
Langit Jakarta sudah gelap, tetapi jalan raya makin berkilau. Ibu kota yang tidak pernah mati, tempat orang mencari kehidupan baik, meski seringnya tidak sesuai ekspektasi. Martha yang lahir di Jakarta sudah terbiasa dengan hiruk pikuknya, tetapi baru kali ini dia menganggap kota kelahirannya sendiri sangat menyeramkan.
Well, hanya satu lokasi yang baginya membuat bulu kuduknya merinding, lokasi yang menjadi tujuannya untuk menghabiskan malam, tetapi Martha sudah berjanji tidak mau memakan waktu terlalu lama. Tujuan Martha adalah tempat bernama Sunset House, sebuah rumah di kawasan Selatan yang sering disewa untuk berbagai pesta; ulang tahun, lamaran, tunangan, sampai pernikahan.
Martha tiba satu jam lebih lama dari jadwal mulainya pesta. Sengaja Martha lakukan itu karena dia tidak mau basa-basi selain bersama pemilik pesta, tidak mau juga jadi pusat perhatian sejak dini dengan penampilannya yang dibilang setengah-setengah; setengah membuatnya percaya diri dan setengahnya lagi membuat Martha takut.
Ketika melewati pilar-pilar besar tempat penjaga mengawasi setiap tamu yang datang dan pergi, Martha mengeluarkan ponsel dari sling bag-nya untuk menghubungi Martin bahwa dia sudah tiba. Martha tidak hanya mengirim pesan singkat, tetapi juga menelepon pria itu agar mendapat respons lebih cepat. Sayang, baik pesan dan teleponnya tidak ada yang dijawab, membuat Martha merasa seperti orang yang tersesat meski pintu masuk sudah di depan mata.
Area depan sepi karena semua tamu sudah di dalam, menikmati musik yang gaduh hingga terdengar ke luar, sedangkan tubuh mereka sibuk meliuk di lantai dansa dengan gembira. Ada hampir sepuluh menit mencoba menghubungi sang suami, Martha menyerah dan memilih masuk untuk mencari sendiri.
Dia tidak mau menanti terlalu lama atau nanti malah dicurigai sebagai orang aneh, pula dijadikan bahan bisik-bisik tetangga jika terlalu banyak saksi atas kehadirannya. Begitu masuk, ratusan manusia berkumpul di satu ruangan utama yang membuat Martha merasa sesak dan hampir tidak bisa bernapas dengan baik. Namun, keuntungan tetap didapat ketika mata manusia tidak mengekorinya sedikit pun karena sibuk dengan urusan masing-masing, jadi Martha bisa sedikit santai selagi mencari Martin.
Saking santainya, Martha bahkan bisa sambil minum untuk menyegarkan tenggorokan, lalu menelusuri ruangan utama dan belum menemukan suaminya di sana. Hati-hati sekali Martha melangkah, sebab dia tidak mau ada insiden memalukan seperti menabrak seseorang dan membuat kehadirannya jadi atensi yang lain, menyebabkan rasa malu lain yang kali ini tidak akan membuatnya aman.
Sampai tibalah Martha di satu sudut sepi, tempat staf hilir mudik membawa persediaan kudapan dan minuman yang cepat habis karena para tamu menikmati tanpa rasa puas. Sesak, Martha memilih memasuki sudut sepi itu untuk mencari sedikit udara segar sebelum memulai pencariannya lagi.
Di dalam sudut sepi itu ada beberapa pintu dengan ruangan berbeda yang masing-masing diberi nama; dapur, toilet, ruangan staf katering, sampai ruangan panitia. Pintu panitia sedikit terbuka, membuat Martha penasaran ada siapa di dalam. Mengingat Martin membantu persiapan acara Julian, jadi pastinya pria itu adalah salah satu panitia yang bertugas dan mungkin saja ada di sana. Martha melangkah perlahan mendekati pintu putih, sayup-sayup mendengar gelak tawa dari beberapa laki-laki yang mengasyikan.
Dari beberapa itu, ada dua tawa familier di rungu; Martin dan Julian. Akhirnya Martha bisa bernapas lega karena yang dicari bisa ditemukan, tetapi ketika tangannya akan mengetuk pintu untuk memberi tahu Martin bahwa dirinya telah tiba, gerakan Martha berhenti mengudara ketika namanya disinggung oleh seseorang pemilik suara bariton yang tidak dikenal.
“Martin, istri lo nggak dibawa ke sini? Dia udah lama nggak muncul depan banyak orang di acara kayak gini, lho.”
