eila dan membuat drama aneh, ‘kan?

“Aku mau ambil croffle dulu. Manajer aku nggak bisa, jadi sekalian aja. Crofflenya buat dimakan di tempat aku latihan, dibagi-bagi sama orang sana.”

“Croffle?”

Jibran pura-pura tidak tahu, padahal di kepalanya sudah terbayang bahwa yang dimaksud adalah croffle yang dipesan di tempat Eila.

“Inget nggak croffle yang kamu bagi-bagiin ke staf? Nah, itu enak banget. Makanya aku pesen lagi. Terus sekalian aja aku ambil sebelum ke tempat latihan. Enggak masalah, ‘kan?”

Jibran mengangguk ragu, pertanda bahwa sebenarnya ini adalah masalah besar jika Kalani dan Eila sampai bertemu. Jibran harap Eila tidak di rumah, jadi pesanan diberikan oleh Natta saja. Well, Jibran meragukan itu terjadi, tapi tidak ada salahnya untuk berharap.

Mobil Jibran sudah berhenti di depan gerbang kediaman pacar—maksudnya mantan pacarnya. Masih sama seperti yang terakhir Jibran kunjungi, tapi rasanya aneh karena kali ini dia datang bukan sengaja untuk mengunjungi Eila, melainkan untuk mengantar Kalani mengambil pesanannya.

“Ayo, turun,” ajak Kalani seraya melepas seatbelt.

“Aku di sini aja,” tolak Jibran karena tidak mampu bertemu Eila.

“Aku nggak enak biarin kamu nunggu. Kesannya kayak kamu jadi supir doang. Ikut aja, ya. Bentar, kok.”

Jibran amati rumah Eila dengan pandangan nanar, sampai akhirnya ia melepas seatbelt dan keluar lebih dulu yang membuat Kalani tersenyum senang. Kalani berjalan di depan dengan percaya diri, lain dengan Jibran yang langkahnya penuh ketakutan karena dia akan bertemu Eila bersama orang luar—pasangannya di film dan orang yang akan dijodohkannya. Jibran penasaran seperti apa reaksi Eila.

Terkejut? Sedih? Marah? Cemburu? Bingung? Well, apa pun reaksinya, Jibran yakin Eila bisa mengatasinya dengan tenang. Mereka masuk ke toko dan memencet bel yang ada di atas etalase sebagai penanda kehadiran pelanggan. Jibran berdiri di dekat pintu, sengaja agar dia bisa bergegas kabur jika pertemuan yang tidak biasa ini sudah selesai.

Tak lama kemudian Eila masuk ke toko dengan senyum yang lebar. Namun, senyum itu hanya bertahan beberapa saat yang akhirnya luntur kala melihat siapa pelanggannya. Jelas Jibran paham arti reaksi itu, ketidaknyamanan yang ditimbulkan akibat kehadirannya dengan Kalani. Beruntung, Eila bisa mengendalikan situasi dengan baik. Eila kembali tersenyum dan menyapa dua pelanggannya yang bukan orang biasa.

“Halo. Selamat datang di Sweet Crown. Pesanan atas nama siapa?” sapa Eila setenang mungkin.

“Hai, waktu itu saya pesan atas nama manajer saya, Bia. Croffle lima puluh pcs tanpa topping.”

Pesanan itu membuat hati Eila panas karena kebetulan ini sama sekali tidak menyenangkan. Rupanya itu milik Kalani. Eila tidak cemburu, karena dia tidak berhak merasakan itu. Hanya tidak suka dengan pertemuan aneh bersama sang mantan yang kali ini untuk mengantarkan pasangannya dalam film mengambil pesanan.

Apa pun alasannya, Eila tetap harus profesional dengan memberikan pelayanan terbaiknya. Salah satu usaha agar Eila bisa mengendalikan diri adalah dengan menghindari adu tatap dengan Jibran. Eila berjalan menuju etalase di mana pesanan Kalani sudah disiapkan oleh Natta. Ia mengambil lima box croffle dengan total 50 pcs, lalu dimasukkan ke totebag warna putih berlogokan Sweet Crown di bagian tengah.

“Pembayaran sudah lunas, ya. Terima kasih sudah pesan di Sweet Crown,” ucap Eila seraya menyerahkan pesanan Kalani pada sang pemilik.

Biasanya Eila akan menambahkan kalimat, ‘Silakan order lagi’ pada setiap pelanggan. Sedangkan kali ini, Eila tidak mau banyak basa-basi agar Kalani tidak memesan croffle di tempatnya lagi dan bergegas pergi dengan Jibran.

Sang aktor tak pernah melepaskan pandang dari Eila yang pura-pura tidak mengenalnya. Rindu, marah, dan sedih bercampur menjadi satu dan mengacaukan segala situasi yang ada saat ini. Seandainya mereka bertemu di momen yang tepat, Jibran tidak akan ragu menabur senyum dan menceritakan banyak hal pada Eila, tentunya masih dengan pertahanan diri mengingat kini hubungan mereka berbeda.

Sedangkan sekarang Jibran hanya bisa berdiri kaku di dekat pintu seperti seorang pelayan, bukan aktor kenamaan yang akan disambut heboh. Jibran berharap Eila mau memandangnya sekali saja sebelum pergi, tapi sayangnya itu tidak terjadi hingga Kalani mengucapkan terima kasih dan pamit.

“Makasih juga, ya. Nanti saya order lagi. Permisi.”

Eila tersenyum penuh paksaan saat menanggapi Kalani, melambai seadanya saat wanita itu keluar begitu dibukakan pintu oleh Jibran. Tak mau berurusan terlalu lama, Eila kembali ke rumahnya, mengabaikan presensi Jibran yang diam sejenak demi menatap wanita yang dicintainya, tapi gagal karena dara itu telah menghilang dari pandangan.

Jibran embuskan napas pasrah dan ekspresinya berubah kuyu, setengah takut hubungannya dengan Eila makin memburuk. Jika benar begitu, Jibran tidak bisa diam saja. Setelah urusan ini usai, Jibran tidak boleh melepaskan Eila lagi.

“Kalau kangen bilang aja kali.”

Ponsel di tangan Eila nyaris jatuh dari genggaman ketika Natta tiba-tiba bicara di dekat telinganya, lalu buru-buru dimasukkan ke saku apron bagian depan karena sudah tertangkap basah di sela-sela meggulung adonan croissant. Eila tidak menonton yang aneh-aneh, hanya sedang stalking mantan—alias Jibran Dava Adelard, sang aktor yang tengah sibuk syuting dan hilir mudik di berbagai media.

Natta tertawa setelah berdiri di sisi lain meja untuk membantu kakaknya, puas sekali karena akhirnya dia bisa menangkap basah Eila sedang merindukan aktor tersebut.

“Kak Trian udah cerita alasan kamu putus sama Kak Jibran,” ucap Natta setelah tawanya berhenti. “Jujur, alasan kamu untuk putus itu aneh, karena aku yakin kalian saling cinta. Buktinya kamu stalking akun Twitter Kak Jibran. Kalau bukan kangen, apa lagi coba? Terus kalau beneran alasan kamu minta putus karena ternyata selama ini cuma strategi, kamu nggak mungkin repot-repot stalk mantan. Pasti bodo amat karena udah nggak penting lagi bagi kamu.”

Eila gigit bibirnya, ingin menulikan rungu selagi Natta bicara, tapi gagal karena yang dikatakan adiknya begitu menohok. Bukan karena tebakannya benar saja, sebab dari awal aktingnya hari itu juga menghancurkan hatinya. Maka ketika ada orang yang membahas Jibran di depannya, terlebih orang terdekat, Eila pasti mati-matian menahan tangis. Bukan karena merindu saja, tapi ia juga sedih sudah menyakiti Jibran yang tidak tahu apa-apa.

“Orderan yang mau diambil bentar lagi udah disiapin, ‘kan?” Alih-alih merespons yang Natta katakan, Eila memilih topik lain sambil mulai menggulung adonan lagi.

“Udah rapi banget, Kak. Makanya aku nunggu jawaban kamu, nih.”

Eila tidak langsung bersuara karena masih sibuk dengan tugasnya. Barulah setelah menggulung tiga adonan, Eila menjawab, “Kalau nggak ngalamin kelihatannya gampang ngomong apa-apa, tapi situasi itu nggak sesederhana yang kamu kira, Natta. Lagian mau waktu itu atau nanti, hubungan aku sama Jibran nggak akan berhasil. Dia udah dijodohin sama orang lain, jadi nantinya putus juga.”

Ah, benar. Natta melupakan satu poin yang membuatnya harus menarik kata-katanya tadi. Saking gemasnya dengan hubungan Jibran dan Eila, ia sampai lupa bahwa sang aktor sudah dijodohkan yang jelas tidak bisa dibatalkan secara sembarangan. Natta yang tadinya menghakimi Eila jadi merasa bersalah, sebab kakaknya tidak dalam posisi yang menguntungkan untuk bertahan dalam hubungan yang nantinya akan berakhir juga.

