hanyabualan

Marni datang pada sore hari, niatnya akan menginap untuk membantu Martin menjaga Markus, selagi beliau mengawasi kondisi Martha yang mudah berubah-ubah. Tadi siang ketika mengirim pesan, Martin berkata bahwa Martha baik-baik saja, tetapi harus hati-hati ketika mengajaknya bicara agar tidak mengguncangnya terlalu dalam. Jika Martin sampai berkata demikian, maka artinya kondisi sang putri sangat parah sampai diajak bicara saja tidak bisa seenaknya.

Kedatangan Marni disambut dengan baik oleh Martin yang sebenarnya waswas bila mertuanya tidak disambut terlalu baik oleh sang istri. Namun, Martin tidak mungkin menolak karena bagaimanapun Martha pasti butuh dukungan besar dari orang terdekat—meski beliau menjadi salah satu sumber lukanya.

“Di mana Martha?” tanya Marni pelan ketika Martin membawakan tas mertuanya yang berisi pakaian dan keperluan pribadi untuk dua malam.

“Di ruang keluarga, lagi nonton. Markus sekarang lagi tidur di kamar. Bunda langsung samperin aja, ya. Biar aku simpan ini dulu di kamar.”

Marni manggut-manggut ketika Martin pergi lebih dulu menuju kamar tamu, sedangkan wanita itu berjalan mendekati sumber suara dari televisi yang ada di ruang keluarga tempat Martha berada. Pelan sekali Marni mendekat, sengaja tidak mau mengejutkan Martha atas hadirnya.

Marni ingin presensinya jadi dinanti dan dibutuhkan, tanpa penolakan apalagi beliau pernah diusir dan setelahnya tidak ada komunikasi lagi yang tercipta.

“Martin, kamu nyimpen tas siapa di kamar tamu?”

Suara Martha menunjukkan keheranan, dari posisinya Marni pun bisa melihat putrinya berdiri kala Martin keluar dari kamar tamu. Alih-alih menjawab, Martin malah menatap Marni yang memaku di tempatnya, hanya tinggal beberapa langkah dari Martha yang menunggu jawaban dan belum sadar ada tamu di belakangnya.

Begitu menyadari mata Martin tidak menatap lurus ke arahnya, Martha lantas menoleh untuk menemukan sosok yang diperhatikan oleh suaminya. Saat netranya beradu pandang dengan Marni yang mulai mendekatinya, Martha justru menjauh dan lehernya tiba-tiba menegang seakan tercekik oleh sepasang tangan tak kasatmata yang membuat napasnya putus-putus.

“Nak, ini Bunda,” ucap Marni lirih saat tahu Martha ketakutan kala melihatnya.

Diberi tahu begitu malah membuat Martha kian gentar, lalu mengurung diri di balik pelukan Martin yang berusaha meraihnya agar tenang. Tubuh ringkih itu bergetar hebat dan Martin tahu itu bukan tanda yang baik untuk istrinya. Akan tetapi Marni tidak menyerah, beliau makin mendekat dan tidak takut untuk menyentuh pundak putrinya.

“Ini Bunda, Martha. Bunda nginep di sini, ya. Biar jagain kamu.”

Gagal luluh, Martha terus bersembunyi karena tidak mau melihat sumber lukanya lagi dalam jarak dekat. Marni yang syok dengan reaksi itu jelas tidak mau lepas, malah ingin menarik Martha agar berpindah ke pelukannya, memaksa sang putri agar berada dalam lindungannya.

Namun, pelan-pelan Martin beri pengertian melalui tatapan matanya bahwa Martha akan kembali seperti semula bila Marni tidak memaksa. Maka dengan enggan beliau tarik tangannya, mundur selangkah agar memberi Martha ruang untuk bisa bernapas lega barang sedetik saja. Nyatanya Martha tidak kunjung membaik, justru kian parah seakan jauhnya Marni tidak cukup untuknya bebas dari ketakutan yang telanjur dipupuk.

Usaha Martin pun sia-sia, sebab sebesar apa pun upayanya membujuk, Martha tidak mau menoleh pada Marni barang sesenti pun. Sungguh, hati Marni hancur melihat putrinya berada dalam belenggu luka yang tidak bisa sembuh.

Hadirnya Marni saja tidak jadi penyembuh, malah menambah luka yang tidak mampu ditutup. Bulir bening mulai membasahi pipi Marni yang gagal mendapatkan predikat ibu terbaik, karena nyatanya beliau telah menabur luka dan menuai siksaan ketika berusaha meraih Martha lagi.

Memori ketika Martha sering dijatuhkan dengan kalimat lembutnya terngiang bebas tanpa jeda, tidak memberi ampun ketika penyesalan itu akhirnya tiba saat Marni hampir terlambat untuk mengulurkan bantuan. Putrinya sendiri lupa siapa beliau, hanya tahu Marni adalah salah satu sumber luka paling besar yang jadi alasan Martha tidak tahu cara bangkit dari relung duka terdalam.

“Kamu nggak ke studio buat syuting?”

Pertanyaan itu mengudara bebas dari belah bibir Martha, memecah kesunyian yang sempat menciptakan spasi di antara sejoli itu. Sejak kemarin Martha tidak bicara pada Martin, hanya mau bersuara saat mengasuh Markus yang tidak tahu apa-apa tentang perkara yang menimpa orang tuanya.

Martin tidak masalah ketika Martha mengabaikan presensinya, sebab meski tawanya malam itu bukanlah perkara serius, pasti sang istri tidak bisa melupakan begitu saja. Lantas ketika akhirnya keheningan itu sudah lelah tercipta, dinding es yang memisahkan mereka untuk sementara waktu bisa meleleh juga.

Martin yang sedang menyiapkan sarapan seadanya dan mengawasi Markus di high chair tersenyum cerah. Selain untuk menyambut Martha yang sudah rapi dan wangi, dia pun senang karena tidak perlu makan hati lagi selama didiamkan tanpa pasti.

“Sarapan dulu, ya. Baru aku jelasin.”

Martha tidak menolak, memilih mendekati meja makan dan duduk di samping Markus yang sudah tidak sabar ingin sarapan. Martha pandangi sepiring nasi dan telur ceplok yang bentuknya sedikit aneh, seperti dibuat oleh orang yang baru belajar memasak dan takut kena cipratan minyak.

Mengabaikan penampilannya, Martha tetap hargai usaha Martin yang sudah mau memasak sarapan—bukan sekadar sereal dan susu seperti kemarin.

“Maaf telurnya berantakan,” ucap Martin malu sendiri melihat penampilan masakannya. “Aku cuma bisa masak telur, itu juga susah payah.”

Martha tersenyum samar sembari meraih mangkuk dan sendok Markus untuk memberinya sarapan. Sebelum aksinya dilakukan, Martin segera menahan tangan Martha dan mengambil alih mangkuk itu dari tangan sang istri.

“Biar aku yang suapin Markus. Kamu makan duluan aja, ya.”

Tanpa perlu diperintah dua kali, Martha biarkan Martin melakukan apa saja yang diinginkan. Martha tidak memiliki tenaga untuk membantah apalagi berdebat panjang yang bisa menimbulkan pertikaian lain di masa mendatang. Memastikan Markus sarapan dengan baik, barulah Martha makan dengan nafsunya yang setengah-setengah. Bukan karena telurnya, melainkan selera makannya jadi terganggu akibat ocehan orang-orang terkait fisiknya yang tertanam sempurna di tubuh.

Tidak hanya terjadi hari ini, tetapi di hari-hari sebelumnya pun pola makan Martha sudah kacau. Dia selalu memaksakan makan dengan banyak di depan Martin agar terlihat sehat, padahal nyatanya sebutir nasi saja menakutkan kala dilihat.

Gemas mendapati Martha makan lambat seperti siput, Martin yang duduk di samping Markus meraih sendok sang istri dan menyuapinya tanpa aba-aba. Martha bingung, tetapi tidak menolak suapan pertama dari Martin yang cukup banyak hingga mulutnya penuh oleh nasi dan telur.

“Aku bukannya mau bikin kamu tambah berisi, tapi kamu harus makan banyak biar sehat,” jelas Martin yang menyuapi Martha dan Markus bergantian, sedangkan pria itu menunda sarapannya sampai dua orang yang paling dia sayang bisa makan sebaik mungkin. “Terus aku udah nggak kerja lagi di studio.”

Kali ini Martha memberi reaksi yang tidak biasa, membeliak akibat terkejut ketika Martin meninggalkan pekerjaannya yang begitu dibanggakan—termasuk oleh Martha.

Sadar istrinya bingung, Martin memaparkan selagi tangannya terus menyuapi anak dan istri bergantian, “Aku keluar karena lingkungan di sana udah toxic sejak mereka suka ngatain kamu. Keputusannya udah bulat gara-gara kejadian di pesta Julian. Aku juga milih istirahat dulu dari endorse atau kerjaan lain supaya bisa jagain kamu sama Markus. Biar kamu nggak ngerasa sendiri lagi. Soalnya gara-gara kamu nangis kemarin lusa, aku jadi sadar omongan manis udah nggak mempan dan kamu lebih butuh akunya daripada omongannya. Makanya sekarang aku bakal selalu di rumah, biar kita bertiga bareng terus. Lagian nggak kerja beberapa bulan nggak bikin penghasilan aku habis.”