“Dia nyusul, tapi kayaknya belum nyampe,” jawab Martin yang sangat jelas karena Martha berdiri begitu dekat dari pintu. Dari situ Martha menduga Martin tidak membuka ponselnya sama sekali.
“Tapi lo nggak malu bawa istri ke sini?” tanya satu orang lagi, suaranya sedikit melengking untuk ukuran laki-laki. “Kata netizen ‘kan Martha sekarang gendut. Lo dulu dateng sama Martha ke acara kayak gini disebut couple goals mulu. Kalau sekarang Martha gendut, udah nggak goals, dong? Kan nggak setara sama lo.”
Si suara bariton menyahut lagi, “Lo nggak aneh atau bosen lihat bentukan Martha yang sekarang? Biasanya laki-laki ‘kan suka males kalau lihat fisik istrinya yang habis lahiran.”
“Emang lo gitu?” Giliran suara Julian yang terdengar, memancing percakapan agar lebih jauh alih-alih disudahi.
“Gue sih bakal males, terus gue paksa diet biar langsing lagi. Soalnya kalau istri terawat, berarti suaminya berhasil,” jawab si Bariton enteng.
“Kalau nggak terawat?” Julian kembali memancing.
“Berarti istrinya yang nggak berhasil, suami tinggal nyari yang lain lagi,” balas si Melengking, disusul tawa oleh dua orang lain seakan menyetujui ucapannya.
Di luar dugaan, Martin ikut menertawakan ucapan si Melengking cukup lantang sampai Martha membeliak kala mendengarnya. Martha terhuyung mundur. Itu tidak terdengar seperti Martin. Suaminya tidak akan tertawa ketika ada yang meledek Martha di depan wajahnya, pria itu pasti akan memberi pembelaan yang sepadan sembari menahan diri agar tidak bermain fisik.
Namun, bila diingat lagi, pembelaan itu dilakukan ketika di depan Martha. Bagaimana bila hal berbeda dilakukan di belakangnya? Apa mungkin Martin sebenarnya selalu ikut tertawa? Oh, jangan katakan … itu tidak mungkin, ‘kan?
“Lo ketawa,” ucap Julian, masih terkekeh pelan. “Lo setuju, Tin?”
Martin tertawa lagi, terdengar puas seperti orang yang leluasa untuk meluapkan segalanya setelah ditahan. Martha tidak sanggup lagi mendengar ketika suaminya justru ikut menari di atas kesulitannya untuk tampil dengan baik. Dengan langkah gontai Martha menjauhi pintu, berjalan menuju ruangan utama bersama genangan air di pelupuk yang nyaris tidak mampu dibendung.
Martha biarkan musik yang lantang memenuhi rungunya, siapa tahu bisa mengganti suara tawa Martin menjadi hiburan sepadan. Meski nyatanya gagal, sebab tawa Martin yang biasanya menyenangkan, kini jadi yang paling tajam dibandingkan lidah dan jari netizen. Pasalnya ini Martin, orang yang membawa dampak positif, selalu membuat Martha yakin bahwa dialah yang terbaik. Realitasnya, Martin malah jadi yang paling menghancurkan hati.
Di tengah kepedihannya, tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya dan pelaku itu muncul di hadapan Martha bersama senyum lebar seakan menyambutnya dengan penuh sukacita. Dalia tampak gembira, tidak melihat penderitaan di mata Martha yang nyaris tidak dapat disembunyikan di balik topengnya.
“Kak Martha, dari kapan nyampenya?” tanya Dalia dengan suara lantang. Tidak berhasil mengalahkan musik yang lebih keras, tetapi berhasil didengar oleh beberapa orang sekitar.
Akibatnya kehadiran Martha diketahui, mulanya hanya satu dua orang, lalu makin bertambah karena adanya pembagian informasi. Sayang, Martha yang tidak fokus gagal menyadari bahwa dirinya jadi pusat perhatian, bahkan suara Dalia saja tidak jelas didengar.
“Maafin aku ya soal kejadian waktu itu, Kak. Jujur aku itu penggemarnya Kak Martin, jadi setiap muji tuh nggak ada niatan buat rebut. Aku emang pernah nggak setuju waktu kalian nikah, soalnya sempat mikir kalian nggak cocok. Sekarang pun aku nggak anggap kalian cocok, tapi beneran deh, nggak ada niat lagi selain nunjukin rasa kagum aku ke Kak Martin.”
Martha yang jadi linglung hanya mengangguk tanpa sanggup menyahut, biarkan Dalia terus mengoceh sedangkan beberapa orang sekitar menatap Martha dengan tatapan aneh.