“Tapi ini udah sebulan sejak Kak Jibran mulai syuting. Apa nggak mau buat komunikasi yang baik?”

“Komunikasi aku sama dia baik-baik aja, kok. Cuma jarang dan nggak seharusnya diumbar.”

“Terus kangen, ‘kan?”

“Kang—enggak!”

Eila merengut kesal karena hampir keceplosan. Lain dengan Natta yang malah tertawa mendengar kakaknya hampir jujur. Belum sempat Natta meledek, bunyi bel pertanda ada pelanggan yang datang menerbitkan senyum Eila karena berhasil diselamatkan. Eila melepas apron dan sarung tangannya, lalu bergegas menuju toko untuk menyambut pelanggan yang akan mengambil orderan. Seperti biasa, Eila pasti tersenyum pada konsumennya tanpa peduli perasaan yang tengah kacau.

Namun, kali ini senyumnya tidak bertahan lama. Sebab ketika ia sudah berada di toko dan melihat siapa yang datang, semangatnya luntur dan digantikan dengan perasaan negatif. Alasannya karena pelanggan yang datang hari ini berhasil mencuri rasa bahagia yang berusaha dipertahankan secuil oleh Eila. Orang itu adalah Kalani, aktris yang sedang memerankan karakter Anata Hapsari di film teranyar dan rencananya tayang tahun depan.

Bukan itu saja yang membuat secuil kebahagiaan Eila hilang, karena di belakang Kalani ada pria yang berdiri dengan canggung. Ya, dia Jibran, aktor yang menjadi lawan mainnya dan entah skenario apa yang dibuat hingga mereka bisa datang bersama-sama.

Well, Eila tidak tahu mau peduli skenario apa yang mereka buat, karena dia sudah membuat skenario dadakan di kepala.

Kembali memasang ekspresi ceria untuk memulai akting terbaiknya, Eila menyapa, “Halo. Selamat datang di Sweet Crown. Pesanan atas nama siapa?”

“Tante, ini … mau?”

Gilang menawarkan sepotong keripik kentang pada Eila yang tengah memangkunya. Eila membuka mulutnya, lalu memakan keripik dari tangan keponakannya.

“Enak?”

“Enak banget,” puji Eila. “Makasih.”

Gilang hanya tertawa, lalu kembali menikmati cemilannya yang masih terisi penuh. Saat ini Eila berada di kediaman kakaknya, membantu menjaga Gilang selagi mamanya mengurus sang adik yang baru berusia satu minggu, bersama Trian di kamar bayi. Sudah dua hari Eila menginap, akibatnya dia tidak menerima orderan croffle sampai kondisi keluarga Trian sudah lebih stabil mengurus dua anak.

Belum lagi Trian perlu mengurus Jibran yang sebentar lagi memulai syuting. Jadi waktu untuk istri dan anak sedikit berkurang, membuat Eila dan Natta harus mau membantu agar Thalia tidak kesepian. Omong-omong soal Jibran, Eila tidak pernah sengaja ingin tahu kabarnya, kecuali Jibran yang tiba-tiba memberi kabar atau dari Trian yang melapor secara sukarela.

Eila juga jarang membuka media sosial, terlebih Twitter tempat ia mempromosikan usahanya. Alhasil dia pun tidak tahu bagaimana kabar terkini soal film terbaru Jibran.

“Kak Jibran langsung masuk kamar anak mereka aja, nggak apa-apa. Tadi Kak Trian sendiri yang nyuruh.”

Tunggu! Jibran? Eila dengan sigap memeluk Gilang dan melihat ke sana kemari ketika mendengar suara Natta yang menyebut-nyebut nama Jibran. Seingat Eila, Natta tengah pergi membeli cemilan ke minimarket terdekat. Jika benar dia sudah pulang dan nama Jibran dibawa, apa mungkin aktor itu ikut dengannya?

Kalau iya, Eila panik bukan main sampai mencari perlindungan dengan memeluk Gilang yang keheranan. Untungnya Gilang tidak bertanya apa-apa, meski aneh karena dipeluk tanpa aba-aba.

“Kak Thalia sama Kak Trian di kamar, ‘kan? Ini Kak Jibran mau jenguk.”

Eila spontan berdiri ketika Natta menghampirinya di ruang tengah. Tentu bukan kedatangan Natta yang membuat Eila sampai meluruskan kaki dengan tangan yang kini menggendong Gilang, melainkan ada tamu lain yang dibawa Natta dengan sebuah bingkisan berwarna merah muda di tangan kanannya.

Eila menggigit pipi bagian dalamnya, mati-matian menahan ekspresi agar tidak terkejut, apalagi terlihat seperti orang merindu. Lain sekali dengan Jibran yang matanya jelas berbinar, tapi tetap menahan diri untuk tidak melayangkan kata rindu yang sudah di ujung lidah.

“Ada,” jawab Eila singkat. “Aku nggak tahu kamu mau ke sini,” tambah Eila yang kali ini ditujukan pada Jibran.

Yang dituju mengukir senyum, tak menyangka akan diajak bicara meski ekspresi Eila tidak begitu ramah. “Tadinya mau ngasih tahu, tapi takutnya nggak penting buat kamu.”

Penting banget, Jibran. Ini aku jadi bisa siap-siap biar nggak malu-maluin. Batin Eila boleh bersuara, sedangkan bibirnya terus membisu dan hanya mengangguk sebagai respons. Suasana canggung tidak bisa dilerai, membuat Natta tidak bisa membiarkan Jibran dan Eila terlalu dekat lebih lama. Padahal Natta niatnya ingin menjadi mak comblang dadakan supaya sejoli ini bisa memekarkan rasa yang masih ada, tapi belum apa-apa sudah gagal.

“Yaudah, Kak. Mau aku anterin ke kamar?”

“Boleh,” balas Jibran yang ingin segera pergi, pasalnya berdekatan dengan Eila saat ini bukan pilihan baik.

Setelah Jibran dan Natta ke kamar, Eila baru bisa bernapas lega. Ia kembali duduk dan melepaskan dekapannya dari Gilang. Sang keponakan menatap Eila bingung dengan kepala yang sedikit dimiringkan.

“Tante nggak apa-apa?”

“Enggak apa-apa. Tadi agak panik.”

“Gara-gara Om Jibran?”

“Gilang kenal Om Jibran?”

Gilang mengangguk dengan polosnya. “Iya, pernah ke sini. Tapi Gilang nggak suka.”

“Kenapa?”

“Orangnya jelek. Gantengan Gilang.”

Eila menggigit bibirnya. Ingin sekali tertawa sepuas mungkin, tapi takut dianggap tidak tahu diri. Bisa-bisanya Jibran yang digilai oleh kaum Hawa malah dianggap jelek oleh anak kecil. Yah, sudahlah. Anak kecil sering merasa dirinya yang terbaik, jadi tidak heran bila Gilang tidak menganggap Jibran tampan seperti kebanyakan orang.

Ada sepuluh menit Jibran di kamar bertemu Trian dan Thalia. Gilang sudah menyusul orang tuanya, sedangkan Eila masih di ruang tengah dan sibuk dengan ponsel untuk melihat apakah ada order masuk. Jika ada, Eila terpaksa harus menundanya sampai tiga hari ke depan karena masih belum menerima order. Ditambah lagi Eila sedang tidak mood membuat croffle dan tidak mau memaksakan diri saat mood-nya belum membaik.

“Eila.”

Eila mendongak ketika dipanggil oleh suara yang begitu merdu, lalu berdiri menghadap Jibran yang kali ini menghampirinya seorang diri. Oh, sial. Kalau begini ada baiknya Natta ikut datang atau minimal Gilang, yang penting ada orang lain sebagai pengalih atensi.

Berdua saja dengan Jibran setelah kejadian itu—terlebih ini pertemuan pertama mereka—jelas bukan situasi yang mudah untuk dihadapi. Lain dari sebelumnya, Eila mau memperhatikan penampilan baru Jibran. Rambutnya yang terakhir sedikit gondrong sekarang dipangkas pendek, sengaja untuk mendalami tokoh Jeremy Adinata yang akan diperankannya sebentar lagi. Sialnya, Jibran makin tampan dan membuat Eila nyaris menggila kala melihatnya.

“Aku mau pamit sama kamu.”

Eila manggut-manggut. “Makasih udah datang.”

“Sama mau ngasih tahu filmnya syuting minggu depan. Terus kalau nggak terlalu sibuk, apa boleh aku pesen croffle buat dikasih ke staf pas syuting? Aku order pas kamu nggak sibuk aja, biar nggak ganggu order yang lain. Soalnya kemungkinan aku order lebih dari sekali.”

Sejumput senyum Eila sunggingkan untuk Jibran, sebab secara tidak langsung, pria itu tetap ingin membantunya untuk mempromosikan usahanya, seakan lupa dengan kejadian lalu saat Eila menghancurkan hatinya. Kalau sudah begini, rasanya Eila ingin jujur, tapi tidak mampu karena semuanya sudah telanjur.

“Boleh, nanti aku kabarin kapan luangnya.”