Penjelasan itu membuat Martha terenyuh karena Martin rela mengorbankan kariernya yang menjanjikan di media sosial demi memprioritaskan keluarga—khususnya menjaga kesehatan mental Martha yang kini goyah akibat terpengaruh komentar orang.

Martin tidak mau lagi buta hanya karena Martha mengatakan baik-baik saja, dia ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri jika sang istri benar dalam kondisi prima. Mau itu belum ataupun sudah, Martin tidak akan meninggalkannya dengan mudah dan tetap bersama Martha hingga gangguan sedikit saja tidak mampu menggoyahkannya.

“Kamu sayang banget sama kerjaan kamu.”

“Tapi lebih sayang sama keluarga aku,” ucap Martin tanpa ragu. “Kalau keluarga aku nggak baik-baik aja, aku nggak mau diam dan milih kerjaan. Aku harus mastiin semuanya udah baik-baik aja sampai nanti aku kerja lagi—kalau bisa.”

Martha raih tangan Martin sebelum menyuapinya lagi. “Kamu pasti nemu kerjaan yang lebih baik dan lingkungannya nggak toxic. Nanti setelah enakan, aku bakal kerja juga supaya nggak bebanin kamu sendiri.”

Martha masih mampu menyemangati Martin, padahal di balik manik legam itu ada pertolongan yang lebih dibutuhkan dibanding Martin sendiri. Itu belum menjadi pencapaian terbaik, sebab Martin inginkan Martha bisa menghargai dirinya dulu sebelum orang lain. Martin letakkan sendok, lalu mengecup punggung tangan Martha yang wangi aloe vera dari body lotion.

Inginnya bisa melihat Martha selalu sebaik ini, tetapi Martin tahu perasaan istrinya masih akan mudah berubah-ubah tergantung siapa, kapan, dan apa yang dibicarakan. Sekarang Martha boleh terlihat baik-baik saja, siang nanti? Siapa dan apa yang akan dibicarakan nanti? Belum tentu stabil. Bisa saja dukanya kembali tanpa tanda pasti.

Jadi, sampai kesehatan Martha pulih sepenuhnya, Martin tidak akan melepaskan sang puan dari pengawasannya. “Kamu nggak sendiri, Martha. Aku selalu ada buat kamu.”

cw // harsh word

Sesuai dugaan, tidak semua karyawan datang ke studio. Hanya ada Martin, Julian, Sigit, dan Selly. Padahal Julian sudah mengimbau melalui pesan agar semuanya datang tanpa terkecuali dengan alasan syuting, termasuk adiknya yang sayang sulit dibujuk.

Jika saja Dalia datang, perempuan itu akan jadi korban makian Martin paling keras karena dia yang berbuat parah semalam. Sekarang mereka berempat kumpul di lantai dua, tepatnya di tempat makan karena di situlah Martin pernah mendengar para karyawannya mencemooh Martha di belakang.

Martin duduk sendiri di sisi kanan, sedang di hadapannya ada Julian, Sigit, dan Selly yang harap-harap cemas. Sigit dan Selly yang datang ke pesta tidak tahu rencana semalam, mereka termasuk yang terkejut dan harus diakui sempat ikut menertawakan ketika melihat Martha di atas panggung. Maka tidak akan terkejut bila nantinya mereka ikut dihakimi oleh Martin yang berapi-api dalam duduknya.

“Kejadian kemarin itu nggak bisa gue maafin,” ucap Martin, membuka percakapan setelah cukup lama hening. “Jadi, sebagai bentuk keberatan besar, gue nggak akan ikut podcast. Hari ini gue bakal keluar.”

Sigit, dan Selly membeliak tak percaya. Lutut ketiganya lemas mendengar Martin memutuskan meninggalkan program yang dibangun bersama sejak pria itu belum menikah. Julian yang sudah menerima makian lebih dulu melalui pesan tidak terkejut, tetapi tetap kecewa karena rupanya keputusan Martin tidak berubah.

“Tin, tolong jangan keluar karena masalah kemarin,” bujuk Sigit.

Selly di sampingnya ikut mengangguk. “Kejadian semalam itu salah besar, tapi kami semua nggak tahu apa-apa. Sorry kalau kesannya gue nyalahin satu orang, tapi itu ulah Dalia sendiri. Kami aja kaget, Tin. Tolong pikiran lagi, ya.”

Martin tahu hanya Dalia yang bersalah, tetapi keputusannya sudah bulat. “Mau itu ulah sendiri atau bareng-bareng, gue tetep nggak bisa maafin orang yang udah hina istri gue di belakang dia. Selama ini kalian sering ngeledek Martha, tapi gue diemin, paling negur Julian yang seringnya susah dikasih tahu dan malah ngulangin. Gue masih sabar, tapi sekarang udah nggak lagi. Jadi, kalian semua berkontribusi atas keluarnya gue dari sini. Enggak cuma kejadian semalam, tapi ulah kalian beberapa waktu lalu udah bikin gue kecewa berat.”

Sebagai orang yang membangun kanal hingga sebesar sekarang, Julian, Sigit, dan Selly sangat menyayangkan keputusan besar Martin yang sungguh di luar dugaan. Namun, alasan Martin juga menimbulkan rasa bersalah, terlebih mereka belum pernah meminta maaf secara langsung, khususnya pada Martha sebagai korban. Martha tidak pernah mendengar ketika orang-orang di studio menggunjingnya, tetapi Martin bisa mendengar dan apa pun yang menyangkut sang istri, maka itu ikut jadi urusannya.

“Julian,” panggil Martin seraya menatap rekan seprofesinya yang hanya bungkam, padahal biasanya dia yang paling lantang. “Mana adik lo yang kurang ajar itu? Dia udah bikin istri gue malu! Apa jangan-jangan dia juga yang udah nuker gaun Martha?”

Sudah Julian duga dia akan diserang membawa nama sang adik yang menjadi pelaku utama. Julian yang tidak bisa melawan karena tidak memiliki alibi apa-apa memilih mengakui tebakan Martin, bahkan tidak tersinggung ketika Dalia dihina seperti itu.

“Iya, dia nuker gaun Martha yang sempet lo simpan di sini. Tapi jujur, gue juga baru tahu semalam, Tin. Terus tadi pagi dia baru ngasih alasan kenapa bisa bertindak di luar nalar kayak gini,” jelas Julian, tidak mau menutu-nutupi aib Dalia. Pun tidak menutupi kesalahannya yang sudah dibeberkan Martin sebelumnya.

“Apa alasannya?” tanya Martin sengit.

“Dalia haters Martha sejak lo nikahin dia. Dalia nggak suka idolanya nikah sama orang lain. Makanya kerja di sini ngasih dia keuntungan dan bisa ngerjain Martha abis-abisan. Tapi ini pun salah gue, harusnya nggak biarin Dalia kerja di sini. Sekarang semuanya udah telanjur kejadian.”

Fakta yang konyol, tetapi bisa memberikan dampak separah itu hingga Martha harus jadi korban dipermalukan oleh publik akibat ulah Dalia. Martin berdiri, otomatis disusul oleh tiga rekannya yang makin menyesali perbuatan mereka tempo hari.

“Lo semua berengsek!” maki Martin, tidak peduli ada Selly yang juga perempuan, sebagai salah satu yang salah karena telah membicarakan hal buruk soal Martha. “Gue mau Dalia bertanggung jawab atas semua kelakuan dia. Gue juga bakal tuntut dia dan orang-orang yang udah hina istri gue! Sekarang gue nggak akan diam, jadi kalian jangan ada yang nahan. Mending urus hidup masing-masing, anggap gue udah selesai sama kalian.”

Martin bergegas keluar dari ruang makan, tetapi segera ditahan oleh Julian yang tidak ingin membiarkan temannya keluar dari program mereka.

“Tin, please jangan gini. Gue rela dimaki, tapi jangan sampai keluar.”

“Bodo amat! Lingkungan di sini udah toxic, gue nggak mau makin bersalah sama Martha karena bertahan bareng kalian yang bisanya hina dia doang! Sekarang gue mau beresin barang-barang gue yang ada di sini dan jangan nahan gue!”

Martin menyingkirkan tangan Julian di pundaknya secara kasar, lalu turun tanpa peduli ketiga rekannya yang panik akan kehilangan orang terbaik dan menghancurkan program dalam satu malam.

Julian ikut bertanggung jawab atas semua yang terjadi, maka dia tidak akan melindungi diri maupun orang yang paling bersalah dalam hal ini; Dalia, adiknya.

Ruangan panitia berisi beberapa single sofa, dispenser, meja dengan kudapan, dan kamar mandi dalam itu tengah dihuni oleh Martin, Julian, dan dua kawan lain yang sedang menghindari kerumunan. Sebenarnya Martin yang awalnya istirahat di ruang panitia sembari menunggu pesan atau telepon Martha, karena bila ada di ruang utama pasti suara ponselnya akan kalah oleh nyaringnya musik.