“Nikmatin pestanya ya, Kak. Aku harus nyari Kak Julian dulu. Dia habis tiup lilin malah ngilang. Bye bye.”
Dalia melambai dan pergi, hanya ditanggapi oleh anggukan kecil dan itu pun masih tidak tahu apa yang terjadi karena tawa Martin terlalu mendominasi. Martha memilih berdiri paling belakang, menghindari kerumunan yang menjadi momok paling menakutkan untuknya sekarang. Martha tidak boleh melakukan sesuatu yang terlalu mencolok mata, cukup penampilannya saja yang jadi pusat perhatian, perilakunya jangan.
Ada sepuluh menit menikmati kesendiriannya, ruangan utama yang redup jadi sunyi karena musik dipadamkan, menimbulkan kekecewaan untuk orang-orang di lantai dansa yang masih betah menari ria. Tak lama ada Dalia naik ke panggung kecil tempat DJ bermain dan tiup lilin dilakukan sebelum Martha tiba.
Dalia sudah memegang mic sembari membawa secarik kertas merah yang Martha tidak tahu apa isinya. Semua mata tertuju pada Dalia, sepertinya para tamu lain tahu apa yang akan dilakukan gadis itu karena sudah sangat dinantikan.
“Selamat malam, Semua. Maaf harus ganggu pestanya sebentar, tapi ini ada pengumuman penting yang harus aku kasih,” kata Dalia sembari melambaikan kertas di tangan, menimbulkan sorak tak sabar yang tidak Martha pedulikan. “Sebelumnya aku mau ngucapin selamat ulang tahun buat kakak aku, Julian,” Dalia menatap Julian yang berada di sisi panggung, tersenyum bangga pada dirinya sendiri, “dan seperti yang kalian tahu di undangan akan ada hadiah untuk pemenang dresscode terbaik. Jadi, sekarang aku bakal umumin siapa pemenangnya.”
Sorak sorai kembali berkumandang, kali ini tidak berhenti sesaat ketika Dalia mulai membuka secarik kertas yang dilipat rapi, sebab tidak sabar untuk tahu siapa yang menjadi juara malam ini. Julian ikut gugup, pasalnya dia tidak tahu siapa yang akan jadi pemenang. Dalia yang dipercayakan memilih, sebab itu adiknya jadi pengamat bagi setiap tamu yang datang untuk menentukan pemenang. Dalia menyeringai kecil sebelum akhirnya tersenyum lebar dan mengangkat micnya ke mulut, membacakan nama yang tertera di kertas merah sebagai pemenang malam ini.
“Pemenang dresscode terbaik malam ini adalah … Martha! Selamat, Martha!”
Nyaringnya suara Dalia kontradiktif dengan keadaan yang tiba-tiba sunyi ketika nama Martha disebut sebagai pemenang. Martin yang baru tiba setelah diam cukup lama di ruangan panitia terkejut bukan main, sebab seingatnya Martha belum—oh, sial! Martin mengeluarkan ponsel dari saku jas dalamnya, lalu menemukan lima pesan belum terbaca dan tiga panggilan tidak terjawab dari Martha yang dia lewati begitu saja karena baru sadar ponselnya disenyapkan.
Martin segera mencari di mana istrinya, tidak akan membiarkan wanita itu diperhatikan apalagi dipermalukan karena yakin kemenangan Martha adalah permainan belaka. Sayang, Martin sadar dia terlambat ketika lampu sorot menemukan Martha lebih dulu yang sedang berjalan menuju panggung. Orang-orang sekitar menyingkir, memadati sisi ruangan hingga Martin kesulitan berjalan untuk mencegah Martha sebelum tiba di atas.
Lagi, Martin terlambat karena Martha telah lebih dulu tiba di panggung dan menerima mic untuk bicara, tetapi menolak sebuah gift box yang menjadi hak pemenang. Netra Martha menelusuri hamparan tamu di ruang utama yang diam-diam menertawakan, membicarakan, bahkan beberapa ada yang sudah mengangkat ponsel untuk mengabadikan ‘kemenangan’ sang puan. Martha pun menemukan Martin di sana, berusaha melewati padatnya orang untuk menyusul istrinya.
Kala mic itu sudah tepat di bibir, sekujur tubuh Martha bergetar menandakan ketakutan besarnya. Namun, dia tidak bisa mundur. Sejak awal dia memutuskan naik meski tahu akan dipermalukan, Martha sudah berniat untuk menuntaskan segala beban di hati atas apa yang dia dapatkan hari ini dan selama beberapa bulan terakhir.