Jibran tersenyum senang, setidaknya mereka bisa memiliki komunikasi langsung yang cukup baik, meski masih kaku seperti yang dibayangkan sang aktor sebelum datang ke rumah manajernya. Mereka kini bergeming di posisi yang belum berubah, saling menatap sebagai pengganti lisan yang terkunci rapat. Keduanya sama-sama merindu, tapi tak mampu untuk mengadu.

Sebab Jibran ingin mengikuti dulu permainan orang-orang yang ingin menjatuhkannya, serta Eila yang sudah jahat terhadap orang yang dicintainya. Tak ingin hanya diam, Jibran mengangkat tangannya yang menarik atensi Eila. Sang dara yang paham membalas dan berjabatan tangan dengan Jibran, sebagai pertanda bahwa hubungan profesional mereka telah usai.

“Makasih udah bantuin aku selama ini, Eila.”

“Aku nggak bantu banyak. Dari awal, kamu udah hebat.”

“Tapi berkat kamu, aku jadi percaya diri untuk mulai syuting.”

“Kalau gitu semoga syutingnya lancar. Kalau butuh saran atau cerita, kamu boleh chat aku.”

Jibran tersenyum makin lebar karena Eila masih mau membuka pintu lebar untuk komunikasi mereka. Di saat jabatan tangan itu masih belum usai, Jibran berjanji pada dirinya sendiri akan menyelesaikan permainan sampai akhir. Setelah itu, dia akan mengembalikan keadaan hingga membaik, termasuk mengembalikan Eila untuk menjadi miliknya lagi.

“Duduk, Jibran. Jangan berdiri lama-lama di situ.”

Suara Mia Yahya memecah lamunan Jibran yang fokus pada Kalani. Wanita itu masih tersenyum, menyiratkan sesuatu antara senang dan kepuasan, seakan tahu bahwa Jibran tidak berdaya dalam jebakan dia bersama beberapa orang yang mendampinginya hari ini. Mata merah Jibran menatap nyalang pada Mia yang memberi kode pada putranya untuk segera duduk, yang jelas membuat sang aktor tidak bisa ke mana-mana karena kelemahannya adalah ibunya. Jibran melanjutkan langkah dengan tidak bersemangat dan banyak pertanyaan di benak, khususnya kenapa ada Samuti Rakha dan Timon.

Oh, tidak. Jibran sudah punya hipotesis dari situasi ini yang perlu dibuktikan. Maka pembuktian akan segera dimulai saat Jibran sudah menjatuhkan diri di kursi, tepatnya di antara Jagad dan Mia. Sedangkan Trian duduk di samping Mia, ikut mempelajari situasi yang ada. Meski sudah terlibat karena dia bekerja sama dengan Mia untuk memastikan Jibran dan Eila putus, Trian tetap tidak tahu banyak hal, termasuk soal siapa yang akan dijodohkan dengan Jibran.

Ketegangan tak bisa dicairkan, terlebih ketika Jibran menatap Timon dengan penghakiman, lalu bergantian pada Samuti Rakha yang lagak ingin menantangnya. Jibran tak sempat menatap Kalani karena Jagad sudah lebih dulu bersuara. Memberi tahu sesuatu yang mulai menjawab situasi buruk ini.

“Nah, karena Jibran udah datang, gimana kalau kita mulai makan malamnya?” ajak Jagad yang berusaha mencairkan suasana, tetapi beliau tahu usahanya gagal karena semuanya fokus pada Jibran yang sedang mempersiapkan taringnya.

Beruntung, ajakan itu tetap direspons baik karena makan malam dimulai tanpa banyak basa-basi. Delapan orang itu makan dengan perasaan yang berbeda. Ada yang antusias, ada yang gugup, ada yang puas, juga kemarahan dari Jibran yang masih ia pendam.

Di tengah makan malam yang hanya diisi oleh suara alat makan, Mia menjeda dan menatap satu per satu orang yang masih sibuk makan, lalu berakhir pada Kalani dan Jibran yang duduk berhadapan.

Mia berdeham, lalu berkata, “Saya tahu kita lagi fokus makan, tapi gimana kalau sambil omongin sesuatu yang udah jadi rencana lama? Supaya makan malamnya nggak tegang.”

Aiden yang sejak tadi sudah menahan diri membalas, “Boleh sekali, Bu. Adik saya juga kelihatan nggak sabar mau cepet bahas hal ini.”

Kalani yang disebut-sebut pipinya langsung merona, membuat Jibran tertawa ketus dan mengundang atensi orang-orang yang hadir. Jibran tak peduli dengan pandangan heran yang ditujukan padanya, karena dia hanya ingin pembuktian atas hipotesis di kepalanya agar pertemuan ini bisa segera berakhir.

“Bu Mia, sebelumnya boleh saya memperkenalkan diri dulu di depan Jibran?” Giliran Samuti Rakha yang mengambil ancang-ancang. “Dia udah kenal saya sebagai sutradara, jadi kali ini saya mau kami saling kenal sebagai sosok lain.”

“Silakan aja, Pak Rakha,” sahut Jagad seraya tersenyum lebar.

Samuti Rakha—yang akrab dipanggil Rakha ini menjatuhkan pandang pada Jibran yang tak berdaya dalam jebakannya. Rakha tersenyum, berlawanan dengan Jibran yang justru memandangnya sengit.

“Jibran, kenalin. Saya Samuti Rakha, papanya Kalani, perempuan yang mau dijodohin sama kamu. Di sebelah Kalani ini ada Timon, dia omnya Kalani, terus di samping Timon ada Aiden, anak sulung saya dan kakaknya Kalani.”

Perkenalan itu membuat Jibran mengetatkan rahang dan mencengkeram garpu di tangan kirinya. Matanya kian nyalang, berwarnakan merah yang jelas tidak ramah untuk dipandang. Namun, tak melunturkan niat keempat—ralat, keenam orang yang sudah membuat rencana sejak lama untuk menjodohkan Kalani dan Jibran. Malah mereka sudah menunggu momen ini hingga akhirnya bisa bertemu pandang.

“Saya teman lama Jagad dan saya orang yang menawarkan perjodohan ini sama orang tua kamu. Setelah saya kasih foto Kalani dan sempat ketemu sama anak saya dua kali, mereka cocok dan akhirnya setuju untuk jodohin kamu sama Kalani.”

Cerita singkat itu membuat kepala Jibran makin mendidih, tinggal menunggu meledak hingga mengeluarkan isinya yang panas dan menyerang siapa pun yang ada di dekatnya. Senyum kepuasan yang ditunjukkan Rakha, ekspresi tak berdosa dari Timon, serta antusias Aiden dan Kalani membuat Jibran muak.

Dia yang seharusnya menahan diri justru gagal membentuk benteng itu. Sebab tangan Jibran sudah mengerahkan seluruh tenaganya, lalu menancapkan garpu pada meja kayu hingga tembus pada lapisannya. Suaranya mengejutkan seisi ruangan, tetapi tidak menggoyahkan niat yang sudah mempermainkan Jibran.

“Sebenernya rencana apa yang kalian buat?” tanya Jibran dengan tangan kiri yang masih mencengkeram garpu. “Apa film Perfect Wife sama audisi berbulan-bulan itu cuma akal-akalan buat jodohin saya?”

Kengerian terpancar ketika ekspresi Jibran menggelap dengan merah di matanya tak luntur. Mia takut, berusaha menenangkan putranya, tapi beliau tahu itu percuma. Jagad yang selama ini terlihat seperti orang yang naif, nyatanya dari awal tahu banyak hal, sama seperti istrinya.

“Jibran, film itu nggak ada sangkut paut sama perjodohan ini. Jadi—”

“Jadi apa?” Jibran menjatuhkan pandang pada Jagad yang berusaha menjelaskan. Dusta, pikir Jibran. Karena tidak mungkin ini sebuah kebetulan semata. “Jangan bohong sama aku, Ayah.”

Fine. Kita bongkar aja,” sahut Aiden ringan. “Lagi pula, Jibran pasti udah nebak dari situasi ini. Sebesar apa pun kita ngebohong, nggak mungkin dia percaya gitu aja.”

“Film itu beneran ada, Jibran.” Rakha secara tidak langsung setuju dengan gagasan Aiden karena ia mulai membeberkan keadaan yang sesungguhnya. “Saya udah nyiapin film Perfect Wife sejak lama untuk anak saya, Kalani, yang jadi inspirasi sosok Anata Hapsari. Jauh sebelum ada perjodohan ini, saya udah latih Kalani untuk berperan sebagai Anata, dandan kayak Anata, karena itu dia sempurna. Setelah perjodohan ini dimulai, saya belum kepikiran untuk jadiin kamu lawan main Kalani. Sampai ketika mama kamu mau batalin perjodohan, saya nggak bisa diam aja dan ancam dia dengan bawa-bawa kamu.”

Jibran mengernyit, menambah kengerian dalam ekspresinya. “Jadi, Anda yang ngasih ide untuk jatuhin karier saya dengan buat kabar hoaks? Anda kerja sama dengan Mister Timon yang diajak sama seseorang untuk bikin kabar itu.”