Tak lama Julian menyusul, katanya ingin mencari udara segar, padahal dia sendiri yang mengundang ratusan orang dan DJ ternama untuk menghibur seluruh tamu, tetapi dia juga yang malah pusing. Julian datang bersama kawan lain yang juga jadi panitia. Alasan mereka bersedia ikut Julian itu sama; mencari udara segar.

Bercakap-cakap ringan, tiba-tiba nama Martha diungkit karena tidak kunjung hadir. Awalnya masih mampu Martin jawab, sampai dia memilih bungkam ketika dua temannya mulai mengungkit fisik Martha.

“Berarti istrinya yang nggak berhasil, suami tinggal nyari yang lain lagi.”

Ucapan Andreas, pemilik suara melengking yang juga berprofesi sebagai YouTuber dengan konten review mainan, mengundang tawa Gerald—seorang influencer dan kawan lama Martin di kampus—serta Julian seakan itu adalah lawakan terbaik yang pernah mereka dengar.

Di luar kebiasaan, Martin tiba-tiba ikut tertawa dengan pandangan kosong mengarah ke lantai, tidak mampu memandang ketiga temannya yang masih menertawakan Andreas—yang artinya juga menertawakan Martha. Julian yang sangat tahu kebiasaan Martin bila ada cacian terhadap sang istri justru heran, sebab tidak biasanya pria itu akan menanggapi gurauan temannya jika sudah menyangkut fisik Martha.

“Lo ketawa,” ucap Julian, masih terkekeh pelan. “Lo setuju, Tin?”

Martin tertawa untuk kedua kalinya, kali ini bukan karena lucu, tetapi sebagai teguran untuk Andreas dan Gerald bahwa mereka sudah mencari gara-gara pada orang yang salah. Martin berhenti tertawa, mengangkat pandang pada dua temannya yang sudah mengolok-olok Martha seakan itu bukan masalah besar.

Julian yang khatam otomatis bungkam, dapat ditebak jika Martin tidak mungkin menertawakan istri kesayangannya yang dihina sedemikian rupa. Jika tawanya sama dengan yang lain, artinya secara tidak langsung Martin pun ikut menghina sang istri yang begitu dilindungi. Andreas dan Gerald masih tertawa, disuguhkan tatapan nyalang Martin yang membuat bulu roma dua laki-laki lajang itu berdiri.

Tidak biasanya Martin menyeramkan—bahkan pria itu tidak pernah sekalipun melayangkan pandang yang menakuti siapa pun kala menerimanya. Julian memilih mundur selangkah, tidak mau berurusan ketika Martin menunjukkan taringnya.

“Ngapain harus malu sama keadaan istri gue?” Martin mulai merespons ledekan dua temannya. “Harusnya kalian yang malu udah rendahin Martha di depan gue.”

“Tin—”

“Emang kenapa sama fisik Martha yang berubah?” Martin menyambar kalimat Andreas yang berusaha memadamkan kobaran api di mata temannya. “Dia berubah juga nggak bikin lo berdua rugi. Enak banget lagi bilang suami nggak suka lihat fisik istrinya setelah melahirkan. Teori dari mana itu? Kalaupun ada yang nggak suka, gue nggak ngerasa demikian. Bagi gue dia tetep sempurna. Gue juga nggak akan cari perempuan lain, Martha udah jadi yang terbaik. Kalau lo gitu,” Martin menunjuk tepat di wajah Andreas, “emang lo aja yang jiwanya tukang selingkuh!”

“Tin, udah,” tegur Gerald ketika Martin meninggikan intonasi bicaranya.

“Lo juga!” Martin layangkan makian serupa pada Gerald, sama berlebihannya dan tidak bisa dimaafkan. “Enggak ada yang berhak hina fisik istri gue. Dia berubah karena udah bertaruh nyawa. Lo jangan ngerasa paling sempurna hanya karena nggak akan ada posisi Martha!”

Julian segera menahan pundak Martin ketika pria itu hampir tidak cukup melampiaskan emosinya melalui kata saja. Bila tidak ditahan, mungkin Martin akan menghajar Andreas dan Gerald sebagai hukuman karena telah menghina Martha. Andreas dan Gerald jelas syok dengan tingkah Martin yang di luar dugaan, napasnya yang memburu makin membuat pria beranak satu itu kian mengerikan.

Martin yang tenang dan selalu menyebar senyum, kali ini menunjukkan sosoknya yang lain demi membela sang istri akibat tidak tahan bila Martha terus menerima gunjingan atas perubahan fisik.

“Lo berdua pergi, deh. Kalau nggak bisa ngomong hal baik, mending lo berdua diem, jangan sebut nama Martha lagi baik itu di depan gue atau yang lain!”

Julian memberi kode agar Andreas dan Gerald mengikuti perintah Martin, diikuti dengan patuh karena mereka pun tidak mau kena imbasnya makin lama. Setelah dua laki-laki itu keluar, Julian menarik tangannya yang menahan Martin, lalu tak lama Martin lebih relaks setelah sumber amarahnya hilang dari pandangan.

“Lo di sini dulu aja. Gue keluar biar lo tenang,” ucap Julian seraya menepuk bahu Martin beberapa kali. “Lo juga salah,” sahut Martin tanpa menatap Julian yang berniat keluar. “Lo salahnya yang paling besar.”

Julian tahu itu, jadi dia tidak membantah tuduhan Martin dan mengangguk pertanda setuju. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Julian keluar dari ruangan panitia, membiarkan Martin sendirian yang masih berdiri di posisi semula. Martin embuskan napas berat, mengusap wajahnya kasar setelah melampiaskan amarahnya pada Andreas dan Gerald.

Sesungguhnya dia belum puas, tetapi Martin tidak mau membuat keributan besar di pesta Julian, apalagi jika dia harus menerima tuntutan akibat kekerasan jika itu terjadi sungguhan.

“Martha,” pria itu berkata lirih, “semoga kamu nggak akan pernah denger omongan kayak gitu lagi.”

Martin tiba di rumah ketika Martha baru saja menyuapi Markus makan dan mengajaknya bermain di ruang keluarga, membiarkan sang putra duduk dan memainkan boneka kecilnya yang sama menggemaskannya seperti dia. Melihat Markus bermain adalah relaksasi terbaik, meski ketika Martin akhirnya mendarat di kediaman mereka, ketenangan Martha menghilang begitu saja.

“Biar aku jelasin yang kemarin.” Martin tidak mau basa-basi, menunggu waktu yang tepat hanya membuang durasi dan bisa digunakan untuk bicara hal penting.

Tanpa menatap Martin yang berdiri di samping sofa Martha bertanya, “Kamu nggak lihat aku lagi ngasuh Markus?”

Kemarin Martha diam, sekarang wanita itu mampu bicara lancar tanpa ramah tamah seperti yang biasa ditunjukkan. Hasil kesalahpahaman kecil berdampak besar dan Martin makin tidak mau menunggu lama untuk menjelaskan semuanya.

Martin raih Markus ke gendongannya, membawa sang tunggal ke kamar dan dibiarkan sendiri di ranjang yang memiliki pembatas cukup tinggi hingga dia tidak akan bisa kabur. Setidaknya untuk beberapa saat sampai Martin dan Martha menuntaskan salah paham mereka.

Setelah memastikan Markus aman di kamar, Martin keluar dan menemukan Martha yang tiba-tiba sibuk di dapur. Sudah mengeluarkan tiga wortel dan memotongnya di atas cutting board.

“Duduk dulu. Biar aku siapin makan,” ujar Martha yang sadar Martin berada di dekatnya.

“Aku mau ngomongin soal yang tadi, Martha. Tolong jangan menghindar, biar kamu nggak makin salah paham.”

“Makan dulu, baru kita ngobrol.”

Martin menggeleng, menunda bukan pilihan yang baik. “Aku mau sekarang, Martha. Soalnya kemarin itu aku nggak serius ngetawain kamu.”

Martha meletakkan pisau di atas cutting board dengan keras, menimbulkan suara nyaring yang sedikit membuat Martin tersentak. Martha embuskan napas pelan, mengumpulkan secuil nyali untuk menghadapi kenyataan semalam yang paling membunuh jiwanya. Akhirnya Martha berbalik, menghadap Martin yang sudah tidak sabar untuk memberikan penjelasan sebelum sang istri makin jauh memahami ulahnya.

“Kalau nggak serius, apa harus sampai ketawa dua kali sekeras itu di depan temen-temen kamu?” Martha menyerang sebelum Martin sempat bicara lagi. “Aku bisa terima dipermaluin gitu sama orang-orang, videonya kesebar di sosmed pun aku nggak masalah, tapi ketawanya kamu jadi yang paling nyakitin, Martin. Aku ngomong kayak semalam bukan karena mereka aja, tapi kamu juga.”

“Makanya izinin aku jelasin dulu, Martha,” geram Martin seraya mencengkeram pundak Martha, berharap istrinya mau bungkam setelah diberi ketegasan.

Martha akhirnya mengangguk, meski sebenarnya enggan mendengar apa pun hari ini karena jiwanya sudah remuk. Setelah memastikan istrinya tidak akan memotong ucapan ataupun tindakan Martin sampai dia bisa menjelaskan secara tuntas, barulah pria itu bicara.