“Saya,” satu kata telah terlontar, membuat seluruh pasangan mata tertuju pada Martha, termasuk Martin, “saya yakin alasan bisa menang bukan karena baju saya yang paling bagus, tapi justru paling buruk di antara kalian yang lebih baik dan saya tahu, saya dipanggil untuk jadi bahan olok-olok. Karena itu saya nggak akan berterima kasih setelah dapat kemenangan, tapi saya mau manfaatin momen ini dengan ngomong di depan kalian semua. Siapa tahu kalian semua pernah ngetawain saya di belakang.”
Martin berhenti melangkah, memilih menyimak apa pun yang akan Martha katakan, sembari harap-harap cemas istrinya mampu bertahan hingga kata terakhir disampaikan.
“Dulu saya selalu dipuji sama banyak orang, tapi sekarang saya lebih banyak dapat hinaan baik secara langsung atau di sosmed aja. Saya emang gendut, badan saya nggak kayak dulu lagi, pernah berusaha diet pun harus gagal karena saya pake cara yang salah, tapi … gendut pun nggak ngerugiin kalian, ‘kan? Enggak bikin saya jadi banyak dosa sama kalian, ‘kan? Saya begini juga karena lahirin anak pertama saya, bukan demi dihina sama kalian. Hari itu saya bertaruh nyawa, saya bisa aja mati, tapi sekarang saya masih di sini dan hidup apa adanya yang ternyata nggak diterima banyak orang.
“Mungkin buat perempuan yang ada di sini belum ada di posisi saya, tapi coba bayangin kalau suatu saat ada di posisi itu. Atau buat laki-laki yang nggak akan ada di posisi itu, coba pikirin ibu kalian, pasti ada juga yang mengalami perubahan kayak saya.”
Dada Martha sesak, berat bukan main ketika dia memaksa harus bicara saat genangan air di pelupuk mata tidak kunjung sirna. Suaranya pun makin tidak keruan, tetapi Martha tidak mau menyerah hingga beban di hatinya tuntas—setidaknya untuk satu malam.
“Kadang saya mikir pernah buat salah apa sama kalian sampai seringnya dapat hinaan soal fisik. Saya lahiran nggak pake uang kalian, ngurus anak pun nggak pake tenaga kalian, tapi kesannya kayak saya yang punya utang dan harus dibayar. Mungkin kalian cuma orang asing, tapi omongan kalian nyakitin banget. Orang terdekat yang harusnya bikin saya aman malah ikut nyakitin, bikin saya makin jatuh dan takut buat percaya sama omongan orang lain.
“Pasti ada banyak orang di posisi saya yang ngerasain hal sama, tapi saya harap mereka bisa bertahan dan punya tempat berlindung, nggak kayak saya yang hampir nyerah sama hidup. Semoga kalian yang di sini pun nggak pernah ngerasain di posisi saya, hidup damai sama keadaan kalian, tapi tolong jangan ketawa di atas penderitaan orang. Kalian udah bahagia, jadi jangan nyari kebahagiaan lagi dengan nyakitin orang lain.”
Martha gigit bibir bawahnya, menengadah untuk membangun bendungan besar agar air matanya tidak tumpah. Martha harus bertahan selama berada di panggung, setelah itu jika harus kalah, dia rela tidak bisa bangun. Setelah mengumpulkan kembali keberaniannya, Martha pandangi lagi ratusan orang yang menunggu wanita itu bicara untuk terakhir kali.
“Makasih udah kasih saya kesempatan buat berdiri di sini. Cukup berhenti di saya supaya nggak ada orang lain yang ngerasain susahnya di posisi saya.”
Martha menjatuhkan mic hingga tergeletak di atas panggung. Tenaganya sudah tidak mampu menampung beban di tubuh. Beruntung tak lama setelah menyudahi luapan hatinya, Martin berhasil naik ke panggung dan mendekati Martha. Pria itu menyampirkan jasnya ke tubuh sang puan, menutupi tubuh Martha yang makin bergetar hebat, lalu membawanya turun setelah Martin layangkan tatapan penuh dendam pada Dalia yang tampak tidak bersalah.
“Tin, gue—”
Martin menggeleng pelan ketika Julian berusaha bicara, membungkam temannya untuk membiarkan pria itu membawa istrinya pulang sebelum jadi bulan-bulanan terlalu lama. Seiring dengan dua pasang kaki yang melangkah ke luar, Martin bersumpah tidak akan memaafkan siapa pun yang sudah mempermainkan Martha hingga orang itu mendapatkan ganjarannya.
Kali ini Martin tidak akan diam. Terima atau tidak, sudah waktunya Martin biarkan kobaran api dalam dirinya menyebarkan bara pada yang bersalah.