Rakha tertawa kecil seraya mengangguk. “Kamu bener banget, Jibran. Lewat orang CelebStat, Timon diajak untuk ngasih kabar buruk soal kamu. Sayangnya Timon nggak setuju, kecuali soal perjodohan. Akhirnya saya pake alternatif lain, yaitu nawarin kamu main film ini lewat Timon. Apalagi saya tahu kamu mau keluar dari Punch, dan Timon setuju film itu akan jadi syarat supaya kamu keluar, sedangkan untuk saya iu adalah cara supaya kamu dekat sama Kalani.”

“Jadi, dari awal udah ada kecurangan,” ketus Jibran. “Enggak heran akting dan penampilan dia yang paling baik di antara yang lain.”

“Itu strategi, Jibran. Toh, kamu sendiri yang milih Kalani berdasarkan akting dan performanya. Malah saya sempat takut kamu nggak akan milih Kalani.”

“Tapi itu tetap curang, Pak Rakha. Anda sudah melatih Kalani lebih awal, bikin dia kelihatan kayak Anata Hapsari, yang jelas bikin saya kekecoh. Coba aja Kalani nggak dilatih dari awal, saya nggak yakin dia mampu jadi Anata. Terlebih lagi, saya ragu dia pantas jadi istri saya.”

“Kita pasti cocok, Jibran,” Kalani bersuara dengan penuh percaya diri. “Bahkan penggemar kamu juga berpikir hal sama.”

“Aku nggak pernah mau sama kamu, Kalani. Aku udah nemu orang yang bakal jadi istri.”

“Jibran!” sentak Mia yang sudah gemas dengan cekcok di depannya. “Kamu nggak bisa ngomong kayak gitu. Kalani akan jadi istri kamu dan nggak ada penolakan.”

Ketegasan Mia makin membuat Jibran muak. Ia yang masih berusaha tenang akhirnya meledak bagaikan bom waktu. Jibran menggebrak meja dengan kedua tangannya hingga menghasilkan bunyi keras yang memekakan telinga dan mengejutkan semua orang.

Jibran berdiri, napasnya tersengal seakan sudah berlari dengan jarak yang panjang. Tak ada keramahan atau senyum menawan ia tebar. Jibran menunjukkan taring dan persona lain yang untuk menunjukkan bahwa dia tidak bisa diatur jika sudah persoalan pribadi.

“Biar saya rangkum.” Suaranya berat dan dalam, makin terkesan menyeramkan. “Perjodohan ini dimulai tanpa persetujuan saya, tapi mama saya nggak nerima dan Pak Rakha malah mengancam untuk menyebarkan kabar bohong. Terus Mister Timon, saya dengar rencana soal kabar bohong dengan jelas, dan kalau boleh jujur, itu alasan terbesar saya mau mundur dari Punch dan berhenti berkarier. Artinya Anda terlibat dalam rencana perjodohan ini.”

“Kalani keponakan saya dan semua mau yang terbaik,” jawab Timon tanpa merasa bersalah pada aktor kesayangannya. “Dia juga yang paling pantas sama kamu, Jibran.”

Jibran tidak peduli dan beralih pada Aiden yang duduk tenang sembari menatap sang aktor remeh. Ini pertama kalinya mereka bertemu, tapi Jibran yakin keterlibatan Aiden juga cukup besar.

“Apa kamu yang nyuruh orang untuk ngikutin saya dan bekerja sama dengan mama saya?”

Aiden bertepuk tangan. “Bingo! Kamu bener. Tentunya atas perintah papa saya juga untuk mastiin kamu bersih dari skandal dan masih lajang. Kalani nggak boleh punya pasangan yang punya skandal.”

Jibran beradu pandang dengan Mia yang sekujur tubuhnya sudah bergetar. Ia takut Jibran akan berbuat ekstrem saat nyaris tidak bisa mengendalikan segala emosi yang menguasainya.

“Kenapa Mama senekat ini …?”

“Mama nggak mau kamu dapat gosip yang nggak bener, Jibran. Lagi pula, nggak ada salahnya nerima perjodohan ini. Kalani perempuan yang baik, dia juga sepadan sama kamu.” Mia mampu bicara lancar, tapi getaran pada suaranya tak dapat membohongi siapa-siapa.

“Terus Ayah,” kini Jibran menaruh atensinya pada Jagad yang selalu baik, “apa Ayah juga tahu soal ini?”

Jagad memandang lurus ke arah piring, tak sampai hati mendengar suara Jibran yang nyaris tercekat di tenggorokan. Setelah menghimpun keberanian, barulah Jagad mau menatap Jibran.

“Ini semua demi kebaikan kamu, Jibran.”

“Enggak ada yang namanya kebaikan kayak gini!” hardik Jibran yang sudah muak dengan kalimat klise itu. “Cuma saya yang boleh nentuin apa yang baik dan nggak buat saya. Bukan kalian. Apalagi kalian berempat,” tunjuk Jibran pada Aiden, Timon, Rakha, dan Kalani yang tidak goyah melihat ledakan emosinya. “Kalian licik karena pake kekuasaan. Dari semua aktor yang ada, kenapa harus saya? Kenapa nggak pilih orang lain yang lebih pantas sama Kalani? Saya udah punya orang lain, dan gara-gara kalian semua, kami nggak bisa bahagia!”

Jibran mundur selangkah dengan gerakan kasar, hingga kursi yang sempat ia duduki jatuh tak berdaya. Jibran berjalan gontai menuju pintu keluar. Tenaganya sudah terkuras, padahal semuanya belum tuntas. Namun, ia tidak sanggup lagi berlama-lama dengan orang yang berniat merenggut bahagianya. Termasuk bersama orang tuanya.

“Ayo, Trian. Kita pulang. Cuma kamu yang dukung aku sekarang.”

“Aku nggak sepenuhnya dukung kamu, Jibran.”

Langkah Jibran harus terjeda akibat Trian melontarkan sesuatu yang tidak diduga. Jibran berbalik dan menatap Trian yang tetap duduk di tempat. Dari situ bisa terlihat ekspresi seisi ruangan tidak ada yang terkejut dengan ucapan Trian, mengartikan bahwa manajernya, pria yang paling Jibran percaya dan kakak Eila, adalah salah satu dalang di balik rangkaian drama ini. Trian beradu pandang dengan aktor yang dijaganya, tanpa rasa bersalah ataupun iba.

“Aku diminta untuk mastiin kamu sama Eila putus. Aku yang laporin gerak-gerik kamu sama Eila ke Bu Mia. Aku juga diajak kerja sama supaya kamu mau dijodohin.”

Tubuh Jibran seketika lemas. Genangan air di pelupuk matanya nyaris tumpah ruah karena deretan kenyataan di depan berhasil menambah pilunya. Jibran kepalkan dua tinjunya, menghimpun segala kekuatann yang masih tersisa untuk bicara pada Trian.

“Kenapa kamu harus gitu, Trian?”

“Karena cepat atau lambat, kalian pasti putus. Jadi, lebih baik dipercepat supaya adik aku nggak patah hati. Gimanapun juga, Eila prioritas aku dibandingkan kamu. Sebagai kakak, aku nggak mau Eila harus ditinggal nikah.”

“Alasan yang konyol,” hina Jibran. “Tanpa lihat perjodohan ini, aku pasti berjuang buat Eila. Aku nggak akan ninggalin dia. Aku bakal bikin dia jadi bagian keluarga, bukan Kalani,” tegasnya dengan nada yang dipaksakan meninggi. “Tapi terima kasih, karena berkat kalian, aku jadi tahu bahwa perjuangin Eila adalah pilihan yang tepat.”

Jibran berbalik dan undur diri dari tempat yang mengancam ketenangannya. Ia tinggalkan orang-orang yang sudah berkhianat dan berniat jahat, menyelamatkan diri untuk sesuatu yang telah ia pilih sejak lama. Meski Jibran sadar bahwa ketika langkahnya keluar dari kediaman Adelard, ia hanya sendiri dengan sejuta beban yang ia pikul tanpa tempat bersandar.

Part ini jadi alasan di part 229. Jadi, mohon dibaca sampai selesai, ya ^^


Hari ini ada tamu yang diundang—lebih tepatnya mengundang diri sendiri ke kediaman Eila yang tidak ditemani siapa-siapa. Ya, Mia Yahya. Ibunda Jibran Dava Adelard. Setelah bertukar pesan kemarin, Mia meminta bertemu Eila dan memilih rumah pacar Jibran untuk jadi tempat bicara. Kala Mia berkata dia ingin mengobrol empat mata, Eila sudah menduga ini tidak akan menjadi obrolan yang menyenangkan.

Di kepalanya sudah terbuat skenario yang mirip-mirip seperti sinetron klise. Skenario utama adalah Mia yang menentang hubungan Eila dengan Jibran, hanya saja ada beberapa eksekusi yang berbeda. Eksekusi pertama, Mia akan memaki Eila habis-habisan tanpa mau menaruh simpati sedikit pun padanya. Eksekusi kedua, Mia akan memberikan sejumlah uang yang totalnya tidak sedikit untuk menyogok Eila agar meninggalkan Jibran.