“Aku nggak tahu kamu denger sebanyak apa, tapi reaksi yang begini bikin aku yakin kamu nggak denger omongan aku selanjutnya. Aku ketawa bukan karena setuju sama omongan yang lain, tapi aku ngeledek mereka yang udah ngeledek kamu, Martha. Setelah itu aku negur mereka, kok. Aku nggak ada maksud buat ikut ngetawain kamu. Beneran.”

“Tapi kenapa harus sambil ketawa?” tanya Martha sarkastis. “Dengan ketawa itu bikin mereka ngira kamu setuju, bahkan Julian aja mikir gitu, kok. Aku pun yang denger nggak kepikiran kamu bakal ngebela, soalnya kamu kedengeran puas banget kayak dapet kesempatan buat ngetawain aku di belakang. Oh, terus gaunnya,” Martha memulai topik yang lebih jauh, “apa kamu sengaja ngasih aku gaun kayak gitu biar diketawain orang-orang? Gaun itu nggak bagus di badan aku, tapi aku tetep maksa pake karena coba ngehargain kamu!”

“Itu bukan gaun yang aku kasih, Martha!”

Pasangan itu saling meninggikan intonasi bicara, tidak ada ketenangan di balik perdebatan mereka karena terlalu lelah dengan masalah yang tidak kunjung usai.

“Gaun itu ditukar sama Dalia. Dia pasti lihat hadiah yang aku simpan dulu di studio, terus dia tukar waktu ada kesempatan. Desainnya beneran beda sama yang aku beli. Aku juga baru tahu hari ini, Martha. Seandainya aja kamu ngasih lihat gaunnya, aku pasti tahu dari awal.”

“Oh, oke! Itu salah aku karena nggak nunjukin gaunnya ke kamu buat make sure itu emang sesuai sama yang kamu beli.”

Martha berjalan menjauhi dapur. Ada banyak benda tajam di sana yang tidak boleh didekati untuk kondisinya saat ini. Martin mengekor, tidak membiarkan Martha menggantungkan percakapan yang belum usai.

“Itu salah aku,” aku Martin saat mereka tiba di ruang keluarga, berdiri berhadapan untuk melanjutkan perdebatan. “Aku nggak cek dulu gaunnya dan langsung kirim karena nggak kepikiran bakal ada yang nukar. I’m sorry.”

Martha menyeringai, kondisinya kian kacau mendengar permintaan maaf yang tidak diperlukan. “Kamu nggak usah minta maaf, itu sekarang percuma. Udah telanjur kejadian,” tutur Martha yang tenaganya tiba-tiba menipis. “Sekarang biar aku tanya. Apa pernah … sekali aja, kamu nggak suka sama penampilan aku yang sekarang? Jujur, biar aku nggak kepikiran ketawa kamu lagi.”

Martin ambil satu langkah mendekat seraya berkata, “Aku nggak pernah ngerasain itu, Martha. Aku suka kamu apa adanya, beneran. Semua pujian aku ke kamu itu tulus, nggak semata-mata mau bikin kamu jadi percaya diri, tapi emang itu yang aku pikirin setiap lihat kamu.”

Martin bersungguh-sungguh atas ucapannya, tidak ada ragu ataupun dusta yang tersirat di matanya, menandakan bahwa Martin tidak pernah memandang keadaan Martha sekarang sebagai kekurangan yang harus ditutupi. Alih-alih senang, Martha tetap gagal diselamatkan dari kejatuhan terdalamnya. Dia tetap terjebak di lubang kesakitan paling dalam yang Martin sendiri tidak pernah tahu sejak kapan Martha berada di sana.

“Kamu selalu ngomong manis, bahkan saat keadaannya lagi gini.” Martha gigit bibir bawahnya, menyingkirkan anak rambut yang menghalangi pandangan dan menyelipkannya di belakang telinga. “Tapi jujur, ucapan manis kamu itu udah nggak pernah mempan di aku lagi beberapa waktu terakhir ini, Martin. Setiap kamu muji, aku nggak ngerasa itu pujian yang layak aku terima. Aku nggak pernah baik-baik aja, tapi berusaha kayak orang paling cuek sedunia setiap di depan kamu. Aku lebih sering nangis sendirian daripada ketawa sama kamu, bahkan kadang kepikiran buat berhenti hidup aja daripada jalanin semuanya pake topeng yang sekarang udah nggak tahu ke mana.”

Martha terisak, kali ini membiarkan tirta membasahi pipi tiada henti. Sesekali menengadah demi mengumpulkan suaranya lagi, tidak mau membuat dusta soal kondisinya yang telah hancur berkeping-keping. Martin justru membeku, merasa buta karena tidak pernah tahu kondisi Martha yang sesungguhnya.

Setiap wanita itu berkata baik-baik saja, Martin akan langsung percaya lalu pergi seakan semuanya akan berlalu dengan cepat. Realitasnya, Martha makin dirusak oleh ucapan orang-orang yang tidak bersimpati padanya.

“Aku pasti berubah, aku udah nyusun rencana supaya bisa kayak dulu, tapi kenapa … kenapa orang-orang nuntut aku buat cepet-cepet? Kenapa mereka nggak bisa sabar? Sebenernya aku ada salah apa sama orang-orang sampai mereka ngomong sejelek itu? Kalau ada salah bisa ngomong, biar aku minta maaf satu-satu ke mereka. Sekarang aku yakin mau kayak dulu juga udah percuma, orang-orang udah telanjur lihat jeleknya. Bagi mereka aku bukan orang lagi, aku cuma bahan lawakan yang pantes diketawain.”

Martha tak sanggup lagi berdiri, hingga dia biarkan tubuh kuyunya jatuh ke lantai sebagai satu-satunya sandaran tempat dia biasa berlinang air mata. Martin perlahan mendekat, menyadari kesalahan fatal bahwa dia tidak mengenal Martha sedalam yang dikira.

Martha tetap terjebak di relung luka, sedangkan Martin masih berada di atas tanpa tahu harus menyelamatkan cintanya. Martin turut duduk di lantai, meraih Martha dan menguncinya dalam kurungan rengkuh yang dibutuhkan. Tidak apa-apa bila bajunya harus basah, selagi Martha bisa menuntaskan segala duka.

Kondisi Martha sekarang adalah bukti nyata bahwa lidah dan jari manusia adalah senjata paling mematikan yang membunuh secara perlahan. Menjauhkan jiwa dari keindahan dunianya, membiarkan derita terus menariknya agar terjebak makin lama tanpa tahu kapan selamat.

Tidak ada kesalahan yang Martha perbuat hingga dia harus meminta maaf pada kejamnya manusia. Justru seharusnya orang-orang pemberi luka itulah yang menunduk dan mengucap maaf secara tulus telah melukai Martha.

Runtuhnya Martha membuktikan bahwa membenci seseorang tidak membutuhkan alasan yang kuat, tetapi dampak kebencian itu amat besar hingga korban memiliki alasan yang banyak untuk menyerah.

Runtuhnya Martha adalah bukti nyata bahwa Martin telah gagal melindungi dari malapetaka, justru menjadi salah satu petaka yang makin menjauhkan sang istri darinya.

Runtuhnya Martha adalah bukti jika manusia bisa lebih kejam dari makhluk apa pun dan dapat membunuh tanpa perlu menusuk langsung, cukup dengan satu kata yang buruk, sudah mampu menancapkan banyak luka yang tidak mampu dihitung.

Rumah yang sejatinya ramah kini jadi sumber kesusahan. Keluarga yang mencari bahagia malah menemukan siksaan. Sumpah Martin untuk membalas semua derita Martha pada sumbernya harus segera terlaksana, selagi dia melindungi keluarganya dari mara bahaya lain sebelum menyerah itu nyata.

Langit Jakarta sudah gelap, tetapi jalan raya makin berkilau. Ibu kota yang tidak pernah mati, tempat orang mencari kehidupan baik, meski seringnya tidak sesuai ekspektasi. Martha yang lahir di Jakarta sudah terbiasa dengan hiruk pikuknya, tetapi baru kali ini dia menganggap kota kelahirannya sendiri sangat menyeramkan.

Well, hanya satu lokasi yang baginya membuat bulu kuduknya merinding, lokasi yang menjadi tujuannya untuk menghabiskan malam, tetapi Martha sudah berjanji tidak mau memakan waktu terlalu lama. Tujuan Martha adalah tempat bernama Sunset House, sebuah rumah di kawasan Selatan yang sering disewa untuk berbagai pesta; ulang tahun, lamaran, tunangan, sampai pernikahan.

Martha tiba satu jam lebih lama dari jadwal mulainya pesta. Sengaja Martha lakukan itu karena dia tidak mau basa-basi selain bersama pemilik pesta, tidak mau juga jadi pusat perhatian sejak dini dengan penampilannya yang dibilang setengah-setengah; setengah membuatnya percaya diri dan setengahnya lagi membuat Martha takut.