Eksekusi ketiga, Mia akan bicara lembut tapi dengan hinaan bahwa Eila tidak layak dengan Jibran yangs seorang selebritas, termasuk meragukan kesetiaan Eila. Eksekusi terakhir, Mia pasti membawa-bawa soal perjodohan yang paling ditentang Jibran dan diinginkan orang tuanya.

Dari semua eksekusi itu, Eila yakin Mia akan melakukan yang terakhir. Jadi, ketika mereka sudah duduk berhadapan di ruang tamu, dengan secangkir teh hangat untuk jamuan, Eila siap mendengar Mia menentang hubungannya dengan Jibran. Mia meraih cangkir teh, menyeruput minuman yang masih panas itu, lalu meletakkannya kembali di tempat. Setelah cukup dibalut oleh keheningan, akhirnya Mia mau bersuara.

“Saya nggak mau basa-basi setelah tahu kamu sama anak saya pacaran, bahkan kelihatan serius, Eila. Jadi, kedatangan saya ke sini minta kamu untuk putus sama Jibran, karena percaya atau nggak, hubungan kalian nggak akan berhasil.”

Eila tersenyum miring, skenario utamanya sudah benar. Tinggal menunggu eksekusi lain yang sudah Eila susun dengan matang untuk setiap reaksinya.

“Apa karena Jibran dijodohin, makanya Ibu bilang hubungan kami nggak berhasil?”

“Iya, itu alasannya.”

Eila menjerit puas dalam hati karena dugaannya benar. Kebenaran itu tidak menggetarkan Eila, karena semua masih sesuai dengan skenario di kepalanya.

“Tapi bukan itu aja alasannya, Eila. Perjodohan itu hanya salah satunya.”

Keseriusan di wajah Mia luntur, digantikan dengan kekhawatiran yang besar, melalap segala gengsinya sebagai wanita anggun yang selalu ingin mengatur putra semata wayangnya. Eila menatap waspada, karena sepertinya alasan yang akan dibagikan oleh Mia bukan perihal sederhana. Eila belum bisa menebak, tapi dia harap masih sesuai dengan skenario yang ada.

Mia pejamkan matanya sejenak, mengembuskan napas perlahan, lalu menjelaskan sesuatu yang menjadi rahasia di balik perjodohan Jibran, “Ada orang yang mau jodohin anaknya sama Jibran. Dia orang terdekat saya dan suami, karena itu kami setuju karena mereka kelihatan cocok walaupun belum ketemu satu sama lain. Tapi nggak lama, saya milih untuk batalin perjodohan itu karena Jibran pasti nggak mau, apalagi di awal semua ini sepihak. Jibran juga kelihatan belum mau nikah, makanya saya mau dia nikmatin masa-masa kariernya yang masih tinggi sampai ketemu jodohnya sendiri. Sayang, permintaan saya nggak diterima dan malah Jibran yang terancam. Akibat ancaman itu, saya … nggak berani berbuat apa-apa karena ini menyangkut keamanan anak saya.”

Eila mulai duduk tidak tenang, skenario di kepalanya buyar dan kini memikirkan apa yang mengganggu Mia Yahya hingga pandangannya tak fokus menatap Eila. Bukan karena ia berbohong, tapi karena takut.

“Katanya kalau perjodohan ini nggak berhasil, orangnya akan bikin gosip hoaks soal Jibran. Bukan gosip hoaks biasa, tapi gosip yang bisa bikin karier Jibran jatuh. Ditambah lagi orangnya akan publish di salah satu majalah terkemuka yang berpengaruh cukup besar untuk pembacanya. Jadi, kalau kabar itu mencuat ke publik, Jibran nggak akan selamat.”

Eila mulai gemetar, pikirannya berkelana jauh ke masa di mana dia mendengar sesuatu di tempat kerjanya dulu soal Jibran yang akan jadi target gosip buruk. Apakah mungkin … gosip yang ia dengar waktu itu sama dengan maksud Mia?

“Emangnya … gosip apa sampai karier Jibran terancam?” tanya Eila memastikan, sembari berharap apa yang ia pikirkan berbeda dengan jawaban Mia.

“Gosip soal Jibran yang punya hubungan gelap sama perempuan lain, sampai perempuan itu hamil dan punya anak, tapi Jibran nggak mau akuin anak itu dan ngebuang mereka seakan-akan nggak terjadi apa-apa. Mereka juga bakal beberin sikap buruk Jibran ke staf setiap dia ada syuting.”

Bahu Eila merosot lemah, pandangannya mengabur karena genangan air mulai memenuhi matanya. Oh, tidak. Itu bukan gosip yang baik, malah sangat buruk. Lebih buruk lagi, gosip itulah yang Eila dengar direncanakan oleh pimpinan redaksi bersama seseorang melalui telepon.

Tiba-tiba Eila kesulitan bernapas karena mimpi buruknya soal Jibran nyaris saja terjadi jika saja Mia tetap bersikeras menolak perjodohan. Oh, tidak. Eila tidak peduli soal perjodohan, sebab ia hanya peduli pada gosip miring yang Eila harap tak akan pernah menyerang Jibran.

Dengan tenggorokan yang perih menahan derita di mata, Eila berkata, “Jibran pernah bilang dia mau berhenti berkarier. Jadi, saya yakin dia nggak akan peduli soal gosip itu.”

“Tapi bukan berarti dia nggak akan takut, Eila. Secuek apa pun, Jibran nggak mungkin kuat ngelewatin masa-masa nggak enak akibat gosip jelek soal dia. Apalagi orangnya udah nyiapin perempuan dan anak yang akan jadi bukti bohong. Jadi, sebesar apa pun Jibran ngelak, nggak akan ada yang percaya. Kamu sayang sama Jibran, berarti pasti nggak mau dia kena gosip sebesar itu dan bikin dia susah untuk hidup damai.”

Mia benar. Sekuat apa pun Jibran dari luar, pria itu memiliki perasaan yang sensitif dan belum tentu mampu menerima tekanan dari berbagai arah jika gosip itu benar muncul. Sebesar apa pun perlindungan untuknya, baik dari keluarga, Trian, Natta, dan Eila, Jibran belum tentu bertahan.

Maka, satu-satunya cara adalah mengusir gosip itu sejauh mungkin dari Jibran dan perjodohan tetap dilakukan. Eila menggeleng pelan, kali ini kenyataan Jibran akan menikah dengan orang lain tidak bisa ia terima.

“Sama kayak Jibran, saya nggak mau dia dijodohin, Bu. Saya sayang sama dia, jadi saya nggak rela lihat dia sama perempuan lain,” ucap Eila dengan suara bergetar, bahkan membiarkan air mata membanjiri pipinya tanpa ragu.

Mia menaruh simpati, terlebih ketika beliau bisa melihat kesungguhan dari Eila. Sayang, simpatinya kalah dengan kepentingan putranya yang masih dalam ancaman. Maka Mia mengeluarkan satu fakta lagi yang seharusnya ia tutupi dari Eila. “Jangan kayak gini, Eila, karena kamu akan jadi korban juga.”

Eila mengerjap. “Apa …?”

“Orang yang mau jodohin Jibran sama anaknya tahu kalau kamu pernah jadi editor di CelebStat, majalah yang akan publish soal Jibran kalau dia nolak dijodohin. Seandainya kabar itu muncul, yang saya harap nggak pernah muncul, kamu nggak akan dibiarin gitu aja karena nama Ardania Eila Madaharsa akan tertera di majalah sebagai editor untuk kabar itu. Kalau sampai itu terjadi, kamu bukan cuma kehilangan Jibran, tapi dia bisa aja benci sama kamu.”

Licik. Kata itu paling tepat menggambarkan semua orang yang terlibat dalam ancaman yang akan ditujukan pada Jibran, sampai-sampai Eila akan menjadi korban lain yang mempertaruhkan hubungannya dengan Jibran. Jujur, Eila tidak peduli jika namanya dibawa-bawa, karena dampaknya tidak akan besar.

Namun, jika risikonya adalah kebencian dari orang yang amat dicintainya, ditambah orang itu bisa mendapat masalah besar, Eila tidak bisa menerima. Eila tidak mau Jibran memikul beban yang berat di saat sang aktor hanya ingin hidup damai setelah berhenti berkarier.

Eila tidak mau keinginan sederhana Jibran harus runtuh karena hal itu, yang berakhir mengacaukan kehidupan sempurnanya. Eila menunduk, menyembunyikan air mata yang kian deras. Namun itu percuma, karena Mia sudah melihat dan tidak mampu duduk diam. Mia berdiri, pindah posisi di samping Eila, lalu memeluknya yang tak berhenti menangis.

“Saya tahu kalian saling sayang, tapi saya harap kamu mau lepas dia. Ini buat kebaikan kalian. Mau ya, Eila?”