Ketika melewati pilar-pilar besar tempat penjaga mengawasi setiap tamu yang datang dan pergi, Martha mengeluarkan ponsel dari sling bag-nya untuk menghubungi Martin bahwa dia sudah tiba. Martha tidak hanya mengirim pesan singkat, tetapi juga menelepon pria itu agar mendapat respons lebih cepat. Sayang, baik pesan dan teleponnya tidak ada yang dijawab, membuat Martha merasa seperti orang yang tersesat meski pintu masuk sudah di depan mata.

Area depan sepi karena semua tamu sudah di dalam, menikmati musik yang gaduh hingga terdengar ke luar, sedangkan tubuh mereka sibuk meliuk di lantai dansa dengan gembira. Ada hampir sepuluh menit mencoba menghubungi sang suami, Martha menyerah dan memilih masuk untuk mencari sendiri.

Dia tidak mau menanti terlalu lama atau nanti malah dicurigai sebagai orang aneh, pula dijadikan bahan bisik-bisik tetangga jika terlalu banyak saksi atas kehadirannya. Begitu masuk, ratusan manusia berkumpul di satu ruangan utama yang membuat Martha merasa sesak dan hampir tidak bisa bernapas dengan baik. Namun, keuntungan tetap didapat ketika mata manusia tidak mengekorinya sedikit pun karena sibuk dengan urusan masing-masing, jadi Martha bisa sedikit santai selagi mencari Martin.

Saking santainya, Martha bahkan bisa sambil minum untuk menyegarkan tenggorokan, lalu menelusuri ruangan utama dan belum menemukan suaminya di sana. Hati-hati sekali Martha melangkah, sebab dia tidak mau ada insiden memalukan seperti menabrak seseorang dan membuat kehadirannya jadi atensi yang lain, menyebabkan rasa malu lain yang kali ini tidak akan membuatnya aman.

Sampai tibalah Martha di satu sudut sepi, tempat staf hilir mudik membawa persediaan kudapan dan minuman yang cepat habis karena para tamu menikmati tanpa rasa puas. Sesak, Martha memilih memasuki sudut sepi itu untuk mencari sedikit udara segar sebelum memulai pencariannya lagi.

Di dalam sudut sepi itu ada beberapa pintu dengan ruangan berbeda yang masing-masing diberi nama; dapur, toilet, ruangan staf katering, sampai ruangan panitia. Pintu panitia sedikit terbuka, membuat Martha penasaran ada siapa di dalam. Mengingat Martin membantu persiapan acara Julian, jadi pastinya pria itu adalah salah satu panitia yang bertugas dan mungkin saja ada di sana. Martha melangkah perlahan mendekati pintu putih, sayup-sayup mendengar gelak tawa dari beberapa laki-laki yang mengasyikan.

Dari beberapa itu, ada dua tawa familier di rungu; Martin dan Julian. Akhirnya Martha bisa bernapas lega karena yang dicari bisa ditemukan, tetapi ketika tangannya akan mengetuk pintu untuk memberi tahu Martin bahwa dirinya telah tiba, gerakan Martha berhenti mengudara ketika namanya disinggung oleh seseorang pemilik suara bariton yang tidak dikenal.

“Martin, istri lo nggak dibawa ke sini? Dia udah lama nggak muncul depan banyak orang di acara kayak gini, lho.”

“Dia nyusul, tapi kayaknya belum nyampe,” jawab Martin yang sangat jelas karena Martha berdiri begitu dekat dari pintu. Dari situ Martha menduga Martin tidak membuka ponselnya sama sekali.

“Tapi lo nggak malu bawa istri ke sini?” tanya satu orang lagi, suaranya sedikit melengking untuk ukuran laki-laki. “Kata netizen ‘kan Martha sekarang gendut. Lo dulu dateng sama Martha ke acara kayak gini disebut couple goals mulu. Kalau sekarang Martha gendut, udah nggak goals, dong? Kan nggak setara sama lo.”

Si suara bariton menyahut lagi, “Lo nggak aneh atau bosen lihat bentukan Martha yang sekarang? Biasanya laki-laki ‘kan suka males kalau lihat fisik istrinya yang habis lahiran.”

“Emang lo gitu?” Giliran suara Julian yang terdengar, memancing percakapan agar lebih jauh alih-alih disudahi.

“Gue sih bakal males, terus gue paksa diet biar langsing lagi. Soalnya kalau istri terawat, berarti suaminya berhasil,” jawab si Bariton enteng.

“Kalau nggak terawat?” Julian kembali memancing.

“Berarti istrinya yang nggak berhasil, suami tinggal nyari yang lain lagi,” balas si Melengking, disusul tawa oleh dua orang lain seakan menyetujui ucapannya.

Di luar dugaan, Martin ikut menertawakan ucapan si Melengking cukup lantang sampai Martha membeliak kala mendengarnya. Martha terhuyung mundur. Itu tidak terdengar seperti Martin. Suaminya tidak akan tertawa ketika ada yang meledek Martha di depan wajahnya, pria itu pasti akan memberi pembelaan yang sepadan sembari menahan diri agar tidak bermain fisik.

Namun, bila diingat lagi, pembelaan itu dilakukan ketika di depan Martha. Bagaimana bila hal berbeda dilakukan di belakangnya? Apa mungkin Martin sebenarnya selalu ikut tertawa? Oh, jangan katakan … itu tidak mungkin, ‘kan?

“Lo ketawa,” ucap Julian, masih terkekeh pelan. “Lo setuju, Tin?”

Martin tertawa lagi, terdengar puas seperti orang yang leluasa untuk meluapkan segalanya setelah ditahan. Martha tidak sanggup lagi mendengar ketika suaminya justru ikut menari di atas kesulitannya untuk tampil dengan baik. Dengan langkah gontai Martha menjauhi pintu, berjalan menuju ruangan utama bersama genangan air di pelupuk yang nyaris tidak mampu dibendung.

Martha biarkan musik yang lantang memenuhi rungunya, siapa tahu bisa mengganti suara tawa Martin menjadi hiburan sepadan. Meski nyatanya gagal, sebab tawa Martin yang biasanya menyenangkan, kini jadi yang paling tajam dibandingkan lidah dan jari netizen. Pasalnya ini Martin, orang yang membawa dampak positif, selalu membuat Martha yakin bahwa dialah yang terbaik. Realitasnya, Martin malah jadi yang paling menghancurkan hati.

Di tengah kepedihannya, tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya dan pelaku itu muncul di hadapan Martha bersama senyum lebar seakan menyambutnya dengan penuh sukacita. Dalia tampak gembira, tidak melihat penderitaan di mata Martha yang nyaris tidak dapat disembunyikan di balik topengnya.

“Kak Martha, dari kapan nyampenya?” tanya Dalia dengan suara lantang. Tidak berhasil mengalahkan musik yang lebih keras, tetapi berhasil didengar oleh beberapa orang sekitar.

Akibatnya kehadiran Martha diketahui, mulanya hanya satu dua orang, lalu makin bertambah karena adanya pembagian informasi. Sayang, Martha yang tidak fokus gagal menyadari bahwa dirinya jadi pusat perhatian, bahkan suara Dalia saja tidak jelas didengar.

“Maafin aku ya soal kejadian waktu itu, Kak. Jujur aku itu penggemarnya Kak Martin, jadi setiap muji tuh nggak ada niatan buat rebut. Aku emang pernah nggak setuju waktu kalian nikah, soalnya sempat mikir kalian nggak cocok. Sekarang pun aku nggak anggap kalian cocok, tapi beneran deh, nggak ada niat lagi selain nunjukin rasa kagum aku ke Kak Martin.”

Martha yang jadi linglung hanya mengangguk tanpa sanggup menyahut, biarkan Dalia terus mengoceh sedangkan beberapa orang sekitar menatap Martha dengan tatapan aneh.

“Nikmatin pestanya ya, Kak. Aku harus nyari Kak Julian dulu. Dia habis tiup lilin malah ngilang. Bye bye.”

Dalia melambai dan pergi, hanya ditanggapi oleh anggukan kecil dan itu pun masih tidak tahu apa yang terjadi karena tawa Martin terlalu mendominasi. Martha memilih berdiri paling belakang, menghindari kerumunan yang menjadi momok paling menakutkan untuknya sekarang. Martha tidak boleh melakukan sesuatu yang terlalu mencolok mata, cukup penampilannya saja yang jadi pusat perhatian, perilakunya jangan.

Ada sepuluh menit menikmati kesendiriannya, ruangan utama yang redup jadi sunyi karena musik dipadamkan, menimbulkan kekecewaan untuk orang-orang di lantai dansa yang masih betah menari ria. Tak lama ada Dalia naik ke panggung kecil tempat DJ bermain dan tiup lilin dilakukan sebelum Martha tiba.

Dalia sudah memegang mic sembari membawa secarik kertas merah yang Martha tidak tahu apa isinya. Semua mata tertuju pada Dalia, sepertinya para tamu lain tahu apa yang akan dilakukan gadis itu karena sudah sangat dinantikan.

“Selamat malam, Semua. Maaf harus ganggu pestanya sebentar, tapi ini ada pengumuman penting yang harus aku kasih,” kata Dalia sembari melambaikan kertas di tangan, menimbulkan sorak tak sabar yang tidak Martha pedulikan. “Sebelumnya aku mau ngucapin selamat ulang tahun buat kakak aku, Julian,” Dalia menatap Julian yang berada di sisi panggung, tersenyum bangga pada dirinya sendiri, “dan seperti yang kalian tahu di undangan akan ada hadiah untuk pemenang dresscode terbaik. Jadi, sekarang aku bakal umumin siapa pemenangnya.”

Sorak sorai kembali berkumandang, kali ini tidak berhenti sesaat ketika Dalia mulai membuka secarik kertas yang dilipat rapi, sebab tidak sabar untuk tahu siapa yang menjadi juara malam ini. Julian ikut gugup, pasalnya dia tidak tahu siapa yang akan jadi pemenang. Dalia yang dipercayakan memilih, sebab itu adiknya jadi pengamat bagi setiap tamu yang datang untuk menentukan pemenang. Dalia menyeringai kecil sebelum akhirnya tersenyum lebar dan mengangkat micnya ke mulut, membacakan nama yang tertera di kertas merah sebagai pemenang malam ini.

“Pemenang dresscode terbaik malam ini adalah … Martha! Selamat, Martha!”

Nyaringnya suara Dalia kontradiktif dengan keadaan yang tiba-tiba sunyi ketika nama Martha disebut sebagai pemenang. Martin yang baru tiba setelah diam cukup lama di ruangan panitia terkejut bukan main, sebab seingatnya Martha belum—oh, sial! Martin mengeluarkan ponsel dari saku jas dalamnya, lalu menemukan lima pesan belum terbaca dan tiga panggilan tidak terjawab dari Martha yang dia lewati begitu saja karena baru sadar ponselnya disenyapkan.

Martin segera mencari di mana istrinya, tidak akan membiarkan wanita itu diperhatikan apalagi dipermalukan karena yakin kemenangan Martha adalah permainan belaka. Sayang, Martin sadar dia terlambat ketika lampu sorot menemukan Martha lebih dulu yang sedang berjalan menuju panggung. Orang-orang sekitar menyingkir, memadati sisi ruangan hingga Martin kesulitan berjalan untuk mencegah Martha sebelum tiba di atas.

Lagi, Martin terlambat karena Martha telah lebih dulu tiba di panggung dan menerima mic untuk bicara, tetapi menolak sebuah gift box yang menjadi hak pemenang. Netra Martha menelusuri hamparan tamu di ruang utama yang diam-diam menertawakan, membicarakan, bahkan beberapa ada yang sudah mengangkat ponsel untuk mengabadikan ‘kemenangan’ sang puan. Martha pun menemukan Martin di sana, berusaha melewati padatnya orang untuk menyusul istrinya.

Kala mic itu sudah tepat di bibir, sekujur tubuh Martha bergetar menandakan ketakutan besarnya. Namun, dia tidak bisa mundur. Sejak awal dia memutuskan naik meski tahu akan dipermalukan, Martha sudah berniat untuk menuntaskan segala beban di hati atas apa yang dia dapatkan hari ini dan selama beberapa bulan terakhir.

“Saya,” satu kata telah terlontar, membuat seluruh pasangan mata tertuju pada Martha, termasuk Martin, “saya yakin alasan bisa menang bukan karena baju saya yang paling bagus, tapi justru paling buruk di antara kalian yang lebih baik dan saya tahu, saya dipanggil untuk jadi bahan olok-olok. Karena itu saya nggak akan berterima kasih setelah dapat kemenangan, tapi saya mau manfaatin momen ini dengan ngomong di depan kalian semua. Siapa tahu kalian semua pernah ngetawain saya di belakang.”

Martin berhenti melangkah, memilih menyimak apa pun yang akan Martha katakan, sembari harap-harap cemas istrinya mampu bertahan hingga kata terakhir disampaikan.

“Dulu saya selalu dipuji sama banyak orang, tapi sekarang saya lebih banyak dapat hinaan baik secara langsung atau di sosmed aja. Saya emang gendut, badan saya nggak kayak dulu lagi, pernah berusaha diet pun harus gagal karena saya pake cara yang salah, tapi … gendut pun nggak ngerugiin kalian, ‘kan? Enggak bikin saya jadi banyak dosa sama kalian, ‘kan? Saya begini juga karena lahirin anak pertama saya, bukan demi dihina sama kalian. Hari itu saya bertaruh nyawa, saya bisa aja mati, tapi sekarang saya masih di sini dan hidup apa adanya yang ternyata nggak diterima banyak orang.

“Mungkin buat perempuan yang ada di sini belum ada di posisi saya, tapi coba bayangin kalau suatu saat ada di posisi itu. Atau buat laki-laki yang nggak akan ada di posisi itu, coba pikirin ibu kalian, pasti ada juga yang mengalami perubahan kayak saya.”

Dada Martha sesak, berat bukan main ketika dia memaksa harus bicara saat genangan air di pelupuk mata tidak kunjung sirna. Suaranya pun makin tidak keruan, tetapi Martha tidak mau menyerah hingga beban di hatinya tuntas—setidaknya untuk satu malam.

“Kadang saya mikir pernah buat salah apa sama kalian sampai seringnya dapat hinaan soal fisik. Saya lahiran nggak pake uang kalian, ngurus anak pun nggak pake tenaga kalian, tapi kesannya kayak saya yang punya utang dan harus dibayar. Mungkin kalian cuma orang asing, tapi omongan kalian nyakitin banget. Orang terdekat yang harusnya bikin saya aman malah ikut nyakitin, bikin saya makin jatuh dan takut buat percaya sama omongan orang lain.

“Pasti ada banyak orang di posisi saya yang ngerasain hal sama, tapi saya harap mereka bisa bertahan dan punya tempat berlindung, nggak kayak saya yang hampir nyerah sama hidup. Semoga kalian yang di sini pun nggak pernah ngerasain di posisi saya, hidup damai sama keadaan kalian, tapi tolong jangan ketawa di atas penderitaan orang. Kalian udah bahagia, jadi jangan nyari kebahagiaan lagi dengan nyakitin orang lain.”

Martha gigit bibir bawahnya, menengadah untuk membangun bendungan besar agar air matanya tidak tumpah. Martha harus bertahan selama berada di panggung, setelah itu jika harus kalah, dia rela tidak bisa bangun. Setelah mengumpulkan kembali keberaniannya, Martha pandangi lagi ratusan orang yang menunggu wanita itu bicara untuk terakhir kali.

“Makasih udah kasih saya kesempatan buat berdiri di sini. Cukup berhenti di saya supaya nggak ada orang lain yang ngerasain susahnya di posisi saya.”

Martha menjatuhkan mic hingga tergeletak di atas panggung. Tenaganya sudah tidak mampu menampung beban di tubuh. Beruntung tak lama setelah menyudahi luapan hatinya, Martin berhasil naik ke panggung dan mendekati Martha. Pria itu menyampirkan jasnya ke tubuh sang puan, menutupi tubuh Martha yang makin bergetar hebat, lalu membawanya turun setelah Martin layangkan tatapan penuh dendam pada Dalia yang tampak tidak bersalah.

“Tin, gue—”

Martin menggeleng pelan ketika Julian berusaha bicara, membungkam temannya untuk membiarkan pria itu membawa istrinya pulang sebelum jadi bulan-bulanan terlalu lama. Seiring dengan dua pasang kaki yang melangkah ke luar, Martin bersumpah tidak akan memaafkan siapa pun yang sudah mempermainkan Martha hingga orang itu mendapatkan ganjarannya.

Kali ini Martin tidak akan diam. Terima atau tidak, sudah waktunya Martin biarkan kobaran api dalam dirinya menyebarkan bara pada yang bersalah.

Martha mengusap cermin di kamar mandi yang dipenuhi embun hingga sedikit menutupi bayangannya. Setelah cermin bersih dari embun, Martha mengamati dirinya sendiri yang hanya mengenakan handuk dengan rambut basah setelah keramas untuk bersiap diri menuju acara Julian.

Sesuai rencana, Martin membawa Markus ke lokasi acara untuk membantu persiapan, jadi Martha bisa sedikit santai di rumah. Baru sebelum acara dimulai, Martin akan menitipkan Markus ke salah satu kerabatnya yang cukup dekat, lalu dijemput setelah acara selesai. Sesuai rencana pula, Martha akan datang seorang diri tanpa pendamping sejak nanti dia menginjakkan kaki di lokasi.

Martha masih terus pandangi tubuhnya yang berubah drastis. Kali ini perubahan yang terjadi tidak dapat dia lihat secara positif. Padahal di awal-awal, Martha mensyukuri apa pun yang terjadi karena perbedaan itu muncul setelah Markus hadir sebagai berkah dari Sang Ilahi, tetapi sekarang dia tidak memandang transformasinya itu sebagai hal baik yang patut disyukuri.

Pipinya yang biasa tirus begitu berisi, tulang selangka kebanggaannya yang sedikit timbul tak dapat terlihat akibat bongkahan lemak di bagian sana, belum lagi kedua lengannya yang membesar dan memalukan kala dilihat. Lingkar dadanya pun bertambah, ditambah dia masih menyusui hingga membuatnya jadi lebih besar. Bagian perut jangan ditanya. Hingga saat ini masih buncit dan tidak sekencang saat dia masih gadis, belum lagi adanya stretch mark di sana yang tidak sedap dipandang—entah kenapa bagi Martin itu biasa saja, padahal Martha yang memilikinya sangat geli.