Eila tak mampu menjawab, hanya membiarkan air mata terus tumpah ruah menjadi wakilnya. Karena dengan itu, Mia tahu bahwa sesungguhnya Eila tidak mampu, tapi saat tahu bahwa Jibran dipenuhi ancaman, Eila harus melakukan itu meski dalam dirinya tak mau.

Sesuai permintaan sang ayah, Jibran datang ke rumah orang tuanya untuk bertemu dengan calon yang dijodohkan dengannya bersama dari pihak keluarga sang perempuan. Jibran memenuhi permintaan ini bukan untuk menerima dan pasrah, melainkan demi formalitas semata agar orang tuanya tidak kecewa. Toh, sekarang tidak ada yang menahannya lagi.

Hubungan Jibran dengan Eila sudah kandas tanpa tahu apakah bisa kembali. Sampai saat ini, Jibran tidak menyangka bahwa wanita yang begitu ia cintai sejak masih remaja bisa meninggalkan luka sebesar ini dalam hatinya. Namun, di balik luka yang menganga itu, Jibran yakin sebenarnya ada sesuatu yang tersembunyi dan ini melibatkan perjodohannya. Eila tidak mungkin akting mencintai Jibran, tapi ketakutan tetap ada bahwa ternyata Jibran saja yang terlalu berharap.

“Jadi penasaran secantik apa perempuan yang mau dijodohin sama kamu,” ucap Trian yang hari ini mendampingi Jibran dan tengah menyetir menuju kediaman Adelard. “Pasti cantik banget.”

Tapi nggak secantik Eila. “Aku ke sana numpang makan, basa-basi, terus pulang.”

Trian melirik Jibran di sampingnya. Wajahnya kusut, hanya mau tersenyum kalau sudah di depan kamera atau saat berhadapan dengan banyak orang. Setelah sang aktor putus dengan Eila, hanya Trian yang tahu bagaimana kacaunya Jibran akibat dicampakkan.

“Kalau dasarnya nggak jodoh sama Eila, susah juga, Jibran. Jadi, lebih baik terima perjodohan ini dan aku yakin, pelan-pelan kamu bakal cinta kok sama orangnya.”

Sang manajer benar. Jika saja Jibran mau perlahan menerima, perasaannya pasti pelan-pelan akan tumbuh jua. Namun, prosesnya tidak akan mudah dan takut Jibran malah akan menabur luka pada pasangannya dengan lukanya yang belum kering. Trian memilih bungkam saat Jibran membisu dan hanya fokus pada jalanan.

Percuma bicara dengan Jibran soal urusan pribadi ketika perasaannya masih kacau. Jadi, jika tidak ada urusan pekerjaan, lebih baik Trian tutup mulut saja.

Jibran dan Trian tiba pukul 8 malam tepat. Sebagai Tuan Rumah, Jibran tidak perlu memencet bel, terlebih setelah Mia memberi tahu bahwa putranya bisa langsung masuk ke ruang makan. Maka dengan langkah yang berat karena kali ini tanpa kekasihnya yang entah sedang apa, Jibran memasuki rumah dan berjalan menuju ruang makan.

Jibran tidak pernah berekspektasi apa-apa soal siapa yang akan dijodohkan dengannya. Dia hanya menebak orangnya pasti bukan perempuan biasa sampai bisa mencuri hati Jagad dan Mia. Sampai ketika Jibran sudah memasuki ruang makan dan tinggal beberapa langkah menuju meja makan berkapasitas sepuluh orang, ia berhenti.

Matanya membulat sempurna, memindai ke setiap sisi meja makan yang diisi oleh enam orang. Lima di antaranya adalah orang yang Jibran kenal dan jika benar, maka perempuan yang tengah tersenyum menyambut kehadirannya adalah orang yang akan dijodohkan dengan Jibran.

Satu pria yang sebaya dengan Trian tidak Jibran ketahui siapa, sedangkan Jagad, Mia, Kalani, Timon, dan Samuthi Rakha adalah orang yang seakan tengah menyusun jebakan hingga Jibran tak bisa mundur lagi untuk mencari jalan keluar.

Rencana apa lagi ini?

Jika dikatakan ini latihan terakhir, maka jawabannya tidak terlalu benar. Pasalnya yang dilakukan bukan menghafal dialog atau berakting sesuai dalam naskah, melainkan hanya mengevaluasi hasil latihan selama 6 bulan dan apa saja yang perlu diperdalam Jibran untuk syuting.

Trian yang menjadi pemimpin latihan hari ini, sedangkan Eila tidak terlihat semangat karena alasan kesehatan. Jadi, dia hanya berkomentar seadanya jika ada yang butuh ditambahkan. Natta sendiri ada kegiatan di kampus, jadi tidak bisa ikut latihan terakhir dan hanya menitipkan salam.

Ketiganya duduk di ruang makan, dengan posisi yang pasti bisa ditebak—Jibran dan Eila duduk berdampingan, sedangkan Trian di hadapan mereka. Sesekali Jibran menggenggam erat tangan Eila di bawah meja, sengaja menggodanya, tapi sayang tidak mampu membuat Eila tersenyum.

“Jibran, sebulan sebelum syuting, kamu ada latihan sama Kalani. Ini latihannya nggak intens kayak kamu sama Eila, paling seminggu dua kali aja. Terus nanti ada fitting untuk baju yang bakal kamu pake saat syuting, sama penampilan kamu bakal diubah dikit biar lebih kelihatan kayak Jeremy.”

“Apa Eila sama Natta nggak bisa ikut buat temenin aku?”

Trian menggeleng tegas. “Aku aja yang ikut. Urusan soal kerjaan bareng Eila sama Natta ‘kan udah selesai, jadi jangan libatin mereka terlalu banyak. Tapi kalau mau minta saran atau komunikasi jalanin aja kayak biasa. Kamu sama adik-adik aku ‘kan udah deket banget. Mana yang di depan aku sekarang udah pacaran.”

Ada nada sindiran di balik kalimat terakhir Trian, mengundang tawa kecil Eila yang akhirnya mau bereaksi selain diam. Jibran lega karena Eila sedikit terhibur di tengah kondisinya yang kurang fit, tanpa menyadari ada makna di balik tawa kecil yang terasa hambar bagi sang pemilik.

“Gimana nih rasanya latihan sama Eila?” Kali ini Trian bicara lebih santai. “Adik aku nggak galak ‘kan, ya? Siapa tahu di luar latihan sama aku, ternyata dia galak banget.”

Jibran menatap Eila yang juga menaruh atensi padanya. Sang aktor tersenyum sebab ditularkan oleh senyum sang kekasih. Tanpa merasa malu, Jibran kecup pipi Eila yang membuat Trian pura-pura mual menyaksikannya.

“Aku malah seneng latihan sama Eila. Dia yang bikin aku terbiasa sama hal-hal yang sebelumnya terlalu kaku buat aku lakuin. Ditambah sekarang aku bisa pacaran sama Eila, orang yang jadi alasan aku untuk akting, dan aku beruntung bisa bareng-bareng sama orang yang aku sayang sejak dulu.”

Di akhir, Jibran menutupnya dengan mengecup punggung tangan Eila, makin membuat Trian merinding dan memilih memandang ke arah lain yang aman.

Eila tak bereaksi seperti malu ketika mendapat tatapan dan perlakuan manis, tapi itu tidak membuat semangat Jibran luntur karena ia terus berpikir kekasihnya belum terlalu fit. Sampai sepuluh detik setelah adegan manis itu, Eila tersenyum sengit dan raut wajahnya berubah sinis tanpa ditutup-tutupi. Perubahan itu dirasakan Jibran hingga senyumnya luntur. Pun oleh Trian yang heran karena tidak biasanya Eila begitu.

Eila menarik tangannya secara paksa dan berkata, “Sekarang kamu berhasil jadi laki-laki romantis, ya. Enggak ragu buat nunjukin kemesraan di depan orang, bisa ngomong manis, bahkan kelihatan bangga bisa pacaran sama aku.”

Sudut bibir Jibran bergetar sebab perasaannya berubah tak enak. Pasalnya yang dikatakan Eila bukan sebuah pujian, melainkan ledekan yang merendahkan Jibran.

“Aku … pastinya bangga, Eila,” balas Jibran sedikit bergetar, tanpa senyum yang terpatri seperti sebelumnya.

“Berarti strategi yang aku buat sukses, ya. Soalnya perubahan kamu drastis gini.”

Sang kakak yang menyimak akhirnya bersuara. “Strategi apa?”

Eila kembali memosisikan tubuhnya menghadap Trian, memainkan gelas berisi jus jeruk dengan jari telunjuknya, lalu menjawab, “Strategi buat bikin Jibran ngerasa dicintai dan pelan-pelan munculin sisi romantis dia supaya terbiasa buat syuting.” Eila tertawa ringan, sebelum akhirnya melanjutkan, “Strategi ini aku buat setelah latihan skinship. Di situ aku yakin Jibran punya sisi romantis yang butuh dipancing. Makanya aku mutusin untuk pake strategi lain tanpa ada yang tahu, di mana aku seakan-akan suka bahkan cinta sama Jibran, padahal aslinya nggak.