Bagian kakinya pun sedikit membesar, sempat membuat pergerakannya terasa jadi lambat, khususnya di awal-awal pasca melahirkan. Martha sudah melakukan perawatan untuk menghilangkan stretch mark, jadi sedikit berkurang di bagian sana.

Kendati perubahan lain belum diatasi secara maksimal, Martha sudah membuat perencanaan cukup banyak untuk mengembalikan bentuk tubuhnya seperti semula. Masih lama karena Martha perlu menunggu sampai Markus bisa jalan, tetapi itu tidak masalah selama niatnya sudah mulai dibentuk sejak sekarang.

Martha keluar dari kamar mandi dan mengambil hair dryer yang ada di lemari untuk mengeringkan rambutnya. Setelah rambutnya kering, Martha mendekati kasur tempat dalaman dan gaun yang telah dia keluarkan dari lemari berada, gaun merah yang menarik di mata—tentu dalam konotasi negatif—sebab tak terlalu sedap dilihat.

Entah Martha bagian mana yang dipikirkan Martin ketika mengambil gaun itu, sebab dari segi mana pun desainnya tidak menggambarkan sang istri yang sedang menumbuhkan bagian hilang dalam dirinya. Namun, Martha tidak mampu menolak, jadi dia tetap mengenakan gaun itu meski tahu akan sangat memalukan ketika dipandang.

Setelah tubuhnya dibalut perca dengan rapi, Martha duduk di depan meja rias dan mulai memoles dirinya dengan riasan wajah terbaik yang jarang disentuhnya. Jika gaunnya tidak cukup baik, setidaknya wajah Martha tidak boleh ikut buruk rupa bagi banyak pasang mata yang ada di pesta.

Martha harus tampil cantik, minimal untuk Martin yang sudah berharap lebih. Eye shadow, blush, kontur di bagian hidung dan pipi, serta lip matte berwarna netral jadi pilihan terbaik untuk tampil sederhana tetapi maksimal.

Menyelesaikan riasannya, Martha berdiri dan kali ini mendekati cermin setinggi manusia yang menyatu dengan lemari, memandang bayangannya untuk tahu bagaimana penampilan sang puan secara keseluruhan. Pertama kalinya gaun itu digunakan dan benar saja, tampak memalukan ketika dilihat.

Gaun yang panjangnya sedikit di atas lutut itu membentuk Martha hingga lekukan lemak di tubuhnya tercetak jelas. Warna merahnya sangat mentereng, makin mempertontonkan siluet daksa yang seringnya Martha tutupi menggunakan warna gelap. Belum lagi garis-garis horizontal ukuan besar yang mengganggu, kian memperbesar tubuh Martha yang selalu dibalut pakaian berdesain netral setiap harinya.

Jika saja orang-orang di sana bisa mengabaikan penampilannya, Martha akan baik-baik saja bersama Martin, pulang setelah mengucapkan selamat ulang tahun pada sang pemilik pesta, hingga akhirnya bebas dari kurungan netra yang menilainya tiada henti. Namun, sangat tidak mungkin bila dia diabaikan begitu saja, sebab pasti Martha jadi pusat perhatian jika ada satu orang membahas soal penampilannya.

Martha menggeleng pelan, berusaha menyingkirkan pikiran buruk terkait malam ini yang belum tentu terjadi. Martin berkata malam ini adalah cara untuk membentuk kembali rasa percaya diri Martha. Maka mungkin itu sebabnya Martin memilih gaun yang berdesain sangat ‘unik’ agar Martha tampil berani di depan padatnya manusia nanti.

Martha embuskan napas pelan, yakinkan diri bahwa dia bisa melakukannya, khusus untuk satu malam dan waktu yang singkat. Jika tidak untuk orang lain, maka minimal Martin yang menjadi alasan Martha mau melakukannya.

Martha paksakan senyum, memasang topeng kacanya lagi yang telah rapuh, memaksa untuk jadi tempat persembunyian terbaik meski tidak sepiawai dulu. Tidak apa-apa, selama itu bisa membungkus kekhawatiran Martha dengan cukup baik, maka topeng itu tetap berguna ketika dia harus tampil.

Be brave, Martha,” gumam sang wanita berstatus istri dan ibu itu. “Kamu hebat. Orang-orang harus tahu itu.”

Hampir pukul sebelas malam ketika Martin dan Martha tiba di rumah setelah menjemput Markus di tempat kerabat. Tidak ada yang bicara sepatah kata pun selama perjalanan, apalagi Markus sudah tidur ketika diboyong pulang. Martha hanya menatap lurus ke arah jalanan dengan pandangan sendu. Martin tidak bisa membaca perasaan apa pun yang terpendam di balik bungkamnya lisan, tetapi dia yakin Martha tersakiti begitu hebat dipermalukan seperti itu di depan khalayak banyak.

Martha boleh berani unjuk gigi, kendati jika hasilnya sang istri tidak bangga apalagi gembira dengan usahanya, berarti apa yang dilakukan tadi malah menghancurkannya. Saat tiba di rumah, Martha tetap membisu seakan setengah ruhnya dibawa jauh oleh Sang Pelindung sebab tidak memiliki kuasa untuk menghadapi realitas yang telah hancur.

Markus sudah berada di ranjangnya, sedangkan Martha sedang menghapus seluruh riasan yang bagi Martin begitu cantik hingga betah dia pandang.

Atmosfer di sekitar kamar begitu beku akibat tidak ada lisan yang berseru. Hanya ada derap langkah kaki Martin yang mendekati Martha menuju meja rias, lalu mengelus pundak wanitanya yang sedikit bergetar sebagai dampak perlawanan dan pandangan banyak pasang mata yang menyaksikannya.

Bila Martha terluka, maka Martin pun merasakan hal serupa. Bedanya, Martin tidak mau diam terlalu lama dan membiarkan istrinya terkurung dalam belenggu lara yang dalam.

“Sayang, tadi itu di luar dugaan banget. Aku juga nggak tahu apa-apa, beneran,” ucap Martin ketika Martha masih membersihkan riasannya. “Kamu boleh nangis supaya lega, soalnya yang tadi itu berat banget. Maaf aku nggak tahu kamu chat, aku malah asyik sama yang lain dan nggak jagain kamu selama di sana.”

Martin terus membujuk istrinya, kali ini bukan untuk mendapatkan atensi semata, tetapi juga memengaruhi istrinya agar tidak memendam apalagi menahan aksara yang sepatutnya runtuh—baik melalui lisan atau air mata.

Martin kecup puncak kepala Martha, bukan untuk membagi kemesraan, melainkan mendamaikan pikiran istrinya yang pasti dipenuhi durjana manusia biadab tak berakal.

“Kamu mau marahin aku juga silakan, itu lebih baik daripada diam gini. Please, jangan bikin aku panik karena kamu nggak ngomong apa-apa.”

Martha tidak goyah, malah berdiri dan berjalan menuju lemari, membukanya lalu mengeluarkan pakaian malamnya seakan Martin hanyalah hantu pengganggu yang presensinya tidak penting untuk jadi tahu. Martha masuk ke kamar mandi, menguncinya rapat, meninggalkan Martin sendiri dalam ketidakpastian atas segala emosi yang dipendam.

Diamnya Martha bak belati yang membelah emosi Martin menjadi beberapa bagian—marah, sedih, terluka, hancur, dan penuh dendam. Namun, Martin tahu tidak bisa dibandingkan dengan yang dialami Martha, sebab dia korban sesungguhnya. Korban dari kejamnya lidah berbisa dan jari tajam yang melukai Martha.

Martin yang berdiri di depan pintu kamar mandi mengepalkan tinjunya, bersumpah malam itu juga dia akan menghabisi siapa pun yang telah melukai separuh hidupnya.

“Kamu suka gaunnya?” Martin bertanya sembari mengelus pinggang Martha ketika sang istri sedang menyiapkan makan malam—kebetulan Martin pulang cepat—sedangkan pria yang mengenakan kacamata itu duduk manis di kursi menanti makan malam siap. “Aku beli itu sambil mikirin kamu, lho. Aku yakin bagus banget waktu dipake sama kamu.”

Martha tersenyum tipis, sesungguhnya ragu dengan gaun yang dikirim Martin tadi siang karena tanpa dicoba saja sudah pasti akan tampak buruk ketika dikenakan. Well, mungkin itu pikiran buruk Martha saja akibat telanjur pesimis dengan desainnya, padahal bisa saja benar bagus ketika sudah dikenakan.

“Gaun warna merahnya cukup … menarik,” ucap Martha, tidak bisa memberikan pujian berlebihan untuk gaun itu.

Tak tersinggung, Martin malah tertawa sembari menarik wanitanya agar lebih dekat. Martha berpegangan pada sandaran kursi selagi Martin tidak henti mengelus pinggangnya seduktif, lupa ada Markus di sampingnya yang sedang duduk di high chair menunggu makan malam siap.

Dresscode-nya merah, terus aku beliin warna yang pas kok buat kamu. Tenang aja, pasti kamu nyaman waktu pake.”

Martha sebenarnya skeptis dengan kata nyaman, sebab melihat gaun merah itu saja sudah membuatnya tubuh merinding memberikan penolakan nyata. Itu adalah tanda yang tidak baik, tetapi niat Martin tidak bisa Martha tolak. Martin membeli gaun itu sembari memikirkan Martha, bukan bersamanya. Maka wajar bila ada ketidakcocokan sesaat karena Martha tidak memilihnya secara langsung, bukan berarti pula itu sangat buruk.

Tidak ingin membuat Martin kecewa karena mengira Martha menolak pemberiannya, sang puan membelai pipi suaminya, lantas mengecupnya sebagai ucapan terima kasih tersirat untuk gaun yang dikirim bersama pesan manis sebagai sisipan. Tak cukup di pipi, Martin meraih birai Martha dan menciumnya tepat di sana. Membuainya tiada henti sembari terus memainkan pinggang Martha secara intens.

Ciuman itu baru berhenti ketika Markus tiba-tiba terisak, mengejutkan sejoli yang asyik bercumbu mesra dan lupa ada anak mereka sedang menunggu makan. Martin dan Martha kompak menertawakan Markus yang tiba-tiba menangis akibat diabaikan, memprioritaskan sang tunggal yang tidak bisa merasa sendirian barang sedetik pun.

Wulan dan Marni datang saat jam makan siang tiba, jadi sekarang mereka berdua kumpul bersama Martha yang duduk di hadapan keduanya, sedangkan Markus di high chair dan anteng dengan sepotong wortel yang diberikan sang ibu untuk jadi kudapan ringan. Wulan dan Marni datang membawa makan siang berupa sapi lada hitam yang mereka beli dalam perjalanan.

Tidak ada permintaan maaf yang dilayangkan oleh Wulan dan Marni seperti terlampir di pesan ketika izin untuk datang diberikan. Mereka sepertinya datang untuk menghakimi Martha alih-alih meminta maaf, karena sejak tiba di rumah netra ibu-ibu itu memandang penuh penilaian dan sedang merumuskan banyak kata di kepala, sebelum nantinya berkomentar pedas.

Martha sudah menyiapkan telinga bila itu terjadi, meski sejujurnya dia tidak akan siap menerima ocehan lain terkait fisik yang selalu jadi objek utama. Daripada fisik, apakah tidak bisa mereka mengapresiasi cara Martha mengurus Markus yang sehat luar biasa? Mengurus Markus tanpa bantuan mereka yang hanya bicara tanpa mengulurkan tangan?

Makan siang berjalan sunyi, hanya ada suara alat makan yang saling bersinggungan di atas meja, serta Markus mengoceh tidak jelas dan direspons oleh dua neneknya yang terhibur dengan tingkah sang bayi. Martha berusaha menjaga sikap, sengaja agar tidak dikomentari berlebihan. Jangan sampai ada celah baginya untuk jadi bahan gunjingan.

“Kamu masih main sosmed, Martha?” Selalu Wulan sebagai pendahulu, bicara dengan nada pedas untuk menyudutkan Martha. “Mami lihat kamu sekarang aktif di Twitter.”

Martha memaksakan senyum seadanya sembari melirik Wulan sepintas. “Sekarang udah nggak aktif lagi. Suasananya nggak enak.”

“Bagus,” puji Marni lembut, tetapi menusuk. “Mending kamu fokus sama Markus daripada main sosmed. Bunda tahu sosmed itu ‘kan tempat kamu berkarier, tapi sekarang jangan dulu, ya.”

“Iya, soalnya kalau mau balik ke sosmed jangan dengan penampilan kayak gitu.”

Here we go.

Martha diam-diam mengembuskan napas dalam, berusaha sabar mendengar satu per satu ocehan manusia maha sempurna ketika mengemukakan pendapatnya. Sambil makan, Martha tajamkan rungu, biarkan dirinya ditusuk bertubi-tubi oleh himpunan kata yang telanjur tertanam dalam diri.

Martha yang gendut, Martha yang jelek, Martha si kentung, Martha yang tidak pandai merawat diri, Martha yang merepotkan suami, Martha pengeksploitasi anak, dan berbagai julukan lain yang berkumpul jadi satu untuk menjatuhkannya.

Komentar itu sudah seperti makanan sehari-hari, dan jujur, Martha tidak pernah berhasil menulikan rungu dan menutup mata ketika ledekan itu menusuknya bertubi-tubi.

“Kamu makannya jangan terlalu banyak, Martha. Nanti berat badannya makin naik bisa repot,” tegur Wulan, tak ragu pula untuk menarik piring Martha menjauh dari sang pemilik, hingga wanita itu hanya memegang sendok dan menyisakan sesuap nasi dan sepotong daging yang sempat Martha ambil.

“Sesekali nggak apa-apa sih, Mbak. Kan kita yang beliin juga buat Martha,” kata Marni berusaha netral, tetapi jelas tidak sepenuhnya berada di pihak Martha.

“Harusnya beliin makanan yang sehat, biar nggak nambah lemak dia di badan. Apa Martin nggak pernah ya nyuruh Martha diet? Masa istri gendut dibiarin?”

“Martin nggak pernah maksa deh kayaknya, Mbak. Kalau maksa, pasti Martha bakal diet karena suaminya. Tapi kamu sendiri udah mulai ada niat diet lagi nggak, Nak?”

“Kelihatannya nggak ada niat, sih. Kalau Martin biarin aja, bebas dong Martha mau diet atau nggak.”

Marni manggut-manggut setuju. “Iya juga. Berarti kamu harus inisiatif sendiri, Martha. Enggak apa-apa, pelan aja sekarang dietnya. Jangan kayak waktu itu.”

“Duh, jangan diet dulu, deh. Lihat tuh mukanya aja kayak nggak dirawat, pake riasan tipis-tipis. Badan gemuk nggak apa-apa, tapi setidaknya dandan gitu lho biar enak dipandang. Jangan bikin kita capek ngingetin kamu. Di depan orang tuanya aja gini, apalagi di depan Mar—”

“Diam!”

Martha menghardik seraya memukul meja makan sekencang mungkin hingga Markus membeliak. Pun Wulan dan Marni yang tidak diberi aba-aba atas reaksi tak terduga itu. Martha terengah, seakan baru saja berlari padahal dia tengah berontak untuk membela harga diri yang diruntuhkan tiada henti.

Martha tatap Wulan dan Marni nyalang, tidak ada belas kasih atau memikirkan surga di telapak kaki ibu yang perlu dijaga sampai mati. Jika orang tuanya menyakiti, maka Martha lebih memilih merusaknya karena dia pun telah hancur akibat ulah sang pemilik surga.

“Cuma karena kalian lebih tua, bukan berarti jadi yang paling tahu dan bisa komentar macam-macam. Hanya karena kalian lebih berpengalaman, bukan berarti kalian jadi paling ahli di segala hal.” Martha tertawa sinis dan berusaha berdiri. Menggali lagi kekuatannya yang nyaris mati. “Saya selalu ngurus diri dengan baik walaupun berat badan masih segini, kalian aja yang cuma lihat saya dari sisi jeleknya. Kalau capek ngingetin saya, nggak usah ngingetin apa-apa, semua omongan kalian udah tertanam kok di badan saya.

“Bunda juga,” netra Martha tertuju pada Marni yang tercengang melihat putrinya berubah drastis, dari si manis jadi yang paling buas, “apa nggak kasihan sama anaknya? Apa nggak mikirin perasaan saya sebelum Bunda ngomong gitu? Mertua saya udah ngomong aneh-aneh, apa harus Bunda juga ngikutin beliau dan nggak ada di pihak anak sendiri? Bunda yang lahirin saya, tapi cara Bunda lebih nyakitin dari Mami kayak bukan ngomong ke anak sendiri. Saya bukan yang paling baik, tapi kalian juga nggak baik. Jadi, jangan ngerasa paling benar dengan injak harga diri saya. Itu nggak bikin kalian kelihatan hebat.”

Martha mulai sempoyongan. Bicara keras itu di luar kebiasaannya, membuat energi yang dibutuhkan pun berkali-kali lipat lebih banyak dari biasanya. Martha kehilangan daya lebih cepat, hingga keseimbangannya hampir menipis dan dia bisa jatuh bila tidak berpegangan pada sisi meja.

Martha meraih Markus ke pangkuan saat Wulan dan Marni masih bungkam karena terlalu syok dengan perlawanan sang putri. Seakan masih tidak cukup, Martha kembali bersuara, “Kalian mending pergi dari rumah ini. Jangan pernah balik lagi mau itu alasannya Markus atau cuma buat jelekin saya.”

Wulan membentak, “Kamu jangan jadi anak durhaka, ya!”

“Kalau gitu cepet pergi supaya kalian juga nggak jadi orang tua durhaka buat saya!” balas Martha tak kalah nyaring. “Saya mau ke kamar dan kalau dalam lima menit kalian belum pergi, saya usir lagi sampai kalian angkat kaki.”