Well, tadinya aku ragu walaupun udah pura-pura ngaku suka Jibran ke Kak Trian. Barulah waktu Jibran tiba-tiba confess soal perasaannya, aku nggak bisa biarin gitu aja. Aku pura-pura butuh waktu buat pertimbangin, padahal aslinya nggak pertimbangin apa-apa. Cuma nyiapin strategi yang lebih matang. Di hari aku telepon Kak Trian sambil nangis itu juga pura-pura, karena aku sengaja manfaatin Kak Trian yang pasti laporan ke kamu. Tapi malah ada kejadian yang nggak pernah aku tebak, karena ternyata Jibran lagi bareng sama Kak Trian dan denger semuanya.

“Dari situ aku mikir untuk manfaatin situasi di luar dugaan, sampai akhirnya aku sama Jibran pacaran, dan pelan-pelan sisi romantis dia mulai muncul. Strategi yang bagus buat film perdana Jibran.”

Eila menutup dengan tawa sinis yang membuat Jibran dan Trian saling berpandangan tak percaya. Mereka belum memberikan reaksi, pasalnya napas keduanya terasa sesak mendengar kenyataan pahit yang baru diumbar oleh Eila sekarang.

Tentu saja yang paling syok adalah Jibran, karena sang pujangga telah dikhianat. Mata Jibran mulai memerah. Sedih, marah, syok, dan kecewa bersatu menggerogoti dirinya. Sakit pada daksanya? Jangan ditanya. Jibran sampai tak mampu bergerak karena sedikit saja ada pergantian posisi, rasa sakitnya akan menguar hingga sepenjuru tubuh. Jibran mencoba menarik himpunan kata yang tertahan di tenggorokan. Sulit dan sakit, tapi ia paksa demi mengantongi kenyataan.

“Jadi …, selama ini kamu pura-pura?”

Eila mengangguk santai seraya menatap Jibran tanpa merasa bersalah. “Itulah akting, Jibran. Kamu latihan untuk akting, maka aku ikut akting saat ngelatih kamu. Bedanya, nggak ada orang lain yang tahu aku akting. Harus sedikit diakui kalau kamu agak susah dilatih tanpa pancingan begini. Walaupun kamu harus kecewa karena punya cinta pertama kayak aku yang malah ngebohongin kamu, tapi hasilnya setimpal, ‘kan? Akting kamu sebagai Jeremy jadi meningkat jauh berkat hubungan ini.”

“Dek—”

Trian ingin bicara, tapi ditahan oleh Jibran yang mengangkat jari telunjuknya, membiarkan segenap rasa sakit menyebar hingga seluruh daksanya. Tak peduli hatinya hancur berkeping-keping, Jibran tetap harus bicara.

“Tangan kamu gemeteran,” ucap Jibran tentang apa yang jadi perhatiannya ketika Eila bicara. “Artinya kamu bohong.”

Eila menaikkan sebelah alisnya dan mengangkat kedua tangannya selama lima detik untuk ditunjukkan pada Jibran. Ia tidak menampik soal tangannya yang bergetar, bahkan pengakuan yang sudah telanjur ia buat tetap dilanjutkan.

“Itu tanda kalau aku udah lega karena ngakuin semuanya sama kamu, Jibran. Enggak ada beban yang perlu aku sembunyiin di belakang orang naif kayak kamu.”

Bibir Jibran mulai bergetar. Jika saja pertahanan diri yang dia buat runtuh lebih cepat, Jibran sudah menangis sekarang. Setiap kali Eila mengatakan sesuatu yang menyakitkan, maka Jibran akan mengenang masa-masa indah mereka saat saling mencintai—yang Jibran yakin, Eila tidak pura-pura saat itu.

Namun, seberapa persen Jibran yakin, ia kurang tahu. Karena kesinisan Eila yang terlihat meyakinkan sekarang, membuat Jibran tak sepenuhnya yakin bahwa sang kekasih hanya pura-pura.

Paham bahwa Jibran hampir menangis, Eila kembali berkata, “Jibran, dari awal aku cuma manfaatin kamu untuk promosi usaha aku. Makanya aku berani ngambil langkah besar dengan ngaku suka dan mau aja diajak pacaran. Feedback-nya, kamu juga bisa nunjukin kasih sayang ke aku yang sebelumnya nggak pernah bisa. Terus sekarang latihan udah selesai, usaha aku juga udah lebih lancar, kamu juga udah cukup jadi pacar aku, makanya aku mau ngakuin ini semua supaya kamu nggak makin berharap.”

“Kamu keterlaluan, Dek,” lirih Trian yang memberikan reaksi kurang lebih sama seperti aktornya, hanya saja Jibran beberapa tingkat di atasnya.

“Aku bukannya keterlaluan, Kak,” jawab Eila seraya melirik Trian sekilas. “Aku cuma lakuin tugas sesuai perjanjian. Ngelatih Jibran selama enam bulan dan tugas itu udah dijalanin dengan sukses. Iya, ‘kan?”

Eila menyeringai, menambah derita yang terus mengakar dalam dada Jibran. Kediamannya yang selalu indah setiap Eila hadir, kini justru menjadi mimpi buruk yang Jibran harap bisa segera dibangunkan untuk kembali ke realitas. Di realitas itulah Eila akan hadir menjadi sosok gadis yang begitu Jibran cintai, bukan yang seperti ini.

Jibran membuka mulutnya, meraup serakah oksigen di sekitar ketika saluran pernapasannya tercekat. Di saat itulah rintihan kesakitan sempat Jibran perdengarkan, tirta di matanya pun sempat mengalir yang berusaha ia sembunyikan dengan membelakangi Eila, lalu kembali menutupinya meski percuma karena genangannya masih menumpuk di pelupuk.

Eila tahu Jibran sudah menangis, tapi tidak menarik simpatinya. Karena ini sudah saatnya ia jujur dan Jibran harus menerimanya.

Jibran kembali menatap Eila, berusaha membangun pertahanan diri terakhir sebelum nanti runtuh juga. Jibran berusaha tersenyum yang menyiratkan kesakitan di dalamnya. Senyum yang dipaksakan demi menguatkan hatinya.

“Kalau selama ini hubungan kita cuma didasari akting, berarti akting pengakuan kamu hari ini kurang bagus, Eila. Kamu harusnya lebih banyak latihan supaya aku makin yakin.”

“Tapi bisa bikin kamu nangis. Berarti aku berhasil bikin kamu percaya,” balas Eila santai tanpa peduli pengakuannya diragukan. “Terserah kamu sama Kak Trian mau percaya atau nggak, yang penting tugas aku udah selesai sekarang. Aku nggak perlu ngelatih dan jadi pacar kamu lagi. Permisi.”

Eila berdiri dan berjalan menuju ruang tengah di mana tasnya berada, meninggalkan dua orang yang masih tak percaya sepenuhnya dengan pengakuan Ardania Eila Madaharsa. Saat Eila baru akan beranjak dari ruang tengah setelah mengambil tasnya, Jibran berdiri dan menambah pilu pada daksa hingga air matanya tidak bisa dibendung lagi.

“Tunggu, Eila.”

Panggilan itu menghentikan langkah Eila, tapi tidak membuatnya menoleh demi menatap Jibran.

“Kamu pasti balik lagi sama aku, Eila. Aku yakin itu.”

Lirihnya suara Jibran terdengar jelas oleh Eila. Namun, tak menggentarkan niatnya untuk tetap maju dengan pilihannya.

“Aku sayang kamu,” aku Jibran sembari terisak. “Kamu juga gitu ke aku, Eila.”

Tanpa Jibran ketahui, Eila sedang menahan air matanya yang sudah di ujung. Ia nyaris ikut terisak, bahkan menjerit penuh penyesalan. Namun, Eila tidak bisa mundur lagi untuk menyusul Jibran. Maka dengan persona yang berusaha ia pertahankan, menyembunyikan persona sesungguhnya, Eila menoleh dan menyeringai pada sang aktor yang tak menutupi air matanya.

“Jibran, berhenti ngayal. Enggak ada cinta pertama yang berhasil, termasuk aku. Jadi, kamu nggak usah berharap apa-apa sama aku yang udah bohongin kamu, karena selama ini nggak pernah ada kita.”

Setelah itu, Eila berbalik dan melanjutkan langkahnya. Ia meninggalkan kediaman sang aktor, termasuk Jibran dan hatinya yang sudah ia buat hancur berkeping-keping. Jibran masih menangis tanpa bersuara, sedangkan lututnya lemas hingga ia jatuh terduduk dan masih tidak memercayai kenyataan yang dihadapkan padanya.

Trian, yang menjadi saksi hari ini, diam-diam mengirim pesan pada seseorang di tengah simpati yang ia berikan pada Jibran. Melaporkan apa yang ia lihat sembari berharap Jibran dan Eila akan baik-baik saja setelahnya.

Seharusnya hari ini latihan dilaksanakan sesuai waktu dimulai dan berhenti tepat pada waktunya. Namun, semua itu kacau karena Jibran dan Eila malah bermesraan di ruang tengah rumah sang aktor setelah latihan sebentar. Mereka saling berpelukan erat, mengabaikan keadaan di rumah seperti dunia hanya milik berdua.

Jibran dan Eila sampai lupa ada Natta yang seharusnya mengawasi latihan, tapi pasrah ketika sejoli itu sudah tidak bisa dipisahkan. Biasanya Jibran dan Eila pasti fokus latihan sampai selesai, sayangnya kali ini mereka sedang ingin malas-malasan, terlebih setelah proses audisi selesai dan Eila yakin Jibran sudah sangat fasih menjadi Jeremy.

Selain itu, Eila ingin memberi jeda agar Jibran tidak terus latihan dan memiliki waktu santai. Jadi, inilah waktu yang tepat agar pikirannya tidak stres karena hanya diisi soal syuting.

“Gimana usahanya? Ada kendala?” tanya Jibran setelah cukup lama keduanya membisu.

“Sekarang lagi santai karena orderan nggak sebanyak sebelumnya. Makanya aku bisa ke sini terus tepat waktu.”

“Nanti aku bantu promosi lagi biar dagangannya makin laris.”

Eila tersenyum senang seraya memandang Jibran yang hari ini mau mengenakan kaus hitam berlengan pendek. Akibatnya Natta jadi tahu soal luka Jibran dan sama seperti Eila, bekas luka itu tidak melunturkan rasa kagum adiknya pada sang idola. Jibran jadi lebih percaya diri dengan penampilannya di depan orang-orang terdekat yang mengisi hari-harinya selama beberapa bulan terakhir ini.

Thank you. Aku beneran beruntung banget bisa deket sama aktor yang mau bantuin promosi, terus sekarang bisa jadi pacar. Tapi tanpa lihat pacar dan misal aku kerja bareng aktor atau aktris lain, belum tentu mereka mau bantu promosi. Makanya kamu ini aktor paket komplet. Aktingnya keren, ganteng, terus baiknya nggak ketulungan.”

Jibran melebarkan senyumnya mendengar pujian itu. “Banyak aktor yang baik, Eila.”

“Baik di depan kamera sih emang banyak. Setidaknya itu yang Kak Trian bilang,” Eila mengelus rambut lebat Jibran yang terasa lembut di tangannya, “ada aja yang manis di depan kamera, tapi di belakang ternyata kasar sama staf sendiri.”

“Aku sering repotin Trian,” aku Jibran karena tidak ingin Eila menganggapnya terlalu sempurna.

Eila manggut-manggut. “Kak Trian sering ngeluh soal kamu yang repotin, tapi itu aja, nggak lebih. Malah Kak Trian seneng kerja sama kamu, soalnya nggak aneh-aneh banget dan masih sopan. Terus soal repotin, Kak Trian katanya cukup sadar diri aja emang harus ngurus aktornya. Cuma sekarang lebih repot lagi karena kita berani pacaran saat dia larang.”

Jibran terbahak puas ketika diingatkan soal Trian yang sering mengeluh karena adiknya dan sang aktor punya hubungan spesial. Ditambah sekarang ini mereka jadi sering mengumbar kemesraan, baik di via group chat, maupun secara langsung. Selagi Trian tidak sepenuhnya menentang, maka hubungan ini tetap aman.

Harus diakui bahwa Trian seringkali berdoa yang tidak-tidak, tapi biarkan itu terjadi karena semua Tuhan yang mengatur. Meski begitu, suatu kenyataan tetap melunturkan senyum dan tawa Jibran dalam waktu singkat. Ia tak menunjukkan secara jelas karena menyembunyikannya dengan mendekap Eila. Namun, tak cukup untuk mengurangi ketakutan yang mulai hinggap dalam dirinya.

Jibran kecup dahi Eila yang tengah memejamkan matanya, mendekapnya makin erat karena Jibran tak mau mereka berpisah apa pun alasannya. Sebanyak apa pun pihak yang menentang, Jibran tidak akan berhenti berdoa pada Sang Pemilik Kehidupan untuk mengatur jodohnya agar ia bersama Eila, bukan orang lain.

Tepuk tangan meriah diberikan pada kelima aktris yang telah mengikuti serangkaian audisi sejak audisi pertama hingga yang terakhir. Kelima aktris tersebut berdiri di hadapan meja juri yang diisi oleh Jibran dan Samuti Rakha selaku sutradara film. Audisi hari ini berjalan dengan lancar sejak pagi dan berakhir malam ini. Semua request Jibran juga dikabulkan, jadi dia bisa membuat penilaian terbaik untuk kelima aktris yang akan menjadi pasangannya di film Perfect Wife.

Di balik kelegaan para kru, kelima aktris itu justru tegang karena sebentar lagi akan diberi tahu langsung siapa yang lolos memerankan tokoh Anata Hapsari. Ya, kali ini hasilnya langsung diberikan, tidak seperti audisi sebelumnya yang diberi tahu H+2 setelah audisi. Akibatnya ketegangan yang dirasa tak bisa dielakkan, hingga kelimanya tidak mampu tersenyum atau menyambut riuhnya tepuk tangan dengan baik.

Setelah tepuk tangan berhenti, barulah sang aktor bicara, “Saya mau ucapin selamat pada Anya, Kalani, Aresta, Brigith, dan Cyntia, yang telah menyelesaikan proses audisi ini dengan baik. Di setiap audisinya, kalian bisa menunjukkan perkembangan yang konsisten, sampai saya sempat sulit membuat penilaian untuk menyeleksi dan sekarang memilih satu di antara kalian untuk memerankan tokoh Anata Hapsari.”

Kalimat sederhana makin menegangkan ruang audisi. Anya, yang paling muda ingin duduk karena berdiri menambah rasa cemasnya. Kalani, yang paling tua hampir menangis karena khawatir tidak terpilih. Aresta, yang paling jangkung sudah kesal ingin segera mendapatkan pengumuman. Brigith yang paling mungil terlihat santai, tapi dia nyaris berteriak karena terlalu excited dengan audisi terakhir. Lain dengan Cyntia yang justru terharu karena telah menyelesaikan serangkaian audisi hingga tiba di babak terakhir.

“Sebelum Jibran mengumumkan hasilnya, saya mau berterima kasih pada kalian yang sudah berjuang sampai tahap ini. Akting kalian sebagai Anata Hapsari punya ciri masing-masing yang patut diacungi jempol. Seandainya bisa, saya mau kalian bergantian menjadi Anata.”

Para kru tertawa mendengar gurauan Samuti Rakha yang mencairkan es di dalam ruangan.

“Tapi dari semuanya, ada satu yang paling memenuhi syarat untuk menjadi Anata. Tidak hanya dari segi akting, tapi penampilan luar kalian juga diperhitungkan supaya karakter Anata sepenuhnya hidup lewat kalian.”

Jibran manggut-manggut selama Samuti Rakha bicara, sampai akhirnya sang sutradara memberi kode pada aktornya untuk mengumumkan siapa pemenang terakhir. Jibran yang paham meraih amplop biru di meja, di mana sudah terisi nama yang akan dia panggil untuk menjadi Anata Hapsari.

Jantung kelima aktris yang bergemuruh tanpa henti bagaikan bunyi drum yang lantang, mengiringi detik demi detik kala Jibran membuka amplop tersebut. Semuanya gugup, termasuk para kru dan Samuti Rakha yang sejujurnya tidak tahu nama siapa yang ada di dalam amplop.

Ya, Jibran melakukan penilaian seorang diri, memilih tanpa dilihat oleh siapa pun kecuali dirinya dan Tuhan. Kertas yang terlipat dibuka, memunculkan satu nama yang mengundang senyum Jibran. Lima detik setelahnya, Jibran menyebutkan nama yang ada pada kertas sebagai pemenang dari serangkaian audisi ini.

“Kalani.”

Kalani langsung mentikkan air mata, bersamaan dengan riuhnya tepuk tangan yang kembali berkumandang di penjuru ruang audisi. Anya, Aresta, Brigith, dan Cyntia segera memeluk Kalani sebagai bentuk ucapan selamat. Meski tidak terpilih, mereka senang karena Jibran memilih orang yang tepat. Jibran dan Samuti Rakha berdiri, mereka menyalami Kalani yang masih menangis secara bergantian.

Jibran juga menyalami keempat aktris lainnya sebagai bentuk apresiasi atas perjuangan mereka selama beberapa bulan terakhir. Di akhir audisi, ada sesi foto sebagai penutup proses panjang untuk menemukan sosok Anata Hapsari. Foto yang akan disebar di penjuru negeri lewat berbagai media. Pun menjadi tanda bahwa proses syuting akan segera dimulai.

Sekarang Jeremy Adinata sudah menemukan Anata Hapsari-nya. Sedangkan sosok Jibran Dava Adelard yang membalut Jeremy Adinata telah lebih dulu menemukan tambatan hatinya. Ya, Ardania Eila Madaharsa yang makin ingin Jibran jadikan separuh hidupnya.